Minggu, 20 Desember 2009

Musuh Berwajah Ramah

Di saat ini, dunia tengah mengalami ancaman krisis moral secara global. Generasi muda yang tidak terbatas pada kaum muslimin saja, tengah dihadapkan pada penghancuran moral secara besar-besaran. Mulai dari narkoba, minuman keras, seks bebas dan penyelewengan terhadap norma agama lainnya. Hal ini dipicu dengan bantuan “si Musuh Berwajah Ramah” alias TV, yang telah berhasil meracuni otak-otak generasi muda.

Kehidupan glamour para selebriti yang menawarkan gaya hidup mewah dan perilaku seks bebas, telah menjadi idaman para remaja. Tak heran jika banyak para pemuda saat ini tergiur dengan dunia fatamorgana yang disajikan oleh televisi. Antrian panjangpun tak terelakkan ketika kontes artis dibuka. Mereka rela berdesak-desakkan sampai mengorbankan harga dirinya asalkan ia menjadi selebritis.

Televisi telah mengubah akal sehat penontonnya. Lihatlah hari ini, manusia memandang bahwa wanita yang memperlihatkan dada dan paha (baca: berpakaian, tapi telanjang) adalah trend masa kini dan ciri era modern. Sehingga banyak manusia yang mengikutinya dan menjadikannya suatu kebanggaan. Mereka telah berani menentang perintah Allah untuk menutup aurat dalam firman-Nya,

“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS. Al-A’raf: 25)

Padahal dengan memperlihatkan dada dan pahanya akan menghilangkan rasa malu dan harga dirinya sebagai seorang wanita muslimah. Tidakkah mereka membaca peringatan Allah - Subhana Wa Ta’ala- di dalam Al-Qur’an,

"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya." (QS. Al A’raf: 27)

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa diantara makar setan adalah menelenjangi anak Adam sebagaimana yang menimpa Adam dan Hawwa’. Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, "Allah berfirman demikian dalam rangka mengingatkan anak cucu Adam tentang bahaya setan dan bala tentaranya, dan dalam rangka menjelaskan kepada mereka tentang permusuhan Iblis yang telah lama kepada Bapak manusia –alaihis salam- berupa usaha Iblis dalam mengeluarkan Adam dari surga yang merupakan kampung kenikmatan menuju kampung kelelahan dan payah, dan Iblis juga menjadi penyebab tersingkapnya aurat Adam yang sebelumnya tertutup darinya. Hal ini tak akan terjadi, kecuali karena permusuhan yang kuat". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (3/420)]

Kaum muslimin pada hari ini bagaikan buih yang berada di tengah lautan. Mereka terombang-ambing oleh derasnya gelombang syahwat dan syubhat hingga mereka di hempaskan oleh setan hingga ke jurang kebinasaan yang abadi yaitu neraka.

Dengan bantuan televisi, setan membuat kaum muslimin terbiasa menyaksikan kemaksiatan sehingga mereka meremehkannya bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang indah dan baik. Anas bin malik -radhiyallahu anhu- berkata,

إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنْ الشَّعَرِ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمُوبِقَاتِ

“Sesungguhnya kalian wahai manusia, melakukan amalan-amalan yang di mata kalian, kalian anggap lebih halus daripada rambut (sangat remah dan ringan). Namun kami di masa Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- manganggap amalan tersebut sebagai hal yang membinasakan.” [HR. Al-Bukhari dalam Kitab Ar-Riqoq (6492)]

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata, "Diantara dampak buruk maksiat, seorang hamba senantiasa melakukan dosa sampai dosa itu akan remeh menurutnya, dan terasa kecil dalam hatinya. Itulah tanda kebinasaan, karena dosa jika semakin kecil dalam pandangan seorang hamba, maka akan semakin besar urusannya di sisi Allah." [Lihat Ad-Daa'u wad Dawaa' (hal. 93-94), cet. Dar Ibnul Jauziy]

Oleh karena itu, hendaknya seseorang kembali kepada Rabb-nya! Janganlah ia menunda-nunda taubatnya hingga ia tidak mampu lagi untuk melakukannya. Ibarat seorang pemuda yang ingin mencabut sebuah pohon yang masih kecil, maka hal itu tidaklah sulit baginya. Namun apabila ia mengulur-ulur waktu, maka pohon itu akan semakin membesar dan akarnya akan semakin kuat tertancap ke dalam bumi, dan ia pun akan semakin tua dan melemah sehingga ia tidak mampu lagi untuk mencabutnya.

Para pembaca budiman, setiap hari televisi menyajikan kepada kaum muslimin tontonan-tontonan yang erotis. Berbagai tayangan film, sinetron, telenovela, iklan, talk show dan klip lagu yang sarat dengan muatan pornografi telah menjadi menu setiap hari. Para wanita meliuk-liuk di depan kamera dengan mempertontonkan kemolekan wajah dan kelangsingan tubuhnya. Mereka menjual auratnya demi kehidupan fatamorgana. Akibatnya paha dan dada sudah menjadi pemandangan setiap hari di tengah kaum muslimin. Rasa malu telah hilang dan aurat pun menjadi sangat murah. Mereka bukan saja mencelakakan dirinya sendiri bahkan membuat fitnah di tengah kaum laki-laki dan menyeret kaumnya ke lumpur kehinaan. Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- telah memperingatkan tentang mereka,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ اْلبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ وَ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُئُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَ لاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَ إِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةٍ كَذَا وَ كَذَا

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga, padahal wanginya dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.” [HR. Muslim (2128)].

Kerusakan yang ditimbulkan oleh televisi untuk merusak akhlak dan meruntuhkan aqidah kaum muslimin begitu besar dan luas. Sebab, saat ini seolah-olah televisi dianggap sebagai sesuatu yang wajib. Hingga menjadi aib jika suatu rumah tidak memilikinya. Hampir tak satu rumahpun baik yang berada di kota maupun di pedesaan, melainkan televisi telah hadir dan memberikan pengaruhnya. Hal ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh islam untuk menghancurkan kaum muslimin. Mereka menyatakan, “Gelas (khamr) dan wanita cantik lebih banyak menghancurkan umat Muhammad daripada seribu senjata. Maka tenggelamkanlah mereka dalam cinta dan syahwat”. [Lihat Majalah Asy-Syari'ah]

Saluran-saluran televisi yang ada, seakan berlomba-lomba menyajikan tayangan dan gambar-gambar artis wanita. Oleh karenanya, kita melihat iklan-iklan yang ditayangkan, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan wanita dan yang ditampilkan adalah perempuan yang membuka auratnya. Namun, yang ditonjolkan bukanlah kualitas produknya, tapi justru kemolekan tubuh dan kecantikan wajah wanita itu. Wanita hanyalah dijadikan pemancing agar orang melirik produknya. Padahal perlu diketahui bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat yang tak boleh tampak di depan selain mahramnya. Jadi, rambut, dada, paha, kaki, dan seluruh tubuh wanita adalah aurat. Aurat bukan cuma kemaluan dan sekitarnya, tapi seluruh tubuh wanita!!

