Kamis, 15 Oktober 2009

"Salafy" adalah Pemersatu bukan Pemecah-Belah

"Salafy" adalah Pemersatu bukan Pemecah-Belah
Penulis : Syaikh Sholih al Fauzan


Syubhat : Salafiyyah dituduh sebagai pemecah-belah ummat.

Dalam hal ini, Salafiyyah yang memahami Kitab (Al Quran) dan Sunnah di atas pemahaman dari Salaful Ummah (Rasulullah dan pendahulu Islam Shahabatnya, serta pengikutnya yg sholih), lalu Rasulullah (Shallallahu alaihi wasallam) menyatakan, "Dan ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan/sekte, semuanya di Neraka kecuali satu". Kemudian mereka (Sahabat) bertanya," Wahai Rasulullah siapa mereka yang satu itu ?". Dijawab oleh dia (Rasulullah) "Mereka yang berada di atas apa yang saya (Rasulullah) dan Sahabat-sahabatku ada di atasnya hari ini". (Hadits riwayat Tirmidzi, no.2643).

Maka dalam kasus ini, pemecahan terjadi karena mereka menolak untuk memahami dengan pemahaman yg benar (Salafiyyah), sementara Salafiyyah (merupakan) jalan yang dapat melangsungkan persatuan dan bukan pemecah-belahan atau sektarianisme.

Syaikh Shalih al Fauzan menyatakan "As Salafiyyah (yakni pengikut Salafy) adalah golongan yang selamat (dari kesalahan), dan merekalah Ahlusunnah wal Jamaah. Golongan ini bukan hizbi (sempalan dari Islam) diantara bermacam-macam hizbi-hizbi, yang mereka disebut "hizbiyyah" saat ini.

Bahkan Salafiyyah adalah golongan dari manusia (yakni Salafy) yang berada di atas madzhab Salaf, di atas apa yang Rasulullah (Shallallaahu alaihi wasallam) dan pengikutnya berada di atasnya. Dan bukan termasuk sempalan diantara kelompok-kelompok yang sejaman yang ada saat ini. " (Sumber : kaset "at-Tahdhir min al-Bid’ah" kaset kedua, yang dikirimkan saat ceramah di Hautah Sadir, 1416H).

Justru Salafiyyah merupakan perwujudan dari apa yang Rasulullah (Shallallahu alaihi wasallam), telah mewariskan untuk ummatnya, seakan-akan malamnya seperti siangnya (ungkapan bahwa telah sangat jelas Islam ini saat beliau tinggalkan, red), penuh kejernihan dan terang, dan siapapun yang mencoba meninggalkannya akan celaka, dia akan terpisah dan menyempal dan terjatuh pada sekte-sekte/aliran yang telah diancam dengan api Neraka.

Sehingga Salafiyyah yang menyeru untuk kembali kepada apa yang Rasulullah (Shallallaahu alaihi wasallam) dan pengikut-pengikutnnya berada di atasnya, semestinya tidak dipandang sebagai pemecah-belah (ummat).


Sumber : www.salafy.or.id

Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal)

HUKUM MENURUNKAN PAKAIAN ( ISBAL ) BAGI PRIA

Rasulullah bersabda :

"Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka" (HR.Bukhori)

Dan beliau berkata lagi ;

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong".

dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :

"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)

dan beliau juga bersabda :

" Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya. Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan dagangannya.

Dalam sebuah hadist yang berbunyi :

"Ketika seseorang berjalan dengan memakai prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun 'Alaihi)

Rasulullah bersabda :

" Isbal berlaku pada sarung, gamis, sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat." (HR Abu Dawud dengan sanad Shohih).

Hadist ini bersifat umum. Mencakup pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya ;

" Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal." (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan tahqiq Al Anauth hal: 358)

Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran . Dan itu juga merupakan sifat yang lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan mentaati Rasullullah .

Dan juga kamu melakukannya karena takut akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh) dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah menyesal atas apa yang kau perbuat.

Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang."

"Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad, keluarganya dan sahabatnya."

BEBERAPA FATWA TENTANG HUKUMNYA MEMANJANGKAN PAKAIAN KARENA SOMBONG DAN TIDAK SOMBONG

Pertanyaan :
Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika seseorang terpaksa melakukakannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena dia kecil atau karena udah menjadi kebiasaan ?

Jawab :

Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka " (HR.Bukhari dalam sahihnya )

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda: " Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa'i).

Kedua hadist ini semakna dengan mencakup musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras, Rasulullah bersabda :"Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong". (Muttafaq 'alaihi)

Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang lain, Rasul bersabda : "Jauhilah olehmu Isbal, karena ia termasuk perbuaan yang sombong" (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang shahih).

Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan . dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Oleh karena itu Umar Ibn Khatab melihat seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata kepadanya : "Angkatlah pakaianmu, karena hal itu adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa 2/451 )

Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As Shiddiq ketika ia berkata :

"Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong." (Muttafaq ‘alaih).

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq. (Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 218).

TIDAK BOLEH MELAKUKAN ISBAL SAMA SEKALI

Pertanyaan:

Bila seeorang melakukan Isbal pada pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan baginya? Dan apaakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?
Jawab:

Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : "Apa yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka." (HR Bukhari dalam shahihnya)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn Sulaim: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu tergolong kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Dan juga karena sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang tsabit dari beliau:

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Tidak ada beda apakah dia melakukan karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan keangkuhan.
Dan dalam perbuatan itu juga ada mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam : "Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah'anhu ketika dia mengatakan kepada beliau bahwaa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar menjaganya:

"Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong."(HR Bukhari dan Muslim)

Ini adalah bantahan bagi orang yang melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq. Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu tidak mengapa.



Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak melewati pergelangan?Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.(dari sumber yang sama hal.220)

HUKUM MEMANJANGKAN CELANA

Pertanyaan:
Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?
Jawab:

Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam

"Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." (HR Bukhari)

Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda: "Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim dalam shahihnya)

Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya: "Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)

Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:

" Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:" Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesusai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq (Dari sumber yang sama hal. 221).

Pertanyaan :
Apakah menurunkan pakaian melewati kedua matakaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau tidak ?

Jawab :

Menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak. Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan keras, berdasarkan hadist yang tsabi dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa Rasulullah bersabda :

"Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih."

Abu Dzarr berkata : "Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: "(Mereka adalah pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu" ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)

Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, beliau bersada :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat."(HR Bukhari)

Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini dengan:

"Apa yang berada dibawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di neraka" (HR Bukhari dan Ahmad)

Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash sama dari segi hukum.

Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum yang berbunyi :

"Maka sapulah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian dengan tanah itu." (Al Maidah :6).

Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat wudlu yang berbunyi :

"Maka basuhlah wajah wajah kalian dan tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6).

Maka kita tidak boleh melakukan tayammum sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said Al Khudri bahwa Nabi bersabda :

"Sarung seseorang mukmin sampai setengah betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya."

Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan yang mengecualikan sabda Rasulullah ;

"Apa yang dibawah mata kaki tempatnya dineraka."

Dengan sabda beliau :

"Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala."

Memang ada sebagian orang yang bila ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan hal ini karena sombong .

Maka kita katakan kepada orang ini : Isbal ada dua jenis, yaitu jenis hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong. orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan kepadanya. (diambil dari As'ilah Muhimmah Syaikh Muhammad Ibn Soleh Utsaimin)
(Diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani - Penerbit Adz Dzahabi)

BID'AHNYA ANGGAPAN SIAL MENIKAH DI BULAN SYAWWAL

Ibnu Mandzur berkata, "Syawwal adalah termasuk nama bulan yang telah dikenal, yaitu nama bulan setelah bulan Ramadhan, dan merupakan awal bulan-bulan haji." Jika dikatakan Tasywiil (syawwalnya) susu onta berarti susu onta yang tinggal sedikit atau berkurang. Begitu juga onta yang berada dalam keadaan panas dan kehausan.

Orang Arab menganggap bakal sial/malang bila melangsungkan aqad pernikahan pada bulan ini dan mereka berkata : "Wanita yang hendak dikawini itu akan menolak lelaki yang ingin mengawininya seperti onta betina yang menolak onta jantan jika sudah kawin/bunting dan mengangkat ekornya."

Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membatalkan anggapan sial mereka tersebut, dan Aisyah berkata, "Rasulullah menikahiku pa¬da bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau yang lebih beruntung dariku?" (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, VI/54, Muslim dalam shahihnya II/1039, kitab An-Nikah, hadits nomor 1423, At-Tirmidzi dalam Sunan-nya II/277, Abwab Annikah, hadits nomor 1099. Beliau berkata: Ini hadits hasan shahih. An-Nasai dalam Sunan-nya, VI/70, kitab An-Nikah, bab "Pernikahan pada Bulan Syawal. Ibnu ¬Majah dalam Sunan-nya, I/641, kitab An-Nikah, hadits nomor 1990.)

Maka yang menyebabkan orang Arab pada jaman jahiliyah dulu menganggap sial menikah pada bulan syawwal adalah keyakinan mereka bahwa wanita akan menolak suaminya seperti penolakan onta betina yang mengangkat ekornya, setelah kawin/bunting.

