Sabtu, 27 Oktober 2012

KHILAFAH DALAM PERSPEKTIF SYARI'AH

Oleh: Muh. Faishol Muzammil ( Ketua LBM PC NU Pati )



Apakah yang dimaksud Khilafah?



Khilafah secara etimologis mempunyai arti *pergantian*, dari kata
khalafa-yakhlufu. Khalifah adalah *orang yang mengganti orang lain dalam
mengemban sebuah tanggung jawab tertentu baik pergantian disebabkan karena
kematian yang diganti, kepergiannya, ketidakmampuannya atau karena
berdasarkan sebuah ketulusan niat penghormatan dari yang diganti kepada
yang mengganti .*



Sementara dalam terminologi Fiqh Siyasah Islam, Khilafah dapat disimpulkan
sebagai *upaya mengarahkan seluruh manusia atas dasar pandangan syariat
yang meliputi semua bidang kemaslahatan akhirat dan kemaslahatan dunia*.
Khilafah juga dapat disebut dengan imamah, sebuah istilah yang lebih
populer dalam konsep Syiah. Dan disebut imamah karena menyerupai imamah
dalam solat jamaah dimana makmum harus mengikuti imam. Jadi dalam teori
Fiqh Siyasah, *seorang khalifah atau imam bertugas sebagai pengganti Nabi
dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama*. Berpijak dari tujuan
inilah, mayoritas ulama mewajibkan *tegaknya sebuah
pemerintahan*sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi sesaat
setelah Nabi wafat .



Apakah Kitab Suci menerangkan Khilafah ini?



Dalam Kitab Suci al-Quran, kata khalifah dalam bentuk tunggal disebutkan
dua kali yang pertama dalam Surah Al-Baqarah: 30 dalam tema awal penciptaan
manusia.



وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, "Aku akan menciptkan di
bumi ini seorang khalifah"

Yang kedua dalam Surat Shad: 26 dalam kisah pengangkatan Nabi Dawud as.
sebagai khalifah..



يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ

"Wahai Dawud, Aku telah jadikan dirimu sebagai khalifah di bumi ini, maka
tegakkan hukum di tengah-tengah manusia dengan kebenaran, jangan ikuti hawa
nafsu sehingga menyesatkanmu dalam menempuh jalan Tuhanmu"



Lalu artinya?

Begini, dalam tafsir kata khalifah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 30
para ulama berbeda pendapat. Siapakah yang dimaksud sebagai "pengganti" itu
dan siapakah yang digantikannya? Ada tiga pendapat yang disimpulkan Imam
Mawardi (w. 450 H) .

Pertama, dinisbatkan kepada Ibnu Abbas ra., khalifah adalah *Nabi Adam dan
seluruh manusia, diciptakan untuk mengganti makhluk penghuni bumi sebelumnya
*.



Kedua, khalifah adalah *seluruh anak-cucu Nabi Adam as. Mereka diciptakan
dari generasi ke generasi, generasi pertama mengganti Nabi Adam as., yang
baru mengganti yang lama, berkesinambungan. Pendapat ini dilontarkan tokoh
dan ulama terkemuka periode tabi'in, Imam Hasan al-Bashri*.



Pendapat ketiga, pendapat Ibn Mas'ud ra. khalifah ditafisiri dengan *Nabi
Adam dan juga sebagian anak-cucunya, diciptakan Allah menjadi pengganti-Nya
dalam memberi keputusan hukum diantara manusia.*



Perbedaan penafsiran ini sebatas pada ayat di Surat al-Baqarah saja. Dan,
jika kita menilik keseluruhan ayat yang menggunakan kata turunan dari
khilafah, khususnya bentuk jamak khalaif fil-ardl dan kata khulafa dalam
QS. Al-An'am: 165 (khalaif al-ardl), QS. Fathir: 39, QS.Yunus: 14 (khalaif
fil-ardl) dan QS. an-Naml: 62 maka, paling tidak dapat ditarik kesimpulan
bahwa predikat khalifah *berlaku umum dan khusus*:



(1)* Khalifah berlaku umum untuk seluruh manusia*, pemahaman ini tidak
terbantah dari QS. Al-An'am: 165, QS. Fathir:39 (khalaif al-ardl) dan QS.
An-Naml: 62 (khulafa al-Ardl). Ibn Katsir menambahi bahwa ayat-ayat ini
senada dengan QS. Al-An'am: 133 (yastakhlifu), QS. Az-Zukhruf: 60
(yakhlufun) , QS. An-Naml: 62, QS. al-Baqarah: 30 dan QS. al-A'raf: 129
(wayastakhlifakum) .



(2) *Khalifah digunakan lebih khusus untuk menyebut sebuah generasi manusia
atau suatu bangsa tertentu*; sebagaimana lafad khalaif dalam QS. Yunus: 73.
menunjuk pengikut Nabi Nuh yang menggantikan penduduk bumi yang telah
musnah karena banjir ; lafad Khulafa dalam QS. al-A'raf: 69 menunjuk kaum
'Ad (kaum Nabi Hud) sebagai pengganti kaum Nabi Nuh; lafad yang sama di QS.
al-A'raf: 74 ditujukan kepada kaum Tsamud (kaum Nabi Shalih) sebagai
pengganti kaum 'Ad. Masing-masing bangsa mengganti bangsa sebelumnya bukan
dalam menduduki tempat atau kawasan tertentu, namun dalam memakmurkan bumi
dan menjadi yang terdepan dalam perkembangan peradaban.



(3) *Khalifah digunakan lebih khusus lagi, untuk individu yaitu Nabi Dawud
as*. dalam QS. Shad: 26 karena mengganti nabi sebelumnya .



Kesimpulannya, Khalifah, khulafa atau khalaif, dalam istilah Quran dapat
disimpulkan sebaga*i manusia atau kumpulan manusia yang mampu mengemban
amanah keadilan dalam memakmurkan bumi sehingga mereka menjadi manusia yang
patut menggantikan generasi sebelumnya sebagai umat yang maju peradabannya
dan menjadi poros dunia*. Dan umat ini dijanjikan Allah akan menjadi
khulafa di bumi jika mereka beriman dan bertindak laku kebaikan (shalihat)
(Q.S. an-Nur:55).



*Lalu apa persamaan antara khalifah dalam Kitab Suci dengan khalifah dalam
konsep Fiqh Siyasah?*



Dari paparan panjang di atas dapat disimpulkan bahwa *khalifah dalam Kitab
Suci tidak dapat difahami secara manthuq sebagai kepala pemerintahan
ataupun pimpinan dalam sebuah negara*. Antara khalifah dalam pengertian
al-Quran dengan khalifah dalam istilah ilmu politik Islam hanya
terdapat *kesepadanan
linguistik saja, karena sama-sama sebagai pengganti dalam kedudukan
tertentu.* untuk itulah Imam Thabari menyebutkan bahwa *kepala negara,
sulthon disebut khalifah karena dia mengganti kedudukan kepala negara
sebelumnya*

**

ومن ذلك قيل للسلطان الأعظم: خليفة، لأنه خلف الذي كان قبله، فقام بالأمر مقامه

Seperti Sahabat Abu Bakr disebut khalifah karena mengganti Nabi Muhammad
saw dalam memimpin umat Islam.



*Apakah Rasulullah pernah memperbincangkan tema khilafah?*



Ya. Banyak hadis, banyak riwayat,* Nabi menggunakan kata khalifah atau
khulafa untuk menunjuk para pemimpin pasca wafatnya*. Untuk itulah,
Sayyidina Abu Bakar ketika dibaiat menjadi pemimpin umat Islam pasca Nabi,
para sahabat menggelarinya Khalifaturrasul. Dan insya Allah, Secara lebih
detail, hadis-hadis tentang khilafah akan kita bicarakan nanti sembari
membaca secara kritis konsep khilafah dalam Fiqih Siyasah Klasik.



*Bagaimana sebenarnya Khilafah dalam Konsep Fiqh Siyasah Klasik? Apakah
Khilafah memang wajib ditegakkan?*



Manusia, sesuai sunnatullah, dengan keyakinan apapun pastilah hidup
berkelompok, bersama satu dengan yang lain, berbangsa dan bersuku, bukan
untuk saling bermusuhan dan saling benci. Sebab fitrah manusia dalam
membangun hubungannya antar sesama adalah fitrah kehidupan dengan penuh
damai dan dalam ikatan persaudaraan (QS. Al-Hujurat:13). Konflik antar suku
Arab yang tidak berkesudahan di masa pra Islam adalah akibat tatanan
masyarakat tribalisme yang oleh Nabi diakhiri dengan* prinsip persamaan
(al-musawah) dan persaudaraan (al-ukhuwwah), karena pada dasarnya setiap
manusia diciptakan dengan membawa harkat martabat kemuliaan (karamah*) yang
diberikan Sang Maha Pencipta (QS. Al-Isro':70). Dalam Haji Wada', Nabi
berpesan dalam khotbahnya yang sangat populer,



يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ
وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ
عَلَى عَرَبِيٍّ

*"Wahai manusia, Tuhan kalian adalah satu, Kakek kalian (Adam) juga satu.
Tidak ada keutamaan Arab atas non Arab dan juga sebaliknya".*



Berangkat dari dasar ini, Islam mempunyai prinsip-prinsip (kulliyyat) yang
menjadi pondasi pembangunan masyarakat manusia yang bersaudara.
*Prinsip-prinsip
itu diantaranya; prinsip keadilan ('adalah, qisth), kebebasan (hurriyyah),
persaudaraan (ikhaa'), jaminan sosial (takaful), martabat kemuliaan
(karamah), amanah dan musyawarah*. Prinsip keadilan adalah muara semua
prinsip diatas, karena keadilan menjadi tujuan akhir (hadaf) seluruh ajaran
Tuhan yang dibawa para utusan-Nya (QS. Al-Hadid:25). Keadilan dalam hal
apapun dan kepada siapapun meski kecendruangan dan keinginan batin menuntut
yang lain . Tidak terkecuali kepada orang-orang yang berbeda keyakinan,
al-Quran memerintahkan untuk bersikap adil dan berbuat kebaikan. (QS.
Al-Mumtahanah:8) bahkan keadilan kepada orang-orang yang memerangi kita
sekalipun (QS. Al-Baqarah: 190).