Ketika Ummu Salamah radiyallahu'anha bertanya kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang ujung bawah pakaian wanita, maka beliau bersabda, "Turunkan sejengkal". Lalu Ummu Salamah menjelaskan bahwa jika turun sejengkal saja, maka masih memungkinkan aurat wanita tersingkap. Maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ

"Kalau begitu turunkan satu depa (dua jengkal). Jangan melebihi satu depa." [HR. Abu Dawud (4119), At-Tirmidziy (1731), dan Ibnu Majah (3581). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Jilbab Al-Mar'ah (hal. 80)]

Hadits ini menunjukkan bahwa pakaian wanita (jilbab) adalah menutupi dari ujung kepala sampai ke tanah, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mewajibkan wanita di zaman itu untuk menurunkan ujung pakaiannya sebanyak satu-dua jengkal dari tengah betis sampai menutupi telapak kaki.

Seorang ulama Syafi’iyyah, Al-Hafizh Abu Bakr Al-Baihaqiy -rahimahullah- berkata, "Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya menutup kedua kaki wanita." [Lihat As-Sunan Al-Kubro (2/233) karya Al-Baihaqiy]

Pembaca budiman, televisi juga telah merusak kehidupan rumah tangga kaum muslimin. Pada hari ini, ibu-ibu sangat gandrung dengan sinetron dan telenovela yang seluruhnya menawarkan gaya hidup mewah dan modern. Dahulu ia bersikap lemah lembut, taat kepada suaminya, menundukkan pandangannya kepada suaminya (memuliakannya), memohon ridhanya jika suaminya marah dan bersyukur dengan apa yang ada pada suaminya. Namun, ketika televisi masuk ke rumahnya, TV tersebut mengajarkan kepadanya untuk durhaka kepada suaminya dan bermuka masam di hadapannya. Ia menuntut suaminya supaya menambah berbagai perabot yang ia lihat di sinetron-sinetron dan berbagai bentuk dan mode pakaian yang dipamerkan di televisi. Ia pun melihat di televisi laki-laki yang lebih tampan dan lebih menarik dari suaminya. Akhirnya mulai menertawakan suaminya dan menghinakannya, sehingga rusaklah kehidupan rumah tangganya.

Televisi juga telah melatih para pemuda tentang cara mencuri atau merampok melalui film-film yang mereka saksikan. Dahulu kejahatan masih sangat sedehana sehingga dalam tempo yang singkat dapat terungkap. Adapun sekarang, para penjahat mendapatkan cara dan modus kejahatan terbaru yang didapat dari televisi. Betapa banyak terjadi penculikan, perkosaan dan pembunuhan berhasil dengan sempurna berkat strategi yang jitu dan sistematis, serta mampu melemahkan petugas dan menyulitkan mereka untuk mengungkap otak pelaku kerjahatan itu.

Begitu banyaknya masalah yang ditimbulkan televisi, tapi kebanyakan manusia menutup mata darinya. Dosa yang ditimbulkan televisi begitu besar dan banyak. Dengan dalih berita dan informasi, semua dosa itu menjadi remeh, sirna dan termaafkan.

Fenomena ini sangat mengiris hati kaum mukminin. Hati yang dipenuhi dengan pengagungan kepada perintah dan larangan-larangan Allah -Subhana Wa Ta’ala-. Hanya kepada Allah mereka (kaum mukminin) mengadukan kesedihan ini. Sebab mereka takut akan ancaman Allah -Azza wa Jalla- di dalam Al-Qur’an ketika merajalelanya kemaksiatan,

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfal: 25)

Ketika Allah -Azza wa Jalla- menurunkan adzab-Nya pada suatu kaum, maka tidak ada yang bisa mencegahnya, walaupun orang-orang shalih berada di tengah mereka. Zainab bintu Jahsyin -radhiyallahu anha- berkata kepada Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-, ”Apakah kita akan dibinasakan sedangkan di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,

نَعَمْ, إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

“Ya, apabila telah banyak kejelekan.” [HR. Al-Bukhari (7059) dan Muslim (2880)].

Kita yang hidup di zaman ini , seharusnya lebih takut dan khawatir kepada ancaman Allah Yang Maha Keras Siksanya. Kita hidup di zaman yang sangat memprihatinkan, zaman yang penuh dengan fitnah (problema & ujian) dan banyaknya orang yang durhaka kepada Allah serta sangat sedikit orang-orang yang taat.

Hal ini bisa kita lihat ketika sebuah konser musik digelar, maka ribuan manusiapun berbondong-bondong ke sana, walaupun hujan lebat mengguyurnya. Namun kondisi itu berbalik 180 derajat ketika dalam perkara yang ma’ruf. Lihatlah rumah-rumah Allah kosong melompong ketika waktu sholat telah datang. Tidak ada yang menghadirinya melainkan hanya segilintir orang dari kaum muslimin. Itupun kebanyakannya kakek-kakek yang sudah hampir mati.

Wahai kaum muslimin, dahulu betapa banyak penduduk negeri yang berada dalam ketenangan dan keamanan. Mereka diberi nikmat dengan makmurnya kehidupan dan melimpahnya makanan. Kemudian Allah membinasakan dan menggantikan keadaan mereka. Allah -Subhana Wa Ta’ala- mengganti nikmat itu dengan kelaparan, rasa takut dan adzab yang pedih. Hal ini disebabkan karena kedurhakaan mereka kepada Allah -Subhana Wa Ta’ala . Dengarkan Allah mengisahkan perihal mereka,

"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat." (QS. An-Nahl: 112)

Ketahuilah, dosa dan maksiat termasuk sebab terbesar yang membinasakan umat-umat terdahulu. Hawa nafsu telah menggiring mereka ke jurang kebinasaan dan merasakan pedihnya siksa Allah Yang Maha Perkasa. Padahal mereka memiliki badan-badan yang lebih kuat dari kita, harta-harta yang melimpah dan tentara-tentara yang banyak. Namun semua itu, tidak mampu melindungi mereka dari murka Allah sedikitpun!! [Lihat Ad-Daa'u wa Ad-Dawaa' (hal.65-67) oleh Ibn Al-Qoyyim, tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauzy]

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

"Dan berapa banyaknya umat-umat yang telah kami binasakan sebelum mereka yang mereka itu lebih besar kekuatannya daripada mereka ini. Maka mereka (yang telah dibinasakan itu) telah pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah (mereka) mendapat tempat lari (dari kebinasaan)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (QS. Qoof: 36-37)

Bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang tulus) dan kembalilah kepada-Nya. Semoga Allah -Azza wa Jalla- meringankan bencana atas kita dan menahan siksa-Nya.

MENGGERAK2AN JARI TELUNJUK SAAT SHOLAT

Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam. Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya. Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini :


Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).


Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.


Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yand dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallah saw. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat. Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”. Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.


Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.


Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.


Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut. Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan/meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.



Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya. Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.


Alasan yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. tidak mengisyaratkan jemarinya sejak awal tasyahhud tetapi ketika mengucapkan syahadat, berupa beberapa dalil, antara lain: Hadits Wail bin Hujr, yang menyebutkan, “Dan Rasulallah saw. menjadikan (meletakkan) sikunya yang kanan di atas, lalu menggenggam dua jari dan beliau membuat suatu lingkaran, kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya”. Demikian menurut lafadh Al-Darimi. Sedangkan menurut lafadh Ibn Hibban dalam Shohihnya V:272, “Dan beliau (saw.) mengumpulkan ibu jari dengan jari tengah dan mengangkat jari yang didekatnya seraya berdo’a dengan (menunjukkan)nya”.


