Sabtu, 24 Desember 2011

PBNU vs MUI Saling Bertentangan Tentang Simbol-Simbol Dan Atribut Natal

Kang Said: Simbol Natal Tidak Meresahkan ;

Jakarta, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menilai peringatan Majelis Ulama Indonesia terkait maraknya simbol natal terlalu berlebihan. Menurut PBNU, selama ini simbol dan atribut natal di pusat perbelanjaan dan hotel tidak meresahkan umat agama lain.
“Sejauh ini tidak meresahkan kok,” kata Ketua Umum PBNU, Dr. KH. Said Aqiel Siroj, pada Republika, Rabu (22/12). Menurut dia, pemerintah sudah bertekad untuk menjalankan toleransi dan multikulturalisme di semua lapisan masyarakat. Dengan semangat ini, ia tegaskan, seharusnya tidak perlu ada pembatasan-pembatasan.

Kang Said menegaskan, peringatan dan imbauan MUI harusnya mengaca pada kebijakan pemerintah terkait toleransi dan multikulturalisme tersebut. “Kalau umat Islam merasa terganggu dan disakiti, baru kita resah. Tapi ini kan tidak,” katanya lagi.

MUI;
‘Berdasarkan laporan dari masyarakat dan pengamatan langsung di lapangan bahwa dalam rangka perayanan Hari Raya Natal bagi kaum Nasrani di beberapa mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya, telah menampilkan simbol-simbol Natal secara berlebihan,” kata Ketua MUI, KH Muhyiddin Junaidi, dalam siaran pers MUI yang diterima Republika di Jakarta, Selasa (21/12). ”Demi menjaga perasaan umat Islam dan umat lainnya, serta kerukunan antarumat beragama, maka MUI mengingatkan kepada para pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar arif dan peka menjaga perasaan umat beragama,” tambahnya.

Saya sangat sependapat dengan PBNU, karena ajaran Islam yang Utama adalah TOLERANSI DAN KEADILAN. Lagian saat akan lebaran idul fitri, waisak, imlek, atau acara hari besar agama, mereka para pengelola mall, hotel, tempat rekreasi maupun tempat-tempat bisnis lain juga menampakkan atribut dan simbol-simbol keagamaan yang sedang/akan merayakan hari besarnya. :-)

SALAM DAMAI

Jumat, 23 Desember 2011

Meluruskan makna toleransi beragama oleh KH. Ihya’ Ulumuddin PP Al-Haromain Pujon, Malang

Manusia diciptakan Allah SWT bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal di antara sesama. Perbedaan diantara manusia adalah sunnatullah yang harus selalu dipupuk untuk kemaslahatan bersama. Perbedaan tidak melahirkan dan menebarkan kebencian dan permusuhan. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (QS.Al Hujurat; 13).

Saling Menghormati Sesama

Sebagai makhluk sosial manusia mutlak membutuhkan sesamanya dan lingkungan sekitar untuk melestarikan eksistensinya di dunia. Tidak ada satu pun manusia yang mampu bertahan hidup dengan tanpa memperoleh bantuan dari lingkungan dan sesamanya. Dalam konteks ini, manusia harus selalu menjaga hubungan antar sesama dengan sebaik-baiknya, tak terkecuali terhadap orang lain yang tidak seagama, atau yang lazim disebut dengan istilah toleransi beragama.

Toleransi beragama berarti saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing. Ummat Islam diperbolehkan bekerja sama dengan pemeluk agama lain dalam aspek ekonomi, sosial dan urusan duniawi lainnya. Dalam sejarah pun, Nabi Muhammad SAW telah memberi teladan mengenai bagaimana hidup bersama dalam keberagaman. Dari Sahabat Abdullah ibn Amr, sesungguhnya dia menyembelih seekor kambing. Dia berkata, “Apakah kalian sudah memberikan hadiah (daging sembelihan) kepada tetanggaku yang beragama Yahudi? Karena aku mendengar Rasulullah berkata, “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku tentang tetangga, sampai aku menyangka beliau akan mewariskannya kepadaku.” (HR. Abu Dawud).