Lebih jauh, Syaikh Qardlawi menegaskan, *prinsip keadilan menuntut manusia
untuk selalu selalu berdiri bersama pihak yang paling mungkin diberlakukan
tidak adil (dhulm) dengan membela kaum miskin, masyarakat buruh, kaum
perempuan dan anak-anak dan warga non muslim minoritas agar dengan posisi
kita tersebut kita dapat menahan tangan-tangan ketidakadilan menimpa mereka*.
"Tolonglah saudara yang dizalimi dan yang menzalimi. Menolong mereka yang
menzalimi artinya, engkau menahan tangannya dari berbuat zalim.", demikian
tegas Nabi



*Jadi, Khilafah wajib ditegakkan untuk mengatur kehidupan agar orang yang
lemah dapat memperoleh hak-haknya?*



*Tepat. Pada titik inilah kewajiban mengangkat Khalifah dalam konsep Fiqh
Siyasah Klasik sebenarnya ditujukan. Sebuah kelompok masyarakat, sekecil
apapun jumlahnya berpotensi terjadi ketidakadilan tanpa adanya pemimpin*,
mereka yang kuat akan menindas yang lemah. Nabi sendiri memerintahkan
setiap rombongan musafir untuk mengangkat amir untuk mengatur urusan
bepergian mereka. .



Seorang pemimpin diangkat, karena diidealkan, pemimpin sebagaimana
diriwayatkan dalam sebuah hadis merupakan, *"bayangan Allah di bumi, tempat
berlindungnya orang-orang lemah dan orang-orang teraniaya untuk mendapatkan
hak-haknya" *.



Untuk tujuan inilah, pasca wafat Nabi, para sahabat bermusyawarah dan
berijma' untuk mengangkat pemimpin pengganti Nabi dan disusul mayoritas
ulama memberikan fatwa fardlu kifayah bagi *tegaknya kepemimpinan dalam
tata kehidupan manusia dan yang perlu ditegaskan disini adalah mengangkat
pemimpin bukan berarti hanya mengangkat seseorang dengan memberinya gelar
khalifah.*



Dalam konteks inilah, Nabi mengancam orang yang tidak peduli *persoalan
kepemimpinan dengan ancaman kematian ala jahiliyah (maitatan jahiliiyah) *".
Artinya, sebagaimana penjelasan Imam Nawawi , mati seperti kaum jahiliyah
yang hidup tak menentu karena tanpa pemimpin.



*Apakah berarti mengangkat presiden atau raja juga bisa disebut mengangkat
Khalifah?*



*Ya. Ajaran Islam dalam persoalan kepemimpinan tidak pernah berkait dengan
istilah-istilah, nama atau gelar-gelar, namun Islam berhubungan dengan
makna dan substansi*. Al-Ahkam manuthah bi ma'ani wa aushaf la bi asma' wa
asykal, demikian Ibnu Asyur memberi kaidah dalam Maqashid-nya. Artinya,
semisal jika kata khinzir atau babi dalam suatu komunitas digunakan untuk
nama jenis apel tertentu, tidaklah berarti apel tersebut menjadi haram.
Yang dimaksud khinzir dalam Kitab Suci adalah hewan yang telah difaham
secara baik oleh bangsa Arab, audiens atau mukhathab Kitab Suci ketika itu.



Jadi,* mereka para pemimpin dengan gelar-gelar apapun juga masuk dalam
kategori Khalifah.*



*Apakah mereka wajib ditaati?*



*Ya, tentu. Mereka juga disebut ulil amri yang diperintahkan Allah untuk
ditaati walau dengan ketaatan yang tentu terbatas, yaitu sejauh tidak dalam
hal maksiat kepada Allah*, la tha'ata li makhluq fi ma'shiyat al-Khaliq..
Karena yang dimaksud ulil amri dalam QS. An-Nisa: 59, tidaklah melulu harus
pemimpin yang bergelar khalifah, namun semua pemimpin yang mengatur dan
bertanggung jawab dalam urusan-urusan umat, termasuk presiden, raja,
sultan. Bahkan bukan hanya pemimpin politik (baca: penguasa militer dan
sumber-sumber keuangan negara) namun juga kepada pemimpin agama dan para
ulama.



*Dan pemimpin-pemimpin terbaik yang pernah lahir dalam sejarah umat adalah
Khulafa Rasyidun*; Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman dan
Sayyidina Ali radliyallahu anhum ajmain. Kepemimpinan mereka inilah yang
dimaksud Nabi sebagai "Khilafah" sebenar-benar khilafah yaitu khilafah yang
berdiri diatas minhaj an-nubuwwah.



*Maksudnya?*



Begini. Ada sebuah istilah yang kita banyak lupa, yaitu Khilafah
Nubuwwah. *Khilafah
Nubuwwah adalah istilah yang dipopulerkan Nabi*. Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan Sahabat Safinah ra. (salah satu pembantu di rumah Nabi), Nabi
bersabda:



خلافة النبوة ثلاثون سنة ، ثم يؤتي الله الملك أو ملكه من يشاء "

"Khilafah (dalam sebagian riwayat, "Khilafah Nubuwwah") setelahku
berlangsung selama 30 tahun setelah itu berubah menjadi kerajaan (mulk)" .



*Masa 30 tahun ini dihitung dimulai Khilafah Sayyidina Abu Bakr selama 2
tahun lebih lalu Sayyidina Umar bin Khattab selama 10 tahun lebih
berikutnya khilafah dipangku oleh Sayyidina Utsman selama hampir 12 tahun
dan diakhiri oleh khilafah Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib selama hampir 5
tahun tahun. atau diakhiri oleh Sayyidina Hasan bin 'Ali menurut sebagian
ulama.*



Jadi, jelas setelah 30 tahun dari wafat Nabi, selesailah masa Khilafah,
Khilafah sebenar-benar khilafah, yaitu khilafah yang berdiri di atas minhaj
nubuwwah. Walaupun para pemimpin umat pasca Khulafa Rasyidun bergelar
Khalifah, tepatnya setelah Sayyidina Hasan menyerahkan kekuasaan kepada
Sahabat Mu'awiyah, khilafah berangsur-angsur berubah menjadi al-mulk atau
kerajaan.



*Sesuai hadis ini, Khilafah telah berhenti dan tidak akan kembali?*



Wallahu A'lam. Namun, dalam sebuah hadis yang hanya diriwayatkan Imam Ahmad
dalam Musnad-nya disebutkan, Khilafah Nubuwwah akan kembali, yaitu setelah
habisnya masa kekuasaan raja-raja yang keras dan menyengsarakan rakyat
Sanad hadis Nabi ini sampai kepada Sahabat Hudzaifah bin Yaman.



Dan, dalam riwayat ini, salah seorang rawi yang juga menjadi sekretaris
Sahabat Nu'man bin Basyir ra., Habib bin Salim namanya, sempat menulis
hadis ini untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Habib dalam suratnya juga
menuliskan harapannya semoga kepemimpinan Umar inilah saat kembalinya
Khilafah Nubuwwah setelah berlangsungnya kerajaan yang zalim dan otoriter.
Membaca hadis ini, Khalifah Umar tercengang sekaligus bergembira.



Sekali lagi, *hadis ini membicarakan tentang Khilafah Nubuwwah. Sedang
khilafah "biasa" sebagaimana penjelasan Nabi tentu sangat berbilang.*



*Namun, apakah hadis ini shahih?*



Wallahu A'lam. Insya Allah, hadis ini memenuhi standar *hadis hasan*. Insya
Allah . Dan kesimpulan Habib bin Salim memang patut dibenarkan. Mengingat
sifat adil, amanah dan kezuhudan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah
sebagaimana sifat empat Khulafah Rasyidun, ia dikecualikan dari khulafa
Bani Umayyah lainnya yang oleh Ibn Taimiah, Hafidh Ibnu Hajar dan Ibnul
Qoyyim sudah tidak dimasukkan dalam kategori yang dipuji Nabi sebagai
kepemimpinan khilafah nubuwwah . *Kepemimpinan Bani Umayah menyerupai
raja-raja. Tidak seperti yang diajarkan Nabi. Walaupun mereka bergelar
khalifah namun sebenarnya mereka adalah raja-raja (al-muluk). Bahkan dalam
sebuah riwayat, ketika ditanya tentang Bani Umayyah yang mengklaim bahwa
mereka juga khulafa Nabi, Sahabat Safinah ra. berkomentar ketus, "Mereka
dusta. Meraka sebenarnya adalah raja seburuk-buruk raja."*



Dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz oleh para ulama disepakati sebagai
mujaddid pertama yang dijanjikan Nabi dari mujaddid-mujaddid yang akan
selalu muncul di awal seratus tahun setelah wafatnya.