Berkata Ibnu Katsir – rahimahullah - : "Berkumpulnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan Aisyah Radhiyallahu 'Anha pada bulan syawwal merupakan bantahan terhadap keraguan sebagian orang yang membenci untuk berkumpul/ menikah dengan isteri mereka di antara dua hari raya, karena kawatir bakal terjadi perceraian antara suami-isteri tersebut, yang hal ini sebenarnya tidak ada sesuatupun padanya." (Al Bidayah Wan Nihayah III/253)

Anggapan sial menikah pada bulan Syawwal adalah perkara batil, karena anggapan sial itu secara umum termasuk ramalan/undi nasib yang dilarang oleh Nabi Shallallahu Alaihi wassallam pada sabda beliau :
لا عدوى و لا طيرة
"Tidak ada penyakit menular dan tidak ada ramalan/nasib sial". (HR. Al Bukhari dalam shahihnya cetakan bersama Fathul Bari (X/215) kitab At Thib. Hadits nomor : 5757. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al jami' No. 7530)
Dan sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam :
الطيرة شرك
"Ramalan nasib adalah syirik." " (HR. Ahmad dalam musnadnya (I/440). Abu Daud dalam sunannya (IV/230) kitab at Thib Hadits nomor : 3910. At Tirmidzi dalam sunannya (III/74,75) Abwab As Sair, hadits nomor : 1663. beliau berkata : hadits hasan shahih. Ibnu Majah dalam sunannya (II/1170) Kitab At Thib nomor hadits : 3537. Al Hakim dalam Mustadzraknya (I/17,18) kitab Al Iman beliau berkata : hadits yang shahih sanadnya, stiqah rawi-rawinya dan bukhari dan muslim tidak mengeluarkan dalam shahih keduanya. Dan disepakati Ad Dzahabi dalam talkhishnya. Dishahihkan pula Al Albani di Shahih Al Jami' No : 3960)

Begitu juga sama halnya dengan itu adalah anggapan sial di bulan Shafar.
Berkata Al Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menjelaskan hadits Aisyah Radhiyallahu'anha, di atas : "Hadits itu menunjukkan bahwa disunnahkan menikahi, memperistri wanita dan berkumpul/menggauli pada bulan Syawwal dan shahabat-shahabat kami juga menyebutkan sunnahnya hal itu dan mereka berdalil dengan hadits tersebut."
Aisyah sengaja berkata seperti tersebut diatas untuk membantah tradisi orang-orang jahiliyyah dan apa yang dihayalkan sebagian orang awam pada saat ini, berupa ketidak sukaan mereka menikah dan berkumpul pada bulan Syawwal. Dan hal ini adalah batil dan tidak ada dasarnya, dan termasuk peninggalan jahiliyyah dimana mereka meramalkan hal tersebut dari kata syawwala yang artinya mengangkat ekor ( tidak mau dikawin)." (Syarah shahih Muslim karya Imam an Nawawi (IX/209).
Wallaahu a'lam Bishawab.
(Kitab Al Bida' Al Hauliyyah karya : Abdullah bin Abdul Aziz At tuwaijiry. Cet. I Darul Fadhilah Riyadh, Hal. 348-349. Penterjemah : Muhammad Ar Rifa'i)

FATWA ANEH ULAMA ANDALAN WAHABI AL MAL’UN

18+ ...Anak kecil dilarang membacanya..

----
Syamsudin Ibn Qayyim Al Jawziya, salah satu ulama andalan Wahabi Nashibi, dan merupakan salah satu murid Syaikhul Munafiqun Ibn Taymiyah Laknatullah, mencatat dalam Bida’ al Fawa'id, hal. 129 :


“Ibn Aqil, dan beberapa ulama kami, dan Syaikh kami (ibn Taymiyah), berfatwa bahwa masturbasi (onani) adalah makruh, dan tidak pernah dengan tegas mengatakan hal tsb haram




Lalu ia menegaskan dengan ucapannya sendiri bahwa mastubrasi Halal :

Jika seorang ingin “meneruskan hasratnya” atau melpaskannya,dan jika orang tersebut tidak mempunyai istri atau ia mempunyai seorang budak perempuan namun tidak menikahinya, maka jika hasrat orang tsb besar, dan ia takut akan menderita karena hal tersebut (spt seorang tawanan, musafir,orang miskin), maka dihalalkan baginya untuk melakukan mastubrasi, dan Ahmad (ibn Hanbal) dengan tegas menyatakannya. Lebih dari pada itu, telah diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi (saw) melakukan mastubrasi sementara mereka dalam tugas militer atau perjalanan”



----

Lalu bagaimana fatwa mereka untuk kaum wanitanya…?

Tunggu fatwa-fatwa aneh mereka selanjutnya..!

Indahnya Jiwa Cinta

by: Anis Matta -
Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia disekeliling kita. Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya. Tapi cinta kita padanya yang membuatnya cantik dimata kita.


Saat jatuh cinta adalah saat dimana persepsi kita mengalami shifting pada semua realitas yang ada disekeliling kita. Kadang kita mungkin mengelabuhi diri kita sendiri. Tapi itu puncak subjektivitas yang justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam cara kita memandang segala sesuatunya. Dan disitulah letak keindahannya. Seperti indahnya subjektivitas pada dunia anak-anak. Bagi mereka realitas sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan. Bukan realitas yang ada diluar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa. Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah. Tongkat bisa dipersepsi sebagai senjata. Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka. Karena itu dunia anak selalu indah, selalu penuh kenangan. Begitu juga saat kita jatuh cinta. Shifting pada persepsi kita membuat dunia serasa jadi realitas lain yang begitu indah. Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita. Karena perasaan kita seketika berbunga-bunga. Karena, seperti kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika menjadi ringan dan lembut, badan kita seketika jadi wangi , senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi jadi penyanyi.


Suatu saat seorang raja bingung menyaksikan putra mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa berpidato. Ia gundah, karena putra mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja. Maka sang raja memerintahkan seorang dayang cantik istana untuk menggoda sang putra mahkota. Bilang padanya, pesan sang raja ada pada dayang cantik, aku sangat mencintaimu dan aku bersedia jadi permaisurinya. Nanti kalau hatinya sudah berbungan-bunga, bilang lagi padanya lanjut sang raja tapi ada syaratnya, kamu harus lebih bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri menjadi raja, dan aku percaya kamu bisa. Firasat sang raja ternyata benar. Putra mahkotanya seketika bangkit berubah: ia mengubah penampilannya menjadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis. Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.


Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat kita jatuh cinta. Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi dalam kemanusiaan kita; subjektif, melankolik, kekanakan, tapi positif. Dan indah.

Membangun Pribadi Pantang Menyerah

Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
Allah telah menciptakan alam dan isinya berpasang-pasangan, sehingga melahirkan hukum tarik menarik antara satu dengan yang lainnya. Artinya kondisi alam ini akan selalu dinamis sesuai dengan kehendak-Nya. Begitu juga halnya dengan kehidupan manusia, akan mengalami rotasi (perputaran) antara di bawah dan di atas; sukses-tidak sukses; bahagia-susah, dll. Begitu juga dengan iman kita. Iman bisa datang dan pergi, naik dan turun.
Ibnu Masâud mengatakan, Sesungguhnya jiwa manusia itu mempunyai saat dimana ia ingin beribadah dan ada saat dimana enggan beribadah. Diantara dua keadaan itulah manusia menjalani kehidupan ini. Dan diantara dua keadaan itu pula nasib manusia ditentukan.
Dalam arti lain, semakin seseorang berada dalam iman yang rendah, maka besar kemungkinan dalam kondisi ini akan mengakhiri hidupnya. Demikian sebaliknya, jika seseorang semakin sering berada pada kondisi iman yang tinggi, maka semakin besar peluangnya memperoleh akhir kehidupan yang baik. Pertanyaannya, bagaimana cara mewujudkan kondisi pribadi yang berujung kebaikan, pribadi yang pantang menyerah tersebut?
Pribadi pantang menyerah (tangguh) adalah tidak lain sebutan bagi pribadi yang tidak merasa lemah terhadap sesuatu yang terjadi dan menimpanya. Pribadinya menganggap sesuatu yang terjadi itu dari segi positifnya. Ia yakin betul bahwa sekenario Allah itu tidak akan meleset sedikit pun.
Pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, tidak lain adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bersyukur apabila ia mendapat sesuatu yang berkaitan dengan kebahagiaan, kesuksesan, medapat rezeki, dll. Sebaliknya, jika ia mendapati sesuatu yang tidak diharapkannya, entah itu berupa kesedihan, kegagalan, mendapat bala bencana, dll., maka ia memiliki ketahanan untuk selalu bersabar. Dan pribadi seperti ini memposisikan setiap kejadian yang menimpanya adalah atas ijin dan kehendak Allah. Ia pasrah dan selalu berusaha untuk bangkit dengan cara mengambil pelajaran dari setiap kejadian tersebut.
Pribadi pantang menyerah ini bukan saja semata-mata dilihat secara fisik. Tetapi lebih-lebih dan yang lebih penting justru adanya sifat positif dalam jiwanya yang begitu tangguh dan kuat.
Seseorang menjadi kuat, pada dasarnya karena mentalnya kuat. Seseorang menjadi lemah, karena mentalnya lemah. Begitu juga, seseorang sukses, karena ia memiliki keinginan untuk sukses. Dan seseorang gagal, karena ia berbuat gagal. Dalam hal ini, ada hadist Nabi yang menyebutkan bahwa: Orang mukmin yang kuat lebih disukai dan lebih baik dari mukmin yang lemah. Jadi, manusia tangguh dam kuat itu, sudah seharusnya menjadi cita-cita kita dalam rangka mengabdi kepada Allah.
Dalam konteks ini, dapat disebutkan bahwa kesuksesan menurut pandangan Alquran itu memiliki dua syarat pokok. Yakni iman dan ilmu (QS. 58: 11). Kedua hal ini, kalau kita kaji secara rinci, jelas-jelas memiliki pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia.
Dengan kuatnya iman seseorang, maka ia akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan manusia. Menurut M. Ridwan IR Lubis (1985), ada tiga pengaruh iman tersebut, yaitu berupa: kekuatan berpikir (quwatul idraak), kekuatan fisik (quwatul jismi), dan kekuatan ruh (quwatur ruuh).
Sedangkan menurut M. Yunan Nasution (1976), mengungkapkan pengaruh iman terhadap kehidupan manusia itu berupa: iman akan melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda; menanamkan semangat berani menghadapi maut; membentuk ketentraman jiwa; dan membentuk kehidupan yang baik.
Untuk mencapai dampak dari kekuatan iman itu, kuncinya terletak pada pribadi kita masing-masing. Dan kalau kita cermati, sebenarnya pembentukan sifat pribadi pantang menyerah dan tangguh ini adalah berawal dari sifat optimisme yang menyelimuti pola pikir orang tersebut.
Menyikapi keadaan seperti saat ini, kita seharusnya tidak menjadi pesimis dan berserah diri. Kita harus optimis dan selalu berusaha untuk mencapai yang terbaik dalam hidup ini. Sehingga untuk menjadikan pribadi pantang menyerah dan tangguh ini, maka dalam diri kita harus tertanam sikap optimis, berpikir positif, dan percaya diri.
Setiap manusia harus memiliki optimisme dalam menjalani kehidupan ini. Dengan sikap optimis, langkah kita akan tegar menghadapi setiap cobaan dan menatap masa depan penuh dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta. Karena garis kehidupan setiap manusia sudah ditentukan-Nya. Tugas kita adalah hanya berusaha, berpikir dan berdoa agar sesuai dengan ridho-Nya.
Setelah kita mampu bersikap optimis, lalu pola pikir kita juga harus dibiasakan berpikir secara positif dan percaya diri. Berpikir positif kepada siapa? Pertama, berpikir positif kepada Allah. Setiap kejadian, peristiwa dan fenomena kehidupan ini pasti ada sebab musababnya. Tugas kita, hanya berpikir dan membaca. Ada apa dibalik semua itu? Lalu, kita mengambil pelajaran dari kejadian itu dan selanjutnya mengamalkan yang baiknya dalam perilaku keseharian.
Kedua, berpikir positif terhadap diri sendiri. Setiap manusia, dilahirkan sebagai pribadi yang unik. Karena bagaimanapun wajah dan sifat kita mirip dengan orang lain. Tapi, yang jelas ada saja perbedaan antara keduanya.
Sifat dan pribadi unik itu, harus kita jaga. Itu adalah potensi positif, modal dasar untuk mencapai keleluasaan langkah kita menuju ridho-Nya. Bagaimana orang lain akan menjunjung kita, kalau diri kita sendiri meremehkan dan tidak mengangkatnya.
Selain itu, kita juga harus yakin bahwa kita dilahirkan ke dunia ini sebagai sang juara, the best. Fakta membuktikan, dari berjuta-juta sel sperma yang disemprotkan Bapak kita, tetapi ternyata yang mampu menembus dinding telur Ibu kita dan dibuahi, hanya satu. Itulah kita, sang juara. Hal ini, kalau kita sadari akan menjadi sebuah motivasi luar biasa dalam menjalani hidup ini.
Ketiga, berpikir positif pada orang lain. Orang lain itu, manusia biasa sama dengan kita. Dia mempunyai kesalahan dan kekhilafan. Yang tentu hati nuraninya tidak menghendakinya. Pandanglah, orang lain itu dari sisi positifnya saja dan menerima sisi negatifnya sebagai pelajaran bagi kita.
Belajarlah dari seekor burung Garuda. Ia mengajarkan anaknya untuk terbang dari tempat yang tinggi dan menjatuhkannya. Lalu jatuh, diangkat lagi dan seterusnya sampai ia bisa terbang sendiri. Hati Garuda juga bersih, tidak mendendam. Ia kalau waktunya bermain cakar-cakaran Tapi, kalau diluar itu ia akur, damai kembali.
Keempat, berpikir positif pada waktu. Setiap manusia diberi waktu yang sama, dimana pun dia berada. Sebanyak 24 jam sehari atau 86.400 detik sehari. Waktu itu, ingin kita apakan? Kita gunakan untuk tidur seharian, kerja keras, mengeluh, berdemontrasi, bergunjing, santai, menuntut ilmu, menolong orang lain, melamun, ibadah, dan lainnya. Waktu itu tidak akan protes.
Yang jelas, setiap detik hidup kita akan diminta pertanggung jawabannya kelak, di hadapan Allah SWT. Bagi mereka yang biasa mengisi waktunya dengan amal-amalan saleh dan berada dalam keimanan, maka ia akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Allah berfirman, yang artinya: Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik dan Kami balasi mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
Untuk memaksimalkan sikap positif pada diri seseorang, lebih-lebih sebagai pembentuk pribadi yang pantang menyerah, tangguh, tahan banting, sabar dan istiqomah pada jalan-Nya. Tentu perlu dibagun pula dengan kebiasaan positif.
Semoga tulisan ini menjadi bahan penilaian terhadap diri kita sendiri, terutama kaitannya dengan keinginan pembentukan pribadi yang pantang menyerah. Dan kita berdoa, semoga Allah memberi kemampuan terhadap kita untuk membangun pribadi yang tangguh dan pantang menyerah sesuai tuntutan-Nya. Amin. Wallahu’alam.

