Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika Umar sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya, tiga pemuda bangsawan yang tampan memasuki majelisnya. Dua orang di antaranya berkata, “Kami berdua bersaudara. Ketika ayah kami sedang bekerja di ladangnya, dia dibunuh oleh pemuda ini, yang sekarang kami bawa kepada tuan untuk diadili. Hukumlah dia sesuai dengan Kitabullah.” Khakifah ‘Umar menatap orang yang ketiga dan memintanya untuk berbicara.
“Walaupun di sana tidak ada saksi sama sekali, Allah, Yang selalu Hadir, mengetahui bahwa mereka berdua berkata yang sebenr-benarnya, ” kata si tertuduh itu.
“Aku sangat menyesal ayah mereka terbunuh di tanganku. Aku orang dusun. Aku tiba di Madinah tadi pagi untuk berziarah ke makam Rasullulah saw. Di pinggir kota, aku turun dari kudaku untuk menyucikan diri dan berwudhu. Kudaku mulai memakan ranting-ranting pohon kurma yang bergelantungan melewati tembok. Segera setelah aku melihatnya, aku menarik kuda menjahui ranting-ranting tersebut. Pada saat itu juga, seorang laki-laki tua yang sedang marah mendekatiku dengan membawa sebuah batu yang besar. Dia melemparkan batu itu ke kepala kidaku, dan kudaku langsung mati. Karena itu aku sangat menyayangi kuda itu, aku kehilangan kendali diri. Aku mengambil batu itu dan melemparkannya kembali ke orang tersebut. Dia roboh dan meninggal. Jika aku ingin melarikan diri, aku dapat saja melakukannya, tetapi kemana? Jika aku tidak mendapatkan hukuman di sini, di dunia ini, aku pasti akan mendapatkan hukuman yang abadi di akhirat nanti. Aku tidak bermaksud membunuh orang itu, tetapi
kenyataannya dia mati di tanganku. Sekarang tuanlah yang berhak mengadili aku.”
Khalifah berkata, “Engkau telah melakukan membunuh. Menurut hukum Islam, engkau harus menerima hukuman yang setimpal dengan apa yang telah engkau lakukan.”
Walaupun pernyataan itu berati satu pengumuman kematian, pemuda itu tetap bersabar; dan dengan tenang dia berkata, “Kalau begitu, laksanakanlah. Namun, aku menanggung satu tanggung jawab untuk menyimpan harta kekayaan anak yatim yang harus aku serahkan kepadanya bial ia telah cukup umur. Aku menyimpan harta tersebut di dalam tanah agar aman. Tak ada seorangpun yang tahu letaknya kecuali aku. Sekarang aku harus menggakinya dan menyerahkan harta tersebut kepada pengawasan orang lain. Kalau tidak, anak yatim itu akan kehikangan haknya. Beri aku tiga hari untuk pergi ke desaku dan menyelesaikan masalah ini.”
Umar menjawab, “Permintaanmu tidak dapat dipenuhi kecuali ada orang lain yang bersedia menggatikanmu dan menjadi jaminan untuk nyawamu.”
“Wahai Amirul Mukminin,” kata pemuda tersebut, “Aku dapat melarikan diri sebelumnya jika aku mau. hatiku sarat dengan rasa takut kepada Allah; yakinlah bahwa aku akan kembali.”
Khalifah menolak permintaan itu atas dasar hukum. Pemuda itu memandang kepada para pengkut Rasullulah saw, yang mulia yang berkerumun di sekeliling khalifah. Dengan memilih secara acak, ia menunjuk Abu Dzar Al-Ghifari dan berkata, “Orang ini akan menjadi jaminan bagiku.” Abu Dzar adalah salah satu saeorang sahabat Rasulullah saw, yang paling dicintai dan disegani. Tanpa keraguan sedikit pun, Abu Dzar setuju untuk menggantikan pemuda itu.
Si tertuduh pun dibebaskan untuk sementara waktu. Pada hari ketiga, kedua penggugat itu kembali ke sidang khalifah. Abu Dzar ada di sana, tetapi tertuduh itu tidak ada. Kedua penuduh itu berkata: “Wahai Abu Dzar, anda bersedia menjadi jaminan bagi seseorang yang tidak anda kenal. Seandainya dia tidak kembali, kami tidal akan pergi tanpa menerima pengganti darah ayah kami.”
Khalifah berkata: “Sungguh, bila pemuda itu tidak kembali, kita harus melaksanakan hukuman itu kepada Abu Dzar.” Mendengar kata-kata tersebut, setiap orang yang hadir di sana mulai menangis, karena Abu Dzar, orang yang berakhlak sempurna dan bertingkah laku sangat terpuji, merupakan cahaya dan inpirasi bagi semua penduduk Madinah.
Ketika hari ketiga itu mulai berakhir, kegemparan, kesedihan dan kekaguman orang-orang mencapai puncaknya. Tiba-tiba pemuda itu muncul. Dia datang dengan berlari dan dalam keadaan penat, berdebu dan berkeringat. “Aku mohon maaf karena telah membuat Anda khawatir,” dia berkata terengah-engah, “Maafkan aku karena baru tiba pada menit terakhir. Terlalu banyak yang harus aku kerjakan. Padang pasir sangatlah panas dan perjakanan ini teramat panjang. Sekarang aku telah siap, laksanakanlah hukumanku.”
Kemudian dia berpaling kepada kerumunan massa dan berkata, “Orang yang beriman selalu menepati ucapannya. Orang yang tidak dapat menepati kata-katanya sendiri adalah orang munafik. Siapakah yang dapat melarikan diri dari kematian, yang pasti akan datang cepat atau lambat? Apakah saudara-saudara berpikir bahwa aku akan menghilang dan membuat orang-orang berkata, “Orang-orang Islam tidak kagi menepati ucapannya sendiri?”
Kerumunan massa itu kemudian berpaking kepada Abu Dzr dan bertanya apakah ia sudah mengetahui sifat yang terpuji dari pemuda tersebut. Abu Dzar menjawa, “Tidak, sama sekali. Tetapi, saya tidak merasa mampu untuk menolaknya ketika dia memilih saya, karena hal itu sesuai dengan asas-asas kemuliaan. Haruskah saya menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tak ada lagi perasaan haru dan kasih sayang yang tersisa dalam Islam?”
Hati dan perasaan kedua penuduh itu tersentuh dan bergetar. Mereka lalu menarik tuduhannya, seraya berkata, “Apakah kami harus menjadi orang yang membuat rakyat berkata bahwa tiada lagi rasa belas kasihan di dalam Islam?”
Sabtu, 21 November 2009
Syaikh Shalih Alu Syaikh (Menteri Agama Saudi Arabia) -hafizhohullah- mengatakan, “Perbedaan pendapat dalam berbagai masalah itu terbagi menjadi dua m
Inilah yang belum dipahami oleh sebagian orang. Mereka merasa aneh dengan orang yang memakai cadar. Mungkin mereka belum tahu bahwa memakai cadar juga termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah mustahab (dianjurkan).
Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,
لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ
“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”
Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :
1. Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ”Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)
2. Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, ”Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)
3. Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)
Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.
Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ “ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)
Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka.
(Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)
Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau mustahab (dianjurkan)?
Berikut kami akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan).
Rujukan:
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah’
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para wanita,
لاَ تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ المُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبِسُ الْقَفَّازِيْنَ
“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, Al Baihaqi, Ahmad dari Ibnu Umar secara marfu’ –yaitu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-). Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan surat An Nur ayat 59 berkata, ”Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”
Sebagai bukti lainnya juga, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ummahatul Mukminin (Ibunda orang mukmin yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah :
1. Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata, ”Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.” (HR. Hakim. Dikatakan oleh Al Hakim : hadits ini shohih. Hal ini juga disepakati oleh Adz Dzahabi)
2. Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata, ”Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.” (HR. Ibnu Sa’ad dan Abdur Rozaq. Semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Ibnu Juraij yang sering mentadlis dan dia meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ‘an/dari)
3. Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata, ”Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.” (HR. Ibnu Sa’ad)
Juga hal ini dipraktekan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat berikut.
Dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya, ”Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya, ’Semoga Allah merahmati engkau. …’ “ (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi. Sanad hadits ini shohih)
Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukkan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengenakannya bahkan hal ini juga dilakukan oleh wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka.
(Lihat penjelasan ini di kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, 104-109, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah, Media Hidayah’)
Lalu bagaimana hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau mustahab (dianjurkan)?
Berikut kami akan sedikit menyinggung mengenai hal tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan).
Rujukan:
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amr Abdul Mun’im Salim, hal. 14
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani, edisi terjemahan ‘Jilbab Wanita Muslimah’
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
B I J A K D A L A M K H I L A F
Syaikh Shalih Alu Syaikh (Menteri Agama Saudi Arabia) -hafizhohullah- mengatakan, “Perbedaan pendapat dalam berbagai masalah itu terbagi menjadi dua macam.
Pertama, perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah yang tidak ada dalilnya.
Perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini diperbolehkan. Akan tetapi jika mayoritas ulama sepakat dengan suatu pendapat maka hendaknya kita ekstra hati-hati untuk mengambil pendapat yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama dalam kondisi semisal ini. Orang yang memiliki pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama boleh beramal dengan apa yang menjadi pendapatnya atau keyakinannya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat ada pendapat mayoritas ulama dalam ijtihadiyah semacam ini maka seyogyanya tidak menyelisihi pendapat mayoritas ulama. Umumnya dalam masalah ijtihadiyah yang tidak ada dalil di dalamnya pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama adalah pendapat yang tidak benar.
Kedua, perbedaan pendapat dalam masalah yang ada dalil tentang hal tersebut. Akan tetapi ulama bersilang pendapat dalam menyikapi dalil tersebut. Ada yang tidak mengambil dalil tersebut namun memakai dalil yang lain semisal qiyas.
Perbedaan pendapat jenis ini bisa kita petakan menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Perbedaan pendapat yang lemah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil. Misal ada ulama yang memakai qiyas padahal dalil yang ada sangat jelas. Artinya dalam suatu permasalahan terdapat dalil yang maknanya sangat gamblang namun ada sejumlah ulama yang menyelisihi pendapat yang sejalan dengan dalil dalam kondisi ini tidaklah diragukan bahwa perselisihan pendapat yang terjadi adalah perselisihan yang lemah.
Sedangkan perbedaan pendapat yang kuat adalah ketika dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ulama A menguatkan dalil ini sedangkan ulama B menguatkan dalil itu. Jika perbedaan pendapat yang ada perbedaan pendapat yang kuat maka tidak boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan pendapat yang kuat. Lain halnya jika perbedaan pendapat yang ada adalah perbedaan pendapat yang lemah. Boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan yang lemah.