Sebagian orang menyangka bahwa tahliq (membuat lingkaran) itu maksudnya menggerak-gerakkan telunjuk untuk membuat semacam lingkaran. Padahal sebenarnya yang dimaksud tidak demikian. Membuat lingkaran itu maksudnya menjadikan jari tengah dan ibu jari semacam lingkaran, lalu telunjuk diisyaratkan.
Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:

Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda- an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.


Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.


Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.



Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.


Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.


Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk:

Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).


Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.


Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.


Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.


Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!


Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.


Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.

Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.


Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.


Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang. Wallahu a’lam (dikutip dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.187, diterjemahkan oleh Drs.Tarmana Ahmad Qosim dan dari buku Argumentasi ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman

wallahua'lam

Kapan Waktu yang tepat mengangkat Jari Telunjuk saat Sholat?

Pernah suatu ketika saya jumpai orang sholat ketika dalam tasyahhud, dia mengangkat Jari Telunjuknya persis bersamaan pada awal bacaan tahiyat (Attahiyyatul.... dst) , persis ketika baru saja duduk tasyahhud, atau mungkin dia sudah mengangkat Jari Telunjuk sebelum membaca tahiyyat.

Sebenarnya Kapan waktu yang tepat untuk mengangkat Jari Telunjuk ketika Sholat? berikut ini akan dijelaskan:

Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.



Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.



Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.



Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.



Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”.



Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.



Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.



Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.



Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.

wallahua'lam bisshowab

Siapa Bilang Tahlilan Tanpa Dalil

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Pendapat 4 Mazhab Utama dalam Masalah Sampainya bacaan Qur'an untuk mayit

1. Mazhab Al-Hanafiyah

MazhabAl-Hanifiyah menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan ibadah, baik berupa sedekah, bacaan Al-Quran atau lainnya adalah merupakan amal kebaikan yang menjadi haknya untuk mendapat pahala. Dan juga menjadi haknya pula bila dia menghadiahkan pahala itu untuk orang lain. Dan pahala itu akan sampai kepada yang dihadiahkan.

Dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar wa Rad Al-Muhtar jilid 2 halaman 243 disebutkan hadits yang menurut mereka shahih:

Orang yang mendatangi kuburan dan membaca surat Yasin, Allah SWT akan meringankan dosanya pada hari kiamat. Dan baginya pahala sejumlah orang yang meninggal di kuburan itu.

Dalam kitab Fathul Qadir disebutkan hadits berikut ini:


Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang lewat kuburan dan membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali, dan dia menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, dia akan diberikan balasannya sejumlah orang yang mati.



Dari Anas bin Malik radhiyallahu ''anhu bahwa nabi SAW ditanya oleh seseorang, "Ya Rasulullah, kami bersedekah untuk orang yang sudah meninggal, juga berhaji untuk mereka. Apakah semua itu akan sampai kepada mereka?" Beliau SAW menjawab, "Ya, sesungguhnya amal itu akan sampai kepada mereka. Mereka sangat berbahagia sebagaimana kalian bergembira bila menerima hadiah hidangan.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Secara pendapat resmi mazhab ini menyatakan tidak bisa menerima bila ada bacaan Al-Quran yang dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah mati. Setidaknya, tindakan itu merupakan hal yang dimakruhkan (karahiyah).

Dan itulah juga yang merupakan pendapat Al-Imam Malik rahimahumallah bahwa membacakan Al-Quran buat orang yang sudah wafat itu tidak ada dalam sunnah.

Namun Imam Al-Qarafi dari ulama kalangan mazhab ini agak berbeda dengan imam mazhabnya dan pendapat kebanyakan ulama di dalam mazhab itu. Demikian juga dengan para ulama mazhab ini yang belakangan, kebanyakan malah membenarkan adanya kirim-kiriman pahala kepada orang mati lewat bacaan Al-Quran.

Jadi intinya, masalah ini memang khilaf di kalangan ulama. Sebagian mengakui sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang telah meninggal, sedangkan sebagian lainnya tidak menerima hal itu. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang amat wajar. Tidak perlu dijadikan bahan permusuhan, apalagi untuk saling menjelekkan satu dengan lainnya.

3. MAzhab Asy-Syafi''i

Mazhab ini menyebukan bahwa semua ulamanya sepakat atas sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah wafat. Namun tentang pahala bacaan Al-Quran, memang ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan sampai dan sebagian mengatakan tidak sampai.

Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim jilid 7 halaman 95, bahwa Al-Imam Asy-Syafi''i sendiri termasuk mereka yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala bacaan ayat Al-Quran buat orang yang sudah wafat.

Mereka yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang mati dalam mazhab ini di antaranya adalah yang disebutkan dalam kitab Syarah Al-Minhaj.

jadi di madzhab Imam Syafi'i terjadi perbedaan pendapat tentang sampainya bacaan Qur'an dan Imam Qoffali (pengikut syafi'iyah) merupakan ulama' yg meyakini sampainya baca'an Qur'an untuk ahli kubur.


4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah rahimahullah, ulama pakar dari kalangan mazhab Hanabilah, dalam kitab Al-Mughni, halaman 758 menuliskan bahwa disunnahkan untuk membaca Al-Quran di kubur dan dihibahkan pahalanya.

Sedangkan menurut sebuah riwayat Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan bahwa hal itu bid''ah. Tapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kemudian beliau mengoreksi kembali pernyataannya.

Iman Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa mayat akan mendapat manfaat dari bacaan Al-Quran yang dihadiahkan oleh orang yang masih hidup kepada dirinya. Hal itu sebagaimana sampainya pahala ibadah maliyah seperti sedekah, waqaf dan lainnya.

Di dalam kitab fenomenal beliau, Majmu'' Fatawa jilid 24 halaman 315-366 disebukan: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.

DALIL2 BANTAHAN TAHLILAN:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”.
(QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Bahwa rasulullah s.a.w. bersabda:"jika seorang manusia mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”-HR.Muslim-
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk (dalil) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit.
Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Riwayat bukhori menyatakan:
عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
قَوْله : ( بَاب مَا يُكْرَه مِنْ النِّيَاحَة عَلَى الْمَيِّت )
قَالَ الزَّيْن بْن الْمُنِير : مَا مَوْصُولَة وَمِنْ لِبَيَانِ الْجِنْس فَالتَّقْدِير : الَّذِي يُكْرَه مِنْ جِنْس الْبُكَاء هُوَ النِّيَاحَة ، وَالْمُرَاد بِالْكَرَاهَةِ كَرَاهَة التَّحْرِيم لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ الْوَعِيد عَلَيْهِ اِنْتَهَى-فتح الباري كتاب الجنائز-
Dari Mughiroh ra ia berkata: Saya mendengar nabi SAW bersabda: "sesungguhnya berbohong atas namaku tidak seperti berbohong atas nama orang lain, barang siapa yg berbohong atas namaku (memalsukan hadits atau berhujjah dgnnya-pent-) dengan sengaja,maka terimalah tempatnya dineraka, (kemudian) saya mendengar nabi SAW bersabda (selanjutnya):"barang siapa yg melakukan niyahah, maka dia akan di'adzab dikarenakan niyahah yg dia lakukan"-HR.Bukhori,kitabuljanaiz-. Berkata AzZainu ibnulMunir:"'ma' dan 'man' maushul (pada hadits tsb) untuk menjelaskan (salah satu) jenis / macam (sesuatu), maka taqdirnya adalah:"yang dibenci dari jenis tangisan adalah Niyahah,dan yg dimaksud dengan karohah (dlm niyahah) adalah karohah (bermakna) pengharaman,disebabkan adanya (redaksi) 'Adzab pada kalimat sebelumnya,selesai. (Fathulbari, kitabuljanaiz)
Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG... Lihat Selengkapnya
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG-Haram- ).”