Semoga bermanfaat…

Tidak Ada Jalan Yang Rata Untuk Sukses!

Di pagi hari buta, terlihat seorang pemuda dengan bungkusan kain berisi bekal di punggungnya tengah berjalan dengan tujuan mendaki ke puncak gunung yang terkenal.

Konon kabarnya, di puncak gunung itu terdapat pemandangan indah layaknya berada di surga. Sesampai di lereng gunung, terlihat sebuah rumah kecil yang dihuni oleh seorang kakek tua.

Setelah menyapa pemilik rumah, pemuda mengutarakan maksudnya "Kek, saya ingin mendaki gunung ini. Tolong kek, tunjukkan jalan yang paling mudah untuk mencapai ke puncak gunung".

Si kakek dengan enggan mengangkat tangan dan menunjukkan tiga jari ke hadapan pemuda,

"Ada 3 jalan menuju puncak, kamu bisa memilih sebelah kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Kalau saya memilih sebelah kiri?"

"Sebelah kiri melewati banyak bebatuan". setelah berpamitan dan mengucap terima kasih, si pemuda bergegas melanjutkan perjalanannya. Beberapa jam kemudian dengan peluh bercucuran, si pemuda terlihat kembali di depan pintu rumah si kakek.

"Kek, saya tidak sanggup melewati terjalnya batu-batuan". "Jalan sebelah mana lagi yang harus aku lewati kek?"

Si kakek dengan tersenyum mengangkat lagi 3 jari tangannya menjawab "Pilihlah sendiri, kiri, tengah atau sebelah kanan?"

"Jika aku memilih jalan sebelah kanan?"

"Sebelah kanan banyak semak berduri". Setelah beristirahat sejenak, si pemuda berangkat kembali mendaki. Selang beberapa jam kemudian, dia kembali lagi ke rumah si kakek.

Dengan kelelahan si pemuda berkata, "Kek, aku sungguh-sungguh ingin mencapai puncak gunung. Jalan sebelah kanan dan kiri telah aku tempuh, rasanya aku tetap berputar-putar di tempat yang sama sehingga aku tidak berhasil mendaki ke tempat yang lebih tinggi dan harus kembali kemari tanpa hasil yang kuinginkan, tolong kek tunjukkan jalan lain yang rata dan lebih mudah agar aku berhasil mendaki hingga ke puncak gunung"

Si kakek serius mendengarkan keluhan si pemuda, sambil menatap tajam dia berkata tegas "Anak muda! Jika kamu ingin sampai ke puncak gunung, tidak ada jalan yang rata dan mudah! Rintangan berupa bebatuan dan semak berduri, harus kamu lewati, bahkan kadang jalan buntu pun harus kamu hadapi. Selama keinginanmu untuk mencapai puncak itu tetap tidak goyah, hadapi semua rintangan! Hadapi semua tantangan yang ada! Jalani langkahmu setapak demi setapak, kamu pasti akan berhasil mencapai puncak gunung itu seperti yang kamu inginkan! dan nikmatilah pemandangan yang luar biasa !!! Apakah kamu mengerti?

Dengan takjub si pemuda mendengar semua ucapan kakek, sambil tersenyum gembira dia menjawab "Saya mengerti kek, saya mengerti! Terima kasih kek! Saya siap menghadapi selangkah demi selangkah setiap rintangan dan tantangan yang ada! Tekad saya makin mantap untuk mendaki lagi sampai mencapai puncak gunung ini. Dengan senyum puas si kakek berkata, "Anak muda, Aku percaya kamu pasti bisa mencapai puncak gunung itu!" selamat berjuang!!!

Tidak ada jalan yang rata untuk sukses!

Sama seperti analogi Proses pencapaian mendaki gunung tadi. Untuk meraih sukses seperti yang kita inginkan, Tidak ada jalan rata! tidak ada jalan pintas! Sewaktu-waktu, rintangan, kesulitan dan kegagalan selalu datang menghadang. Kalau mental kita lemah, takut tantangan , tidak yakin pada diri sendiri, maka apa yang kita inginkan pasti akan kandas ditengah jalan.
Hanya dengan mental dan tekad yang kuat, mempunyai komitmen untuk tetap berjuang, barulah kita bisa menapak di puncak kesuksesan.

Salam sukses luar biasa!!!

Oleh Bapak Andrie Wongso


Dikirim oleh Bapak Deni Setiawan

Hukum Multi Level Marketing (MLM)

Hukum Multi Level Marketing (MLM)
Ahad, 18-Januari-2009, Penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain
Pengantar

Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut
didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar radhiyallahu’anhu:

“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)


Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.

Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.

Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah , Saudi Arabia , mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:

“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.[1]

Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad samsarah[2]-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”

Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.

Sepanjang yang kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang dikabarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.

Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam.

Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)

Telah sampai pertanyaan-pertanya an yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta[3] tentang aktifitas perusahaan-perusaha an pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM)[4] seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau
produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).

JAWAB:

Alhamdullilah, Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:


Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk.
Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu, sandaran perusahaan-perusaha an ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh
perusahaan-perusaha an ini hanya sekedar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.


Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:

Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl[5] dan riba nasi’ah[6]. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya) , sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).

Kedua, ia termasuk gharar[8] yang diharamkan menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan
berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.

Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan
firman (Allah) Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]

Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal
kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]

Dan beliau juga bersabda,
“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya(khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan transaksinya.”[Muttafaqun’Alaihi]

Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], maka itu tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya[10].
Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua transaksi adalah jelas.

Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at.
(Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,

“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahih]

Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,

“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun’Alaih]

Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.

Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusaha an yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.

Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.