*Lalu apa sebenarnya perbedaan Khilafah Nubuwwah dan al-Mulk?*



*Kepemimpinan mulk dimulai pemerintahan Sahabat Mu'awiyah*. Para ulama
seperti Hafidh Ibnu Hajar menyebutnya sebagai raja pertama dalam sejarah
Islam. Pada masanyalah kepemimipinan khilafah berangsur-angsur berubah
menjadi kerajaan. *Penjelasan sangat baik ditulis oleh Imam Ibn Khaldun
dalam Muqaddimah-nya. Dalam Muqaddimah, disebutkan bagaimana sikap meniru
raja-raja yang selalu tampil dengan kemewahan pakaian, kendaraan dan
iringan pengawal yang dilakukan Sahabat Mu'awiyah sejak menjadi Gubernur
Syam pernah diperingatkan Amirul Mukminin, Umar bin Khatthab ra.* Ketika
itu Umar berkunjung ke Syam yang Mu'awiyah menjadi gubernurnya. Sayyidina
Umar mendapati Sahabat Mu'awiyah berpakaian dan berkendaraan mewah, lalu Ia
bertanya, "Wahai Mu'awiyah, bukankah yang Kamu lakukan ini gaya raja-raja
Persi?" *Sayyidina Umar mengidentifikasi sikap bermewah-mewah sebagai sikap
raja-raja bukan Khalifah.*



Jadi secara personality,* Sahabat Mu'awiyah memang sejak mula mempunyai
karakter seperti raja-raja.*



*Lebih detail, apa yang menjadi ciri utama sistem khilafah ini?*



*Ciri utama yang paling menonjol dari Khilafah Nubuwwah ini adalah kultur
musyawarah (syuro) dalam pengambilan segala keputusan yang telah terbangun
dengan baik (QS. Alu Imran: 159, Asy-Syuro: 38).* Dimulai dari yang paling
dasar yaitu musyawarah dalam mengangkat pemimpin. *Sayyidina Umar
menegaskan, "Siapapun mengangkat pemimpin tanpa musyawarah, maka tidak ada
baiat".*



*Pemimpin yang dipilih secara syuro, ia dengan sepenuh sadar melihat
jabatan sebagai amanah pengabdian, kekuasaan menjadi alat untuk menegakkan
keadilan di tengah umat. Tidak ada hal yang perlu dipertahankan dan
diwariskan sebagaimana yang terjadi dalam bentuk kerajaan.*



Sementara, dalam pemilihan Khulafa Rasyidun, mekanisme musyawarah yang
dipraktekkan ada tiga; (1) pemilihan pemimpin tanpa kandidat seorang pun
dari pemimpin sebelumnya seperti saat memilih Sayyidina Abu Bakar dan
Sayyidina Ali, (2) pemilihan pemimpin dengan didahului penentuan kandidat
tunggal tanpa disertai nepotisme, sebagaimana Khalifah Abu Bakar
memunculkan nama Umar bin Khattab untuk dipilih, dan (3) pemilihan pemimpin
dari beberap kandidat seperti saat Sayyidina Utsman. Mekanisme ini,
sebagaimana tegas Imam Abu Zahroh (w. 1394 H/1974 M) dapat berubah sesuai
konsensus umat, *karena yang menjadi prinsip adalah musyawarah yang
partisipatif, bebas dan bertanggung jawab .*



*Khulafa Rasyidun selalu memimpin umat dengan tunggal. Artinya tidak ada
dualisme kepemimpinan ketika itu. Apakah kemudian dapat disimpulkan bahwa
khilafah harus tunggal dan global melewati batas-batas negara seperti saat
ini?*



Dalam sejarah awal umat Islam belum dikenal konstitusi tertulis yang
disepakati bersama sebagaimana sekarang yang berisi diantaranya tentang
kriteria Khalifah, mekanisme pemilihan, *syarat ahl al-hall wal-áqd,
lembaga yang yang berhak membaiat seorang Khalifah. Ketika itu, konsep
Baiat masih kabur.*



Baiat, sebagai sebuah bentuk kontrak politik langsung antara Khalifah dan
rakyat, ketika itu, dilakukan oleh elite masyarakat. Sebenarnya, seperti
dalam pengangkatan Sahabat Abu Bakar menjadi Khalifah, *tidak semua umat
Islam diseluruh penjuru wilayah datang ke Madinah membaiatnya. Hanya
sahabat-sahabat Muhajirin dan Anshar yang berada di Madinah saja yang
melakukan. Kelompok elit dan terbatas inilah yang kemudian disebut ahl
al-hall wal-'aqdi*, mewakili umat untuk mengangkat dan memberhentikan
pemimpin dari jabatannya.



*Jadi benar, pada masa Khulafa Rasyidun memang tidak pernah terjadi
dualisme kepemimpinan dan setiap Khalifah selalu mendapat dukungan
mayoritas umat Muslim ketika itu.* Namun selang beberapa belas tahun,
tepatnya pada masa Khalifah 'Ali Bin Abi Thalib, telah muncul bibit-bibit
disintegrasi. Karena perangkat politik ketika itu yang sangat sederhana,
belum ada lembaga perwakilan yang jelas sehingga pengangkatan atau baiat
yang dilakukan warga Madinah kepada Sayyidina Ali tidak diakui Sahabat
Mu'awiyah, Gubernur Syam ketika itu. Hingga akhirnya pecahlah perang
Shiffin yang berakhir dengan Majlis Tahkim lalu terjadilan pembunuhan
Sayyidina Ali. *Dan setelah itu, tercatat dalam beberapa bulan terdapat
dualisme Khalifah dalam umat Islam, antara Sayyidina Hasan bin Ali dan
Mu'awiyah.*



*Dalam konsep kepemimpinan Islam dan juga konsep apapun, selalu
mengandaikan terwujudnya kepemimpinan yang kuat. Loyalitas rakyat selalu
dapat terjaga.* Dalam sebuah baiat kepada pemimpin, misalnya, sebagaimana
dalam tradisi Arab, maka terjadilah kontrak politik, peneguhan komitemen
bersama antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Ketaatan atas baiat ini
adalah bentuk politis dari prinsip amanah (wafa' bil 'ahdi) yang ditunaikan
selama pemimpin menjalankan kepemimpinannya. Dan ketaatan ini, oleh Nabi,
tidak boleh dikhianati dengan gerakan-gerakan makar atau kudeta (baghy,
khuruj), penarikan baiat (iqalah 'an al-bai'ah) ataupun pembaiatan kepada
orang lain (dualisme bai'at). Nabi sendiri memerintahkan untuk memerangi
siapapun yang berkhianat atas komitmen ketaatan (bai'at) yang pernah
dilakukan, "fadlribu 'unuqa al-akhar"



*Namun, para fuqaha lebih khusus fuqaha sunni dalam menyusun teori suksesi
lebih memilih mempertimbangkan fakta dan realitas politik (de facto) dari
pada legalitas. Hal ini demi terjaganya stabilitas dan maslahat yang lebih
besar*. Buktinya, dalam konsep Fiqh Siyasah klasik, kekuasaan yang diraih
dengan jalan kudeta (khuruj, ghalabah) dibenarkan dan legitimate walaupun
tanpa adanya baiat. Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad baiat
tidaklah menjadi syarat , *realitas politiklah yang menjadi pertimbangan
utama.*



*Artinya, siapa yang menang maka dia secara de facto adalah penguasa yang
sah? Walau tanpa baiat dari rakyat yang dilakukan secara sukarela?*



*Ya. Para ulama bukan hanya melihat "butir-butir ideal", namun lebih
memandang realitas. Bahkan, Imam Haramain asy-Syafi'i (w. 478 H) dan Ustadz
Abu Ishaq al-Isfiraini asy-Syafi'i (w. 476 H) bependapat, pemisahan diri
sebuah wilayah dari pemerintahan pusat juga mendapat legitimasi jika
terdapat jarak yang sangat jauh antar keduanya. Sekali lagi fakta
politiklah yang menentukan .* Pemimpin baru ini lebih sering disebut
waliyyu al-mar adl-dlaruri bisy-sayukah, dan mendapat hak ketaataan
sebagaimana pemimpin sebelumnya.



Diceritakan dalam Shahih Muslim, putra Sahabat 'Amr bin 'Ash, Abdullah,
ketika di dekat Ka'bah menyampaikan hadis Nabi tentang celaan kepada para
pemeberontak, ditanya seseorang tentang kedudukan Sahabat Mu'awiyah ra.
yang merebut kekuasaan dari Sayyidina Ali. *Abdullah menjawab, "Taatilah
dalam hal ketaataan kepada Allah..!"*



*Namun, tampak sekali keadilan dan kebenaran dikesampingkan? Bagaimana
seseorang menjabat dengan cara ilegal dan inkonstitusional mendapat
ketataan sedemikian rupa?*



*Jika dilihat dari sudut pandang keadilan tentu. Namun fuqaha bukanlah
mereka yang hanya bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah. Namun
lebih dari itu, mengetahui ashlahul mashlahatain dan afsadatul mafsadatain,
paling maslahat dari dua hal yang maslahat dan paling mafsadah dari dua hal
yang mafsadah. Tentu, realitas tidak bisa ditabrak dengan mengorbankan
kemaslahatan yang lebih besar.*



Dan berangkat dari sejarah panjang inilah, *kenapa sekarang teoritikus
politik modern perlu mengoreksi ketaatan dalam konsep klasik yang tidak
mengenal periodisasi jabatan. Teori klasik mengharuskan ketaatan ditunaikan
hingga sang pemimpin berakhir masa kepemimpinannya baik karena meninggal,
mengundurkan diri atau bahkan dikudeta. Sementara dalam konstitusi negara
modern sebagai bentuk konsensus-konsensus politik umat (al-wa'du, al-'ahdu,
syuruth), pembatan masa jabatan adalah menjadi klausul penting, dan hal ini
dibenarkan karena tidak bertentangan dengan nash-nash qath'i.*