Sebagian orang mengatakan,
“Tidak ada ingkarul mungkar dalam masalah khilafiyyah”.
Ungkapan semacam ini kurang tepat karena dalam masalah yang diperselisihkan sebagian shahabat mengingkari sebagian yang lain. Demikian pula para tabiin.
Yang tepat masalah khilafiyyah itu perlu dirinci sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Jika tidak ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka inilah yang disebut dengan masalah ijtihhadiyyah. Adanya beda pendapat dalam hal ini diperbolehkan.
Sedangkan jika ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka masih dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Contoh perbedaan pendapat yang kuat adalah adakah kewajiban zakat untuk perhiasan. Dalil-dalil yang ada dalam masalah ini nampak bertentangan. Para ulama pun berselisih pandangan dalam memahami dalil-dalil tersebut sehingga perbedaan pendapat dalam hal ini adalah kuat. Oleh karena itu tidak ingkarul mungkar dalam hal ini. Siapa yang menzakati perhiasan maka dia telah mengikuti sebagian ulama dan siapa yang tidak menzakati maka dia juga mengikuti sebagian ulama. Ada toleransi dalam hal ini sehingga tidak boleh saling menyalahkan.
Contoh yang lain adalah apakah makmum memiliki kewajiban membaca al fatihah dalam shalat jahriah. Perbedaan pendapat dalam hal ini kuat. Dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ada ulama yang berpendapat ini, ada juga yang memilih itu. Meski pendapat mayoritas shahabat dan tabiin serta para ulama peneliti semisal Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahkan Imam Ahmad, Ibnul Qoyyim adalah dalam hal ini imam shalatlah yang menanggung. Karena perbedaan pendapat dalam hal ini cukup kuat maka tidak boleh ada saling menyalahkan dalam hal ini” (Syarh Kasyfu Syubuhat).
Pertama, perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah yang tidak ada dalilnya.
Perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini diperbolehkan. Akan tetapi jika mayoritas ulama sepakat dengan suatu pendapat maka hendaknya kita ekstra hati-hati untuk mengambil pendapat yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama dalam kondisi semisal ini. Orang yang memiliki pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama boleh beramal dengan apa yang menjadi pendapatnya atau keyakinannya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat ada pendapat mayoritas ulama dalam ijtihadiyah semacam ini maka seyogyanya tidak menyelisihi pendapat mayoritas ulama. Umumnya dalam masalah ijtihadiyah yang tidak ada dalil di dalamnya pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama adalah pendapat yang tidak benar.
Kedua, perbedaan pendapat dalam masalah yang ada dalil tentang hal tersebut. Akan tetapi ulama bersilang pendapat dalam menyikapi dalil tersebut. Ada yang tidak mengambil dalil tersebut namun memakai dalil yang lain semisal qiyas.
Perbedaan pendapat jenis ini bisa kita petakan menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Perbedaan pendapat yang lemah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil. Misal ada ulama yang memakai qiyas padahal dalil yang ada sangat jelas. Artinya dalam suatu permasalahan terdapat dalil yang maknanya sangat gamblang namun ada sejumlah ulama yang menyelisihi pendapat yang sejalan dengan dalil dalam kondisi ini tidaklah diragukan bahwa perselisihan pendapat yang terjadi adalah perselisihan yang lemah.
Sedangkan perbedaan pendapat yang kuat adalah ketika dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ulama A menguatkan dalil ini sedangkan ulama B menguatkan dalil itu. Jika perbedaan pendapat yang ada perbedaan pendapat yang kuat maka tidak boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan pendapat yang kuat. Lain halnya jika perbedaan pendapat yang ada adalah perbedaan pendapat yang lemah. Boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan yang lemah.
Sebagian orang mengatakan,
“Tidak ada ingkarul mungkar dalam masalah khilafiyyah”.
Ungkapan semacam ini kurang tepat karena dalam masalah yang diperselisihkan sebagian shahabat mengingkari sebagian yang lain. Demikian pula para tabiin.
Yang tepat masalah khilafiyyah itu perlu dirinci sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Jika tidak ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka inilah yang disebut dengan masalah ijtihhadiyyah. Adanya beda pendapat dalam hal ini diperbolehkan.
Sedangkan jika ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka masih dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Contoh perbedaan pendapat yang kuat adalah adakah kewajiban zakat untuk perhiasan. Dalil-dalil yang ada dalam masalah ini nampak bertentangan. Para ulama pun berselisih pandangan dalam memahami dalil-dalil tersebut sehingga perbedaan pendapat dalam hal ini adalah kuat. Oleh karena itu tidak ingkarul mungkar dalam hal ini. Siapa yang menzakati perhiasan maka dia telah mengikuti sebagian ulama dan siapa yang tidak menzakati maka dia juga mengikuti sebagian ulama. Ada toleransi dalam hal ini sehingga tidak boleh saling menyalahkan.
Contoh yang lain adalah apakah makmum memiliki kewajiban membaca al fatihah dalam shalat jahriah. Perbedaan pendapat dalam hal ini kuat. Dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ada ulama yang berpendapat ini, ada juga yang memilih itu. Meski pendapat mayoritas shahabat dan tabiin serta para ulama peneliti semisal Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahkan Imam Ahmad, Ibnul Qoyyim adalah dalam hal ini imam shalatlah yang menanggung. Karena perbedaan pendapat dalam hal ini cukup kuat maka tidak boleh ada saling menyalahkan dalam hal ini” (Syarh Kasyfu Syubuhat).
Koleksi Video Syiah
Persamaan Agama Nasrani, Hindu dengan Syiah~2~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1082430759951&oid=97110574531
Inilah Keadaan Yang Terjadi Di Iran~3~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1082895291564&oid=97110574531
Inilah Negeri Syiah Iran Yang Kalian Banggakan~4~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083353023007&oid=97110574531
Inilah Negeri Syiah Iran~5~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083369143410&oid=97110574531
Syiah berbuat Syirik kepada Allah Subhanaho Wa Ta'Alla di Iran~7~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083645070308&oid=97110574531
Penghinaan syiah kepada ayat Al-Quran~8~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083695191561&oid=97110574531
Kondisi Ahlussunnah Di iran~9~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083950277938&oid=97110574531
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1082430759951&oid=97110574531
Inilah Keadaan Yang Terjadi Di Iran~3~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1082895291564&oid=97110574531
Inilah Negeri Syiah Iran Yang Kalian Banggakan~4~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083353023007&oid=97110574531
Inilah Negeri Syiah Iran~5~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083369143410&oid=97110574531
Syiah berbuat Syirik kepada Allah Subhanaho Wa Ta'Alla di Iran~7~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083645070308&oid=97110574531
Penghinaan syiah kepada ayat Al-Quran~8~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083695191561&oid=97110574531
Kondisi Ahlussunnah Di iran~9~
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1083950277938&oid=97110574531
TAQLID DAN IJTIHAD
Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen
1. IJTIHAD
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian
menyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapa
lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul
Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan
sebelum masalah taqlid.
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian
seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang
mu'tabar.
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang
telah memahami persoalan ijtihad.
Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa
aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat
kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah
kita temukan.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya
dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang
orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan
para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua
kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.
Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
hukum khuluqi,
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas
maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di
bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta
perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,
disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
"ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan
pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu
berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam.
Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung
masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad,
akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari
Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia
melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari
Muslim).
Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan
tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan
pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini
dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah
ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar,
tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain
kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."
Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad
yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak
bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan
salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya
saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih
dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai
hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD
Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."
Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak
dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.
BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?
Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan
pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.
Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.
Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.
Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
ini.
Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua
pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:
"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah
Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."
Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan.
2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat
dimana ijtihad boleh dilakukan.
3. Butir pertama hanya berlaku untuk:
a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad
fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).
b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara
kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).
c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif
(ijtihad muthlaq jama'iy).
4. Poin kedua tidak berlaku untuk:
a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab
fardy).
c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq
fardy).
Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat
bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun
kelompok secara kolektif,
2. Ijtihad madzhab secara kolektif
3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup haruslah kita artikan untuk:
1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,
2. Ijtihad madzhab secara perorangan.
Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.
Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli
hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun
secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.
Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. TAQLID
Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara
langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.
Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu
tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.
Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin
dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.
Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a
-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.
Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan
sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."
Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,
agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau
pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.
Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN TAQLID
Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada
berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.
Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah
bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:
1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.
2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak
mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan
dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal
seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:
a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.
b. Beramal berdasarkan ijma'
c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
kesaksian saksi yang adil.
Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan
ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.
HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad
baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam
itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID
Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka
wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa
ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.
Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan
bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.
TINGKATAN TAQLID/MUQALLID
Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:
1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti
taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.
2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang
dilakukan oleh mujtahid muntasib.
MASALAH TALFIQ
Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita
tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.
Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya
seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:
1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka
ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).
Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini
dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.
2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja
pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.
3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah
madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.
Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.
Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat
di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.
3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang
awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.
Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka
yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."
Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu
kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.
2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian
ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
b. Masalah Kemasyarakatan
1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya
harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).
2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,
kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk
mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).
2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana
disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).
3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,
apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.
4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang
tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.
5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita
lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).
6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku
di dunia hukum.
7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan
membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.
8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam
ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.
9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan
tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.
10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid
yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
1. IJTIHAD
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian
menyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapa
lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul
Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan
sebelum masalah taqlid.
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian
seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang
mu'tabar.
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang
telah memahami persoalan ijtihad.
Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa
aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat
kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah
kita temukan.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya
dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya
tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang
orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan
para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik
yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal
dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua
kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas
dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.
Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum
syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau
hukum khuluqi,
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas
maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini
komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u
'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,
salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad
juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi
pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran
itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya
berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan
ketentuan-ketentuan tertentu.
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di
bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin
untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta
perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan
akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang
memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul
ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh
nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,
disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan
baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah
memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai
mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau
Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang
dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau
"ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku
ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan
berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi
sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam
qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat
dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan
pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad
akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu
berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,
"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam.
Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung
masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad,
akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat
sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari
Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia
melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala
kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari
Muslim).
Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan
tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaan
pendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip ini
dipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullah
ucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar,
tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selain
kami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar."
Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihad
yang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidak
bersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinan
salah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanya
saja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebih
dominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagai
hasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawa
rahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahui
ditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat di
kalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu Nashar
Al-Muqaddasi).
Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaan
pendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilah
yang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingat
adanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untuk
membenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yang
akan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agama
sama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabila
benar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajiban
berda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.
Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan.
IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD
Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan oleh
ijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yang
satu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalan
dengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkan
oleh ijtihad yang lain."
Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidak
dapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,
betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangi
secara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi aneka
ragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaan
dalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kita
akan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagai
rahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam.
Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yang
bersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para Imam
Mujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangat
populer, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinan
salah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandung
kemungkinan benar."
SYARAT-SYARAT IJTIHAD.
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid
harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian
persyaratan itu yang terpenting ialah:
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat
al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan
pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk
menggali hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits
Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia
sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali
hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang
hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan
dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an
dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam
bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik
dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam
al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan
ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh
(mansukh) untuk menggali hukum.
7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u
'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u
'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara
tepat.
8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia
dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat
diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai
suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang
lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui
sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan
ta'dil tajrih (screening).
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan
deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum
dan sanggup mempertahankannya.
10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar
dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa
dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu
permasalahan yang akan diketahuinya.
MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD.
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan
kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.
Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi,
Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan
sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah
istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk
menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau
metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan
sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud
dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari
mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab
Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian
ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok
pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid
dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka
mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah
dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada
masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa
pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini
dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai
mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu
yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai
dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam
mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok
ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga
sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka
menjadikannya satu tingkatan.
BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI?
Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad dengan
pengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukum
yang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidak
termasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih.
Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisi
ushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulama
mutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islam
diliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisa
lahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengaku
sebagai mujtahid.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad
tetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yang
memiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat ini
antara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahan
abad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan oleh
Syekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktu
itu.
Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,
mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah
kegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imam
mujtahid kenamaan.
Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang
semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku;
sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak
kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan
Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak
dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama
Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam
memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan
baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya.
Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan
tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.
Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup
antara lain beralasan:
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah,
munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah
lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu
kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat.
Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl
al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia
harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan
membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat
antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan
istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum
ushuliyyin.
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah
satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu
hanyalah tahsil al-hasil
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab
di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl
al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam
membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang
ijma'.
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV
Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani
menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang
telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak
dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang
ini.
Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan kedua
pendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasil
keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yang
bersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut:
"Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan Sunnah
Rasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwa
berijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnah
dibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;
dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untuk
menghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklah
dipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhab
suatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukum
yang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulah
ijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jika
tidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secara
mutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untuk
mencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secara
mutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu."
Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi
persyaratan.
2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat
dimana ijtihad boleh dilakukan.
3. Butir pertama hanya berlaku untuk:
a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad
fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy).
b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara
kolektif (ijtihad madzhab jama'iy).
c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif
(ijtihad muthlaq jama'iy).
4. Poin kedua tidak berlaku untuk:
a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab
fardy).
c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq
fardy).
Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangat
bijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antara
dua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapat
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka
haruslah diartikan untuk:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun
kelompok secara kolektif,
2. Ijtihad madzhab secara kolektif
3. Ijtihad muthlaq secara kolektif,
Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup haruslah kita artikan untuk:
1. Ijtihad mutlaq secara perorangan,
2. Ijtihad madzhab secara perorangan.
Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kita
mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dan
sebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secara
mutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetap
terbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masih
tetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalah
bagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunya
tertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengan
segala macam bentuknya.
Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahli
hukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benar
dapat dilakukan adalah:
1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun
secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini
dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif.
Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyah
dengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan Bahstul
Matsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;
sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalam
menutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqih
yang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sok
berijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilah
persyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yang
dibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2. TAQLID
Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secara
langsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,
daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapun
tidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihad
sebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggup
melakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami dan
menggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secara
langsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macam
tingkatannya.
Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentu
tidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukum
Islam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalil
atau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akan
diamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaitu
harus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah muncul
persoalan taqlid.
Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkin
dihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda.
Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a
-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yang
tidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklif
atau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu
'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dan
tidak realistis, hal itu juga akan membawa akibat
terbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,
karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanya
tercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil.
Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakan
sistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakan
seseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metode
yang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/sarana
mencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkan
penelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yang
khusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal dengan
ijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapai
konsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar atau
metode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelaku
taqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untuk
mengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewat
nadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,
meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilah
yang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yang
ditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
Nabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)
kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka."
Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,
agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukum
taklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkan
dhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnya
dhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yang
berhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaran
Islam yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy atau
pasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwa
penetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iy
al-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkan
dalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yang
bersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanya
harus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itu
justru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidang
hukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puas
mendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini.
Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akan
kita bicarakan dalam tulisan ini.
PENGERTIAN TAQLID
Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada
berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,
atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana
lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing
yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang
dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang
bersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita
seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang
mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah
kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan
pendapat mujtahid/imam tersebut.
Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telah
bertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitu
mudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindah
ke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehingga
muncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadang
sampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umat
Islam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluh
tahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islam
ketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpun
datang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufuk
penjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.
Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqh
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik ini
harus terus kita kembangkan.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,
antara lain:
1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang
pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang
dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil.
Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir.
2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak
mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut
al-Qaffal.
3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan
dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa hal
seperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.
Beberapa hal itu ialah:
a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi.
b. Beramal berdasarkan ijma'
c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan
kesaksian saksi yang adil.
Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid dan
ittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal atau
mengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya
adalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihad
dan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategori
taqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,
tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapat
orang lain.
HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad
baik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.
Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa pada
kesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidak
menaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya."
Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam
itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar
atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,
sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabila
kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID
Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka
wajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil
ijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid atau
mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus
kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti
Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,
bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi
persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada
mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa
ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpa
ada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkan
bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut
terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam dari
kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk
dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkan
ijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazm
dan al-Syaukany.
Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan
bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad
dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di
kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada
beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,
tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.
Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi
adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan
diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.
TINGKATAN TAQLID/MUQALLID
Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa
tingkatan, yaitu:
1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti
taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana
dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat
imam mujtahid.
2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti
yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang
madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian
dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid,
tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid.
3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang
dilakukan oleh mujtahid muntasib.
MASALAH TALFIQ
Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita
tidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,
talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar
hukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab atau
lebih.
Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknya
seseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalah
boleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabila
seseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satu
mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yang
berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhab
lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada
tiga pendapat:
1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka
ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak
boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun
sebagian (talfiq).
Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini
dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang
banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman
partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan
eksploitir.
2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja
pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari
kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam
kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang
kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap
batal.
Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi
dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam
kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah
al-Qarafi.
3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah
madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.
Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan
untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga
ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam.
Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat
di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah
yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu
mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada
ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya
(QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah
disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling
mudah, selama tidak membawa ke dosa.
3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang
awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak
terikat.
Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka
yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang
diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini
dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya
kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan
pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan
menyelesaikan persengketaan."
Contoh Talfiq
a. Dalam Ibadat.
1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu
kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit
dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti
madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak
membatalkan wudlu.
2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian
ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi
sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
b. Masalah Kemasyarakatan
1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya
harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab
Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li
(langsung bersetubuh).
2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,
kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut
berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi
berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang
tidak memandang persoalan mathla'.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk
mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang
sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa
makan).
2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana
disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para
ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada
tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui
kebenaran dan kesalahannya).
3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya,
apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan
peranan ijtihad.
4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang
tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada
tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana
serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah.
5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita
lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam
kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas
oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita
lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara
kolektif (ijtihad jamma'iy).
6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku
di dunia hukum.
7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan
membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum
furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad.
8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam
ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih
perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi.
9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan
tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya
memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong.
10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid
yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran
agama Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Al-Syafi'i, al-Risalah
2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad
3. Al-Juwaini, al-Burhan
4. Al-Ghazali, al-Musthafa
5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul
6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam
7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul
8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul
9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'
10. Ushulus-Sarkhasi
11. Ushulul-Bazdawi
12. Al-Nasafi, al-Manar
13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham
14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul
15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr
16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir
17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul
18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur
19. al-Syathibi, al-Muwafaqat
20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
kisah Masuk Surga Dengan Merangkak
Pada suatu hari, saat kota Madinah sunyi senyap, debu yang sangat tebal mulai mendekat dari berbagai penjuru kota hingga nyaris menutupi ufuk. Debu kekuning-kuningan itu mulai mendekati pintu-pintu kota Madinah. Orang-orang menyangka itu badai, tetapi setelah itu mereka tahu bahwa itu adalah kafilah dagang yang sangat besar. Jumlahnya 700 unta penuh muatan yang memadati jalanan Madinah. Orang-orang segera keluar untuk melihat pemandangan yang menakjubkan itu, dan mereka bergembira dengan apa yang dibawa oleh kafilah itu berupa kebaikan dan rizki. Ketika Ummul Mukminin Aisyah RHA mendengar suara gaduh kafilah, maka dia bertanya, "Apa yang sedang terjadi di Madinah?" Ada yang menjawab, "Ini kafilah milik Abdurrahman bin Auf RA yang baru datang dari Syam membawa barang dagangan miliknya." Aisyah bertanya, "Kafilah membuat kegaduhan seperti ini?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Ummul Mukminin, kafilah ini berjumlah 700 unta." Ummul Mukminin menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Aku bermimpi melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak'."
Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!
Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya, "Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan."
Kemudian ia berkata, "Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT."
Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.
Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, "Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka."
Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.
Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan."
Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.
Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,
يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ
"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)
Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, "Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan."
Karena itu dia berkata, "Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka."
Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.
Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, "Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia."
Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita."
Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.
Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."
Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi."
Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.
Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.
Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."
Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga."
Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).
CATATAN KAKI:
* Abdurrahman bin Auf az-Zuhri al-Qurasyi, salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga, salah seorang yang lebih dulu masuk Islam. Meninggal pada tahun 32 H.
Renungkanlah, wahai orang-orang yang punya akal pikiran; Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak!
Sebagian sahabatnya menyampaikan berita ini kepadanya. Ia teringat bahwa ia pernah mendengar hadits ini dari Nabi SAW lebih dari sekali, dan dengan lafazh yang berbeda-beda. Ia pun melangkahkan kakinya menuju rumah Ummul Mukminin Aisyah RHA dan berkata kepadanya, "Sungguh engkau telah menyebutkan suatu hadits yang tidak akan pernah aku lupa-kan."
Kemudian ia berkata, "Aku bersaksi bahwa kafilah ini berikut muatan dan pelananya, aku infakkan di jalan Allah SWT."