[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu
Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah
Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky
dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq

Dikutip dari majalah An-Nashihah volume 14, hal. 12-14

Catatan Kaki :

[1] Qimar adalah seseorang mengeluarkan biaya dalam sebuah transaksi yang ada kemungkinan dia beruntung dan ada kemungkinan dua merugi (Penerjemah)

[2] Yaitu jasa sebagai perantara atau makelar

[3] Yaitu komisi khusus bidang riset ilmah dan fatwa. Beranggotakan ulama-ulama terkemuka di Saudi Arabia bahkan menjadi rujukan kaum muslimin di berbagai belahan bumi. (Penerjemah)

[4] Kadang disebut dengan istilah Pyramid Scheme, network marketing atau multi level marketing (MLM). (Penerjemah)

[5] Riba fadhl adalah penambahan pada salah satu dari dua barang ribawy (yaitu barang yang berlaku pada hukum riba) yang sejenis dengan transaksi yang kontan (Penerjemah)

[6] Riba nasi’ah adalah transaksi antara dua jenis barang ribawy yang sama sebab ribanya dengan tidak secara kontan. (Penerjemah)

[7] Maksudnya menurut nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama. (Penerjemah)

[8] Gharar adalah apa yang belum diketahui akan diperoleh atau tidak, dari sisi hakikat dan kadarnya. (Penerjemah)

[9] Maksudnya jasa sebagai perantara atau makelar. (Penerjemah)

[10] Pengguna barang tersebut adalah anggota MLM, hal ini dikenal dengan istilah user 100%. (editor)

Sumber: Milis Salafi-Indonesia@yahoogroups.com

Pelajaran Cinta

Memang tidak mudah. Sebab tidak karena kamu mencintai, lalu hendak memberi, atau kamu menebar pesona kematanganmu melalui itu, maka cintamu berbalas. Fakta itu mungkin pahit. Tapi begitulah adanya: kadang-kadang kamu harus belajar menepuk angin, bukan tangan lain yang melahirkan suara cinta.

Sebabnya sederhana saja. Cinta itu banyak macamnya. Ada cinta misi: cinta yang memang kita rencanakan sejak awal. Cinta ini lahir dari misi yang suci, didorong oleh emosi kebijakan dan didukung dengan kemampuan memberi. Misalnya cinta para Nabi kepada umatnya, atau guru kepada muridnya, atau pemimpin pada rakyatnya, atau ibu kepada anaknya. Jiwamu dan jiwa orang yang kamu cintai tidak mesti bersatu. Cinta ini sering tidak berbalas. Bahkan sering berkembang jadi permusuhan. Lihatlah bagaimana nabi-nabi itu dimusuhi umatnya, atau pemimpin yang baik dibunuh rakyatnya, atau guru yang dilupakan murid-muridnya.

Inilah cinta yang paling luhur. Paling suci. Sebagian besar kebaikan yang kita saksikan dalam kehiupan kita, bahkan dalam sejarah umat manusia, sebenarnya merupakan buah dari cinta yang lain. Ambilah contoh: 1,3 milyar umat islam saat ini adalah hasil perjuangan berdarah-darah sang Nabi berserta para sahabat-sahabatnya. Itu cinta misi.

Tapi ada jenis cinta yang lain. Cinta jiwa. Cinta ini lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa. Jiwa yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai. Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta tidak boleh bertepuk sebelah tangan disini.

Inilah cinta yang paling rumit. Serumit kimia jiwa manusia. Suatu saat, misalnya, Umar bin Khatab hendak melamar Ummu Kultsum binti Abu Bakar, adiknya Aisyah ra. Gadis itu sangat belia dan tumbuh diantara jiwa-jiwa lembut nan penyayang. Aisyah ra jadi gusar. Wataknya tidak bertemu dengan watak Umar. Tapi siapa berani menolak lamaran manusia paling shalih dimuka bumi ketika itu? Namun dengan diplomasi yang sangat halus, melalui kepiawaian Amr bin Ash, Aisyah menolak lamaran itu sembari menawarkan kepada sang Khalifah menikahi Ummu Kultsum binti Ali bin Thalib, adik Hasan bin Husain. Kali ini lamarannya diterima: Ali dan Umar memiliki watak yang sama. “Tidak ada alasan menolak lamaran manusia terbaik dimuka bumi,” kata Ali ra.

Ada cinta ketiga. Cinta maslahat. Cinta ini dipertemukan oleh kesamaan kepentingan. Mereka bisa berbeda watak atau misi. Tapi kepentingan mereka sama maka mereka saling mencintai. Misalnya hubungan baik yang lazim berkembang didunia bisnis. Suara ramah dari penjawab telepon, atau senyum manis seorang pramugari, atau layanan sempurna seorang resepsionis hotel: semua berkembang dari kepentingan tapi efektif menciptakan kenyamanan jiwa (confortability). Anda adalah bagian dari pekerjaannya. Bukan jiwanya. Anda adalah kepentingannya. Bukan jiwanya.

Disini Cinta Punya Hirarki

“Aku mencintaimu wahai Rasulullah melebihi cintaku pada semua yang lain, kecuali diriku sendiri.” Begitu Umar bin Khattab berkata pada Rasulullah saw. Ia hendak menyatakan cintanya pada Sang Rasul. Dengan caranya sendiri. Tapi ia tidak menduga kalau jawaban Sang Rasul justru berbeda sama sekali. Tidak! Wahai Umar! Sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri, jawab Rasulullah saw.

Itu ciri utamanya. Hirarki. Cinta misi berawal dan berujung pada satu dan hanya satu nama: Allah Subhanahu Wataala. Tapi Allah yang awal dan akhir dari semua cinta berkata pada Nabi dan kekasih-Nya, Muhammad saw: “Katakanlah pada mereka, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku.” Maka cinta pada Allah harus turun pada cinta kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. Tapi cinta pada manusia saw mengharuskan kita mencintai semua manusia yang telah beriman kepadanya, khususnya para anggota keluarga yang luhur dan sahabat-sahabatnya yang mulia, dan kepada semua generasi yang datang sesudah mereka dari pada tabiin dan pengikut para tabiin, serta siapapun yang mengikuti jalan hidup (manhaj) mereka dari kaum salaf bersama seluruh generasi mukmin hingga hari kiamat.

Cukup? Belum! Masih ada lagi. Cinta pada orang beriman yang mengharuskan kita mencintai semua 'pekerjaan' yang mendekatkan kita pada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Jadi cinta pada Allah harus turun pada orang dan pekerjaan. Orang-orang itu terdiri dari Nabi dan semua orang beriman. Pekerjaan itu terdiri dari semua amal shaleh.

Begitu hirarkinya. Semua cinta kita yang lain hanya akan menjadi lurus kalau ia menyesuaikan diri dengan hirarki ini. Cinta pada istri-istri dan anak-anak dan sanak saudara dan handai taulan dan sahabat karib dan rumah-rumah dan mobil-mobil dan harta-harta dan semua hanya akan menjadi lurus jika ia berada dalam ruang besar yang bernama cinta pada Allah swt. Perasaan kita harus ditata dalam struktur cinta seperti itu.

Cinta misi adalah sebuah ruang besar tanpa batas. Semua cinta yang lain harus disusun secara proporsional dalam ruang besar itu. Tidak mudah, memang. Tapi ini lah sumber keharmonisan jiwa manusia. Hanya ketika emosi tertata secara apik dalam hararki cinta misi, kita menemukan pemaknaan yang hakiki terhadap semua aliran emosi kita yang lain. Persis seperti anak-anak sungai yang mengalir sendiri-sendiri: pada mulanya menyatu dihulu, lalu tampak berpencar ditengah, tapi kemudian bertemu lagi dimuara.

Dengan cara itu Al Banna memaknai cintanya pada Allah dan dakwah. Suatu saat anaknya terbaring sakit. Panasnya meninggi. Istrinya panik. Beliau sendiri sedang melakukan aktivitas dakwah. Tapi sang istri memanggilnya pulang. Ia tidak kuat sendiri menghadapinya. Ia khawatir terjadi sesuatu pada anak mereka. Tapi sang dai menjawab enteng: “Ajalnya ada di tangan Allah. Kedatanganku tidak akan menambah atau menguranginya.”

Kegagalan

Jangan pernah menyangka bahwa seseorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan mulus, atau bahkan tidak pernah mengenal kegagalan. Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam perjalanan menuju kepahlawanan. Karena itu, peluang kegagalan sama besarnya dengan peluang keberhasilan. “Kalau bukan karena kesulitan, maka semua orang akan menjadi pahlawan,” kata seorang penyair Arab, Al-Mutanabbi.

Membebaskan konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemuda berusia 23 tahun setangguh Muhammad Al-Fatih Murad. Pembebasan pusat kekuasaan Imperium Romawi itu, kata orientalis Hamilton gibb, adalah mimpi delapan abad dari kaum muslimin. Semua serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu sepanjang abad-abad itu. Dan serangan-serangan awal Muhammad Al-Fatih Murad juga mengalami kegagalan. Kegagalan itu sama dengan kegagalannya sebagai pemimpin negara, ketika pada usia 16 tahun ayahnya menyerahkan kekuasaan kepadanya.

Akan tetapi, bila Muhammad Al-Fatih kemudian berhasil merebut kota itu, kita memang perlu mencatat pelajaran ini: “Bagaimana seorang pahlawan dapat melampaui kegagalan-kegagalannya dan merebut takdirnya sebagai pahlawan?”

Rahasia pertama adalah mimpi yang tidak selesai. Kegagalan adalah perkara teknis bagi sang pahlawan. Kegagalan tidak boleh menyentuh sedikit pun wilayah mimpinya. Mimpi tidak boleh selesai karena kegagalan. “Dan tekad seperti ini akan merubah rintangan dan kesulitan menjadi sarana mencapai tujuan,” kata Said bin Al-Musayyib.

Begitulah, tekad mereka melampaui kegagalan, sampai rintangan yang menghadang jalannya tak sanggup menatap tekadnya, maka ia tunduk, lalu memberinya jalan menuju penghentian terakhir dari mimpinya. “Kalau tekad seseorang benar adanya, maka jalan menuju tujuannya pastilah jelas,” kata pepatah Arab.