* Kesimpulan Akhir?*



Pesan kuat yang dapat ditangkap yaitu bahwa* setiap manusia tidaklah
diciptakan tanpa sejarah yang telah mendahuluinya.* Untuk itu manusia
dituntut untuk selalu dapat melihat sejarah dengan penglihatan positif
(i'tibar), memilahnya, menjadikannya pelajaran dan petunjuk untuk secara
optimis melakukan kerja-kerja pengembangaan kehidupan dan peradaban.
Sejarah buruk masa lalu, bangsa-bangsa dan kaum-kaum para Nabi yang disiksa
dan dibinasakan karena durhakanya -sebagaimana dapat dibaca dari banyak
tempat di Kitab Suci- adalah ibrah bagi ulil abshar yaitu orang-orang
mempunyai kecerdasan spritual (QS. Yusuf: 111). Sebagaimana sejak sebelum
penciptaan manusia, Allah telah menegaskan kepada para malaikat untuk tidak
melihat "masa lalu" bumi ini dengan pandangan pesimis (QS. Al-Baqarah:30),
mengingat –sebagaimana tafsiran Ibnu Katsir - banyak manusia pilihan akan
lahir dibumi. Mereka adalah para rasul, nabi, orang-orang jujur, salihun,
para syahid, para zahid, para ahli ibadah, auliya', ulama, para pecinta
Allah dan mereka para pengikut utusan-utusan Allah. Merekalah
manusia-manusia yang dapat mengemban tugas kekhalifahan di atas bumi dengan
sebaik-baiknya. Mereka adalah yang akan meraih janji-janji Allah,



"Allah menjanjikan kepada orang-orang dari kalian semua, yang beriman dan
berlaku dengan tindak laku kebaikan, sungguh Allah akan menjadikan mereka
pengganti(yastakhlif) (dari kaum sebelumnya, tafs. ) di bumi ini
sebagaimana Allah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai
pengganti-pengganti di bumi ini, sungguh Allah akan mengokohkan bagi mereka
agama mereka yang Allah telah memilihkan agama itu bagi mereka, dan sungguh
Allah akan memberi ganti kepada mereka rasa tentram pasca ketakutan yang
mereka rasakan. Mereka menyembahku tidak menyekutukanku. Siapapun dari
mereka bertindak kufur maka mereka adalah tergolong orang-orang fasik"
(Q.S. an-Nur:55)



*Siapapun yang dapat mengemban amanah Tuhan, Tuhan akan memberikan
kepadanya posisi penting (makanah) sebagai pusat peradaban manusia di bumi
dan dialah khalifah Tuhan yang sebenarnya*. Sebagaimana tercermin dalam
posisi umat pengikut Nabi Muhammad dibawah kepemimpinan Khulafa Rasyidun.
Mereka adalah contoh umat yang dapat mengemban amanat Tuhan dengan
sebaik-baiknya. Mereka - seperti kesimpulan Adl-Dlahhak juga oleh Imam
Malik - yang dimaksud sebagai orang-orang beriman yang meraih apa yang
dijanjikan Allah dalam ayat di atas :



Imam Qusyairi menjelaskan bahwa ayat ini juga memberi isyarat akan *posisi
para ulama sebagai penjaga ajaran agama, penuntun masyarakat. Merekalah
khalifah-khalifah yang memiliki posisi penting sebagai tiang-tiang agama
(da'aim al-millah, arkan al-Islam) dalam tugas manusia memakmurkan
bumi.*Mereka adalah para pengahafal Quran dan Hadis, sarjana-sarjana
fiqh,
ahli-ahli teologi dan para wali-wali Allah.



Lebih jauh, Ibn 'Asyur, mufassir terkemuka abad-14 H, penulis Tafisr
at-Tahrir wat-Tanwir menjelaskan,* kaum yang tidak berimanpun dapat menjadi
pusat peradaban di bumi, sebagaimana bangsa Eropa di era ini karena mereka
mampu melakukan tugas-tugas kekhalifahan di bumi seperti berbuat adil,
berlaku positif (ihsan), memenuhi hak-hak persaudaraan (itai dzil qurba),
mencegah tindak keji, mungkar dan kezaliman , menjauhi perilaku
eksploitatif atas milik orang lain, menjauhi sikap permusuhan dan mereka
menjalankan tata hubungan sesama manusia dengan saling menghormati dan
toleran*. Semua ini, berhasil mereka rumuskan dari kajian mereka yang terus
menerus di saat perang Salib atas peradaban Islam; sejarah Islam, tata
hukum Islam dan kehidupan Nabi. Sejarah kekalahan umat Islam saat ini
sebenarnya mengulang sejarah Bani Israil dahulu kala, walaupun mereka
beragama monotheis harus kalah oleh kaum Asy-Syuriyyun yang musyrik .



*MARAJI'*

. Raghib al-Ashfihani, faktor pemberian kehormatan inilah yang oleh Raghib

. Imam Ibnu Khaldun, op.cit. h. 151

. Imam Ibnu Khaldun (w. 808 H), Muqaddimah, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah,
2003), cet. ke-8, h. 150-151. Lihat juga Imam Mawardi (w. 450 H), al-Ahkam
as-Sulthaniah, (Beirut: Darul Kitab al-Arabi, tth.), ed. Khalid Abdul
Lathif As-Sab'i al-'Alami, h. 29.

. Imam Mawardi dalam Tafsir an-Nukat wal-'Uyun (CD Maktabah Syamilah)

. Secara lebih detail dan argumentatif penjelasan atas tafsiran Imam Hasan
al-Bashri ini dapat kita temukan dari Imam Razi dalam Tafsir Kabir-nya.
Tafsiran ini dikuatkan dengan QS. Al-An'am: 165, (dan ayat-ayat lain,
penj.) bahwa semua manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di bumi.
Disamping bahwa tafsiran ini sah dari sudut kajian tata bahasa, karena
khalifah masuk dalam kategori isim jama'. Dalam Disiplin ilmu Nahwu, isim
jama' dibedakan dengan jama'. Kategori pertama dapat digunakan untuk makna
tunggal ataupun plural, juga dapat buat laki-laki maupun perempuan.

. Ibnu Katsir dalam tafsirnya atas QS. Al-An'am: 165.

. Lihat misalnya Ibn 'Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?)

. Lihat misalnya Ibn 'Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wat-Tanwir (?) dalam
tafsir QS. al-A'raf: 74.

. Imam Mawardi juga menyebutkan tafsiran lain, Nabi Dawud menjadi khalifah
dari Allah artinya khilafah mempunyai arti kenabian. Masuk dalam penggunaan
lebih khusus ini adalah QS. Al-Baqarah: 30 yang oleh sebagian ulama,
khalifah adalah Nabi Adam as. Sementara itu, Imam Ibn Taimiah mencoba
menyingkap kesesuaian antara Nabi Adam dan Nabi Dawud sehingga disebut
khalifah. Menurutnya, keduanya sama-sama mendapat cobaan dari Allah dengan
melakukan kesalahan dan kemudian menempuh tobat yang sungguh-sungguh hingga
meraih ketinggian derajat. Lihat Majmu' Fatawa, 9/198.

. Imam Thabari, Jami'ul Bayan,

. Untuk itulah, dalam keluarga, suami berpoligami tetap harus berbuat adil
dalam urusan-urusan lahiriah meskipun perasaan hati dengan masing-masing
istri tidak mungkin disamakan (QS. An-Nisa:3 dan 129).

. Dr. Yusuf Qaradawi dalam salah satu bukunya yang dirilis dalam
www.qaradawi.com. Qaradawi juga membagi wilayah keadilan menjadi tiga; (1)
keadilan hukum dimana semua manusia dalam posisi sama di depan hukum, (2)
keadilan sosial, berhubungan dengan kesamaan hak dalam pemanfaatan
sumber-sumber ekonomi dan hak-hak dasar manusia seperti pendidikan dan
lapangan kerja (QS: al-Hasyr: 7) , (3) Keadilan negara yang meliputi
persoalan hubungan antar negara dalam kondisi damai atau perang.

. Hadis perintah mengangkat pemimpin dalam bepergian dikutip Imam Nawawi
dalam Riyadl ash-Shalihin dari Riwayat Imam Abu Dawud. Imam Nawawi
menghukumi hasan.

. Syaikh al-Albani memasukkanya dalam Silsilah al-Ahadits adl-Dlaifah, no.
hadis: 1663 sementara Imam Ibnu Taimiyah menyebutkan hadis yang semakna
dengan hadis diatas dengan menghukuminya sahih. Lihat Majmu' Fatawa, 9/198.

. Imam Nawawi, Syarh Muslim no. hadis: 3444.

. Lihat misalnya Imam Ibnu Katsir dan Syaikh Ibnu 'Asyur dalam tafsirnya.

. Lihat al-Albani as-Silsilah ash-Shahihah (?) hadis no.459 dengan sumber
periwayatan dari Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Hibban, Hakim, Imam Ahmad, dll
Hadis ini sempat digugat beberapa ulama dari aspek sanad dan matannya,
diantaranya Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah dan Ibnul 'Arabi dalam
al-'Awashim. Namun Syaikh al-Bani menjawab semua krirtik keduanya.

. Banyak sumber sejarah memberikan informasi lebih detail dengan mencatat
hitungan hari sisa namun informasi mereka berbeda-beda. Ketidakcocokan satu
dengan yang lain ini sangat wajar karena keterbatasan adminsitrasi tata
pemerintahan ketika itu. Lihat al-Albani dalam Silsilah Sahihah, Muhammad
al-Khudlari Bik dalam Itmamul Wafa, h. 61.