Muatan 700 unta itu pun dibagi-bagikan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya dalam "pesta besar". Itulah Abdurrahman bin Auf, seorang pedagang sukses, orang kaya raya, mukmin yang mahir... yang menolak bila kekayaannya itu menjauhkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Bagaimana tidak? Sedangkan ia adalah salah seorang dari delapan orang yang telah lebih dahulu masuk Islam, dan termasuk salah seorang yang diberi kabar gembira dengan surga.
Ia adalah salah seorang dari enam anggota musyawarah yang ditunjuk oleh al-Faruq Umar RA untuk memilih khalifah di antara mereka sepeninggalnya seraya berkata, "Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ridha kepada mereka."
Ia berhijrah ke Habasyah, kemudian kembali ke Makkah. Kemudian berhijrah ke Habasyah untuk kedua kalinya. Kemudian berhijrah ke Madinah, dan mengikuti perang Badar, Uhud dan semua peperangan.
Ketika Rasulullah SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, beliau mempersaudarakan antara Abdurrahman bin Auf dengan Sa'd bin ar-Rabi' RA. Mengenai hal itu, Anas bin Malik RA menuturkan, "Sa'd berkata kepada Abdurrahman, 'Wahai saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya, lihatlah separuh hartaku lalu ambillah. Aku punya dua istri, lihatlah mana di antara keduanya yang paling engkau kagumi, maka aku akan menceraikannya untuk engkau nikahi.' Abdurrahman bin Auf menjawab, 'Semoga Allah memberkahimu berkenaan dengan keluargamu dan hartamu... Tunjukkanlah padaku letak pasar.' Lalu ia pergi ke pasar, lalu membeli dan menjual serta mendapatkan keuntungan."
Perdagangannya sukses lagi diberkahi, dia mencari yang halal dan menjauhi yang haram serta syubhat. Dalam perdagangannya terdapat bagian yang sempurna untuk Allah, yang disampaikan untuk keluarga dan saudara-saudaranya, serta untuk menyiapkan pasukan kaum muslimin.
Ia pernah mendengar Rasulullah a bersabda kepadanya pada suatu hari,
يَا ابْنَ عَوْفٍ، إِنَّكَ مِنَ اْلأَغْنِيَاءِ، وَإِنَّكَ سَتَدْخُلُ الْجَنَّةَ حَبْوًا، فَأَقْرِضِ اللهَ يُطْلِقْ لَكَ قَدَمَيْكَ
"Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya kamu termasuk kaum yang kaya raya, dan kamu akan masuk surga dengan merangkak. Oleh karena itu, pinjamkanlah suatu pinjaman kepada Allah sehingga Allah membebaskan kedua telapak kakimu." (HR. al-Hakim, 3/ 311 dan al-Hilyah, 1/ 99)
Sejak saat itu, ia memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, sehingga Allah melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian membagikan semuanya untuk keluarganya yaitu Bani Zahrah, untuk Ummahatul Mukminin, dan kaum fakir dari kalangan kaum muslimin. Suatu hari ia memberikan untuk pasukan kaum muslimin se-banyak 500 kuda. Pada hari yang lain, ia memberikan sebanyak 1500 unta. Ketika meninggal, ia mewasiatkan sebanyak 50.000 dinar di jalan Allah. Ia mewasiatkan untuk masing-masing orang yang masih hidup dari peserta perang Badar mendapat-kan 400 dinar di jalan Allah. Sampai-sampai Imam Syahid Utsman bin Affan RA mengambil bagiannya dari wasiat tersebut seraya berkata, "Harta Abdurrahman adalah halal dan bersih, dan menikmati harta tersebut menjadi kesembuhan dan keberkahan."
Karena itu dia berkata, "Penduduk Madinah semuanya adalah sekutu Ibnu Auf berkenaan dengan hartanya... karena sepertiganya ia pinjamkan kepada mereka, sepertiganya untuk membayarkan hutang mereka, dan sepertiganya lagi ia sampai-kan dan berikan kepada mereka."
Sekarang... mari kita lihat air mata orang shalih ini yang menjadikannya sebagai golongan orang-orang yang shalih, zuhud, dan jauh dari dunia berikut segala isinya.
Suatu hari ia dibawakan makanan untuk berbuka, karena ia berpuasa. Ketika kedua matanya melihat makanan itu dan mengundang seleranya, ia menangis seraya berkata, "Mush'ab bin Umair gugur syahid dan ia lebih baik daripada aku, lalu ia dikafani dengan selimut. Jika kepalanya ditutupi, maka kedua kakinya kelihatan dan jika kedua kakinya ditutupi, maka kepalanya kelihatan. Hamzah gugur sebagai syahid dan ia lebih baik daripada aku. Ia tidak mendapatkan kain untuk mengkafaninya selain selimut. Kemudian dunia dibentangkan kepada kami, dan dunia diberikan kepada kami sedemikian rupa. Aku khawatir bila pahala kami telah disegerakan kepada kami di dunia."
Pada suatu hari sebagian sahabatnya berkumpul untuk me-nyantap makanan di kediamannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan mereka, maka ia menangis. Mereka bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Abu Muhammad?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW telah meninggal dalam keadaan beliau berikut ahli baitnya belum pernah kenyang makan roti gandum... Aku tidak melihat kita diakhirkan, karena suatu yang lebih baik bagi kita."
Demikianlah Abdurrahman bin Auf, sampai-sampai dikatakan tentang dia, seandainya orang asing yang tidak mengenalnya melihatnya sedang duduk bersama para pelayannya, maka ia tidak bisa membedakan di antara mereka.
Ketika al-Faruq Umar bin al-Khaththab RA akan melepas nyawanya yang suci, dan memilih enam orang dari sahabat Rasulullah SAW untuk memilih khalifah baru, di antara mereka ialah Abdurrahman bin Auf, maka pada saat itu banyak jari yang menunjuk ke arah Ibnu Auf. Ketika sebagian sahabat mendu-kungnya berkenaan dengan hal itu, maka ia berkata, "Demi Allah, mata anak panah diambil lalu diletakkan di kerongkonganku, kemudian diteruskan ke sisi lainnya, lebih aku sukai daripada menjadi khalifah."
Setelah itu, ia memberitahukan kepada kelima saudaranya bahwa dirinya mundur dari pencalonan. Tetapi mereka ber-pendapat agar dialah yang menjadi hakim dalam memilih khalifah. Dialah orang yang dinilai oleh Imam Ali bin Abi Thalib RA, "Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW menyifatimu sebagai orang kepercayaan di penduduk langit dan orang keper-cayaan di penduduk bumi."
Di sinilah terjadi pemilihan yang benar. Ia memilih Dzun Nurain, seorang yang dermawan dan pemalu, penggali sumur untuk kaum muslimin, orang yang menyiapkan pasukan penak-lukan Makkah, Imam Syahid Utsman bin Affan RA. Akhirnya, yang lainnya mengikuti pilihannya.
Pada tahun 32 H., Ibnu Auf menghembuskan nafas terakhirnya. Ummul mukminin Aisyah RHA ingin memberikan penghar-gaan khusus kepadanya yang tidak pernah diberikannya kepada selainnya. Aisyah menawarkan kepadanya, pada saat Ibnu Auf berbaring di atas ranjang kematiannya, untuk dikuburkan di kamarnya di sisi Rasul SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab RA. Tetapi ia seorang muslim yang terdidik dengan sangat baik oleh keislamannya, sehingga ia merasa malu mengangkat dirinya kepada derajat seperti ini. Apalagi ia punya perjanjian yang sangat kuat bersama Utsman bin Mazh'un RA, ketika keduanya mengadakan perjanjian pada suatu hari, bahwa siapa di antara keduanya yang mati belakangan, maka ia diku-burkan di dekat sahabatnya.
Ketika ruhnya siap untuk melakukan perjalanan baru, maka kedua matanya mengalirkan air mata, dan lisannya berucap, "Sesungguhnya aku takut tertahan untuk berjumpa sahabat-sahabatku karena banyaknya harta yang aku miliki."
Tetapi Allah SWT menurunkan ketentramanNya, dan wajahnya berbinar-binar dengan cahaya. Seolah-olah ia mendengar sesuatu yang menyejukkan yang dekat dengannya. Sepertinya ia mendengar suara sabda Rasul SAW di masa lalu, "Abdurrahman bin Auf masuk surga."
Sepertinya ia mendengar janji Allah dalam Kitab SuciNya, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemu-dian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (Al-Baqarah: 262).
CATATAN KAKI:
* Abdurrahman bin Auf az-Zuhri al-Qurasyi, salah seorang dari sepuluh orang yang diberi kabar gembira dengan surga, salah seorang yang lebih dulu masuk Islam. Meninggal pada tahun 32 H.
Kata-kata Mutiara dari Rasul, para sahabat, hingga para ulama
ada catatan menarik dari iman thabarani nih...
ku share di sini yaaa
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi kecintaanmu."
(HR. At Tirmizi)
Mencintai dunia akan merusak akal, membisukan hati dari mendengarkan hikmah, dan menyebabkan siksaan yang pedih.
(Ali bin Abi Thalib)
Yakin kepada Allah merupakan harga dari segala sesuatu yang sangat mahal. Dan merupakan tangga bagi setiap tujuan yang tujuan yang tinggi dan agung
(Muhammad bin Ali Al Jawad)
Hadapilah dirimu sendiri sebelum kau berhadapan dengan kehidupan setelah ini; dan pertimbangkan dulu perbuatanmu sebelum dipertimbangkan di neraca keadilan Tuhan; dan persiapkanlah dirimu untuk pemunculan yang dahsyat di hadapan tuhan.
(umar bin Khatab)
Cari dan taklukkanlah dunia hanya untuk beribadah kepada Allah SWT
(Al Ghazali)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Berangkat pada pagi hari atau sore hari di jalan Allah (berjihad) adalah lebih baik dari dunia dan semua isinya."
(HR. Bukhari)
Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya.
(Ali bin Abi Thalib)
Nabi Muhammad saw bersabda;
Allah azza wajalla berfirman: "Aku dalam sangkaan hamba Ku kepada Ku dan Aku bersamanya jika ia mengingat Ku. Maka, jika ia mengingat Ku pada dirinya, Aku akan mengingatnya pada diri Ku. Dan jika ia mendekat pada Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat padanya sehasta, dan jika ia mendekat pada Ku sehasta, maka Aku akan mendekat padanya padanya sedepa, dan jika ia datang pada Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan cepat-cepat.
(HR Bukhari)
Jika seorang hamba tulus ikhlas berbuat amal kepada Allah, maka Allah akan menampakkan kepadanya perbuatan-perbuatan yang tercela, sehingga ia hanya akan sibuk dengan dosa-dosanya daripada mengurusi aib orang lain.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Apabila kalian menginginkan kasih sayang dari Allah SWT dan Rasul Nya maka sampaikanlah amanat, jujurlah dalam berbicara, dan berbuat baiklah kepada orang yang menjadi tetangga kalian."