Rahasia kedua adalah semangat pembelajaran yang konstan. Seorang pahlawan tidak pernah memandang dirinya sebagai Superman atau Malaikat. Ia tetaplah manusia biasa. Dan kegagalan merupakan bagian dari tabiat kehidupan manusia, maka ia “memaafkan” dirinya untuk kegagalan itu. Namun, ia tidak berhenti sampai disitu. Kegagalan adalah objek pengalaman yang harus dipelajari, untuk kemudian dirubah menjadi pintu kemenangan. Demikianlah seharusnya kita mendefenisikan pengalaman: bahwa ia adalah investasi pembelajaran yang membantu proses penyempurnaan seluruh faktor keberhasilan dalam hidup.

Rahasia ketiga adalah kepercayaan pada waktu. Setiap peristiwa ada waktunya, maka setiap kemenangan ada jadwalnya. Ada banyak rahasia yang tersimpan dalam rahim sang waktu, dan biasanya tidak tercatat dalam kesadaran kita. Akan tetapi, para pahlawan biasanya mempunyai cara lain untuk mengenalinya, atau setidaknya meraba-rabanya, yaitu firasat. Mereka “memfirasati zaman” walaupun ia mungkin benar mungkin salah, tetapi ia berguna untuk membentuk kecendrungannya. Firasat bagi mereka adalah faktor rasional. Perhitungan-perhitungan rasional harus tetap ada, tetapi keputusan untuk melangkah pada akhirnya bersifat intuitif. Begitulah akhirnya takdir kepahlawanan terjembatani dengan firasat untuk sampai ke kenyataan.

Aneka Berhala & Kesyirikan

Petaka demi petaka melanda, hati manusia pun luluh karenanya, aqidah dikorbankan, agama dilupakan, syariat hilang sedikit demi sedikit. Maka malapetaka apakah yang lebih dahsyat dibandingkan dengan malapetaka yang menimpa iman? Dialah kesyirikan. Bagaimana tidak, sedang Allah telah berfirman,

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka; tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun". (QS.Al-Maa’idah :72).

Adapun malapetaka ini, kebanyakan orang hanya mengetahuinya secara global saja. Adapun kesyirikan secara terperinci, kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Orang-orang hanya mengetahui bahwa syirik itu, ketika seseorang menduakan Allah dalam penciptaan; atau ketika seseorang menyembah patung-patung. Adapun menyembah orang sholeh, dan lainnya, dalam arti berdo’a, meminta pertolongan kepada orang sholeh atau wali-wali, memohon syafa’at, kesembuhan, jodoh, rejeki, dan lainnya kepada mereka, maka ini tidak dianggap syirik !! Ini tentunya keliru !! Syirik bukan terbatas pada penyembahan berhala. Tapi penyembahan segala sesuatu dari selain Allah, baik itu arca, nabi, malaikat, orang sholeh, pohon, kuburan, dan lainnya. Makhluk-makhluk yang disembah ini biasa kita istilahkan dengan "berhala".

Mereka keliru dalam membatasi kesyirikan hanya khusus pada penyembahan arca-arca, karena mereka menyangka bahwa orang-orang musyrikin di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah kaum yang menyembah patung-patung saja, tanpa yang lainnya. Padahal jika membuka Kitabullah, dan kitab-kitab hadits, maka kita akan mendapat keterangan bahwa kaum musyrikin dahulu bukan hanya menyembah patung saja, bahkan ada yang menyembah kuburan, pohon, orang-orang sholeh. Silakan dengarkan penuturan seorang ulama Islam ketika menjelaskan jemis-jenis sembahan kaum musyrikin jahiliyyah:

Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan-hafizhahullah- berkata saat menjelaskan sembahan-sembahan kaum musyrikin, "Kata Lata -tanpa dobel huruf t -, adalah nama berhala di Tho’if .Dia berupa batu yang dipahat, yang dibangun sebuah rumah di atasnya. Padanya ada tirai-tirai yang menyamai ka’bah. Di sekelilingnya ada halaman, dan di mempunyai pelayan (penjaga). Orang-orang jahiliyah menyembahnya sebagai sekutu selain Allah -Subhanahu wa Ta’la-. Berhala ini milik kabilah Tsaqif dan kabilah-kabilah yang ada disekitar mereka. Mereka amat membanggakan berhala. Sebagian qira’ah membaca firman Allah,

Dengan dobel huruf t sebagai isim fa’il (Latta) dari kata kerja latta-yaluttu. Dia (Latta) adalahseorang lelaki yang shalih yang biasa mengadon tepung untuk memberi makan jama’ah haji. Ketika dia meninggal, orang-orang pun membangun sebuah rumah di atas kuburannya, dan menutupinya dengan tirai-tirai. Akhirnya mereka menyembahnya sebagai sekutu selain Allah -Subhanahu wa Ta’la- . Inilah Latta ! Adapun Uzza, dia adalah pohon dari Sallam yang terletak di lembah Nakhlah yang terletak antara Mekah dan Tho’if. Di sekitarnya terdapat bangunan, dan tirai-tirai. Berhala ini juga mempunyai pelayan-pelayan (penjaga-penjaga).Di pohon ini terdapat setan-setan yang berbicara kepada menusia. Orang-orang bodoh menyangka bahwa yang berbicara kepada mereka adalah pohon-pohon itu atau rumah-rumah yang mereka bangun. Padahal yang berbicara kepada mereka adalah setan-setan untuk menyesatkan mereka dari jalan Allah. Uzza ini adalah berhala milik suku Quraisy, penduduk mekah serta suku-suku yang ada di sekitarnya. Adapun Manaat,dia adalah batu besar yang terletak tak jauh di Gunung Qudaid yang terletak antara Mekah dan Madinah. Berhala ini adalah milik suku Khuza’ah, Aus, dan Khozroj. (Jika ingin haji), mereka berihram di sisinya, dan mereka menyembahnya sebagai sekutu bagi Allah". [Coba lihat Syarh Al-Qowa'id Al-Ar-ba' (hal. 31)]

Inilah tiga berhala yang merupakan berhala terbesarnya Bangsa arab. Maka penyembahan kepada arca, batu, orang sholeh dan pohon adalah sesuatu yang jelas kalau itu adalah kesyirikan. Tapi, sedikit yang menyadari bahwa menyembah orang-orang shalih yang telah meninggal juga adalah kesyirikan. Dialah berhala Latta bagi orang-orang Tsaqit dan kabilah-kabilah di sekitarnya.

Pembaca yang budiman, mungkin kita bertanya, "Bagaimanakah bentuk penyembahan mereka terhadap orang-orang shalih ini sehingga dikatakan sebagai suatu kesyirikan?" Perhatikanlah ucapan Syaikh Al-Fauzan di atas! Mereka menyembahnya bukan ketika orang shalih itu masih hidup tetapi setelah meninggalnya. Mereka bangun kuburannya, buatkan sebuah rumah di atasnya, dipasangi tirai/kelambu, dijaga oleh satu atau dua orang atau bahkan lebih. Kemudian orang-orang pun mendatanginya, menyampaikan hajat, berdo’a kepadanya atau minta dido’akan. Bukan kepada penjaga kuburan tersebut tetapi kepada orang shalih yang telah meninggal itu. Inilah keadaan mereka.

Allah mengabarkan perbuatan mereka dalam firman-Nya,

"Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". (QS. Az-Zumar : 3)

Kesyirikan semacam ini tidak hanya terjadi di zaman nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahkan jauh sebelumnya telah terjadi pada kaum Nuh -alaihis salam-. Allah berfirman saat mengisahkan perkataan mereka,

"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr". (QS.Nuh :23 ).

Penafsir Ulung Al-Qur’an, Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata dalam menafsirkan ayat ini, "Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nuh. Ketika mereka telah meninggal, setan pun datang mewahyukan kepada kaum meraka untuk mendirikan patung-patung itu dengan nama orang-orang shalih, mereka pun melakukannya, tetapi orang-orang sholih itu belum disembah. Tatkala mereka meninggal dan ilmu telah dilupakan, maka patung-patung orang shalih itu pun disembah". [HR. Al-Bukhariy dalam Kitab Tafsir Al-Qur'an (4920)]

Demikianlah pelaku kesyirikan, saling mewarisi dari zaman ke zaman; bentuknya kadang beda, tapi hakikatnya sama. Jaman nabi Nuh, orang shalih yang didatangi adalah dalam patung-patungnya, sedangkan jaman Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- yang didatangi adalah kuburannya. Adapun jaman kita sekarang, maka setiap tempat berbeda. Kadang di tempat ini, yang didatangi, dan disembah adalah patung atau pohon. Tetapi di tempat yang lain adalah kuburan. Mereka meminta dan mengharap darinya.

Mereka menjadikan orang-orang shalih sebagai berhala yang disembah selain Allah dalam bentuk mendatangi patung atau kuburannya, berdo’a kepada mereka, menyampaikan hajat-hajat keseharian kepada mereka, mengharap dan takut kepadanya, bernazar dan berkurban di sisinya. Semua ini adalah kesyirikan !!

Semua ini adalah perbuatan setan yang hendak menyesatkan manusia . Padahal jika kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an, kelak pada hari kiamat nanti, orang-orang shalih yang mereka sembah itu akan ditanya tentang penyembahan manusia kepadanya. Namun orang-orang shalih itu pun berlepas diri dari perbuatan mereka. Sebagai contoh, Nabi Isa –alaihis salam- dan ibunya yang dijadikan berhala oleh orang-orang nashrani. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia, "Jadikanlah Aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab, "Maha Suci Engkau. Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara-perkara ghaib". (QS.Al-Maidah:116)

Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata, "Ini juga merupakan perkara yang Allah bicarakan tentangnya kepada hambam dan Rasul-Nya, Isa bin Maryam -alaihis salam- seraya berfirman kepadanya pada hari kiamat di depam orang-orang yang menjadikannya, dan ibunya sebagai dua sembahan selan Allah, "Adakah kamu mengatakan kepada manusia, "Jadikanlah Aku dan ibuku, dua orang tuhan selain Allah?". Ini merupakan ancaman bagi orang-orang Nasrani, celaan, dan kecaman kepada mereka di depan seluruh makhluk". [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/164)]

Al-Allamah Abdur Rahman bin Ali Ibnul Jauziy-rahimahullah- berkata dalam tafsirnya, "Lafazh ayat ini berupa pertanyaan. Sedang maknanya adalah kecaman bagi orang yang mendakwakan ketuhanan Isa". [Lihat Zadul Masir fi Ilm At-Tafsir (2/463)]

Selain menyembah orang sholeh, sebagian manusia menyembah malaikat. Ini juga merupakan kesyirikan dan pelakunya musyrik. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Dan (Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya Kemudian Allah berfirman kepada malaikat, "Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?". Malaikat-malaikat itu menjawab, "Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka Telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu". (QS.Saba’ :40-41 ).