. Lihat Imam Ahmad dalam Musnad no. 17680 dan berikut terjemahan aslinya
:"Berlangsung masa kenabian -demikian kehendak Allah berlangsung-. Lalu
Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya- dan
berlangsunglah masa khilafah sesuai manhaj kenabian -demikian kehendak
Allah berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya
berkehendak menghilangkannya-. Lalu khilafah beralih menjadi kerajaan yang
sangat dhalim (mulkan 'adldlan) kepada rakyatnya -demikian kehendak Allah
berlangsung-, lalu Allah menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak
menghilangkannya-. Lalu beralih menjadi kerajaaan yang sangat otoriter
(mulkan jabriyyah) -demikian kehendak Allah berlangsung-, lalu Allah
menghilangkannya -jika pada saatnya berkehendak menghilangkannya-. Lalu
beralih menjadi khilfah sesuai manhaj kenabian" lalu Nabi diam.

. Imam Ahamd meriwayatkan langsung dari Abu Dawud at-Thayalisi, mendengar
dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi, mendengar langsung dari Habib bin Salim,
mendengar langsung dari Sahabat Nu'man bin Basyir yang ketika itu mendengar
hadis ini dari Sahabat Hudzaifah. Ath-Thayalisi, adalah imam dan penulis
Musnad. Al-Wasithi, oleh Ibn Hibban dan at-Thayalisi sendiri disebut
sebagai orang tsiqah (lihat Ta'jil al-Manfa'ah dan Dalail an-Nubuwwah karya
Imam Baihaqi). Dan Habib menurut kesimpulan Ibn Hajar adalah la ba'sa bihi
(lihat Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar al-'Asqalani).

. Ibnu Hajar al-'Asqalani, Fath al-Bari (Damaskus: Makatabah Darul Faiha',
2000), cet. Ke-3.

. Ibnul Qoyyim dalam syarahnya atas Sunan Abu Dawud (?)

. Lihat misalnya Imam Thabari dalam Tarikhnya (?)

. Imam Abu Zaharoh, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 81-83.

. Imam Muslim, Shahih Muslim, no. hadis: 3431.

. Imam Abu Zahroh, op. cit. hal. 85.

. Pendapat ini, sebagaimana informasi Imam Nawawi dalam Syarh Muslim, no.
hadis: 3431 dilontarkan Imam Haramain dalam kitabnya al-Irsyad fi Ilm
al-Kalam. Imam Haramain menyebutkan masalah ini tidak termasuk qathiyyat,
namun Imam Nawawi membantahnya. Sementara Imam Ibnu Katsir (op.cit. juz.1,
h. 231) menuturkan bahwa Imam Haramain menceritakan pendapat Imam Abu Ishaq
dalam masalah ini dan ia sendiri belum menentukan pendapat secara pasti.
Sementara Ibnu Katsir, tampak menerima pendapat ini.

. Ibid..

. Imam Ibnu Katsir, Tafsir

. Lihat tafsiran ini dalam Imam Ibnu Jauzi, Zadul Masir

. Kata yastakhlifu dalam ayat ini sebagaimana juga di QS. Al-An'am: 133,
QS. Hud: 57, QS. Al-A'raf: 129 mempunyai pengertian: menjadikan pengganti.
Artinya, seperti dalam QS. Al-An'am: 133, "…jika Allah berkehendak, Allah
(mempunyai kuasa) melenyapkanmu dan menjadikan umat setelahmu sebagai
penggantimu sebagaimana (kuasa) Allah yang telah menumbuhkan kamu sekalian
dari keturunan kaum (umat Nabi Nuh) yang berbeda (bahasa, kultur dan
kebangsaannya)". Kata yastakhlifu ini searti dengan kata yastabdilu dalam
QS. At-Taubah: 39, " Jika kalian tidak berangkat berjihad maka Allah akan
menyiksa kalian dengan siksa yang sangat pedih dan Allah akan menjadikan
ganti kaum selain kalian…."

. Ibnu 'Asyur, op.cit.

. Tafsir Imam Qusyairi.

. Q.S. an-Nahl: 90

. Q.S. an-Nisa: 29

. Ibnu 'Asyur, op.cit. Kaum as-Syuriyyun adalah sebuah bangsa yang pernah
hidup di kawasan Irak yang berjaya di abad 14 SM, lihat al-Munjid.

Jumat, 26 Oktober 2012

KESALAHPAHAMAN KAUM WAHABI MEMAHAMI BID'AH

Bismillaahirrohmaanirrohiim



Dengan rahmat dan hidayah Allah, ana paparkan kesalahan "kaum wahhaby"



1. Tidak memperdulikan sabda Sahabat Umar "Ni'matul bid'atu hadzihi"
(alangkah bagus bid'ah ini).



2. Memberi makna "kullu" hanya satu macam, yaitu "tiap2/semua". Padahal
arti "kullu" itu ada dua, yaitu : "tiap2" dan "sebagian"

Seperti kita maklumi, menurut istilah ilmu manthiq:



- "kullu" yg berarti "tiap2" disebut "kullu kulliyah"

- "kullu" yg berarti "sebagian" disebut "kullu kully"



contoh "kullu kulliyah"

firman Allah: "Kullu nafsin dza'iqotul maut" yg artinya "tiap2 yg berjiwa
akan merasakan mati"



contoh "kullu kully"

firman Allah: "wa ja'alnaa minal maa i kulla syai in hayyin" yg artinya
"Dan telah kami jadikan dari air sebagian makhluk hidup"

kalau "kulla syai in" disini diartikan "tiap2/semua" maka bertentangan dg
kenyataan, bahwa ada makhluk hidup yg dijadikan Allah tidak dari air,
seperti malaikat dari cahaya, dan jin juga syetan dari api

firman Allah: "wa kholaqol jaanna min maarijin min naar" yg artinya "Dan
Allah telah menjadikan semua jin itu dari lidah api"



Jelaslah bahwa arti "kullu" itu ada dua yaitu "tiap2" dan "sebagian".

Kesalahan kaum wahhaby, karena mengartikan "kullu" hanya satu macam, yaitu
"tiap2", sehingga dg dalil "kullu bid'atin dlolalah" mereka menganggap
semua bid'ah sesat tanpa kecuali.



Kesalahan Kaum Wahhaby yg lain



kaum wahhaby menganggap "bid'ah" itu hanyalah pada urusan "ibadah" Pada
selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada bid'ahnya. Kata kaum wahhabi:
Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah, dikurangi atau diciptakan sendiri,
kesemuanya harus berbentuk asli dari Nabi.

Adapun urusan "selain ibadah" kata kaum wahhaby bolehlah berubah menurut
keadaan zaman. terhadap anggapan ini mereka terapkan hadits Nabi saw:



"Jika ada soal2 agamamu, serahkanlah ia kepadaku. Jika ada soal2
keduniaanmu, maka kamu lebih mengetahui akan soal2 duniamu itu"



Secara dangkal, sepintas lalu anggapan Wahhaby ini seperti benar. Tetapi
sebenarnya salah, karena:

-"Bid'ah" itu selain urusan "ibadah" juga terdapat di dlm urusan "mu'amalah
(pergaulan masyarakat) seperti: pementasan lakon2 Nabi dlm drama, baik
bersifat hiburan atau komersil

-sasaran hadits di atas sebenarnya bukan mengenai "Bid'ah" melainkan
mengenai "hukum" dan "teknik"

contoh:

-Hukum membangun masjid adalah urusan agama, harus dikembalikan kepada
Nabi, artinya harus bersumber dari Qur'an dan sunnah. Sedang teknik
pembangunannya adalah "urusan dunia" dan ini diserahkan kpd ummat, terserah
menurut perkembangan peradaban manusia.

-Hukum pertanian adalah urusan agama. Harus bersumber dari Qur'an atau
Sunnah. Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia. Terserah kpd
perkembangan peradaban.



Di dalam pengertian inilah Nabi menyabdakan Hadits di atas. Bukan di dlm
pengertian "kaum wahhaby" di atas



Kesalahan wahhaby yg lain, adalah mereka menganggap bahwa "ibadah" itu
hanya satu macam, yg semua bentuknya harus asli dari Nabi saw. Padahal
tidak demikian. Yang benar "ibadah" itu ada dua macam, yaitu:



1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yg terikat) seperti:

- Sholat wajib 5 waktu

- Zakat wajib

- Puasa Ramadhan

- Haji, dsb.....

Ibadah2 ini mempunyai keasalannya (keasliannya) dari Nabi saw dlm
segala-galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya, waktu dan bentuknya.
Kesemuanya diikat (muqoyyad) menurut aturan2 tertentu. Tidak boleh dirubah.



2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yg tdk terikat secara menyeluruh), seperti:

- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT.

- Tafakkur tentang makhluk Allah.

- Belajar atau Mengajar ilmu agama.

- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul walidain)

- dsb......

Ibadah2 ini mempunyai keasalan dari Nabi saw. dlm beberapa hal, sedang
mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya tdk diikat dg aturan2 tertentu,
terserah kpd ummat, asal tdk melanggar garis2 pokok "Syari'at Islam" Pada
ibadah muthlaqoh inilah kadang terjadi "bid'ah hasanah". Demikianlah paham
Ahlussunnah wal jama'ah yg jelas bertentangan dg paham "kaum wahhaby"



Sebagai tambahan ana paparkan contoh2 bid'ah hasanah:

- Membendel Qur'an menjadi kitab (mushaf) diawali dg Fatihah dan diakhiri
dg an-Naas

- Memberi titik2 dan syakal pd tulisan al-Qur'an (Pd masa Nabi saw. tdk ada
titik dan syakalnya)

- Membuat istilah hadits shohih, hadits hasan, hadits dloif dsb. (Pd masa
Nabi ini juga tidak ada)

- Mengajar/belajar agama di Madrasah2 secara klasikal (ber-kelas2) dan
bertingkat2 dari dasar, menengah sampai universitas.