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).

SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926

REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk (dalil) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Menyikapi hadist ini, kiranya terbukti bahwa berdasarkan paparan dalil yang dikemukakan dalam artikel K.H. Nuril Huda,
1. (QS Al-Hasyr 59: 10)
2. (QS Muhammad 47: 19)
3. (HR Abu Dawud)
4. Penjelasan nasakh mansukh berdasarkan penjelasan shahabat Ibnu Abbas (dalam tafsir Ath-Thobari)
5. (QS. Ath-Thuur 21)
6. Kitab majmu' Fatawa Jilid 24 karya Syeikhul Islaam Al-Imam Ibnu Taimiah

Alfaqier menyimpulkan bahwa terbukti Tahlilan bukanlah suatu acara yang mengada-ada yang tanpa didasarkan pada dalil-dalil. Adapun dalil-dalil yang ada bersifat 'aam (umum) maka hal itu tidak menjadikan bahwa hal itu tertolak, lantaran dalil shorih tidak mewajibkan penggunaan dalil khoos (yang bersifat khusus/ letterluks) dan juga dalil shoorih tidak melarang penggunaan dalil yang bersifat 'aam.
Menyikapi Kaidah ushul Fiqh :

فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Menyikapi kaidah ushul fiqh ini, maka Alfaqier akan menjawabnya dengan kaidah ushul fiqh pula :

مَا لَا يُتِمُّ الوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَا وَاحِبُ

Apa yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu perkara yang wajib kecuali kesempurnaan tersebut tercapai lewat suatu hal, maka hal tersebut juga menjadi wajib.

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang serupa antara keduanya.

Oleh karena itu, dalam masalah Tahlilan, sepanjang ilmu yang ada di kepala Alfaqier, Tahlilan adalah suatu wadah tempat berkumpulnya sekumpulan orang untuk saling bersilaturahmi dan berdzikir serta berdo'a bersama dengan lantunan dzikir-dzikir dan ayat Qur'an yang kesemuanya bukanlah hasil karangan yang tidak ada dalilnya dari alqur'an atau hadist. Tahlilan hanyalah sebagai wadah, sedangkan prosesi ibadahnya adalah dzikir, bacaan qur'an, sedekah, dan silaturahmi yang terdapat didalamnya

Oleh karena itu, Alfaqier sependapat dengan pendapat banyak kalangan yang mengqiyaskan acara Tahlilan ini dengan Sekolah/ Madrasah dalam hal keduanya sama-sama tidak memiliki dalil shorih yang bersifat khoos (khusus).

Sepanjang pengetahuan Alfaqier, Belum ada ada dalil shorih yang berupa perintah secara khusus (dalil khoos) dalam bentuk fi'il 'amr atau setingkatnya prihal kewajiban membangun Sekolah/ madrasah. Yang ada hanyalah kewajiban bagi umat muslim (baik lelaki ataupun perempuan untuk menuntut ilmu). Begitu pula Tahlilan, walaupun tidak ada dalil shorih secara letterluks akan keberadaannya, namun perintah untuk berdzikir sebanyak-banyaknya dalam keadaan sendirian ataupun beramai-ramai banyak sekali tertulis di Qur'an dan hadist. Ditambah lagi dalil-dalil sebagaimana yang Alfaqier kedepankan berdasarkan artikel K.H Nuril Huda di postingan sebelumnya.
Menyikapi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Alfaqier hanya mempertanyakan tulisan yang di dalam kurung yakni "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)"

Apakah pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" merujuk pada syarah kitab min ashaabis Syafi'i (Kitab karangan ulama bermadzhab Syafi'i) atau dikutip dari sumber artikel yang ma'rojinya bukan dari ashhaabis Syafi'i

Alfaqier menganggap penting hal ini, sebab sepanjang Alfaqier membaca kitab-kitab Ashaabis Syafi'i, suatu amalan itu tidak serta merta dianggap istihsan hanya karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Alfaqier khawatir, pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" hanya upaya pendeskreditan salah satu qoul Imam Syafi'i oleh pihak yang bukan dari madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah


Sebab sepanjang pengetahuan Alfaqier, Imam syafi'i rohimallaahu ta'aala adalah seorang ulama salaf yang telah memklasifikasi perkara bid'ah (hal yang tidak dicontohkan rasulullah saw) menjadi 2 bagian, yakni bid'ah Mahmuudah (yang terpuji) dan bid'ah madzmuu'ah (yang tercela)

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ

Apabila penjelasan yang didalam kurung, yakni pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" adalah syarah dari pernyataan Imam Syafi' maka lantas mengapa Imam Syafi'i berani mengklasifikasikan hal-hal yang tidak dicontohkan Rasulullah saw (bid'ah) menjadi 2 bagian.

Sepanjang pemahaman al faqier, dikalangan Ashaabis Syafi'i tidak melarang bid'ah yang terpuji selama memiliki landasan berfikir yang sesuai dengan syari'at hukum fiqh Ahlussunnah wal Jama'ah (yakni : Qur'an, Hadist, Ijma' dan Qiyas)
Menyikapi pernyataan :

"Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit."

maka sebenarnya kajian ini tidak dalam, karena hanya mengutarakan qoul MasyHur (pendapat MasyHur) dari salah satu qoulnya imam Syafi'i, seharusnya apabila mengajak pembacanya ingin mengkaji lebih dalam, maka sepatutnya dikemukakan pula penjelasan apa itu definisi qoul masyHur berikut definisi-definisi qoul Adzhar yang menjadi padanan kata qoul MasyHur. berikut definisi qoul Qodiim, qoul jadiid, qoul mu'tamad dan sebagainya, agar tercapai pemahaman yang menyeluruh dan penarikan kesimpulan yang sempurna bagi orang awam yang membacanya. Sehingga dapat menghindari penulisnya dari fitnah akibat penulisan postingannya.

Berdasarkan penjelasan ulama min Ashaabis Syafi'i (dari golongan Imam Syafi'i) dal;am Kitan I'aanatuth Thoolibiena juz 3 (halaman 218-222)

Qoul masyHur adalah pendapat imam Syafi'i yang terdapat didalamnya khilaf yang tidak terlalu signifikan

padanan katanya adalah qoul AdzHar, yakni pendapat Imam Syafi'i yang terdapat didalamnya khilaf yang sangat signifikan

Baik qoul masyHur maupun qoul Adzhar terdapat khilaf didalamnya. Bermula qoul AdzHar, dikarenakan besarnya khilaf maka tidak dijadikan pegangan bagi ulama min Ash-haabis Syafi'i. Sedangkan qoul MasyHur, karena didalamnya mengandung khilaf (walaupun tidak terlalu signifikan) namun tetap saja tidak dijadikan dalil yang mu'tamad (dalil yang dijadikan pegangan dalam mengambil hukum oleh kalangan ulama min Ashaabis- Syafi'i.