Allah -Ta’ala- juga berfirman,

"Dan (Tidak wajar pula bagi-Nya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?". (QS. Ali Imran: 80 ).

Diantara bentuk kesyirikan, penyembahan matahari, rembulan, dan bintang-bintang. Allah -Ta’ala- berfirman,

" Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk". (QS. An-Naml :24 ).

Allah -Ta’ala- juga berfirman,

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah . (QS. Fushshilat :37 ).

Dalam ayat-ayat ini terdapat faedah bahwa kemusyrikan bukan hanya terbatas pada penyembahan arca sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang jahil, bahkan menyembah orang sholeh (baik ia malaikat, nabi atau wali) pohon, bebatuan dan lainnya, semuanya termasuk kesyirikan. Semua bentuk kesyirikan telah ada di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Olehnya, Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy An-Najdiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Qowa’id Al-Arba’ , "Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- muncul di tengah manusia yang berbeda-beda dalam peribadatan mereka. Diantara mereka, ada yang mengibadahi malaikat, ada yang mengibadahi nab-nabi, orang sholeh, ada yang menyembah batu dan pohon; ada yang menyembah matahari dan rembulan". [Lihat Al-Majmu' Al-Mufid fi Naqd Al-Quburiyyah wa Nushroh At-Tauhid (hal.609)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 52 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro.

Awas Bahaya Syirik

Kesyirikan telah menyebar dimana-dimana bagaikan jamur di musim hujan, mulai dari desa sampai ke kota. Kesyirikan merebak di sekitar kita dengan macam dan sampul yang berbeda. Namun hakikatnya adalah satu, yaitu mempersekutukan Allah dalam ibadah, dan rububiyah-Nya. Mulai dari praktek ngalap (mencari) berkah dari pohon, benda-benda "bertuah", keris, mencari rejeki dari jin di Gunung Lawu, mendatangi dukun (seperti, Ponari), penampakan makhluk halus, menggunakan jimat atau rajah-rajah, percaya kepada tathoyyur (primbon), praktek horoskop (ramal nasib), pengajaran ilmu kekebalan atau kebatinan, istighotsah akbar (meminta pertolongan di kala susah) kepada Syaikh Abdul Qadir Jailaniy, sembelih hewan untuk Nyi Roro Kidul, lempar sesajen ke lautan, potong sapi untuk mayit di kala kematian, dan sederet bentuk kesyirikan lainnya.

Tragisnya lagi, kesyirikan-kesyirikan seperti ini semakin laris dan tersebar di kalangan orang-orang jahil di kalangan kaum muslimin, akibat bantuan perusahaan pertelevisian dan media massa lainnya demi meraup dan menjarah keutamaan sebesar-besarnya, walapun harus merusak aqidah dan iman umat. Semua ini akan dipertanggungjawabkan oleh para pemilik perusahaan tersebut jika mereka tak segera bertaubat kepada Allah -Azza wa Jalla-. Demi Allah, merusak AQIDAH dan IMAN orang bukanlah perkara ringan; mereka harus pertanggungjawabkan di Padang Mahsyar!!!

Orang yang mempersekutukan Allah dengan makhluk dalam hal beribadah, dengan artian selain ia beribadah –seperti, berdoa, dan meminta- kepada Allah Allah, maka si musyrik juga beribadah kepada selain Allah. Jika ia tetap musyrik, lalu ia mati di atas syirik, maka dosa syiriknya tak akan diampuni oleh Allah -Azza wa Jalla-.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya". (QS. An-Nisaa’: 116).

Ahli Tafsir Negeri Yaman, Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata Fathul Qodir (1/717), "Tak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa seorang yang berbuat syirik, jika ia mati di atas kesyirikan, maka ia bukanlah termasuk orang berhak mendapatkan ampunan yang Allah anugrahkan kepada orang yang tidak berbuat syirik sebagaimana yang dituntut oleh kehendak-Nya".

Ayat ini menunjukkan betapa besarnya dosa syirik ini, hingga Allah -Ta’ala- tidak mau mengampuninya. Padahal Allah -Ta’ala- memiliki ampunan yang sangat luas, rahmat dan kasih sayang yang paling sempurna; amat mencintai hamba-hamba-Nya, melebihi cintanya seorang hamba kepada dirinya sendir!! Sekalipun demikian, Allah -Ta’ala- tidak akan mengampuni dosa pelaku kesyirikan. Kenapa? Karena mereka telah berbuat zholim kepada Allah. Mereka tinggal di bumi Allah, mereka makan dari rizki Allah; mereka hidup dengan nikmat-nikmat Allah; Semua fasilitas-fasilitas yang mereka butuhkan, semua itu datangnya dari sisi Allah. Namun mereka tidak mau beribadah hanya kepada Allah -Ta’ala- semata. Mereka justru beribadah, bersyukur dan meminta kepada makhluk yang tidak memiliki menciptakan apapun, walaupun hanya seekor lalat.

Fenomena syirik yang merebak di sekitar kita, memaksa dan mengharuskan kita untuk takut kepada kesyirikan dengan segala bentuknya. Apalagi terkadang syirik dipoles dengan teknologi, dilindungi oleh sebagian orang-orang yang lahiriahnya "baik" dengan dalih "budaya". Memang budaya, tapi budaya syirik yang diharamkan dalam agama Islam!! Bahkan di sebagian tempat, kesyirikan dilariskan oleh para kiyai pesantren sehingga masyarakat banyak yang tertipu. Sebab mereka menganggap bahwa jika suatu perbuatan dilakukan oleh sang kiyai, maka tak mungkin salah. Padahal tidaklah demikian halnya; Sang kiyai bukan nabi yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan dan kekeliruan. Sangkaan mereka terhadap sang kiyai ini adalah perangkap setan.

Tersebarnya syubhat, dan perangkap-perangkap setan di sekeliling kita dalam usaha menyesatkan kita dari tauhidullah (mengesakan Allah) adalah suatu perkara yang membuat kita perlu super hati-hati dalam menjaga tauhid kita; kita harus takut jangan sampai TAUHID kita hilang, berganti SYIRIK. Oleh karena itu, Ibrahim pernah berdo’a kepada Allah -Azza wa Jalla- agar diselamatkan dari menyembah dan mengibadahi selain-Nya,

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala". (QS. Ibrahim : 35).

Al-Qodhi Sulaiman bin Abdillah At-Tamimiy-rahimahullah- berkata, "Ibrahim takut kepada kesyirikan dan beliau berdo’a kepada Allah agar beliau dan anak cucunya diselamatkan dari beribadah kepada berhala. Jika Ibrahim saja memohon agar ia dan anak cucunya dijauhkan dari menyembah BERHALA (yaitu, segala sesuatu yang disembah dari selain Allah), maka bagaimana kira-kira persangkaanmu dengan orang selain beliau? Sebagaimana kata Ibrahim At-Taimi, "Siapakah yang merasa lebih aman dari bala’ (yakni, syirik) daripada Ibrahim?" [HR. Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim]. Ini mengharuskan hati yang hidup untuk takut kepada kesyirikan. Bukan seperti yang dikatakan sebagian orang-orang jahil bahwa syirik tak akan terjadi pada umat ini. Karenanya mereka merasa aman dari syirik. Akhirnya, mereka pun terjerumus ke dalam syirik". [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 92), tahqiq Muhammad Aiman Asy-Syabrowiy, cet. Alam Al-Kutub, 1419 H]

Betapa celakanya jika ada orang yang diharamkan untuk merasakan kenikmatan dan keindahan surga. Itulah pelaku kesyirikan; Allah haramkan surga bagi mereka sebagai adzab (siksa) yang paling menghinakan disebabkan ke-syirik-an mereka. Allah berfirman,

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya ialah neraka tidalah ada bagi orang-orang yang dholim itu seorang penolong pun". (QS.Al-Maidah :72 ).

Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata dalam Al-Jawab Al-Kafiy (hal.89), "Tatkala kesyirikan kepada Allah meniadakan maksud (penciptaan) ini, maka syirik menjadi dosa besar yang paling besar secara mutlak. Allah telah mengharamkan surga bagi setiap pelaku syirik; Dia halalkan darah, harta, dan keluarganya bagi orang yang bertauhid; Allah halalkan orang bertauhid menjadikan mereka sebagai budaknya, karena mereka tidak melaksanakan tugas peribadahan kepada Allah. Allah –Subhanahu- enggan untuk menerima amalan seorang yang berbuat syirik; enggan menerima syafa’at atau menerima do’a mereka di akhirat; enggan menerima ma’af mereka".

Allah -Ta’ala- telah menghikayatkan di dalam Al-Qur’an tentang orang-orang yang diharamkan untuk merasakan kenikmatan di dalam surga

"Dan penduduk neraka memanggil penduduk surga, tuangkanlah air kepada kami atau dari apa-apa yang Allah telah rezkikan kepada kalian. Penduduk surga berkata: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang yang kafir" .((QS.Al-A’raf :50 ).

Mengingat sedemikian gawatnya masalah syirik, maka kita berharap mudah-mudahan Allah berkenan melindungi kita dari perbuatan syirik, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan mematikan kita di atas tauhid.