- Peringatan Maulid Nabi saw dlm segala bentuk yg tdk bertentangan dg
garis2 Syari'ah Islam



demikian paparan ana semoga bermanfaat dan ana akhiri dg do'a smg kita
semua dijauhkan Allah dari *kesesatan kaum wahhaby ini* sampai akhir hayat
nanti....Aamiin Allaahumma Aamiin



Alhamdulillaahirobbil'aalamiin

Kamis, 25 Oktober 2012

Sunnah Nabi mengeraskan suara ketika dzikir setelah selesai menunaikan shalat fardlu berjama'ah

Sunnah Nabi yang mulai tidak dilaksanakan oleh segelintir kaum muslim
adalah mengeraskan suara ketika dzikir setelah selesai menunaikan shalat
fardlu berjama'ah.

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي
حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ كَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ
يَقُولُ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ حِينَ يُسَلِّمُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ
الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ و
حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ
سُلَيْمَانَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ مَوْلًى
لَهُمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يُهَلِّلُ دُبُرَ كُلِّ
صَلَاةٍ بِمِثْلِ حَدِيثِ ابْنِ نُمَيْرٍ وَقَالَ فِي آخِرِهِ ثُمَّ يَقُولُ
ابْنُ الزُّبَيْرِ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُهَلِّلُ بِهِنَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ و حَدَّثَنِي يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ حَدَّثَنَا
الْحَجَّاجُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ حَدَّثَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَخْطُبُ عَلَى هَذَا الْمِنْبَرِ
وَهُوَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ فِي دُبُرِ الصَّلَاةِ أَوْ الصَّلَوَاتِ فَذَكَرَ
بِمِثْلِ حَدِيثِ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ
الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ أَنَّ أَبَا
الزُّبَيْرِ الْمَكِّيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
الزُّبَيْرِ وَهُوَ يَقُولُ فِي إِثْرِ الصَّلَاةِ إِذَا سَلَّمَ بِمِثْلِ
حَدِيثِهِمَا وَقَالَ فِي آخِرِهِ وَكَانَ يَذْكُرُ ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .

Telah menceritakan kepada kami *Muhammad bin Abdullah bin Numair* telah
menceritakan kepada kami *ayahku* telah menceritakan kepada kami *Hisyam*dari
*Abu Zubair* katanya; Seusai shalat setelah salam, *Ibn Zubair* sering
memanjatkan do'a; LAA ILAAHA ILLALLAAH WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL
MULKU WALAHUL HAMDU WAHUWA 'ALAA KULLI SYAI'IN QADIIR, LAA HAULA WALAA
QUWWATA ILLAA BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NA'BUDU ILLAA IYYAAH,
LAHUN NI'MATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAA'UL HASAN, LAA-ILAAHA ILLALLAAH
MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA. (Tiada sesembahan yang
hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya selaga puji
dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada Daya dan kekuatan selain
dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan yang hak selain Allah, dan Kami
tidak beribadah selain kepada-Nya, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya,
hanya bagi-Nya ketundukan, sekalipun orang-orang kafir tidak
menyukai). *Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengeraskan suara dengan kalimat ini
setiap selesai shalat*. Dan telah menceritakan kepada kami *Abu Bakr bin
Abu Syaibah* telah menceritakan kepada kami *'Abdah bin Abu Sulaiman*
dari *Hisyam
bin 'Urwah* dari *Abu Zubair* mantan budak mereka, bahwa *Abdullah bin
Zubair* biasa bertahlil sehabis shalat dengan seperti hadis Ibnu Numair,
dan di akhir beliau berkata; Kemudian Ibnu Zubair mengatakan; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengeraskan suaranya dengan kalimat ini
sehabis shalat. Dan telah menceritakan kepadaku *Ya'kub bin Ibrahim Ad
Dauraqi* telah menceritakan kepada kami *Ibn 'Ulayyah* telah menceritakan
kepada kami *Al Hajjaj bin Abu Usman* telah menceritakan kepadaku *Abu
Zubair* katanya; Aku mendengar *Abdullah bin Zubair* berkhutbah diatas
mimbar ini seraya berkata; Apabila Rasululah shallallahu 'alaihi wasallam
selesai salam yaitu sehabis shalat, atau beberapa shalat… lalu ia
menyebutkan seperti hadis Hisyam bin 'Urwah. Dan telah menceritakan
kepadaku *Muhammad bin Salamah Al Muradi* telah menceritakan kepada
kami *Abdullah
bin Wahb* dari *Yahya bin Abdullah bin Salim* dari *Musa bin 'Uqbah*, bahwa
*Abu Az Zubair Al Makki* menceritakan bahwa ia mendengar *Abdulah bin Zubair
* mengatakan; Yaitu Seusai shalat setelah mengucapkan salam, seperti hadis
keduanya. Dan ia katakan di akhir haditsnya; Abu Zubair selalu membaca
bacaan ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (HR Muslim 935)

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ
أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ
مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ
النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا
بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُه. .

Telah menceritakan kepada kami *Ishaq bin Nashir* berkata, telah
menceritakan kepada kami *Abdurrazaq* berkata, telah mengabarkan kepada
kami *Ibnu Juraij* berkata, telah mengabarkan kepadaku *'Amru* bahwa *Abu
Ma'bad* mantan budak Ibnu 'Abbas, mengabarkan kepadanya bahwa *Ibnu
'Abbas*radliallahu 'anhuma mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan
suara dalam
berdzikir setelah orang selesai menunaikah shalat fardlu terjadi di zaman
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu 'Abbas mengatakan, Aku mengetahui
bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya. (HR
Bukhari 796)

Ada yang berpendapat bahwa dzikir dengan mengeraskan suara telah
ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena pada waktu
itu Beliau melakukannya untuk tujuan pengajaran kepada makmum. Padahal
yang ditinggalkan oleh Rasulullah adalah mengeraskan suara pada
do'a iftitah atau pada sholat berjamaah ketika sholat dzuhur dan ashar.

Ada yang berpendapat bahwa dizkir dengan mengeraskan surara telah dilarang
oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atas pemahaman mereka pada
hadits diriwayatkan Abu Musa Al-Asy'ari yang terdapat dalam Shahihain yang
menceritakan perjalanan para shahabat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Abu Musa berkata : Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih
dan jika kami mendaki tempat yang tinggi maka kami bertakbir. Dan kamipun
mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang artinya : "*Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah kepada
diri kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidaklah tuli dan
tidak pula ghaib. Sesunguhnya kalian berdo'a kepada Yang Maha Mendengar
lagi Maha Melihat, yang lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan
kalian sendiri*"

Larangan ini adalah larangan terhadap para Sahabat karena mereka memang
terlampau mengeraskan suara ketika mendaki tempat yang tinggi.

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ
الظُّهْرَ أَرْبَعًا وَالْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
وَسَمِعْتُهُمْ يَصْرُخُونَ بِهِمَا جَمِيعًا .

Telah menceritakan kepada kami *Sulaiman bin Harb* telah menceritakan
kepada kami *Hammad bin Zaid* dari *Ayyub* dari *Abu Qalabah* dari *Anas
radliallahu 'anhu* berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan
shalat Zhuhur di Madinah empat raka'at dan shalat 'Ashar di Dzul Hulaifah
dua raka'at. Dan aku mendengar mereka melakukan talbiyah dengan mengeraskan
suara mereka pada keduanya (hajji dan 'umrah). (HR Bukhari 1447)

Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada mengeraskan suara sambil
menyenandungkannya

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي
إِسْحَاقَ عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْقُلُ التُّرَابَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ
حَتَّى أَغْمَرَ بَطْنَهُ أَوْ اغْبَرَّ بَطْنُهُ يَقُولُ وَاللَّهِ لَوْلَا
اللَّهُ مَا اهْتَدَيْنَا وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ
سَكِينَةً عَلَيْنَا وَثَبِّتْ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا إِنَّ الْأُلَى
قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا وَرَفَعَ بِهَا
صَوْتَهُ أَبَيْنَا أَبَيْنَا . .

Telah menceritakan kepada kami *Muslim bin Ibrahim* telah menceritakan
kepada kami *Syu'bah* dari *Abu Ishaq* dari *Al Barra`* radliallahu 'anhu
dia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ikut mengangkuti tanah pada
perang Khandaq, hingga perutnya penuh debu -atau perutnya berdebu-, beliau
bersabda: '*Ya Allah, seandainya bukan karena-Mu, maka kami tidak akan
mendapatkan petunjuk, tidak akan bersedekah dan tidak akan melakukan
shalat, maka turunkanlah ketenangan kepada kami, serta kokohkan kaki-kaki
kami apabila bertemu dengan musuh. Sesungguhnya orang-orang musyrik telah
berlaku semena-mena kepada kami, apabila mereka menghendaki fitnah, maka
kami menolaknya*.' Beliau menyenandungkan itu sambil mengeraskan suaranya."
(HR Bukhari 3795)

Jadi yang dilarang adalah suara yang benar-benar terlampau keras sehingga
berdzikirnya tidak menghadirkan hati (Hudlurul Qalbi).