Kalau memang kita mau memberikan informasi yang mendalam bagi pembaca, seharusnya dijelaskan pula bahwa qoul masyHur yang dikemukakan oleh imam Syafi'i prihal tidak sampainya bacaan qur'an dari orang yang masih hidup kepada yang sudah wafat, qoul MasyHur tersebut bukanlah Qoul yang mu'tamad (qoul yang dijadikan pegangan oleh ulama-ulama min Ashaabisy Syafi'i). Qoul MasyHuur adalah qoul yang dhlo'iif (lemah) di kalangan 'ulama pengikut Imam Syafi'i. Qoul dho'if bukanlah qoul yang mu'tamad (yang dijadikan pegangan) oleh JumHur 'ulama min Ash haabis Syafi'i.

Menurut penuturan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar halaman 140 : "Dalam hal sampainya bacaan Al Qur'an, Pendapat yang MasyHur dari Madzhab Syafi'i dan sekelompok 'ulama adalah tidak sampai. namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan juga ashhaab syafi'i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang paling baik adalah si pembaca menghaturkan do'a " Yaa Allah sampaikanlah bacaan ayat ini untuk si fulan..."

Tertulis pula dalam Al Majmu' jilid 15/ 122 : "Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj : " Dalam madzHab Syafi'i, menurut qoul yang MasyHur, pahala bacaan adalah tidak sampai. tapi menurut qoul yang mukhtar adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. dan seyogyanya memantapkan pendapat ini, karena dia adalah do'a. Maka jika boleh berdo'a untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendo'a, maka kebolehan berdo'a dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendo'a adalah lebih utama.

dengan demikian, terlihat bahwa dalam Madzhab Imam Syafi'i terdapat 2 pendapat tentang sampainya pahala bacaan :
1. Qoul MasyHur (pendapat berkategori dho'if/ lemah) menyatakanpahala bacaan adalah tidak sampai
2. Qoul Mukhtar (pendapat yang dipilih oleh kebanyakan ulama min Ash haabis Syafi'i) menyatakan sampainya pahala bacaan dari yang masih hidup kepada yang sudah mati.

Syeik zakaria al-Anshori dalam kitabnya fathul Wahhab Jilid II/ 19 menyatakan bahwa yang dikatakan qoul masHur dalam masalah ini adalah apabila AlQur'an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacan untuknya.

Mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan, syeikh sulaiman al-Jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamaal jilid 4/67
"Berkata syeikh Muhammad Ramli : sampai pahala bacaan kepada mayyit jika terdapat salah satu dari tiga perkara :
1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya
2. Berdo'a untuk si mayyit sesudah bacaan al-Qur'an, yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya
3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya"

Hal senada juga disampaikan oleh syeikh Ahmad bin Qosim al-Ubadi dalam Hasyiah Tuhfatul Muhtaj jilid VII/ 74
"Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendo'akan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca al-qur'an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasil lah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya.

Ini semua adalah penjelasan bagi qoul masyhur Imam Syafi'i prihal sampainya pahala bacaan qur'an kepada mayyit berdasarkan 'ulama-ulama bermadzhab Ahlussunnah wal jamaa'ah, khususnya dari kalangan Madzhab imam syafi'i itu sendiri, merekalah yang lebih memahami qoul 'ulama yang menjadi panutannya.
kalau ingin lebih mendalam, mari kita bahas pendapat di semua madzhab secara umum:

Pendapat 4 Mazhab Utama dalam Masalah Sampainya bacaan Qur'an untuk mayit

1. Mazhab Al-Hanafiyah

MazhabAl-Hanifiyah menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan ibadah, baik berupa sedekah, bacaan Al-Quran atau lainnya adalah merupakan amal kebaikan yang menjadi haknya untuk mendapat pahala. Dan juga menjadi haknya pula bila dia menghadiahkan pahala itu untuk orang lain. Dan pahala itu akan sampai kepada yang dihadiahkan.

Dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar wa Rad Al-Muhtar jilid 2 halaman 243 disebutkan hadits yang menurut mereka shahih:

Orang yang mendatangi kuburan dan membaca surat Yasin, Allah SWT akan meringankan dosanya pada hari kiamat. Dan baginya pahala sejumlah orang yang meninggal di kuburan itu.

Dalam kitab Fathul Qadir disebutkan hadits berikut ini:


Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang lewat kuburan dan membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali, dan dia menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, dia akan diberikan balasannya sejumlah orang yang mati.



Dari Anas bin Malik radhiyallahu ''anhu bahwa nabi SAW ditanya oleh seseorang, "Ya Rasulullah, kami bersedekah untuk orang yang sudah meninggal, juga berhaji untuk mereka. Apakah semua itu akan sampai kepada mereka?" Beliau SAW menjawab, "Ya, sesungguhnya amal itu akan sampai kepada mereka. Mereka sangat berbahagia sebagaimana kalian bergembira bila menerima hadiah hidangan.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Secara pendapat resmi mazhab ini menyatakan tidak bisa menerima bila ada bacaan Al-Quran yang dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah mati. Setidaknya, tindakan itu merupakan hal yang dimakruhkan (karahiyah).

Dan itulah juga yang merupakan pendapat Al-Imam Malik rahimahumallah bahwa membacakan Al-Quran buat orang yang sudah wafat itu tidak ada dalam sunnah.

Namun Imam Al-Qarafi dari ulama kalangan mazhab ini agak berbeda dengan imam mazhabnya dan pendapat kebanyakan ulama di dalam mazhab itu. Demikian juga dengan para ulama mazhab ini yang belakangan, kebanyakan malah membenarkan adanya kirim-kiriman pahala kepada orang mati lewat bacaan Al-Quran.

Jadi intinya, masalah ini memang khilaf di kalangan ulama. Sebagian mengakui sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang telah meninggal, sedangkan sebagian lainnya tidak menerima hal itu. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang amat wajar. Tidak perlu dijadikan bahan permusuhan, apalagi untuk saling menjelekkan satu dengan lainnya.

3. MAzhab Asy-Syafi''i

Mazhab ini menyebukan bahwa semua ulamanya sepakat atas sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah wafat. Namun tentang pahala bacaan Al-Quran, memang ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan sampai dan sebagian mengatakan tidak sampai.

Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim jilid 7 halaman 95, bahwa Al-Imam Asy-Syafi''i sendiri termasuk mereka yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala bacaan ayat Al-Quran buat orang yang sudah wafat.

Mereka yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang mati dalam mazhab ini di antaranya adalah yang disebutkan dalam kitab Syarah Al-Minhaj.

jadi di madzhab Imam Syafi'i terjadi perbedaan pendapat tentang sampainya bacaan Qur'an dan Imam Qoffali (pengikut syafi'iyah) merupakan ulama' yg meyakini sampainya baca'an Qur'an untuk ahli kubur.


4. Mazhab Al-Hanabilah

Ibnu Qudamah rahimahullah, ulama pakar dari kalangan mazhab Hanabilah, dalam kitab Al-Mughni, halaman 758 menuliskan bahwa disunnahkan untuk membaca Al-Quran di kubur dan dihibahkan pahalanya.

Sedangkan menurut sebuah riwayat Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan bahwa hal itu bid''ah. Tapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kemudian beliau mengoreksi kembali pernyataannya.