(HR. Tabrani)
Ibadah orang merdeka itu tidak lain kecuali syukur kepada Allah, bukan karena takut atau menginginkan sesuatu.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad SAW berdoa:
"Aku berlindung dengan kebesaran Mu yang tidak ada tuhan kecuali Engkau yang tidak mati, sedangkan jin dan manusia mati."
(HR. Bukhari)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Perumpamaan orang yang ingat pada Tuhannya dengan orang yang tidak mengingat Nya seperti orang hidup dengan yang mati."
(HR Bukhari)
Menyembah Allah karena takut itu adalah ibadah hamba sahaya. Menyembah kepada Nya karena menginginkan sesuatu adalah ibadah para saudaga. Menyembah kepada Nya karena rasa syukur, itulah ibadah orang merdeka.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Jika berdiri bulu roma seorang hamba karena takut kepada Allah maka akan berguguran dosa-dosanya bagaikan gugurnya daun dari pohon yang telah kering
(HR. Abu Syaikh dan Baihaqi)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."
(HR. Muslim)
Dunia itu bangkai. Jika seseorang menginginkannya, hendaklah ia sabar bergaul dengan anjing-anjing.
(Ali bin Abi Thalib)
Dunia hanyalah cita-cita yang sirna, ajal yang berkurang dan jalan menuju akhirat, serta perjalanan menuju kematian.
(Umar bin Khatab)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Dunia itu terkutuk dan terkutuk pula semua yang di dalamnya, kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dan hal-hal yang berkaitan dengannya serta orang alim atau orang yang belajar (ilmu agama)."
(HR At Tabrani)
Jika dunia mendatangi seseorang maka dia akan mencela kebaikan orang lain. Jika dunia meninggalkannya maka dia akan menghilangkan kebaikan-kebaikan dirinya.
(Ali bin Abi Thalib)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Kiamat semakin dekat, sedangkan keinginan manusia terhadap perkara duniawi semakin menjadi-jadi, dan terhadap Allah mereka semakin bertambah jauh."
(HR Hakim)
Dunia adalah fitnah dan ujian, kapan pun ia datang atau pergi. Jika datang, kamu harus bersyukur. Jika pergi, kamu harus bersabar.
(Al Ghazali)
Dunia adalah surga orang kafir. Sesuatu yang cepat (dunia) itu adalah cita-citanya, kematian adalah kesengsaraannya dan neraka adalah tujuannya.
(Ali bin Abi Thalib)
Abdullah bin Mas'ud ra meriwayatkan;
Rasulullah tidur di atas tikat, kemudian ia bangun, sedang anyaman tikar itu telah berbekas di pinggangnya, maka kami berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana jika kami membuatkan kasur yang empuk untukmu?" Jawab Nabi SAW, "Untuk apa dunia ini bagiku. Aku di dunia ini bagaikan seorang kelana yang berkendaraan, bernaung di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya."
(HR At Tirmizi)
Murah senyum itu bukti kasih, dan sabar itu kuburan aib.
(Ali bin Abi Thalib)
Sembunyikan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.
(Al Ghazali)
Nabi muhammad saw bersabda;
"Sesungguhnya Allah itu tidk melihat pada bentuk rupamu dan hartamu, tetapi melihat kepada hati dan amalanmu."
(HR At Tabrani)
Janganlah anda berbicara kecuali yang perlu saja, sebab kalau anda mengucapkan satu kalimat berarti ia menguasai anda dan anda tidak bisa menguasainya.
(Imam Syafi'i)
Janganlah memandang kepada siapa yang bicara, tetapi perhatikanlah apa yang ia bicarakan.
(Ali bin Abi Thalib)
Syahwat akan menjadikan seorang raja sebagai hamba, sementara sabar akan menjadikan seorang hamba sebagai raja.
(Al Ghazali)
Kebajikan itu adalah suatu hal yang ringan, yakni menunjukkan muka yang berseri-seri dan mengucapkan kata-kata yang lemah lembut.
(Umar bin Khatab)
Waspadalah terhadap waktu luang karena ia lebih banyak membuka pintu maksiat daripada syukur.
(Umar bin Khatab)
Bergaullah dengan suatu manusia yang jika engkau mati mereka menangisi kepergianmu. Dan jika engkau masih hidup mereka merindukanmu.
(Ali bin Abi Thalib)
Jika engkau telah mengalahkan musuhmu maka jadikanlah sifat pemaaf kepadanya sebagai rasa syukur atas kemenangan terhadapnya.
(Ali bin Abi Thalib)
Tidak ada kegembiraan yang menyamai perjumpaan dengan sahabat, dan tidak ada kesedihan yang menyamai perpisahan dengan mereka.
(Imam Syafi'i)
Seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, berarti menyerah kepada keinginan musuhnya.
(Muhammad bin Ali Al Jawad)
Jangan menjadi gila karena cinta kepada seseorang, atau ingin menghancurkan seseorang karena kebencian.
(Umar bin Khatab)
Seseorang yang tidak sabar menghadapi teguran yang tidak menyenangkan, harus belajar lebih banyak mendengar.
(Ahnaf bin Qays)
ku share di sini yaaa
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi kecintaanmu."
(HR. At Tirmizi)
Mencintai dunia akan merusak akal, membisukan hati dari mendengarkan hikmah, dan menyebabkan siksaan yang pedih.
(Ali bin Abi Thalib)
Yakin kepada Allah merupakan harga dari segala sesuatu yang sangat mahal. Dan merupakan tangga bagi setiap tujuan yang tujuan yang tinggi dan agung
(Muhammad bin Ali Al Jawad)
Hadapilah dirimu sendiri sebelum kau berhadapan dengan kehidupan setelah ini; dan pertimbangkan dulu perbuatanmu sebelum dipertimbangkan di neraca keadilan Tuhan; dan persiapkanlah dirimu untuk pemunculan yang dahsyat di hadapan tuhan.
(umar bin Khatab)
Cari dan taklukkanlah dunia hanya untuk beribadah kepada Allah SWT
(Al Ghazali)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Berangkat pada pagi hari atau sore hari di jalan Allah (berjihad) adalah lebih baik dari dunia dan semua isinya."
(HR. Bukhari)
Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya.
(Ali bin Abi Thalib)
Nabi Muhammad saw bersabda;
Allah azza wajalla berfirman: "Aku dalam sangkaan hamba Ku kepada Ku dan Aku bersamanya jika ia mengingat Ku. Maka, jika ia mengingat Ku pada dirinya, Aku akan mengingatnya pada diri Ku. Dan jika ia mendekat pada Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat padanya sehasta, dan jika ia mendekat pada Ku sehasta, maka Aku akan mendekat padanya padanya sedepa, dan jika ia datang pada Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan cepat-cepat.
(HR Bukhari)
Jika seorang hamba tulus ikhlas berbuat amal kepada Allah, maka Allah akan menampakkan kepadanya perbuatan-perbuatan yang tercela, sehingga ia hanya akan sibuk dengan dosa-dosanya daripada mengurusi aib orang lain.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Apabila kalian menginginkan kasih sayang dari Allah SWT dan Rasul Nya maka sampaikanlah amanat, jujurlah dalam berbicara, dan berbuat baiklah kepada orang yang menjadi tetangga kalian."
(HR. Tabrani)
Ibadah orang merdeka itu tidak lain kecuali syukur kepada Allah, bukan karena takut atau menginginkan sesuatu.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad SAW berdoa:
"Aku berlindung dengan kebesaran Mu yang tidak ada tuhan kecuali Engkau yang tidak mati, sedangkan jin dan manusia mati."
(HR. Bukhari)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Perumpamaan orang yang ingat pada Tuhannya dengan orang yang tidak mengingat Nya seperti orang hidup dengan yang mati."
(HR Bukhari)
Menyembah Allah karena takut itu adalah ibadah hamba sahaya. Menyembah kepada Nya karena menginginkan sesuatu adalah ibadah para saudaga. Menyembah kepada Nya karena rasa syukur, itulah ibadah orang merdeka.
(Ali Zainal Abidin)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Jika berdiri bulu roma seorang hamba karena takut kepada Allah maka akan berguguran dosa-dosanya bagaikan gugurnya daun dari pohon yang telah kering
(HR. Abu Syaikh dan Baihaqi)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."
(HR. Muslim)
Dunia itu bangkai. Jika seseorang menginginkannya, hendaklah ia sabar bergaul dengan anjing-anjing.
(Ali bin Abi Thalib)
Dunia hanyalah cita-cita yang sirna, ajal yang berkurang dan jalan menuju akhirat, serta perjalanan menuju kematian.
(Umar bin Khatab)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Dunia itu terkutuk dan terkutuk pula semua yang di dalamnya, kecuali dzikrullah (mengingat Allah) dan hal-hal yang berkaitan dengannya serta orang alim atau orang yang belajar (ilmu agama)."
(HR At Tabrani)
Jika dunia mendatangi seseorang maka dia akan mencela kebaikan orang lain. Jika dunia meninggalkannya maka dia akan menghilangkan kebaikan-kebaikan dirinya.
(Ali bin Abi Thalib)
Nabi Muhammad saw bersabda;
"Kiamat semakin dekat, sedangkan keinginan manusia terhadap perkara duniawi semakin menjadi-jadi, dan terhadap Allah mereka semakin bertambah jauh."
(HR Hakim)
Dunia adalah fitnah dan ujian, kapan pun ia datang atau pergi. Jika datang, kamu harus bersyukur. Jika pergi, kamu harus bersabar.
(Al Ghazali)
Dunia adalah surga orang kafir. Sesuatu yang cepat (dunia) itu adalah cita-citanya, kematian adalah kesengsaraannya dan neraka adalah tujuannya.
(Ali bin Abi Thalib)
Abdullah bin Mas'ud ra meriwayatkan;
Rasulullah tidur di atas tikat, kemudian ia bangun, sedang anyaman tikar itu telah berbekas di pinggangnya, maka kami berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana jika kami membuatkan kasur yang empuk untukmu?" Jawab Nabi SAW, "Untuk apa dunia ini bagiku. Aku di dunia ini bagaikan seorang kelana yang berkendaraan, bernaung di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya."
(HR At Tirmizi)
Murah senyum itu bukti kasih, dan sabar itu kuburan aib.
(Ali bin Abi Thalib)
Sembunyikan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.
(Al Ghazali)
Nabi muhammad saw bersabda;
"Sesungguhnya Allah itu tidk melihat pada bentuk rupamu dan hartamu, tetapi melihat kepada hati dan amalanmu."
