Ini adalah tulisan KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU
Saat ini, kerap terlontar dengan begitu entengnya dari kelompok-kelompok Muslim tertentu berupa kata-kata "syirik", "kafir", atau "bid'ah" . Kata-kata tersebut diayunkan kepada kelompok Muslim di luar mereka. Bahkan, hanya karena perbedaan furu'iyyah, bisa menyembur kata-kata tersebut. Ini fakta yang sudah terjadi di daerah-daerah yang kerap menimbulkan ketegangan fisik.
Ada keyakinan "laten" dan "manifes" yang dipegangi oleh mereka yang merasa paling benar. Padahal, bukankah menuduhkan kata-kata tersebut tidak segampang itu? Model sikap ini dikhawatirkan akan berpotensi pada bentuk radikalisme. Kita hidup di negeri yang serbamulti. Di negeri Arab saja yang cenderung "monolitik", muncul beragam aliran keagamaan, bahkan aliran diluar bingkai keagamaan, seperti sosialisme dan Marxisme. Ada apa sebenarnya dan bagaimana membaca kenyataan tersebut?
Menakar fikih Pengkajian kitab-kitab fikih
selama ini tampaknya hanya mendaras kembali kitab-kitab fikih klasik (al-fuqaha al-qudama). Artinya, di sini belum ada upaya untuk "membaca ulang" beberapa pandangan fikih terdahulu. Sebaliknya, hanya mereproduksi pandangan-pandangan fikih klasik dan tidak memproduksi pandangan-pandangan alternatif yang lebih mengacu pada upaya membangun peradaban (tamaddun). Selama ini, telah muncul beberapa pakar dari Timur Tengah, seperti Ali Jum'ah dan Jamaluddin Athiyah, Jamal al-Banna, Yusuf al-Qaradhawi, atau juga Muhammad Syahrur. Mereka melihat betapa pentingnya membaca ulang fikih klasik secara kritis dengan arah memperbarui fikih dan ushul fikih guna merespons problem kekinian dan melahirkan fikih peradaban.
Kecenderungan untuk memperbarui fikih terasa penting tatkala muncul kecenderungan pemahaman yang bersifat puritan dan radikal. Sejauh ini, banyak yang menjadikan fikih bukan sebagai metode (manhaj) untuk memahami doktrin keagamaan, melainkan sebagai dogma kaku. Di negeri kita, kesadaran untuk memperluas cakupan fikih dengan menjadikan sebagai metodologi dalam merumuskan masalah kontemporer, alhamdulillah, sudah bermunculan. Misalnya saja, muncul buku-buku seperti "Fikih Jurnalistik", "Fikih Lintas Agama", dan juga "Fikih Perlindungan Konsumen" yang ditulis oleh Soffa Ihsan. Ini pertanda lahirnya kesadaran untuk tidak hanya mempersempit ruang fikih dengan hanya berputar-putar pada soal-soal ibadah, halal-haram, bid'ah-syirik, atau babagan jihad.
Fikih menyimpan formulasi-formulasi ijtihadi yang masih berserakan dan bisa digali dalam rangka membaca kekinian. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fikih jangan disembunyikan dan lalu yang mengedepankan sosok fikih sebagai "tatapan mata elang", penebar kebencian dan kecurigaan terhadap sesama, baik seagama maupun tidak seagama. Kita jadi mafhum mengapa muncul beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fikih klasik, yaitu "syirik", "bid'ah", dan "kafir". Pertanyaannya, mengapa watak fikih klasik bisa seperti itu? Apakah Islam memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan konflik dan kekerasan? Inilah apa yang disebut sebagai dilema paradigma fikih yang merupakan pemandangan menyejarah dan senantiasa menghiasi pemikiran keagamaan kontemporer. Banyaknya kaum terpelajar Muslim di Tanah Air yang belajar ke Timur Tengah setidaknya menyebabkan pandangan keagamaan mereka arabis dan teosentris. Menurut Abid al-Jabiri, fikih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutup masa depan atau masa setelah fikih tersebut dikodifikasi, tetapi juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya (jabb al-islam ma qablahu). Hal itu terjadi karena fikih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis.
Fikih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan mazhab tertentu. Memang fikih dan ushul fikih merupakan khazanah luar biasa kebanggaan Muslim. Dulu Amir al-Mahdi, gubernur di Asia Tengah, mengirim surat kepada Imam Syafi'i yang isinya tentang kebingungan Amir al-Mahdi saat membaca Alquran dan hadis yang isinya tampak bertentangan. Untuk menjawab ini, Imam Syafi'i menyusun kitab Al-Risalah yang berisi kaidah-kaidah ushul fikih yang kemudian lahir ilmu fikih. Dari sini, ada penjelasan mengenai rukun shalat, yang kalau hanya membaca Alquran dan hadis, tidak akan ada penjelasannya secara perinci. Di sisi lain, formalisasi fikih yang awalnya bersifat kultural ini, pada akhirnya dijadikan "bahan bakar" untuk cakar-cakaran karena perbedaan mazhab serta saling berebut pengaruh. Ini menunjukkan adanya "pendulum peradaban" sebagaimana disebut Ibnu Khaldun sebagai "tarik ulur" yang membawa peradaban dari kemegahannya menuju kehancuran.
Fikih menjadi jumud dan beku, atau yang paling ekstrem, fikih hanya dijadikan ajang kontestasi untuk saling menyalahkan sesama Muslim. Disinilah perlunya mengembalikan fikih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif sehingga fikih lebih fokus memotret isu-isu peradaban... NEXT KOMENT :P
Rabu, 07 Maret 2012
Langganan:
Postingan (Atom)