Iman Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa mayat akan mendapat manfaat dari bacaan Al-Quran yang dihadiahkan oleh orang yang masih hidup kepada dirinya. Hal itu sebagaimana sampainya pahala ibadah maliyah seperti sedekah, waqaf dan lainnya.

Di dalam kitab fenomenal beliau, Majmu'' Fatawa jilid 24 halaman 315-366 disebukan: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.

Terlihat jelas bahwa mayoritas 'ulama salaf mengakui sampainya pahala bacaan qur'an dari orang yang masih hidup kepada yang sudah mati.

sepatutnya bagi kita, berpegang pada pendapat JumHur (Mayoritas) 'ulama. sebagaimana pesan baginda Rasulullah saw bahwa ummat beliau tidak akan bersekutu dalam hal kesesatan.

Wallahu a'lam bis showaab...

KEUTAMAAN BERDZIKIR

Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُواْ لِي وَلاَ تَكْفُرُونِ

“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan pengampunan). Dan bersyukurlah kepada-Ku, serta jangan ingkar (pada nikmat-Ku)”.
(QS. Al-Baqarah: 152).

وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

“Hai, orang-orang yang beriman, berdzikirlah yang banyak kepada Allah (dengan menyebut namaNya)”. (QS. Al-Ahzaab: 42).

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهَُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, maka Allah me-nyediakan untuk mereka pengampunan dan pahala yang agung”. (QS. Al-Ahzaab: 35).

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut (pada siksaanNya), serta tidak mengeraskan suara, di pagi dan sore hari. Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raaf: 205).

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati. (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 11/208).

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ وَالْبَيْتِ الَّذِيْ لاَ يُذْكَرُ اللهُ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk dzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk dzikir, laksana orang hidup dengan yang mati”. (HR. Muslim 1/539).

((أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ))؟ قَالُوْا بَلَى.
قَالَ: ((ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى ))

“Maukah kamu, aku tunjukkan perbuatanmu yang terbaik, paling suci di sisi Rajamu (Allah), dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik bagimu dari infaq emas atau perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata: “Mau (wahai Rasulullah)!” Beliau bersabda: “Dzikir kepada Allah Yang Maha Tinggi”.
(HR. At-Tirmidzi 5/459, Ibnu Majah 2/1245.
Lihat pula Shahih Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/316)

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: ((أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ، وَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً))

Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rahmat) bila dia ingat Aku. Jika dia mengingatKu dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diriKu. Jika dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”.
(HR. Al-Bukhari 8/171 dan Muslim 4/2061. Lafazh hadits ini riwayat Al-Bukhari).

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ اْلإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ فَأَخْبِرْنِيْ بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ: ((لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ))

Dari Abdullah bin Busr radhiallaahu 'anhu, dia berkata: Bahwa ada seorang lelaki berkata: “Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya syari’at Islam telah banyak bagiku, oleh karena itu, beritahulah aku sesuatu buat pegangan”. Beliau bersabda: “Tidak hentinya lidahmu basah karena dzikir kepada Allah (lidahmu selalu mengucapkannya).”
(HR. At-Tirmidzi 5/458, Ibnu Majah 2/1246, lihat pula dalam Shahih At-Tirmidzi 3/139 dan Shahih Ibnu Majah 2/317)

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَ أَقُوْلُ: {الـم} حَرْفٌ؛ وَلَـكِنْ: أَلِفٌ حَرْفٌ، وَلاَمٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, akan mendapatkan satu kebaikan. Sedang satu kebaikan akan dilipatkan sepuluh semisalnya. Aku tidak berkata: Alif laam miim, satu huruf. Akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf.”
(HR. At-Tirmidzi 5/175. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 3/9 dan Shahih Jaami’ush Shaghiir 5/340)

وَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِي الصُّفَّةِ فَقَالَ: ((أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَغْدُوَ كُلَّ يَوْمٍ إِلَى بُطْحَانَ أَوْ إِلَى الْعَقِيْقِ فَيَأْتِيْ مِنْهُ بِنَاقَتَيْنِ كَوْمَاوَيْنِ فِيْ غَيْرِ اِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ )) فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ نُحِبُّ ذَلِكَ. قَالَ: ((أَفَلاَ يَغْدُوْ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَعْلَمَ، أَوْ يَقْرَأَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ، وَثَلاَثٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ اْلإِبِلِ)).

Dari Uqbah bin Amir radhiallaahu 'anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam keluar, sedang kami di serambi masjid (Madinah). Lalu beliau bersabda: “Siapakah di antara kamu yang senang berangkat pagi pada tiap hari ke Buthhan atau Al-Aqiq, lalu kembali dengan membawa dua unta yang besar punuknya, tanpa mengerjakan dosa atau memutus sanak?” Kami (yang hadir) berkata: “Ya kami senang, wahai Rasulullah!” Lalu beliau bersabda: “Apakah seseorang di antara kamu tidak berangkat pagi ke masjid, lalu memahami atau membaca dua ayat Al-Qur’an, hal itu lebih baik baginya dari pada dua unta. Dan (bila memahami atau membaca) tiga (ayat) akan lebih baik daripada memperoleh tiga (unta). Dan (bila memahami atau mengajar) empat ayat akan lebih baik baginya daripada memperoleh empat (unta), dan demikian dari seluruh bilangan unta.” (HR. Muslim 1/553)

مَنْ قَعَدَ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ، وَمَنِ اضْطَجَعَ مَضْجَعًا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ فِيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِ مِنَ اللهِ تِرَةٌ

“Barangsiapa yang duduk di suatu tempat, lalu tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, pastilah dia mendapatkan hukuman dari Allah dan barangsiapa yang berbaring dalam suatu tempat lalu tidak berdzikir kepada Allah, pastilah mendapatkan hukuman dari Allah.” (HR. Abu Dawud 4/264; Shahihul Jaami’ 5/342)

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى نَبِيِّهِمْ إِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةٌ، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

“Apabila suatu kaum duduk di majelis, lantas tidak berdzikir kepada Allah dan tidak membaca shalawat kepada Nabinya, pastilah ia menjadi kekurangan dan penyesalan mereka, maka jika Allah menghendaki bisa menyiksa mereka dan jika menghendaki mengampuni mereka.” (Shahih, At-Tirmidzi 3/140)

مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً

“Setiap kaum yang berdiri dari suatu majelis, yang mereka tidak berdzikir kepada Allah di dalamnya, maka mereka laksana berdiri dari bangkai keledai dan hal itu menjadi penyesalan mereka (di hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud 4/264, Ahmad 2/389 dan Shahihul Jami’ 5/176)

Ikhtiar dan Do'a

1.

Termasuk hal-hal yang dapat mendatangkan kesenangan dan menghilangkan kesedihan adalah "Berusaha menghilangkan faktor yang menyebabkan kesedihan tersebut serta berusaha mencari faktor yang dapat mendatangkan kesenangan yang diinginkan." Caranya yaitu melupakan musibah-musibah yang sudah berlalu dan tidak mungkin bisa diatasi. Juga harus memahami, menyibukkan pikiran dengan hal-hal tersebut adalah perbuatan sia-sia, tidak berguna, dan gila. Dengan demikian dia berusaha agar hatinya tidak lagi memikirkan hal-hal tersebut, berusaha menghilangkan kegelisahan hatinya kekurangan, perasaan takut atau lainnya dari kekhawatiran yang dia bayangkan pada masa depan. Maka dia memahami bahwa masa depan tidak bisa diketahui, termasuk di dalamnya masalah kebaikan, kejelekan, harapan-harapan dan musibah. Semuanya berada di Tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. Manusia tidak kuasa apa-apa kecuali berusaha mendapatkan kebaikan dan menolak kemudharatan.