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ حَدَّثَنَا أَبُو
بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا
تُخَافِتْ بِهَا } قَالَ نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مُخْتَفٍ بِمَكَّةَ كَانَ إِذَا صَلَّى بِأَصْحَابِهِ رَفَعَ
صَوْتَهُ بِالْقُرْآنِ فَإِذَا سَمِعَهُ الْمُشْرِكُونَ سَبُّوا الْقُرْآنَ
وَمَنْ أَنْزَلَهُ وَمَنْ جَاءَ بِهِ فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ } أَيْ
بِقِرَاءَتِكَ فَيَسْمَعَ الْمُشْرِكُونَ فَيَسُبُّوا الْقُرْآنَ { وَلَا
تُخَافِتْ بِهَا } عَنْ أَصْحَابِكَ فَلَا تُسْمِعُهُمْ { وَابْتَغِ بَيْنَ
ذَلِكَ سَبِيلًا } .

Telah menceritakan kepada kami *Ya'qub bin Ibrahim* Telah menceritakan
kepada kami *Husyaim* Telah menceritakan kepada kami *Abu Bisyr* dari *Sa'id
bin Jubair* dari *Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma* mengenai firman Allah:
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya…, (Al Israa: 110).

Ibnu Abbas berkata; ayat ini turun ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sembunyi-sembunyi di Makkah.

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bila mengimami shalat para sahabatnya,
beliau mengeraskannya saat membaca al Qur`an. Tatkala orang-orang musyrik
mendengarkan hal itu, mereka mencela al Qur`an, mencela yang menurunkannya
dan yang membawakannya. Maka Allah Azza Wa Jalla berfirman kepada NabiNya: (
*"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu*") maksudnya adalah
dalam bacaanmu sehingga orang-orang musyrik mendengarnya dan mereka mencela
al Qu`ran dan: Dan janganlah pula merendahkannya dari para sahabatmu
sehingga mereka tidak dapat mendengarkan dan mengambil Al Qu`ran darimu
dan: Maka carilah jalan tengah di antara kedua itu. (HR Bukhari 4353)

Selain itu larangan mengeraskan suara dalam berdoa adalah dalam makna majaz
(kiasan). Seperti contohnya

"*Ya Rabb kabulkanlah doa kami, paling lambat esok hari*" atau doa-doa yang
pada hakikatnya "mengajarkan" Tuhan sesuai keinginan si pendoa atau bahkan
"mendesak" Tuhan untuk mengikuti keinginan si pendoa. Doa-doa seperti itu
walaupun diucapkan lirih ataupun diucapkan dalam hati tetaplah termasuk
keras dalam berdoa.

Dzikir dengan suara dikeraskan tentulah dalam satu komando, kalau tidak
tentu akan timbul kebisingan atau kegaduhan. Apalagi setiap orang berdzikir
dengan suara dikeraskan dengan untaian dzikir sesuai keinginan
masing-masing tentulah berakibat kebisingan atau kegaduhan.

Sebaiknyalah makmum mengikuti bacaan dzikir yang dipimpin oleh imam dan
ketika bagian doa cukup meng-amin-kan saja.

Manfaat zikir berjama'ah adalah kerjasama dalam kebaikan. Salah satu yang
hadir dapat "menghantarkan" dzikir sampai (wushul) kepada Allah ta'ala maka
seluruh yang hadir akan mendapatkan manfaat termasuk mereka yang hadir
sekedar duduk saja.

Dalam sebuah hadits qudsi Abu Hurairah ra meriwayatkan,

Telah menceritakan kepada kami *Muhammad bin Hatim bin Maimun* telah
menceritakan kepada kami *Bahz* telah menceritakan kepada kami
*Wuhaib*telah menceritakan kepada kami
*Suhail* dari *bapaknya* dari *Abu Hurairah* dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam beliau bersabda: 'Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis
dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis dzikir tersebut, maka mereka
terus duduk di situ dengan menyelimutkan sayap sesama mereka hingga
memenuhi ruang antara mereka dan langit yang paling bawah. Apabila majelis
dzikir itu telah usai, maka mereka juga berpisah dan naik ke langit.'
Kemudian Rasulullah meneruskan sabdanya: 'Selanjutnya mereka ditanya Allah
Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang sebenarnya Maha Tahu tentang mereka: 'Kalian
datang dari mana? ' Mereka menjawab; 'Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu
di bumi yang selalu bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan memohon kepada-Mu
ya Allah.' Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala bertanya: 'Apa yang mereka minta?
' Para malaikat menjawab; 'Mereka memohon surga-Mu ya Allah.' Allah
Subhanahu wa Ta'ala bertanya lagi: 'Apakah mereka pernah melihat surga-Ku?
' Para malaikat menjawab; 'Belum. Mereka belum pernah melihatnya ya Allah.'
Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata: 'Bagaimana seandainya mereka pernah
melihat surga-Ku? ' Para malaikat berkata; 'Mereka juga memohon
perlindungan kepada-Mu ya Allah.' Allah Subhanahu wa Ta'ala balik bertanya:
'Dari apa mereka meminta perlindungan kepada-Ku? ' Para malaikat menjawab;
'Mereka meminta perlindungan kepada-Mu dari neraka-Mu ya Allah.' Allah
Subhanahu wa Ta'ala bertanya: 'Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku? '
Para malaikat menjawab; 'Belum. Mereka belum pernah melihat neraka-Mu ya
Allah.' Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata: 'Bagaimana seandainya mereka
pernah melihat neraka-Ku? ' Para malaikat berkata; 'Ya Allah, sepertinya
mereka juga memohon ampun (beristighfar) kepada-Mu? ' Maka Allah Subhanahu
wa Ta'ala menjawab: 'Ketahuilah hai para malaikat-Ku, sesungguhnya Aku
telah mengampuni mereka, memberikan apa yang mereka minta, dan melindungi
mereka dari neraka.' Para malaikat berkata; 'Ya Allah, di dalam majelis
mereka itu ada seorang hamba yang berdosa dan kebetulan hanya lewat lalu
duduk bersama mereka.' Maka Allah menjawab: 'Ketahuilah bahwa sesungguhnya
Aku akan mengampuni orang tersebut. Sesungguhnya mereka itu adalah suatu
kaum yang teman duduknya tak bakalan celaka karena mereka. (HR Muslim 4854)

Ironis, segelintir kaum muslim berpegang pada fatwa yang dikeluarkan oleh
ulama mereka seperti contohnya yang tercantum pada
http://almanhaj.or.id/content/1501/slash/0

Ulama mereka tersebut termasuk ulama yang mengaku-aku mengikuti Salafush
sholeh namun tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh dan tidak
juga bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat. Kita tahu Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) dengan
Salafush Sholeh.

Ulama besar Syria, Dr. Said Ramadhan Al-Buthy berdiskusi dengan ulama
mereka tersebut dan kemudian kesimpulan diskusi dituliskan dalam sebuah
buku yang berjudul Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid'atin Tuhaddidu
As-Syariah Al-Islamiyah. Kalau kita terjemahkan secara bebas, kira-kira
makna judul itu adalah : Paham Anti Mazhab, Bid'ah Paling Gawat Yang
Menghancurkan Syariat Islam. Ulasan tentang buku Beliau ada dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/18/paham-anti-mazhab/

Ulama mereka tersebut selain tidak mengikuti Imam Mazhab yang empat, juga
meninggalkan apa yang telah dikerjakan atau dicontohkan oleh para Habib ,
keturunan cucu Rasulullah yang mendapatkan pengajaran agama dari orang
tua-orang tua mereka yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang
mendapatkan pengajaran langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Bahkan salah satu keturunan cucu Rasulullah mengatakan dalam tulisannya
pada
http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=34&func=view&id=22475&catid=9bahwa
beliau sebenarnya tak suka bicara mengenai ini (menyampaikannya),
namun beliau memilih mengungkapnya ketimbang hancurnya ummat.

Wassalam

Selasa, 23 Oktober 2012

Hukum Islam Ada 5, dan Bid'ah Tidak Termasuk di Dalamnya

Bacalah dengan cermat dan hati yang lapang, tulisan singkat ini..

Hendaknya kalian tahu bahwa sunnah menurut ulama hadits adalah sesuatu yang
berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
(ketetapan). Menurut Fuqaha' (ahli Fiqh), sunnah adalah salah satu dari
status hukum Islam, yang apabila mengerjakannya mendapat pahala dan apabila
meninggalkanya tidak apa-apa (tidak berdosa), kadang disebut mandub juga
nafilah.

Hukum Islam sendiri adalah 5 : Wajib, Sunnah (Mandzub/Mustahab), Mubah
(Jaiz), Makruh dan Haram.

Sunnah Rasulullah (perbuatan, perkataan, taqrir) tidak serta status
hukumnya menjadi wajib, tetapi ada yang sunnah (mandub/mustahab) tergantung
bentuk anjurannya dan konsekuensinya. InsyaAllah kalian paham, bahwa apa
yang berasal dari Rasul tidak serta merta wajib bagi kalian.

Demikian juga apa yang dinamakan bid'ah, bid'ah bukanlah status hukum Islam
(sekali lagi bid'ah bukan status hukum Islam), melainkan istilah untuk
sesuatu yang berlawan dengan sunnah.

Kalau Sunnah adalah perkataan/perbuatan yang berasal dari Rasul, sedangkan
Kalau Bid'ah adalah perkataan/perbuatan yang bukan berasal dari Rasul.

Dari sini, semoga paham maksud dari istilah "berlawanan". Maka, sesuatu
yang bukan berasal dari Rasul ini, haruslah di tinjau dan dikaji apakah
sesuai dengan Sunnah ataukah tidak. Bukan serta merta ditolak begitu saja
kemudian di masukkan kepada salah satu status hukum Islam yaitu status
haram.