Sesungguhnya ketika (serombongan orang membawa) jenazah melintas di depan Rasulullah, maka beliau berdiri. Para Sahabat bertanya, “Sesungguhnya ia adalah jenazah orang Yahudi wahai Nabi?” Beliau menjawab, “Bukankah dia juga jiwa (manusia)?” (HR.Imam Bukhari).

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berhutang makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan pakian besi kepadanya.” (HR. Imam Bukhari).

Tidak Ada Paksaan dalam Beragama

Dalam soal beragama, Islam tidak mengenal konsep pemaksaan beragama. Setiap diri individu diberi kelonggaran sepenuhnya untuk memeluk agama tertentu dengan kesadarannya sendiri, tanpa intimidasi. "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus; 99-100). "Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi; 29)

Persoalan keyakinan atau beragama adalah terpulang kepada hak pilih orang perorang, masing-masing individu, sebab Allah SWT sendiri telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan hidupnya. Manusia oleh Allah SWT diberi peluang untuk menimbang secara bijak dan kritis antara memilih Islam atau kufur dengan segala resikonya. Meski demikian, Islam tidak kurang-kurangnya memberi peringatan dan menyampaikan ajakan agar manusia itu mau beriman. Dalam sebuah Hadits, riwayat Ibnu Abbas, seorang lelaki dari sahabat Anshar datang kepada Nabi, meminta izin untuk memaksa dua anaknya yang beragama Nasrani agar beralih menjadi muslim. Apa jawab Nabi? Beliau menolak permintaan itu sambil membacakan ayat yang melarang pemaksaan seseorang dalam beragama, yaitu Surah Al-Baqarah 256: ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Dalam Aqidah Tidak Ada Toleransi

Jika dalam aspek sosial kemasyarakatan semangat toleransi menjadi sebuah anjuran, ummat Islam boleh saling tolong menolong, bekerja sama dan saling menghormati dengan orang-orang non Islam, tetapi dalam soal aqidah sama sekali tidak dibenarkan adanya toleransi antara ummat Islam dengan orang-orang non Islam. Rasulullah SAW tatkala diajak ber-toleransi dalam masalah aqidah, bahwa pihak kaum Muslimin mengikuti ibadah orang-orang kafir dan sebaliknya, orang2 kafir juga mengikuti ibadah kaum Muslimin, secara tegas Rasulullah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menolak tawaran yang ingin menghancurkan........

Dalil-dalil tentang hukum mengucapkan "SELAMAT NATAL"

SELAMA ini, posisi dan sikap para sahabat Nabi dan ulama terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah akidah adalah jelas dan tegas, begitu pun kaitannya terhadap perayaan hari-hari besar agama lain, termasuk Natal.

Mengenai hal ini, ada dua pendapat; ada ulama yang memperbolehkan umat Islam utk mengucapkan “Selamat Natal”, dan ada sebagian ulama yang melarangnya. Setiap pendapat berlandaskan dalil-dalil yg kuat, baik itu al-Quran maupun Sunah. Secara umum, perbedaan pendapat para ulama ini mengerucut kepada satu hal saja; apakah ucapan selamat bagi kaum kristiani yang merayakan Natal ini masuk kedalam kategori akidah ataukah masih dalam koridor MUAMALAH?

Pendapat yang melarang

Sebagian ulama, klasik maupun kontemporer, melarang umat Islam untuk ‘ikut campur’ dengan perayaan agama lain, tak terkecuali Kristen, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Syeikh al-Utsaimin, dan lainnya, dengan dalil-dalil sebagai berikut:
*Pertama, mau tidak mau permasalahan ini akan masuk kedalam ranah akidah, karena perayaan natal bukanlah hal yang sembarangan dalam keyakinan kaum kristen. 25 Desember dalam keyakinan nasrani adalah hari ‘lahirnya tuhan’ atau ‘lahirnya anak tuhan’. Maka tidak ada toleransi dalam akidah, bahkan Allah SWT sudah secara jelas dan tegas meluruskan klaim ini (lihat surat al-Ikhlas: 3 atau al-Maidah: 72 & 116, dll).