Dengan demikian seorang hamba mengetahui, bila dia tidak gelisah memikirkan nasibnya yang akan datang, ber-tawakkal kepada Allah untuk memperbaiki nasibnya serta merasa tentram dengannya, maka hatinya akan tenang, kondisinya akan membaik dan akan hilang kesedihan dan kegelisahannya.

2.

Termasuk hal yang paling berguna untuk menyambut masa depan yang baik adalah: "Menggunakan do'a yang pernah dipanjatkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan urusan pokokku, perbaikilah duniaku yang di dalamnya terdapat kehidupanku, perbaikilah akhiratku yang ke sanalah tempat kembaliku. Jadikanlah kehidupan ini tambahan bagiku dalam setiap kebaikan dan (jadikanlah) kematian itu keterlepasan bagiku dari setiap keburukan." (HR. Muslim)

Begitu pula do'a beliau:
"Ya Allah, aku mengharapkan rahmatMu, maka janganlah Kau pasrahkan (urusan)ku pada diriku sendiri walau sekejap mata. Dan perbaikilah urusanku semuanya. Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Engkau." (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)

Bila seorang hamba memanjatkan do'a ini -untuk kebaikan agama dan dunianya pada masa yang akan datang- disertai hati yang hadir, niat yang benar dan memang berusaha untuk itu, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkan do'a, harapan dan apa yang dia usahakan. Berubahlah kesedihannya menjadi kebahagiaan dan kesenangan.

Dzikir, Ingat Nikmat, dan Melihat ke Bawah

1.

Termasuk faktor utama yang mendatangkan sikap lapang dada dan ketenangan adalah "Banyak dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala." Dzikir kepada Allah Subha-nahu wa Ta'ala itu memberikan pengaruh ajaib untuk mendapatkan sikap lapang dada dan ketenangan serta menghilangkan kesedihan dan musibah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Ingat, dengan dzikir kepada Allah hati akan menjadi tenang." (Ar-Ra'du: 28)
Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan memberikan pengaruh yang besar dalam menggapai bahagia. Karena dia mempunyai keistimewaan dan karena adanya harapan hamba untuk mendapatkan pahala dan balasan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

2.

Di antaranya pula adalah: "Ingat dan membicara-kan nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang tampak maupun yang tidak tampak." Dengan mengetahui dan membicarakannya niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menolak kesedihan yang ada dan mendorong hamba untuk selalu bersyukur. Syukur adalah sikap yang sangat mulia dan berkedudukan terpuji, bahkan walaupun dia berada dalam kondisi fakir, sakit dan berbagai macam ujian lainnya. Bila seorang hamba ingin membandingkan antara nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang banyaknya tidak dapat dihitung dengan jumlah musibah yang menimpa, tentu musibah itu tiada artinya.

Bahkan, bila ada musibah yang menimpa hamba lalu dia hadapi dengan kesabaran, rela dan sikap menerima, maka akan ringanlah bebannya. Sementara, harapannya mendapatkan pahala Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ibadahnya kepada Allah dengan menjalankan perintah bersabar dan rela, akan mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis. Manisnya pahala membuatnya lupa akan pahitnya sikap sabar.

3.

Termasuk faktor yang sangat mendukung dalam hal ini adalah "Mengikuti petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih." Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Lihatlah orang yang ada di bawah kalian dan janganlah kalian melihat orang yang di atas kalian. Sesungguhnya hal ini (lebih baik bagi kalian sehingga kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang diberikan kepada kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)

Bila seorang hamba meletakkan di depan matanya cara pandang yang mulia ini, dia akan melihat bahwa dirinya mengungguli sebagian besar orang dalam masalah kese-hatan dan rezkinya, bagaimana pun kondisi dia sebenar-nya. Dengan demikian akan hilanglah kegelisahan, kese-dihan dan musibahnya, dan bertambahlah perasaan se-nangnya serta harapannya untuk mendapatkan juga nik-mat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada orang-orang yang ada di atasnya.

Setiap kali seorang hamba merenungi nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala baik yang tampak maupun tidak tampak, urusan agama maupun duniawi, dia akan mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kepadanya banyak kebaikan dan mencegah berbagai bencana. Dan pasti, hal ini dapat menghilangkan kesedihan dan mendatangkan kebahagiaan serta kesenangan.

JANGAN TERGESA-TERGESA DALAM MENGHARAP TERKABULNYA DOA

Salah satu kesalahan yang dapat menghalangi terkabulnya do'a adalah ketergesa-gesaan seorang hamba. Ia menganggap do'anya lambat dikabulkan, lantas ia merasa jenuh dan letih, sehingga akhirnya meninggalkan do'a. Ini ibarat orang yang menabur benih atau menanam tanaman, kemudian ia menjjaga dan menyiraminya. Namun, karena merasa terlalu lama menunggu hasilnya, orang itu pun membiarkan dan mengabaikan tanaman tersebut.

Dalam Shahih al-Bukhari terdapat sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:

يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لمَ يَعْجَلْ ، يَقْوْلُ : دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ

“Do'a masing-masing kalian akan dikabulkan selama ia tidak tergesa-gesa; yaitu dengan berkata: ‘Saya sudah berdo'a, tetapi belum juga dikabulkan.’”

Di dalam Shahih Muslim masih dari Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda bersabda:

لاَ يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ ، مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! وَمَا اْلاِسْتِعْجَالُ ؟ قَالَ : يَقْوْلُ : قَدْ دَعَْوتُ وَقَدْ دَعَوْتُ ، فَلَمْ أَرَ يُسْتَجَابُ لِيْ ، فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

“Doa seorang hamba akan senantiasa terkabul selama ia tidak berdo'a untuk kemaksiatan atau untuk memutuskan silaturrahim, dan tidak tergesa-gesa.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk ketergesa-gesaan yang dimaksud?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab: “Hamba tadi berkata: ‘Aku telah berdoa, sungguh aku telah berdoa, namun Allah belum juga mengabulkan doaku. Ia merasa jenuh dan letih, lalu akhirnya meninggalkan doa.”

Penghalang Terkabulnya Do'a Kita
Berkata Ibnul Qayyim:

Sesungguhnya, do'a termasuk sebab yang paling kuat untuk mendapatkan keinginan dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Meskipun demikian, terkadang do'a tidak memberikan efek apa pun. Hal ini bisa terjadi dikarenakan do'a tersebut pada dasarnya memang lemah, misalnya doa yang tidak disukai Allah karena mengandung permusuhan, atau bisa jadi karena kelemahan hati orang yang berdo'a serta tidak adanya ketundukan kepada Allah. Mungkin juga hal itu disebabkan oleh sesuatu yang menghalangi terkabulnya do'a tersebut, seperti mengkonsumsi barang haram, berbuat kezhaliman, tertutupnya hati dengan kemaksiatan, serta kondisi jiwa yang terkuasai dan terkalahkan oleh kelalaian dan nafsu.