(HR At Tabrani)
Janganlah anda berbicara kecuali yang perlu saja, sebab kalau anda mengucapkan satu kalimat berarti ia menguasai anda dan anda tidak bisa menguasainya.
(Imam Syafi'i)
Janganlah memandang kepada siapa yang bicara, tetapi perhatikanlah apa yang ia bicarakan.
(Ali bin Abi Thalib)
Syahwat akan menjadikan seorang raja sebagai hamba, sementara sabar akan menjadikan seorang hamba sebagai raja.
(Al Ghazali)
Kebajikan itu adalah suatu hal yang ringan, yakni menunjukkan muka yang berseri-seri dan mengucapkan kata-kata yang lemah lembut.
(Umar bin Khatab)
Waspadalah terhadap waktu luang karena ia lebih banyak membuka pintu maksiat daripada syukur.
(Umar bin Khatab)
Bergaullah dengan suatu manusia yang jika engkau mati mereka menangisi kepergianmu. Dan jika engkau masih hidup mereka merindukanmu.
(Ali bin Abi Thalib)
Jika engkau telah mengalahkan musuhmu maka jadikanlah sifat pemaaf kepadanya sebagai rasa syukur atas kemenangan terhadapnya.
(Ali bin Abi Thalib)
Tidak ada kegembiraan yang menyamai perjumpaan dengan sahabat, dan tidak ada kesedihan yang menyamai perpisahan dengan mereka.
(Imam Syafi'i)
Seseorang yang mengikuti hawa nafsunya, berarti menyerah kepada keinginan musuhnya.
(Muhammad bin Ali Al Jawad)
Jangan menjadi gila karena cinta kepada seseorang, atau ingin menghancurkan seseorang karena kebencian.
(Umar bin Khatab)
Seseorang yang tidak sabar menghadapi teguran yang tidak menyenangkan, harus belajar lebih banyak mendengar.
(Ahnaf bin Qays)
BAGAIMANA CARA KITA BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA SEPENINGGALAN MEREKA..???
WAHAI SAUDARA/ I KU…
IBU KITA YANG TELAH MELAHIRKAN KITA….MENJAGA DAN MEMBESARKAN KITA HINGGA KITA MENJADI DEWASA SEPERTI SAAT INI….TETAPI..SAUDARAKU..MEREKA SATU SAAT AKAN MENINGGALKAN KITA..BAHKAN MUNGKIN ADA YG TELAH MENINGGALKAN KITA,
SUDAHKAH KITA BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA KITA WAHAI SAHABATKU….?... Read more
SAHABATKU…;
BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA TIDAK HANYA TERBATAS KETIKA MEREKA MASIH HIDUP, TETAPI TERUS BERLANJUT SAMPAI KETIKA MEREKA SUDAH MENINGGAL.
SEBAGAIMANA YG DIRIWAYATKAN OLEH MALIK BIN RA’BIA,”
“KETIKA KAMI TENGAH BERADA DI RUMAH RASULULLAH SAW, ADA SEORANG LAKI-LAKI DARI BANI SALMAH YG MENGAJUKAN PERTANYAAN KEPADANYA,
“WAHAI RASULULLAH, PERBUATAN APA YG BISA AKU LAKUKAN AGAR AKU BISA TERUS BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUAKU SETELAH KEMATIAN MEREKA?
RASULULLAH MENJAWAB;
DALAM SEBUAH HADITS YG DIRIWAYATKAN OLEH ABU DAWUD:
“ MELAKUKAN SHALAT UNTUK KEDUANYA, MEMOHON AMPUNAN UNTUK KEDUANYA, MELAKSANAKAN JANJI MEREKA YANG BELUM TERLAKSANAKAN, MENYAMBUNG TALI SILATUARAHMI YG TIDAK BISA TERSAMBUNG KECUALI MELALUI KEDUANYA, DAN MEMULIAKAN TEMAN KEDUANYA.”
SAUDARAKU….ADA JUGA SEORANG LAKI-LAKI YG BERTANYA KEPADA RASULULLAH,
“YA RASULULLAH, KEPADA SIAPAKAH AKU MESTI BERBAKTI..?”
RASULULLAH SAW MENJAWAB,” BERBAKTILAH KEPADA KEDUA ORANG TUAMU.”
DIA KEMUDIAN BERKATA,” TETAPI AKU TIDAK PUNYA ORANG TUA LAGI.”
MAKA RASULULLAH SAW PUN BERKATA,
“KALAU BEGITU, BERBAKTILAH KEPADA ANAKMU, KARENA SEBAGAIMANA KEDUA ORANG TUAMU PUNYA HAK YG HARUS KAMU TUNAIKAN, ANAKMU JUGA PUNYA HAK YG HARUS KAMU TUNAIKAN.”
JIKA KAMU TIDAK BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA KAMU, MAKA ANAK ANDA JUGA TIDAK AKAN BERBAKTI KEPADAMU.
YANG ARTINYA SAUDARAKU……TIDAK ADA KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN BAGI KAMU PADA ANAK KAMU.
BERKAITAN DENGAN HAL ITU WAHAI SAUDARAKU…..
RASULULLAH SAW BERSABDA..,
“ALLAH MERAHMATI ORANG TUA YG MEMBANTU ANAKNYA UNTUK BERBAKTI KEPADANYA."
ARTINYA..,TIDAK MENJADIKAN ANAKNYA MENJADI ORANG YG DURHAKA KEPADANYA, AKIBAT PERLAKUAN BURUKNYA KEPADA ANAKNYA…”
SESUNGGUHNYA WAHAI SAHABATKU… BALASAN YG KITA TERIMA SESUAI DENGAN PERLAKUAN KITA KEPADA ANAK KITA SENDIRI.
SAUDARAKU,,,AGAR ALLAH MEMBERKAHI KITA PADA ANAK-ANAK KITA, MAKA KITA JUGA HARUS BERBAKTI KEPADA ANAK-ANAK KITA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEREKA, YANG BERUPA NAFKAH, MEMBERIKAN HADIAH YG SAMA KEPADA MEREKA, MEMBERIKAN PERHATIAN DAN MEMBINA SERTA MENDIDIK MEREKA DENGAN BAIK,
RASULULLAH SAW BERSABDA DALAM SEBUAH HADIT RIWAYAT MUSLIM DARI ABU HURAIRAH,;
“DINAR YG KAMU INFAKKAN DI JALAN ALLAH, DINAR YG KAMU BAYARKAN UNTUK MEMERDEKAKAN SEORANG BUDAK, DINAR YG DISEDEKAHKAN UNTUK ORANG MISKIN, DAN DINAR YG KAMU KELUARKAN UNTUK MENAFKAHI KELUARGAMU, MAKA YG PALING BESAR PAHALANYA ADALAH DINAR YG KAMU KELUARKAN UNTUK MENAFKAHI KELUARGAMU.”
SAUDARAKU..BERBAKTI KEPADA ANAK-ANAK KITA DENGAN HANYA MEMBERIKAN HAK BERUPA NAFKAH DAN HADIAH YG SAMA TENTULAH TIDAK BEGITU SULIT..,
YANG SERING KITA LALAI SEBAGAI ORANGTUA ADALAH KITA JARANG MEMBERIKAN HAK ANAK KITA BERUPA PERHATIAN, DAN BIMBINGAN DENGAN BAIK.
NABI SAW JUGA BERSABDA:
”TAKUTLAH KEPADA ALLAH DAN BERBUATLAH ADILLAH DENGAN ANAK-ANAKMU.”
IBU-IBu YG DI SAYANGI ALLAH,
ANAK-ANAK HARUS DIDIDIK UNTUK MEMILIKI AKHLAK MULAI DAN PERILAKU YG LURUS. KARENA, PENDIDIKAN YG BAIK MEMBERIKAN HASIL DI DUNIA BERUPA BAKTI PADA KEDUA ORANG TUA, SEDANGKAN HASILNYA DI AKHIRAT ADALAH DOA DAN PERMOHONAN AMPUN MEREKA UNTUK KITA…DAN KEDUA HASIL INI BAIK DAN PENUH KEBERKAHAN
NABI SAW JUGA PERNAH BERSABDA,
“SEORANG HAMBA DI AKHIRAT DIANGKAT DERAJATNYA, MAKA DIA BERKATA,” WAHAI TUHANKU, MENGAPA DERAJATKU BISA NAIK?
MAKA ALLAH MENJAWAB, ” ITU ADALAH BERKAT DOA ANAKMU YG TERUS MEMOHON AMPUN UNTUKMU SETELAH KEMATIANMU.” [HR AHMAD,IBNU MAAJAH]
DALAM HADITS LAIN YG DIRIWAYATKAN OEH MUSLIM BERDASARKAN RIWAYAT ABU HURAIRAH,
RASULULLAH BERSABDA;
“JIKA SEORANG MANUSIA MATI, MAKA TERPUTUS SEMUA AMAL PERBUATANNYA, KECUALI TIGA HAL, YAITU SEDEKAH YG PAHALANYA TERUS MENGALIR, ILMU YANG DAPAT TERUS DIMANFATKAN, ATAU ANAK SHALEH YG TERUS MENDOAKANNYA.”
SAUDARAKU…KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN YG SEJATI TERLETAK PADA; BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, MEMELIHARA DENGAN BAIK ANAK-ANAK KITA DAN BERSIKAP ADIL TERHADAP MEREKA …
♥♥...(¯`v´¯)`·.¸.·´¸.·´... ¸.·´¨) ¸.·*¨)(¸.·´ (¸.·´ .·´¸¸.·¨¯`·. ♥♥♥♥
SEBAGAIMANA YG DIKATAKAN OLEH SEORANG PENYAIR……
♥♥...(¯`v´¯)`·.¸.·´¸.·´... ¸.·´¨) ¸.·*¨)(¸.·´ (¸.·´ .·´¸¸.·¨¯`·. ♥♥♥♥
PANDANGILAH BUMI DAN KATAKANLAH....
APA YG DAPAT KAMU LIHAT.
SEMUA INI ASALNYA DARI DUA ORANG IBU BAPAK.
JIKA ADA YANG BERTANYA KEPADAMU DARI MANA ASAL KEDUANYA.??
KATAKANLAH…
KEDUANYA BERASAL DARI DUA RAHMAT..
KEDUANYA KEHILANGAN SURGA DEMI KEBERADAAN KITA DI DUNIA.
KEDUANYA JUGA KEHILANGAN KENIKMATAN SURGA.
JIKA KITA MEMBUAT MEREKA MARAH....;
KITA MENJADI ORANG YANG DURHAKA…
DAN KITA AKAN HIDUP DENGAN TENANG..;
JIKA MEREKA MEMAAFKAN KITA.
SEKIRANYA…
SELAMA HIDUPKU AKU TIDAK PERNAH BERBUAT SALAH…..