Ibnu Taimiyah dalam kitab “Iqtidhâ’ Shirâti’l Mustaqîm, Mukhâlafatu Ashâbi’l Jahîm,” (Dar el-Manar, Kairo, cet I, 2003, hal 200) juga melarang untuk ber-tasyabbuh dengan hari besar kaum kafir, karena hal itu akan memberikan efek ‘lega’, bahwa umat Islam ‘membenarkan’ kesesatan yang mereka lakukan. Beda lagi dengan hari-hari kenegaraan, atau hari ibu dan sebagainya, tidak ada unsur akidah di dalamnya, maka dari itu masih dapat ditolerir.

*Kedua, Qiyas awla dari firman Allah; "‎‏kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman” (al-Nahl: 106). Apakah jika kita tidak mengucapkan selamat, kita akan dibunuh?

*Ketiga, toleransi antar umat beragama tidak harus dengan mengucapkan “Merry Christmas“, dengan berakhlakul karimah dan memperhatikan hak mereka sebagai manusia, tetangga, masyarakat, dan lainnya sudah cukup mewakili itikad baik kita untuk hidup damai, bersama mereka. Apalagi dalam Islam, masih banyak momentum yg lebih ‘bersahabat’ untuk mengungkapkan pengakuan kita terhadap keberagaman ini. Sebut saja hadits Nabi yang menganjurkan kita agar melebihkan ‘kuah sayuran’ untuk diberikan kepada tetangga, atau hadits lainnya yang menunjukkan amarah Nabi kepada seseorang yang mendapati tetangganya kelaparan, tapi tidak mengulurkan bantuan. Kebetulan hadits-hadits tersebut tidak mengkhususkan bagi sesama Muslim saja, tapi umum bagi sesama manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Bagi yang tidak punya tetangga Nasrani, saya kira dengan menghormati hari raya mereka, tanpa mengganggu apalagi merusak, adalah lebih dari cukup. Cukup dengan kata ‘silahkan’, bukan dengan kata ‘selamat’.

*Keempat, Saddu al-Dzarî’ah, mencegah diri agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang.

Pendapat yang membolehkan

Beberapa ulama kontemporer seperti Dr Yusuf Qaradhawi dan Musthafa Zarqa membolehkan hal ini dengan beberapa pertimbangan;

*1) Firman Allah Swt ‎‏“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8).

*2) Sikap Islam terhadap Ahlul Kitab lebih lunak daripada kepada kaum musyrikin; para penyembah berhala. Bahkan al-Quran menghalalkan makanan serta perempuan (untuk dinikahi) dari Ahli Kitab (al-Maidah: 5). Dan salah satu konsekuensi pernikahan adalah menjaga perasaan pasangan, berikut keluarganya. (Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148). Apalagi hanya dengan bertukar ucapan “Selamat”.

*3) Firman Allah Subhanahu Wata’ala: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (al-Nisa:86)

*4) Pada satu riwayat, seorang Majusi mengucapkan salam kepada Ibnu Abbas “assalamualaikum“, maka Ibnu Abbas menjawab “waalaikumussalam wa rahmatullah“. Kemudian sebagian sahabatnya bertanya “dan rahmat Allah?”, beliau menjawab: Apakah dengan mereka hidup bukan bukti rahmat Allah.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II, 2005, hal 147-148]

*5) Pada masa kini, perayaan natal tak ubahnya adat-istiadat, perayaan masyarakat atau kenegaraan.[ Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqh Aqalliyyât al-Muslimah, Dar el-Syuruq, cet II,2005, hal 147-148]

*6) Hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Sallallahu alaihi wassallam pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah tersebut....