ADAB DAN SEBAB TERKABULNYA DO'A SEORANG HAMBA :

1. Ikhlas karena Allah semata. (QS. Al-Bayyinah: 5).
2. Mengawalinya dengan pujian dan sanjungan kepada Allah Ta'ala lalu diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan diakhiri dengannya.
3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do’a, serta yakin akan dikabulkan.
4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo’a, dan tidak terburu-buru.
5. Menghadirkan hati dalam do’a.
6. Memanjatkan do’a, baik dalam keadaan lapang maupun susah.
7. Tidak boleh berdo’a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah Ta'ala semata.
8. Tidak mendo’akan keburukan kepada keluarga, harta, anak dan diri sendiri.
Merendahkan suara ketika berdo’a, yaitu antara samar dan keras. (QS. Al-A’raaf: 55, 205).
9. Mengakui dosa yang telah diperbuat, lalu memohon ampunan atasnya, serta mengakui nikmat yang telah di-terima dan bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut.
10. Tidak membebani diri dalam membuat sajak dalam do’a.
11. Tadharru’ (merendahkan diri), khusyu’, raghbah (berharap
untuk dikabulkan) dan rahbah (rasa takut tidak dikabul-kan). (QS. Al-Anbiyaa’: 90).
12. Mengembalikan (hak orang lain) yang dizhalimi disertai dengan taubat.
13. Memanjatkan do’a tiga kali.
14. Menghadap kiblat.
15. Mengangkat kedua tangan dalam do’a.
16. Jika mungkin, berwudhu’ terlebih dahulu.
17. Tidak berlebih-lebihan dalam do’a.
18. Bertawassul kepada Allah dengan Asmaa’-ul Husna dan sifat-sifat-Nya yang Mahatinggi, atau dengan amal shalih yang pernah dikerjakannya sendiri atau dengan do’a seorang shalih yang masih hidup dan berada di hadapannya.
19. Makanan dan minuman yang dikonsumsi serta pakaian yang dikenakan harus berasal dari usaha yang halal.
20. Tidak berdo’a untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturahmi.
21. Menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
22. Harus menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran).
23. Jika dia hendak mendo’akan orang lain, hendaklah dia memulai dengan mendo’akan dirinya sendiri.

Sumber:
Buku DO’A & WIRID karya Yazid Abdul Qadir Jawas
hal. 89 - 98 cetakan IX/Oktober 2008
Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta.

Tentang perasaanku kepadamu..

mencintai kamu, bukan sekadar mengharap aku akan mendapat sesuatu dari dirimu.. CINTAI KAMU KARENA KAMU.. Bukan sekadar karena bening matamu yang kusuka yang menenggelamkanku dalam samudera rasa tak terbatas,,, Tetapi dengan penerimaan pada kompleksitas dan kerumitan dirimu, pada kekurangan dan ketidaksempurnaanmu...

Mencintaimu berarti bersedia tenggelam pada kedalaman dirimu, termasuk berdamai dengan masa lalumu, mendukung pilihan masa depanmu.. Karena di bawah sana, pada kegelapan dan ketakutanmu, pada kelemahan dan ketidakpastian hidupmu, aku LELAKI tak pernah ragu untuk memberi kekuatan dalam lemahmu, mengangkatmu ketika j...atuh, mendukung setiap mimpimu agar hidupmu dalam sebuah KEPASTIAN..

Tinggalah kamu di KERAJAAN CINTAku selamanya... Didalamnya penuh cinta.. Sebuah taman yang indah tempatmu bermain.. Tempat kamu merebahkan lelahmu..
Sebuah keindahan cinta tiada batas.. Masuklah KAMU KE DALAM AKU.. Dengan mengikuti arus pusaran cahaya cintaku yang tak pernah padam..

Kunyanyikan lagu cinta kepada kamu agar sudi membalas cintaku... Dan ketika kubernyanyi..Angin, sinar matahari, binatang, sungai, tumbuhan dan seluruh alam semesta menyanyikan syair lagu cinta yg sama ke kamu..Semesta pun bergema.. CINTAILAH AKU SEPENUH HATI..

Ketika orang selalu bilang TOO MUCH LOVE WILL KILL YOU... Biar aku sendiri yang bilang TOO MUCH LOVE WILL HEAL YOU.. Karena cinta yg membunuh itu dari mata,telinga,hidung,kulit,mulut tetapi dia hnya turun sebatas tenggorokan.. Dan cinta yg menyehatkan itu yg turun n masuk kedalam hati terdalam ato LUBB..

dan tetaplah kamu selalu temani aku... Karena aku LELAKI yang membutuhkan kamu sebagai obat dan penyejuku dg segala kamu... Karena bagiku bisa ADA dg kamu yang aq cintai dan berarti..Adalah KEBAHAGIAAN dan KESEMPURNAAN hidup tersendiri.. Sesungguhnya aku telah HILANG dan yang ada HANYA kamu..

sesungguhnya kalo aku cinta dan sayang sama kamu sepenuh hatiku..Bukan kamu yg beruntung dapetin aku.. Karena justru aku yang beruntung karena dapetin wanita seperti kamu yang telah mendapetkan lelaki yg beruntung seperti aku..

Kamu telah menyatu dengan aku.. Larut dalam darahku... Seirama dengan detak jantungku.. hingga menempati seluruh sel sel dalam tubuhku... Sejatinya Aku dan kamu adalah SATU..

Apa yang Harus Diucapkan Bila Ada Orang yang Memuji Kita ..?

Tips Memuji dan Dipuji dalam Islam

Di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian. Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam tiga bentuk:
* pujian yang diucapkan untuk menjilat
* pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka
* pujian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi élan positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri.

Padahal Allah Ta'ala mengingatkan dalam firmanNya:

فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)

Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi shallallaahu 'alaihi Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memberikan tiga kiat yang sangat menarik untuk diteladani ...

Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang.

Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menanggapinya dengan doa:

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ

“Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain.

Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita.
Oleh sebab itu, kiat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa:

وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَيَعْلَمُوْنَ

“Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)

Ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Ta'ala untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain.

Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam kemudian berdoa:

وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ

“Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari)

Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik.

Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji. Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, yaitu di antaranya:

Pertama, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka.

Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah radhiallaahu 'anhu)

Kedua, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas radhiallaahu 'anhu dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam tidak serta merta memujinya.

Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas radhiallaahu 'anhu:

اَللَّهُمَّ فَقِّّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)
Begitu pula, di saat Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam melihat ketekunan Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Ta'ala dan menjadikan Abu Hurairah radhiallaahu 'anhu sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menegurnya:

قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ

“Kamu telah memenggal leher temanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar radhiallaahu 'anhu).

Senada dengan hadits tersebut, Ali radhiallaahu 'anhu berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.”

Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang.

Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji.

DOA BILA DIPUJI ORANG LAIN
(apabila kita memang tidak berniat memamerkannya)

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ

وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَيَعْلَمُوْنَ

وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ

“Allaahumma laa tu-aakhidznii bimaa yaquuluun
waghfirlii maa laa ya’lamuun
(waj’alnii khairan mimmaa yazhunnuun)”

"Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan.
Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui.
(Dan jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka perkirakan)."

-- Riwayat Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 761.
Isnad hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 585.
Kalimat dalam kurung tambahan dari Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/228 dari jalan lain.

Utadz Abdullah Hakam Syah, Lc

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template