KEPADA YANG TELAH MENCIPTAKAN KEDUANYA…,
MAKA PADA HARI KIAMAT NANTI…
KITA AKAN BERDIRI DI TEMPAT PENGHISABAN..
JUGA SEMUA UMAT PARA RASUL…,
KECUALI KEDUA ORANG TUA.
SEMOGA BERMANFAAT;
MUHAMMAD FENDI LEONG
IBU KITA YANG TELAH MELAHIRKAN KITA….MENJAGA DAN MEMBESARKAN KITA HINGGA KITA MENJADI DEWASA SEPERTI SAAT INI….TETAPI..SAUDARAKU..MEREKA SATU SAAT AKAN MENINGGALKAN KITA..BAHKAN MUNGKIN ADA YG TELAH MENINGGALKAN KITA,
SUDAHKAH KITA BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA KITA WAHAI SAHABATKU….?... Read more
SAHABATKU…;
BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA TIDAK HANYA TERBATAS KETIKA MEREKA MASIH HIDUP, TETAPI TERUS BERLANJUT SAMPAI KETIKA MEREKA SUDAH MENINGGAL.
SEBAGAIMANA YG DIRIWAYATKAN OLEH MALIK BIN RA’BIA,”
“KETIKA KAMI TENGAH BERADA DI RUMAH RASULULLAH SAW, ADA SEORANG LAKI-LAKI DARI BANI SALMAH YG MENGAJUKAN PERTANYAAN KEPADANYA,
“WAHAI RASULULLAH, PERBUATAN APA YG BISA AKU LAKUKAN AGAR AKU BISA TERUS BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUAKU SETELAH KEMATIAN MEREKA?
RASULULLAH MENJAWAB;
DALAM SEBUAH HADITS YG DIRIWAYATKAN OLEH ABU DAWUD:
“ MELAKUKAN SHALAT UNTUK KEDUANYA, MEMOHON AMPUNAN UNTUK KEDUANYA, MELAKSANAKAN JANJI MEREKA YANG BELUM TERLAKSANAKAN, MENYAMBUNG TALI SILATUARAHMI YG TIDAK BISA TERSAMBUNG KECUALI MELALUI KEDUANYA, DAN MEMULIAKAN TEMAN KEDUANYA.”
SAUDARAKU….ADA JUGA SEORANG LAKI-LAKI YG BERTANYA KEPADA RASULULLAH,
“YA RASULULLAH, KEPADA SIAPAKAH AKU MESTI BERBAKTI..?”
RASULULLAH SAW MENJAWAB,” BERBAKTILAH KEPADA KEDUA ORANG TUAMU.”
DIA KEMUDIAN BERKATA,” TETAPI AKU TIDAK PUNYA ORANG TUA LAGI.”
MAKA RASULULLAH SAW PUN BERKATA,
“KALAU BEGITU, BERBAKTILAH KEPADA ANAKMU, KARENA SEBAGAIMANA KEDUA ORANG TUAMU PUNYA HAK YG HARUS KAMU TUNAIKAN, ANAKMU JUGA PUNYA HAK YG HARUS KAMU TUNAIKAN.”
JIKA KAMU TIDAK BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANGTUA KAMU, MAKA ANAK ANDA JUGA TIDAK AKAN BERBAKTI KEPADAMU.
YANG ARTINYA SAUDARAKU……TIDAK ADA KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN BAGI KAMU PADA ANAK KAMU.
BERKAITAN DENGAN HAL ITU WAHAI SAUDARAKU…..
RASULULLAH SAW BERSABDA..,
“ALLAH MERAHMATI ORANG TUA YG MEMBANTU ANAKNYA UNTUK BERBAKTI KEPADANYA."
ARTINYA..,TIDAK MENJADIKAN ANAKNYA MENJADI ORANG YG DURHAKA KEPADANYA, AKIBAT PERLAKUAN BURUKNYA KEPADA ANAKNYA…”
SESUNGGUHNYA WAHAI SAHABATKU… BALASAN YG KITA TERIMA SESUAI DENGAN PERLAKUAN KITA KEPADA ANAK KITA SENDIRI.
SAUDARAKU,,,AGAR ALLAH MEMBERKAHI KITA PADA ANAK-ANAK KITA, MAKA KITA JUGA HARUS BERBAKTI KEPADA ANAK-ANAK KITA DENGAN MEMBERIKAN HAK MEREKA, YANG BERUPA NAFKAH, MEMBERIKAN HADIAH YG SAMA KEPADA MEREKA, MEMBERIKAN PERHATIAN DAN MEMBINA SERTA MENDIDIK MEREKA DENGAN BAIK,
RASULULLAH SAW BERSABDA DALAM SEBUAH HADIT RIWAYAT MUSLIM DARI ABU HURAIRAH,;
“DINAR YG KAMU INFAKKAN DI JALAN ALLAH, DINAR YG KAMU BAYARKAN UNTUK MEMERDEKAKAN SEORANG BUDAK, DINAR YG DISEDEKAHKAN UNTUK ORANG MISKIN, DAN DINAR YG KAMU KELUARKAN UNTUK MENAFKAHI KELUARGAMU, MAKA YG PALING BESAR PAHALANYA ADALAH DINAR YG KAMU KELUARKAN UNTUK MENAFKAHI KELUARGAMU.”
SAUDARAKU..BERBAKTI KEPADA ANAK-ANAK KITA DENGAN HANYA MEMBERIKAN HAK BERUPA NAFKAH DAN HADIAH YG SAMA TENTULAH TIDAK BEGITU SULIT..,
YANG SERING KITA LALAI SEBAGAI ORANGTUA ADALAH KITA JARANG MEMBERIKAN HAK ANAK KITA BERUPA PERHATIAN, DAN BIMBINGAN DENGAN BAIK.
NABI SAW JUGA BERSABDA:
”TAKUTLAH KEPADA ALLAH DAN BERBUATLAH ADILLAH DENGAN ANAK-ANAKMU.”
IBU-IBu YG DI SAYANGI ALLAH,
ANAK-ANAK HARUS DIDIDIK UNTUK MEMILIKI AKHLAK MULAI DAN PERILAKU YG LURUS. KARENA, PENDIDIKAN YG BAIK MEMBERIKAN HASIL DI DUNIA BERUPA BAKTI PADA KEDUA ORANG TUA, SEDANGKAN HASILNYA DI AKHIRAT ADALAH DOA DAN PERMOHONAN AMPUN MEREKA UNTUK KITA…DAN KEDUA HASIL INI BAIK DAN PENUH KEBERKAHAN
NABI SAW JUGA PERNAH BERSABDA,
“SEORANG HAMBA DI AKHIRAT DIANGKAT DERAJATNYA, MAKA DIA BERKATA,” WAHAI TUHANKU, MENGAPA DERAJATKU BISA NAIK?
MAKA ALLAH MENJAWAB, ” ITU ADALAH BERKAT DOA ANAKMU YG TERUS MEMOHON AMPUN UNTUKMU SETELAH KEMATIANMU.” [HR AHMAD,IBNU MAAJAH]
DALAM HADITS LAIN YG DIRIWAYATKAN OEH MUSLIM BERDASARKAN RIWAYAT ABU HURAIRAH,
RASULULLAH BERSABDA;
“JIKA SEORANG MANUSIA MATI, MAKA TERPUTUS SEMUA AMAL PERBUATANNYA, KECUALI TIGA HAL, YAITU SEDEKAH YG PAHALANYA TERUS MENGALIR, ILMU YANG DAPAT TERUS DIMANFATKAN, ATAU ANAK SHALEH YG TERUS MENDOAKANNYA.”
SAUDARAKU…KEBAIKAN DAN KEBERKAHAN YG SEJATI TERLETAK PADA; BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, MEMELIHARA DENGAN BAIK ANAK-ANAK KITA DAN BERSIKAP ADIL TERHADAP MEREKA …
♥♥...(¯`v´¯)`·.¸.·´¸.·´... ¸.·´¨) ¸.·*¨)(¸.·´ (¸.·´ .·´¸¸.·¨¯`·. ♥♥♥♥
SEBAGAIMANA YG DIKATAKAN OLEH SEORANG PENYAIR……
♥♥...(¯`v´¯)`·.¸.·´¸.·´... ¸.·´¨) ¸.·*¨)(¸.·´ (¸.·´ .·´¸¸.·¨¯`·. ♥♥♥♥
PANDANGILAH BUMI DAN KATAKANLAH....
APA YG DAPAT KAMU LIHAT.
SEMUA INI ASALNYA DARI DUA ORANG IBU BAPAK.
JIKA ADA YANG BERTANYA KEPADAMU DARI MANA ASAL KEDUANYA.??
KATAKANLAH…
KEDUANYA BERASAL DARI DUA RAHMAT..
KEDUANYA KEHILANGAN SURGA DEMI KEBERADAAN KITA DI DUNIA.
KEDUANYA JUGA KEHILANGAN KENIKMATAN SURGA.
JIKA KITA MEMBUAT MEREKA MARAH....;
KITA MENJADI ORANG YANG DURHAKA…
DAN KITA AKAN HIDUP DENGAN TENANG..;
JIKA MEREKA MEMAAFKAN KITA.
SEKIRANYA…
SELAMA HIDUPKU AKU TIDAK PERNAH BERBUAT SALAH…..
KEPADA YANG TELAH MENCIPTAKAN KEDUANYA…,
MAKA PADA HARI KIAMAT NANTI…
KITA AKAN BERDIRI DI TEMPAT PENGHISABAN..
JUGA SEMUA UMAT PARA RASUL…,
KECUALI KEDUA ORANG TUA.
SEMOGA BERMANFAAT;
MUHAMMAD FENDI LEONG
Sunnah yang Terabaikan Bagi Seseorang yang Mau Berqurban
Penulis : Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat).
Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat, bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti dalam hadits di atas (-nya – bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155, cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu (kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2786)
Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath
اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan 3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta’ala
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits)
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr bin Muslim.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam An-Nawawi, 7/155)
Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits)
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat).
Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.”
Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya.
Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat, bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir)
Penjelasan Hadits
(إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.”
atau:
فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ
”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.”
(وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban.
Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih.
(فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas kulitnya.
Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku.
Pada lafadz yang lain:
(فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya.
Dalam lafadz yang lain:
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih.
Sunnah yang Terabaikan
Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari.
Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya untuk mencukur rambut atau memotong kuku.
Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai perkara ini.”
Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.”
Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?!
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya.
Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti dalam hadits di atas (-nya – bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada hewan yang akan disembelih.
Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan qurban).”
Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri.
Hikmah yang Terkandung
Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka.
Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya.
Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155, cet. Darul Hadits)
Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban
1. Kesempurnaan sembelihan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu (kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2786)
Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal
عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ
Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495)
Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222)
3. Pahala bagi orang yang berqurban
فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”)
4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath
اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan 3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.”
Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta’ala
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath)
Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad)
Wallahu ta’ala a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id
Hukum Qurban Secara Kolektif
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman.
Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi[1], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.[2]
Ketentuan Qurban Kambing
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[4]
Ketentuan Qurban Sapi dan Unta
Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang)[5]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
“Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”[6]
Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.
Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790
Soal:
Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya. Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?
Jawab:
Yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[7]
Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?
Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.
Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.
Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055
Soal:
Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, “Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan “Sembelihlah unta”, itu keliru.” Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.
Jawab:
Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[8]
Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:
1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.
Solusi Dalam Iuran Qurban
Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan cara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, “Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9] Qurban sama halnya dengan aqiqah.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, “Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, “Aku telah mendengar firman Allah,
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”[10]
Catatan:
1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.
Bagaimana dengan Hadits “Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?
Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ‘Abdillah berikut,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
“Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ‘Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban.’”[11] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.
Sanggahan: Mengenai hadits “qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.
Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[12] Oleh karena, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).
Kesimpulan:
1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
Semoga pelajaran yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasikan dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, siang hari, 16 Dzulqo’dah 1430 H
Footnote:
[1] Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah.
[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[4] Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam.
[5] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)
[6] HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17].
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’
[8] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403
[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[11] HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[12] Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam.
Hewan yang digunakan untuk sembelihan qurban adalah unta, sapi[1], dan kambing. Bahkan para ulama berijma’ (bersepakat) tidak sah apabila seseorang melakukan sembelihan dengan selain binatang ternak tadi.[2]
Ketentuan Qurban Kambing
Seekor kambing hanya untuk qurban satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.”[3]
Asy Syaukani mengatakan, “(Dari berbagai perselisihan ulama yang ada), yang benar, qurban kambing boleh diniatkan untuk satu keluarga walaupun dalam keluarga tersebut ada 100 jiwa atau lebih.”[4]
Ketentuan Qurban Sapi dan Unta
Seekor sapi boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang (atau 7 orang)[5]. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
“Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Idul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor unta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”[6]
Begitu pula dari orang yang ikut urunan qurban sapi atau unta, masing-masing boleh meniatkan untuk dirinya dan keluarganya. Perhatikan fatwa Al Lajnah Ad Da-imah berikut.
Soal pertama dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790
Soal:
Bolehkah seorang muslim berqurban unta atau sapi untuk tujuh orang, lalu masing-masing meniatkan untuk orang tua, anak, kerabat, pengajar dan kaum muslimin lainnya. Apakah urunan tujuh orang tadi masing-masing diniatkan untuk satu orang saja (tanpa disertai lainnya) atau pahalanya boleh untuk yang lainnya?
Jawab:
Yang diajarkan, unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Wakil ketua: ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[7]
Bagaimana Hukum Qurban Secara Kolektif?
Sebagaimana ketentuan di atas, satu kambing hanya boleh untuk satu orang (dan boleh diniatkan untuk anggota keluarga), satu sapi untuk tujuh orang (termasuk anggota keluarganya), dan satu unta untuk sepuluh orang (termasuk anggota keluarganya), lalu bagaimana jika 1 kambing dijadikan qurban untuk 10 orang atau untuk satu sekolahan (yang memiliki murid ratusan orang) atau satu desa? Ada yang melakukan seperti ini dengan alasan dana yang begitu terbatas.
Sebagai jawabannya, alangkah baiknya kita perhatikan fatwa ulama yang terhimpun dalam Al Lajnah Ad Da-imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) mengenai hal ini.
Soal kedua dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 3055
Soal:
Ada seorang ayah yang meninggal dunia. Kemudian anaknya tersebut ingin berqurban untuk ayahnya. Namun ada yang menyarankan padanya, “Engkau tidak boleh menyembelih unta untuk qurban satu orang. Sebaiknya yang disembelih adalah satu ekor kambing. Karena unta lebih utama dari kambing. Jadi yang mengatakan “Sembelihlah unta”, itu keliru.” Karena apabila ingin berkurban dengan unta, maka harus dengan patungan bareng-bareng.
Jawab:
Boleh berkurban atas nama orang yang meninggal dunia, baik dengan satu kambing atau satu unta. Adapun orang yang mengatakan bahwa unta hanya boleh disembelih dengan patungan bareng-bareng, maka perkataan dia yang sebenarnya keliru. Akan tetapi, kambing tidak sah kecuali untuk satu orang dan shohibul qurban (orang yang berqurban) boleh meniatkan pahala qurban kambing tadi untuk anggota keluarganya. Adapun unta boleh untuk satu atau tujuh orang dengan bareng-bareng berqurban. Tujuh orang tadi nantinya boleh patungan dalam qurban satu unta. Sedangkan sapi, kasusnya sama dengan unta.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Yang menandatangai fatwa ini:
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud, ‘Abdullah bin Ghodyan
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz[8]
Dari penjelasan ini, maka kita bisa ambil beberapa pelajaran:
1. Seorang pelaku qurban dengan seekor kambing boleh mengatasnamakan qurbannya atas dirinya dan keluarganya.
2. Qurban dengan sapi atau unta boleh dipikul oleh tujuh orang.
3. Yang dimaksud kambing untuk satu orang, sapi dan unta untuk tujuh orang adalah dalam masalah orang yang menanggung pembiayaannya.
4. Tidak sah berqurban dengan seekor kambing secara kolektif/urunan lebih dari satu orang lalu diniatkan atas nama jama’ah, sekolah, RT atau desa. Kambing yang disembelih dengan cara seperti ini merupakan daging kambing biasa dan bukan daging qurban.
Solusi Dalam Iuran Qurban
Solusi yang bisa kami tawarkan untuk masalah iuran hewan qurban secara patungan adalah dengan cara arisan qurban. Jadi setiap tahun beberapa orang bisa bergantian untuk berqurban. Di antara alasan dibolehkan hal ini karena sebagian ulama membolehkan berutang ketika melakukan qurban.
Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tentang orang yang tidak mampu aqiqah, “Jika seseorang tidak mampu aqiqah, maka hendaknya ia mencari utangan dan berharap Allah akan menolong melunasinya. Karena seperti ini akan menghidupkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[9] Qurban sama halnya dengan aqiqah.
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Dulu Abu Hatim pernah mencari utangan dan beliau pun menggiring unta untuk disembelih. Lalu dikatakan padanya, “Apakah betul engkau mencari utangan dan telah menggiring unta untuk disembelih?” Abu Hatim menjawab, “Aku telah mendengar firman Allah,
لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
“Kamu akan memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Al Hajj: 36)”[10]
Catatan:
1. Yang mengikuti arisan tersebut hendaknya orang yang berkemampuan karena yang namanya arisan berarti berutang.
2. Harga kambing bisa berubah setiap tahunnya. Oleh karena itu, arisan pada tahun pertama lebih baik setorannya dilebihkan dari perkiraan harga kambing untuk tahun tersebut.
3. Ketika menyembelih tetap mengatasnamakan individu (satu orang untuk kambing atau tujuh orang untuk sapi dan unta) dan bukan mengatasnamakan jama’ah atau kelompok arisan.
Bagaimana dengan Hadits “Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berqurban”?
Sebagian orang ada yang beralasan benarnya qurban secara kolektif melebihi ketentuan syari’at yang dikemukakan di atas dengan alasan hadits Jabir bin ‘Abdillah berikut,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».
“Aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri shalat Idul Adha di tanah lapang. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, beliau turun dari mimbar kemudian beliau diserahkan satu ekor domba. Lalu beliau memotong dengan tangannya, lantas bersabda, ‘Bismillah, wallahu akbar. Ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang tidak ikut berqurban.’”[11] Mereka beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja niatkan untuk seluruh umatnya yang tidak berqurban, maka berarti kami boleh niatkan qurban untuk satu RT, satu sekolahan atau satu desa.
Sanggahan: Mengenai hadits “qurban siapa saja yang tidak ikut berqurban”, ini adalah khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Jadi, beliau diperbolehkan berkurban untuk seluruh umatnya (selain keluarganya). Sedangkan umatnya hanya diperbolehkan menyembelih qurban untuk dirinya dan keluarganya sebagaimana dijelaskan di muka.
Al Qodhi Abu Ishaq mengatakan, “Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini –wallahu a’lam- sebagaimana seseorang boleh berqurban untuk dirinya dan keluarganya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh berqurban atas nama seluruh kaum muslimin karena beliau adalah ayah mereka dan istri-istri beliau adalah ibu mereka.”[12] Oleh karena, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayah kaum muslimin, maka beliau diperbolehkan meniatkan qurban untuk dirinya dan keluarganya (yaitu seluruh kaum muslimin).
Kesimpulan:
1. Penyembelihan qurban untuk diri dan keluarga dibolehkan sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini berdasarkan amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
2. Penyembelihan qurban untuk diri sendiri dan untuk seluruh umat Islam selain keluarga hanyalah khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya, para sahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang ada mereka hanya menyembelih qurban untuk diri sendiri dan keluarga.
3. Sebagian kaum muslimin yang menyembelih qurban untuk satu sekolah atau untuk satu RT atau untuk satu desa adalah keliru, seperti ini tidak dilakukan oleh para salaf terdahulu.
Semoga pelajaran yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Dipublikasikan dari rumaysho.com
Pangukan, Sleman, siang hari, 16 Dzulqo’dah 1430 H
Footnote:
[1] Sebagian ulama menyamakan kerbau dengan sapi.
[2] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 2/369, Maktabah At Taufiqiyah.
[3] HR. Tirmidzi no. 1505, Ibnu Majah no. 3138. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 1142.
[4] Nailul Author, Asy Syaukani, 8/125, Mawqi’ Al Islam.
[5] Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa satu unta hanya dijadikan urunan tujuh orang untuk udh-hiyah karena diqiyaskan dengan unta pada al hadyu. Sedangkan Asy Syaukani mengatakan bahwa unta udh-hiyah boleh untuk sepuluh orang dan unta al hadyu untuk tujuh orang. (Shahih Fiqih Sunnah, 2/370)
[6] HR. Tirmidzi no. 905, Ibnu Majah no. 3131. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih, sebagaimana dalam Misykatul Mashobih 1469 [17].
[7] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/405, Darul Ifta’
[8] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 11/403
[9] Lihat Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/11011, Multaqo Ahlul Hadits.
[10] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Ibnu Katsir, 5/426, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[11] HR. Abu Daud no. 2810, At Tirmidzi no. 1521. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[12] Al Muntaqo Syarh Al Muwatho’, 3/113, Mawqi’ Al Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)