Ujian adalah tanda cinta Allah swt pada hamba-hamba-NYA

Bismillahirahmanirahim.. Tak ada manusia yang luput dari cobaan hidup. Tak ada keberhasilan yang tak melewati ujian dan tantangan.

Semakin bertambah usia seseorang, semakin kencang pula angin kehidupan berhembus untuk menguji ketegaran dan keimanannya.Ujian hidup bukanlah bentuk kekejaman dari Sang Pencipta. Sebagaimana ujian sekolah bukanlah bentuk hukuman sewenang-wenang dari sang guru untuk muridnya. Diadakan ujian, karena memang sebelumnya sudah ada pelajaran yang telah diberikan oleh sang guru. Begitu pula ujian hidup. Sang Pencipta sudah membekali manusia dengan akal, hati nurani, kitab suci dan nasehat para Nabi-Nya. Jika bekal itu sudah diberikan, maka pada saatnya ujian itu akan datang.

Dalam menghadapi suatu perjuangan hidup sudah dipastikan kita akan menghadapi suatu ujian, dalam menghadapi ujian itulah maka kita sangat memerlukan suatu keyakinan. Jika kita yakin bahwa kita akan mampu menghadapi dan melalui dengan mudah, maka kita akan mudah pula menghadapi ujian tersebut.

Keyakinan adalah sebuah doa yang mampu menumbuhkan suatu bentuk motivasi bagi diri pribadi, yang nantinya berguna dalam menghadapi ujian. Allah SWT berfirman, "Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya :Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat." (Q.S. Al-Baqarah 2 :214)

Selain sebagai suatu motivasi dan doa, keyakinan adalah melaksanakan apa yang diamanatkan oleh Sang Maha Pencipta, yaitu mengokohkan keimanan yang ada dalam qalbu kita, sehingga ujian yang menimpa diri kita bisa dijadikan investasi untuk akherat kita. Ujian adalah guru yang tidak berucap, tetapi ia sebenarnya banyak memberikan pelajaran dan pendidikan kepada kita. Ujian terkecil (apalagi besar) yang kita alami, semuanya adalah takdir Allah yang memiliki hikmah yang begitu besar. Orang yang dapat mengetahui hikmah itulah yang mendapat pengajaran dan pendidikan dari setiap takdir Allah SWT. Betapa besarnya hikmah yang akan kita dapatkan dibalik ujian yang menimpa diri kita.

Semoga kita semua dapat melalui cobaan dan ujian yang sedang kita terima.

Kamis, 22 Desember 2011

PBNU: Kemajemukan di Indonesia harus Dihormati

Denpasar (gp-ansor.org) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr, K.H. Said Aqil Siradj MA menyimpulkan kemajemukan yang ada di Indonesia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapapun juga, terutama umat Islam.

Dari sudut sejarah, kata Said Aqil, Islam sejak awal sudah memberikan contoh hidup menghargai perbedaan dan kemajemukan. Pada saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana hidup tiga golongan, yakni Muslim, Yahudi dan Majusi. Namun, kata Said Aqil, semua bisa hidup berdampingan melalui sebuah perjanjian, yang terkenal dengan Piagam Madinah. Oleh karenanya, tegas Said Aqil, umat Islam yang tidak menghargai kemajemukan berarti tidak paham sejarah.

Paparan tersebut disampaikan Said Aqil dihadapan warga NU di Bali dalam seminar terbatas bertema “Kohesi Sosial antara Cita dan Fakta” di Hotel Aston, Sabtu (17/12) kemarin. ”Dari sudut sejarah, terlihat bagaimana Islam di awal-awal perkembangannya sudah mampu mengembangkan kohesifitas sosial antara warga pendatang dan warga asli Madinah,” tegas Said Aqil.