SYIRIK inilah yang pernah ditakutkan oleh Nabi kita, Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menimpa umatnya. Beliau khawatir jika umatnya tertimpa syirik kecil, bagaimana lagi jika yang menimpa mereka adalah syirik besar yang merupakan kekafiran, bisa mengeluarkan manusia dari Islam. Karenanya, beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ, قَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ, قَالَ: الرِّيَاءُ, يَقُوْلُ اللهُ -عَزَّ وَجَلَّ- لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جَزَى النَّاسَ بِأَعْمَالِهِمْ: اِذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْنَ كُنْتُمْ تُرَاؤُوْنَ فِي الدُّنْيَا, فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

"Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah syirik ashghor (kecil)". Mereka (Para sahabat) berkata, "Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Riya’ (ingin diperhatikan saat beramal). Allah -Azza wa Jalla- berfirman di hari kiamat saat Allah memberikan balasan kepada manusia berdasarkan amalan-amalan mereka, “Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ (di depannya) ketika di dunia; perhatikanlah, apakah kalian mendapatkan pada mereka balasan”. [HR. Ahmad (5/428-429). Di-hasan-kan oleh Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. 23680, 23681, & 23686)]

Jika syirik kecil saja dikhawatirkan oleh Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- berupa riya’ (beribadah karena mencari perhatian), maka tentunya syirik besar lebih beliau takutkan, seperti berdoa kepada penghuni kubur atau kepada jin. Karenanya beliau bersabda,

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَدْعُوْ مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang meninggal, sedang ia menyeru (berdoa) kepada sembahan selain Allah, maka ia akan masuk neraka ”. [HR. Al-Bukhoriy (4227)]

Berdo’a kepada selain Allah, memohon kesembuhan dan berkah kepada selain Allah merupakan syirik besar yang banyak menimpa manusia di zaman ini. Lihatlah segerombol manusia yang mendatangi Dukun Cilik, PONARI. Mereka semua datang meminta kesembuhan dari PONARI dari segala macam penyakit; seakan-akan PONARI adalah tuhan selain Allah yang dapat menyembuhkan segala penyakit. Ketahuilah, hanya Allah yang menyembuhkan semua penyakit, bukan makhluk. Karenanya, mintalah dan harap kesembuhan itu dari Allah -Azza wa Jalla-. Janganlah kalian meminta dan mengharap kesembuhan dan berkah dari Ponari !! Sebab itu adalah kesyirikan yang terlarang dalam agama kita !!! Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan syrik, maka ia akan masuk neraka dalam keadaan kekal di dalamnya. Na’udzu billahi min dzalik.

Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik (mempersekutukan Allah) dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk neraka”. [HR. Al-Bukhoriy (1181)]

Inilah kondisi orang yang musyrik yang mempersekutukan Allah -Ta’ala- dengan makhluk-Nya; ia tak akan masuk surga, bahkan masuk neraka!!

Seorang ulama Syafi’iyyah , Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak bertauhid (alias musyrik) tidak akan masuk surga”. [Lihat Fathul Bari (3/111)]

Wahai Pembaca yang budiman, hindarilah dan waspadailah syirik karena ia adalah penyebab yang menjerumuskan kalian ke dalam neraka.

Jabir -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Ada seorang laki-laki yang pernah datang kepada Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam- seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah dua penyebab itu (yakni, penyebab masuk surga, dan penyebab masuk neraka)?” Beliau bersabda,

مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئاً دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئاً دَخَلَ النَّارَ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk surga; barangsiapa yang meninggal dalam dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk neraka”. [HR. Muslim (93)]

Hadits ini adalah ancaman yang amat keras bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan; ia diancam dengan neraka, dan akan masuk surga lagi. Kita memohon kepada Allah sebagaimana doa Ibrahim, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri Ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah Aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala".

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 105 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro.p

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam

Nyanyian Dan Musik Dalam Islam (I)
Penulis : Ustadz Idral Harits (murid Syaikh Muqbil Yaman)



Hati bagaikan seorang raja atau panglima perang yang mengawasi prajurit dan tentaranya. Dari hatilah bersumber segala perintah terhadap anggota badan.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Bukhari 1/126 dan 4/290-Al Fath, Muslim 1599 dari Nu’man bin Basyir radliyallahu 'anhuma)

Seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap kefasikan dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian ulama menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina.

Kalaupun mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira, dan tubuhnya meliuk menari-nari, api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Hendaknya ini menjadi perhatian kita. Adakah pernah timbul rasa rindu ketika kita mendengar ayat-ayat Al Qur’an dibacakan? Pernahkah muncul perasaan (haru dan tunduk atau khusyu’) yang dalam saat kita membacanya? Coba bandingkan tatkala kita mendengarkan nyanyian dan alat musik!

Alangkah indahnya apa yang diungkapkan oleh seorang penyair :

Ketika dibacakan Al Kitab (Al Qur’an), mereka terpaku, namun bukan karena takut.

Mereka terpaku seperti orang yang lupa dan lalai.

Ketika nyanyian menghampiri, mereka berteriak bagai keledai.

Demi Allah, tidaklah mereka menari karena Allah.

Namun, kita tidak perlu berduka cita karena senantiasa dan akan terus ada orang-orang yang Allah bangkitkan di tengah-tengah manusia untuk membela dan menyelamatkan umat dengan nasihat-nasihat berharga agar tidak tertipu oleh penyimpangan yang dikerjakan oleh sebagian orang.

Dan alhamdulillah, kita telah pula diberi kesempatan oleh Allah untuk memperoleh warisan mereka berupa karya-karya yang tak terbilang jumlahnya yang sarat dengan hujjah dan dalil yang amat jelas dan gamblang bagi mereka yang mendapat taufik dari Allah ta’ala.

Dan tulisan ini akan mengungkapkan sebagian keterangan para imam pembawa petunjuk tentang jeleknya nyanyian dan musik bagi mereka yang masih menginginkan hatinya selamat, hidup, dan bercahaya sampai ia menemui Rabbnya nanti. Karena hanya itulah bekal yang bermanfaat baginya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“(Yaitu) pada hari yang tidak berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Asy Syu’ara : 88-89)

Pengertian Al Ghina’ dan Al Ma’azif

Imam Ahmad Al Qurthubi menyatakan dalam Kasyful Qina’ halaman 47 : “Al ghina’ secara bahasa adalah meninggikan suara ketika bersyair atau yang semisal dengannya (seperti rajaz secara khusus).
Di dalam Al Qamus (halaman 1187), al ghina’ dikatakan sebagai suara yang diperindah.”

Imam Ahmad Al Qurthubi melanjutkan bahwa sebagian dari imam-imam kita ada yang menceritakan tentang nyanyian orang Arab berupa suara yang teratur tinggi rendah atau panjang pendeknya, seperti al hida’, yaitu nyanyian pengiring unta dan dinamakan juga dengan an nashab (lebih halus dari al hida’). (Lihat Kasyful Qina’ oleh Imam Ahmad Al Qurthubi 47 dan Al Qamus halaman 127)

Al ma’azif adalah jamak dari mi’zaf.

Dalam Al Muhieth halaman 753, kata ini diartikan sebagai al malahi (alat-alat musik dan permainan-permainan), contohnya al ‘ud (sejenis kecapi), ath thanbur (gitar atau rebab). Sedangkan dalam An Nihayah diartikan dengan duf-duf.

Dikatakan pula al ‘azif artinya al mughanni (penyanyi) dan al la’ibu biha (yang memainkannya). (Tahrim ‘alath Tharb, Syaikh Al Albani halaman 79)

Ibnul Qayyim dalam Mawaridul Aman halaman 330 menyatakan bahwa al ma’azif adalah seluruh alat musik atau permainan. Dan ini tidak diperselisihkan lagi oleh ahli-ahli bahasa.

Imam Adz Dzahabi dalam As Siyar 21/158 dan At Tadzkirah 2/1337 memperjelas definisi ini dengan mengatakan bahwa al ma’azif mencakup seluruh alat musik maupun permainan yang digunakan untuk mengiringi sebuah lagu atau syair. Contohnya : Seruling, rebab, simpal, terompet, dan lain-lain. (Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 79)

Bentuk-Bentuk Dan Jenis Al Ghina’

Dengan definisi yang telah disebutkan ini, para ulama membagi al ghina’ menjadi dua kelompok :

Nyanyian yang pertama, seperti yang sering kita temukan dalam berbagai aktivitas manusia sehari-hari, dalam perjalanan, pekerjaan mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat (kerajinan), menghilangkan kejenuhan, dan rasa sepi.

Contoh yang pertama ini di antaranya al hida’, lagu yang dinyanyikan oleh sebagian kaum wanita untuk menenangkan tangis dan rengekan buah hati mereka atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau gurau dan permainan mereka, wallahu a’lam. (Kaffur Ri’a’ halaman 59-60, Kasyful Qina’ halaman 47-49)

Disebutkan pula oleh sebagian ulama bahwa termasuk yang pertama ini adalah selamat atau bersih dari penyebutan kata-kata yang keji, hal-hal yang diharamkan seperti menggambarkan keindahan bentuk atau rupa seorang wanita, menyebut sifat atau nama benda-benda yang memabukkan. Bahkan sebagian ulama ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang dianjurkan (mustahab) apabila nyanyian itu mendorong semangat untuk giat beramal, menumbuhkan hasrat untuk memperoleh kebaikan, seperti syair-syair ahli zuhud (ahli ibadah) atau yang dilakukan sebagian shahabat, seperti yang terjadi dalam peristiwa Khandaq :

Ya Allah, jika bukan karena Engkau tidaklah kami terbimbing.

Dan tidak pula bersedekah dan menegakkan shalat.

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami.

Dan kokohkan kaki kami ketika menghadapi musuh.

Dan yang lain, misalnya :

Jika Rabbku berkata padaku.

Mengapa kau tidak merasa malu bermaksiat kepada-Ku.

Kau sembunyikan dosa dari makhluk-Ku.

Tapi dengan kemaksiatan kau menemui Aku.

Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 48 yang menyebutkan bahwa yang seperti ini termasuk nasihat yang berguna dan besar ganjarannya.