Seminar dalam rangka Pekan Muharram yang digagas Badan Otonom NU, yakni GP Ansor, Muslimat dan Fatayat NU Bali ini memang dilatarbelakangi keprihatinan atas semakin menipisnya kohesifitas sosial di masyarakat. Seperti disampaikan Ketua Penyelenggara, Wartha D. Shandy S.H, jika perbedaan di Indonesia justru mengarah menjadi factor pemecah-belah, dan agama dominan memicu tindak kekerasan. Menurut Said Aqil, manusia sejatinya cenderung pada keharmonisan sesuai dengan istilah manusia yang berasal dari kata “insaan” yang maknanya intim. Namun kadangkala kecenderungan hidup intim itu dikalahkan oleh kepentingan sehingga menimbulkan konflik.

Ketua Program S3 Universitas Hindu (UNHI) Bali, Prof. Dr. A.A Ngurah Anom Kumbara, M.A mencermati gejala ketidakharmonisan yang berbasis agama itu menawarkan adanya pemaknaan ulang atas konsep keshalihan. Menurut dia, saat ini di samping keshalihan teologis harus juga dikedepankan keshalihan sosial humanistik. Dalam hal ini, diperlukan perubahan internal dari setiap agama untuk merumuskan kembali semangat keagamaan yang sesuai dengan kehidupan bangsa yang multikultiral. Caranya yang pertama, kata guru besar Antropologi Universitas Udayana ini, adalah membangun kesadaran bahwa setiap agama berisikan ajaran mengenai kebenaran tentang eksistensi manusia.
Kedua mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang asli, dan menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama, yaitu menghadirkan spirit ketuhanan di bumi.

Wartha D. Shandy, ketua panitia yang juga ketua PW GP Anshor Bali, menjelaskan seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Pekan Muharram yang didahuli acara jalan sehat, bazaar dan donor darah sepekan sebelumnya. Kemudian acara ditutup dengan tabligh akbar di Masjid Baiturrahman Kampung Jawa oleh K.H Said Aqil Siradj. “Pada intinya kami ingin menyampaikan jika paham Ahlussunah wal jamaah atau Aswaja yang dianut warga NU bisa ditempatkan sebagai solusi alternatif dalam memahami realitas kemajemukan Indonesia sekaligus membedah realitas kebangsaan sehingga kehidupan yang diamanatkan Pancasila bisa terwujud,” papar pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Badung ini.

sumber : Seputarbali.com

Senin, 19 Desember 2011

Benarkah Hukum Pernikahan Dalam Islam Ada 5???

Mungkin masih banyak yang belum tahu Hukum Pernikahan atau Perkawinan Menurut Islam , saya yakin banyak anak muda zaman sekarang tidak mengerti akan Hukum Pernikahan yang sebenarnya, jika mereka ditanya, dalam hal ini saya bukan menggurui seseorang, namun hanya sekedar berbagi informasi tentang adanya hukum pernikahan atau perkawinan menurut agama islam yang perlu diketahui semua orang, pernikahan didalam agama islam adalah suatu yang wajib hukumya, namun banyak juga pendapat lain dari berbagai sumber mengenai hukum nikah ini, mari kita tengok satu persatu yang perlu anda ketahui mengenai Hukum Pernikahan dan Perkawinan Dalam Islam tersebut.

sebelum menikah mungkin kedua mempelai telah banyak mempersiapkan segala sesuatunya, seperti memakai Busana Modern atau Kebaya dengan Motif Batik agar suatu pernikahan kelihatan sempurna, dalam hal itu tidak ketinggalan orang mencari Contoh Undangan Pernikahan. mari kita lihat hukum dari pernikahan menurut agam islam dibawah ini. Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.

1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya

Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh kedalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh kedalam jurang zina wajib hukumnya.

Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya : "Dan Yang menciptakan semua berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)

2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya

Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh kedalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.

Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)

Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.

3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya

Secara normal , ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya. Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus-terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.

Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.

Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.

4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya

Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab, idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung-jawab pihak suami. Maka pernikahan itu makruh hukumnya, sebab berdampak dhoror bagi pihak wanita...... Lanjut bacanya di kolom komentar yah ;)

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template