Demikian pula yang dikatakan Imam Al Mawardi bahwa syair-syair yang diungkapkan oleh orang-orang Arab lebih disukai apabila syair itu mampu menumbuhkan rasa waspada terhadap tipuan atau rayuan dunia, cinta kepada akhirat, dan mendorong kepada akhlak yang mulia. Kesimpulannya, syair seperti ini boleh jika selamat atau bebas dari kekejian dan kebohongan. (Kaffur Ri’a’ halaman 50)

Nyanyian di kalangan orang Arab waktu itu seperti al hida’, an nashbur, dan sebagainya yang biasa mereka lakukan tidak mengandung sesuatu yang mendorong keluar dari batas-batas yang telah ditentukan. (Lihat Muntaqa Nafis min Talbis Iblis oleh Syaikh Ali Hasan halaman 290)

Nyanyian yang kedua, seperti yang dilakukan para biduwan atau biduwanita (para penyanyi, artis, pesinden, dan sebagainya) yang mengenal seluk beluk gubahan (nada dan irama) suatu lagu, dari rangkaian syair, kemudian mereka dendangkan dengan nada atau irama yang teratur, halus, lembut, dan menyentuh hati, membangkitkan gejolak nafsu, serta menggairahkannya.

Nyanyian seperti (yang kedua) inilah yang sesungguhnya diperselisihkan para ulama, sehingga mereka terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : Yang mengharamkan, memakruhkan, dan yang membolehkan. (Kasyfu Qina’ halaman 50)

Hujjah Dan Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Dan Memakruhkan

Senantiasa akan ada di kalangan umat ini segelintir orang yang menegakkan Islam, menasihati umat agar tetap berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan yang dipahami oleh para shahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka serta imam-imam pembawa petunjuk.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Senantiasa akan ada segolongan dari umatku menampakkan al haq, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menghinakan mereka dan menyelisihi mereka sedang mereka teguh di atasnya.” (HR. Bukhari 7311 dan Muslim 170, 1920 dan Abu Dawud 4772 dan At Tirmidzi 1418, 1419, 1421)

Dan mereka dengan lantang menyeru tanpa takut terhadap celaan para pencela.

Dalil-Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Ta’ala :

“Dan di antara manusia ada yang membeli (menukar) lahwal hadits untuk menyesatkan orang dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya ejekan, bagi mereka siksa yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Al Wahidi dalam tafsirnya menyatakan bahwa kebanyakan para mufassir mengartikan “lahwal hadits” dengan “nyanyian”.

Penafsiran ini disebutkan oleh Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu. Dan kata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya, Jami’ Ahkamul Qur’an, penafsiran demikian lebih tinggi dan utama kedudukannya.
Hal itu ditegaskan pula oleh Imam Ahmad Al Qurthubi, Kasyful Qina’ halaman 62, bahwa di samping diriwayatkan oleh banyak ahli hadits, penafsiran itu disampaikan pula oleh orang-orang yang telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan doa beliau :

“Ya Allah, jadikanlah dia (Ibnu Abbas) faham terhadap agama ini dan ajarkanlah dia ta’wil (penafsiran Al Qur’an).” (HR. Bukhari 4/10 dan Muslim 2477 dan Ahmad 1/266, 314, 328, 335)

Dengan adanya doa ini, para ulama dari kalangan shahabat memberikan gelar kepada Ibnu Abbas dengan Turjumanul Qur’an (penafsir Al Qur’an).

Juga pernyataan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang Ibnu Mas’ud :

“Sesungguhnya ia pentalkin[1] yang mudah dipahami.” (Kasyfu Qina’ halaman 62)

Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa “lahwul hadits” itu adalah al ghina’. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.”

Riwayat ini shahih dan telah dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 143.

Demikian pula keterangan ‘Ikrimah dan Mujahid.

Al Wahidi dalam tafsirnya (Al Wasith 3/411) menambahkan : “Ahli Ilmu Ma’ani menyatakan, ini termasuk semua orang yang cenderung memilih permainan dan al ghina’ (nyanyian), seruling-seruling, atau alat-alat musik daripada Al Qur’an, meskipun lafadhnya dengan kata al isytira’, sebab lafadh ini banyak dipakai dalam menerangkan adanya penggantian atau pemilihan.” (Lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 144-145)

2. Firman Allah ta’ala :

“Dan hasunglah siapa saja yang kau sanggupi dari mereka dengan suaramu.” (QS. Al Isra’ : 65)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa “suaramu” dalam ayat ini artinya adalah segala perkara yang mengajak kepada kemaksiatan. Ibnul Qayyim menambahkan bahwa al ghina’ adalah da’i yang paling besar pengaruhnya dalam mengajak manusia kepada kemaksiatan. (Mawaridul Aman halaman 325)

Mujahid --dalam kitab yang sama-- menyatakan “suaramu” di sini artinya al ghina’ (nyanyian) dan al bathil (kebathilan). Ibnul Qayyim menyebutkan pula keterangan Al Hasan Bashri bahwa suara dalam ayat ini artinya duff (rebana), wallahu a’lam.

3. Firman Allah ta’ala :

“Maka apakah terhadap berita ini kamu merasa heran. Kamu tertawa-tawa dan tidak menangis? Dan kamu bernyanyi-nyanyi?” (QS. An Najm : 59-61)

Kata ‘Ikrimah --dari Ibnu Abbas--, as sumud artinya al ghina’ menurut dialek Himyar. Dia menambahkan : “Jika mendengar Al Qur’an dibacakan, mereka bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.”

Ibnul Qayyim menerangkan bahwa penafsiran ini tidak bertentangan dengan pernyataan bahwa as sumud artinya lalai dan lupa. Dan tidak pula menyimpang dari pendapat yang mengatakan bahwa arti “kamu bernyanyi-nyanyi” di sini adalah kamu menyombongkan diri, bermain-main, lalai, dan berpaling. Karena semua perbuatan tersebut terkumpul dalam al ghina’ (nyanyian), bahkan ia merupakan pemicu munculnya sikap tersebut. (Mawaridul Aman halaman 325)

Imam Ahmad Al Qurthubi menyimpulkan keterangan para mufassir ini dan menyatakan bahwa segi pendalilan diharamkannya al ghina’ adalah karena posisinya disebutkan oleh Allah sebagai sesuatu yang tercela dan hina. (Kasyful Qina’ halaman 59)

Dalil-Dalil Dari As Sunnah

1. Dari Abi ‘Amir --Abu Malik-- Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menganggap halalnya zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Bukhari 10/51/5590-Fath)

2. Dari Abi Malik Al Asy’ari dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam beliau bersabda :

“Sesungguhnya akan ada sebagian manusia dari umatku meminum khamr yang mereka namakan dengan nama-nama lain, kepala mereka bergoyang-goyang karena alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita, maka Allah benamkan mereka ke dalam perut bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi.” (HR. Bukhari dalam At Tarikh 1/1/305, Al Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain. Lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 45-46)

3. Dari Anas bin Malik berkata :

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

Dua suara terlaknat di dunia dan di akhirat : “Seruling-seruling (musik-musik atau nyanyian) ketika mendapat kesenangan dan rintihan (ratapan) ketika mendapat musibah.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dalam Musnad-nya, juga Abu Bakar Asy Syafi’i, Dliya’ Al Maqdisy, lihat Tahrim ‘alath Tharb oleh Syaikh Al Albani halaman 51-52)

4. Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya saya tidak melarang (kamu) menangis, tapi saya melarangmu dari dua suara (yang menunjukkan) kedunguan dan kejahatan, yaitu suara ketika gembira, yaitu bernyanyi-nyanyi, bermain-main, dan seruling-seruling syaithan dan suara ketika mendapat musibah, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan ratapan-ratapan syaithan.” (Dikeluarkan oleh Al Hakim, Al Baihaqi, Ibnu Abiddunya, Al Ajurri, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 52-53)

5. Dari Ibnu Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

6. Dari ‘Imran Hushain ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi, Ibnu Abiddunya, dan lain-lain, lihat Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

7. Dari Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, ia bercerita bahwa Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling gembala lalu (‘Umar) meletakkan jarinya di kedua telinganya dan pindah ke jalan lain dan berkata : “Wahai Nafi’, apakah engkau mendengar?” Aku jawab : “Ya.” Dan ia terus berjalan sampai kukatakan tidak. Setelah itu ia letakkan lagi tangannya dan kembali ke jalan semula. Lalu beliau berkata :

“Kulihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendengar suling gembala lalu berbuat seperti ini.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 4925 dan Baihaqi 10/222 dengan sanad hasan)

Imam Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (Muntaqa Nafis halaman 304) mengomentari hadits ini sebagai berikut : “Jika seperti ini yang dilakukan mereka terhadap suara-suara yang tidak menyimpang dari sikap-sikap yang lurus, maka bagaimanakah dengan nyanyian dan musik-musik orang jaman sekarang (jaman beliau rahimahullah, apalagi di jaman kita, pent.)?”

Dan Imam Ahmad Al Qurthubi dalam Kasyful Qina’ halaman 69 menyatakan : “Bahwa pendalilan dengan hadits-hadits ini dalam mengatakan haramnya nyanyian dan alat-alat musik, hampir sama dengan segi pendalilan dengan ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan dalam hadits-hadits ini disebutkan lebih jelas dengan adanya laknat bagi penyanyi maupun yang mendengarkanya.”

Di dalam hadits pertama, Imam Al Jauhari menyatakan bahwa dalam hadits ini, digabungkannya penyebutan al ma’azif dengan khamr, zina, dan sutera menunjukkan kerasnya pengharaman terhadap alat-alat musik dan sesungguhnya semua itu termasuk dosa-dosa besar. (Kasyful Qina’ halaman 67-69)
Atsar ‘Ulama Salaf
Ibnu Mas’ud menyebutkan : “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Ini dikeluarkan oleh Ibnu Abiddunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb (halaman 145-148), ucapan seperti ini juga dikeluarkan oleh Asy Sya’bi dengan sanad yang hasan.

Dalam Al Muntaqa halaman 306, Ibnul Jauzi menyebutkan pula bahwa Ibnu Mas’ud berkata : “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dalam Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pada halaman yang sama beliau sebutkan pula keterangan Ibnu ‘Umar ketika melewati sekelompok orang yang berihram dan ada seseorang yang bernyanyi, ia berkata : Beliau berkata : “Ketahuilah, Allah tidak mendengarkanmu!” Dan ketika melewati seorang budak perempuan bernyanyi, ia berkata : “Jika syaithan membiarkan seseorang, tentu benar-benar dia tinggalkan budak ini.”

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template