Jika langsung dimasukkan kepada status hukum haram, nantinya akan absurd
dalam memahaminya dan bingung terus-menerus seperti sebagian orang jahil.
Karena kalau langsung dimasukkan kepada status hukum haram dan sisi lain
mengatakan "berlawan dengan sunnah" maka jadinya seperti ini :

"Bid'ah (Haram)" VS "Sunnah (Wajib)". Karena lawan dari haram adalah wajib,
dan pemahaman seperti ini bak otak yang terbalik. Sedangkan apa yang
berasal dari Rasul (perbuatan/perkataan/taqir) tidak selalu dimasukkan
kedalam status hukum wajib.

Oleh karena itu, sesuatu perkara baru (bid'ah) atau lawan dari yang berasal
dari Rasul (sunnah) harus diklasifikasikan status hukumnya.

Yang mana nantinya ada yang masuk pada status hukum wajib, mandub, mubah,
makruh dan haram. Istilah seperti ini telah diajarkan oleh al-Imam
Shulthanul Ulama Syaikh 'Izzuddin Abdissalam asy-Syafi'i untuk
menyederhanakan memahami bid'ah. Sehingga dikenal istilah ;

1. Bid'ah Wajibah : bid'ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah
tentang penetapan status hukum wajib, seperti : menyibukkan diri dengan
ilmu nahwu sebab dengannya bisa memahami Kalamullah dan Sabda Nabi, hal ini
tergolong wajib karena dalam rangka menjaga syariat Islam, sebab apa
jadinya jika tidak paham nahwu, maka orang-orang jahil akan berbicara
secara serampangan.

Contohnya lainya seperti : menjaga pembendaharaan kata asing al-Qur'an dan
as-Sunnah, pembukuan disiplin ilmu-ilmu ushul, perkataan jahr wa ta'dil
dalam pembahasan ilmu hadits.

2. Bid'ah Mandubah ; bid'ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah
tentang penetapan status hukum sunnah/mandub, seperti : membangun
madrasah-madrasah, perkataan-perkataan yang mengandung hikmah seperti
tashawuf, perkataan yang bisa menyatukan kaum Muslimin, shalat jama'ah
tarawih, Maulid Nabi dan sebagainya.

3. Bid'ah Mubahah ; bid'ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah
tentang penetapan status hukum mubah, seperti : bersalaman setelah shalat
subuh dan ashar, juga memperluas kesenangan dalam urusan makanan, minuman,
pakaian, dan tempat tinggal, pakaian kebesaran ulama, dan melebarkan lengan
baju.

4. Bid'ah Makruhah ; bid'ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah
tentang penetapan status hukum makruh, seperti : sekedar kumpul-kumpul di
kediaman orang meninggal, menghiasi masjid dengan berlebihan dan lain
sebagainya

5. Bid'ah Muharramah ; bid'ah yang masuk dalam prinsip atau bahasan kaidah
tentang penetapan status hukum haram, seperti : pemikiran Qadariyah,
jabariyah, murji'ah, mujassimah (contohnya : Wahabiyah, Karramiyah dan
sejenisnya)

Jika perkara baru tersebut sesuai dengan sunnah maka itu baik (hasanah) dan
status hukumnya bisa jadi sunnah, bahkan hingga wajib.

Namun, jika sesuatu perkara baru bertentangan dengan sunnah maka itu buruk
(qabihah) dan status hukumnya bisa jatuh pada status hukum makruh bahkan
haram.

Semoga dengan pemaparan singkat ini dapat memberikan pemahaman yang benar
dalam memahami bid'ah dan sunnah. Dan sekali lagi bid'ah itu bukan status
hukum, ingat ini.

Bahkan ada sesuatu yang dibenci tapi halal, yaitu thalaq (perceraian).
Sangat tidak mungkin kalau karena disebabkan dibenci kemudian langsung
dimasukkan kedalam status hukum haram. Jadi pemahaman-pemahaman seperti ini
atau sejenisnya adalah benar-benar absurd.

Wallahu A'lam.

(tulisan ini disadur dari Group WAJIB, SUNAH (MANDUB), MUBAH, MAKRUH DAN
HARAM)

9 PERTANYAAN MENGGUGURKAN AQIDAH TAJSIM SEKTE WAHABI

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk membantah aqidah sesat wahhaby, yang
mana mereka hanya mengambil makna dhahir dari ayat dan hadits mutasyabihat
sehingga mereka mensifatkan Allah dgn sifat makhluq.



1. *Apakah Tuhan wahaby SAKIT dan LUPA?*



apakah kalian masih bersikeras menggunakan makna dhahir pada ayat/hadist
mutasyabihat ini ?



- "Nasuullaha fanasiahum" (QS Attaubah:67),

Artinya : *Mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka* (QS
Attaubah:67),



- "Innaa nasiinaakum" (QS Assajadah 14).

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :

"*Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku,* maka
berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu
sedangkan Engkau Rabbul ‟Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu
hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau
menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?" (Shahih Muslim hadits
no.2569)



Artinya : (sungguh kami telah lupa pada kalian ( QS Assajadah 14).



2. *Dalam hadits shahih muhakamat disebutkan bahwa Allah ada tanpa arah
(atas atupun **bawah), kenapa kalian mengingkarinya?*



Allah ada tanpa arah adalah aqidah shahih yang didukung oleh banyak ayat
dan hadist

muhkamat. Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa
ash- Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam menafikan
tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu
„alayhi wa sallam:

*"Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak
ada*

*sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan)
tidak ada sesuatu di **bawah-Mu" (H.R. Muslim dan lainnya).*



*Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya
berarti Dia tidak bertempat*.



3. *Manakah yang berjarak lebih dekat ke 'Arsy : seseorang dalam keadaan
berdiri atau **sujud?*



Wahhaby punya keyakinan bahwa Tuhan bersemayam di 'Arsy. Coba kalian
pikirkan, manakah

yang berjarak lebih dekat ke 'Arsy : seseorang dalam keadaan berdiri atau
sujud? Sudah tentu

berdiri lebih dekat ke 'Arsy. Jadi apabila kalian berpendapat bahwa Allah
bersemayam di 'Arsy,

maka dimanakah hadits yang mengatakan,* "Paling dekatnya kedudukan seorang
hamba*

*dengan Tuhannya adalah apabila dia dalam keadaan sujud".*



4. *Dimanakah Allah sebelum diciptakannya semua makhluq (Tempat, arah, arsy
dsb) ?*

*setelah Allah ciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb), dimana
Allah?*

*Apakah sifat dzat Allah berubah?*



Sebelum Allah ciptakan semua makhluq (zaman azali)…..

semua makhluq tidak ada (langit,arsy,tempat, ruang,arah,cahaya,
atas,bawah….semua mahkluq tdk ada,karena Allah belum menciptakannya…..) *pada
saat itu dimana Allah?*



dan setelah Allah menciptakan semua makhluq (langit,arsy,arah,tempat dsb),
dimana Allah?



Ingat : *Sifat Allah tetap tdk berubah. sifat Allah tdk sama dgn makhluq.
Maka orang yang **mengatakan tuhan bertempat dan berarah menyalahi sifat
wajib salbiyah Allah.*



*Sifat Salbiyah :Sifat yang digunakan untuk menolak sesuatu yang tidak
patut untuk dinisbahkan **kepada Allah. Ada 5 sifat yaitu :*

* *

- Wahdaniyah/esa (*Allah tidak banyak atau tidak terpecah-pecah - yg
maknanya ada tuhan yg dilangit, ada **tuhan yang di arsy, ada tuhan yang di
sorga, ada tuhan yang di baitullah dsb*)



- Qidam/ada sebelum semua makhluq ada (*Allah Ada sebelum tempat dan arah
ada, sebelum ada 'Arsy dan langit beserta segala isinya*)



- Baqo /kekal (*Allah kekal sedangkan langit, 'Arsy, surga, neraka,
malaikat, manusia, iblis akan di gulung/hancurkan saat Kiamat*)



- Mukhalafatu lil hawaditsi/berbeda dgn makhluq (*Allah beda dgn makhkuq,
sedangkan yang bertempat dan berarah adalah benda kasar/makhluq*)



- Qiyamuhu binafsihi /tidak memerlukan apapun ( *Allah tidak memerlukan
tempat/arsy dsb*)



5. *Kenapa kalian solat masih menghadap ke kiblat, katanya Allah di atas?*

* *

*ingat Langit Hanyalah kiblat Do‟a….bukan tempat bersemayam Allah….ingat :
Allah ada tanpa **tempat dan arah.*



6. *Manakah arah ATAS yang kalian maksud? Tunjukkan?*



*Bumi ini Bulat dan tidak ada arah atas bagi benda yang bulat,*



Arah atasnya orang di Indonesia adalah arah bawahnya Orang yang ada di
Negara Amerika, dan

sebaliknya.



7.* Apakah Tuhan-Mu bergelantungan di langit pertama setiap saat?*



Kalian katakan pada sepertiga malam Allah dilangit pertama bukan diatas
arsy, *padahal waktu*

*bergulir setiap saat. Jika di Indonesia tengah Malam maka di Amerika
adalah siang hari.*



8. *Makna zahir mana yg mereka katakan "menerima secara zahir" ??*



wahabi katakan :

"Allah punya Tangan tetapi beda dengan tangan Makhluk"



Mereka katakan mereka menerima secara zahir,lalu mereka katakan lagi bahwa
yg zahir itu beda

dengan zahirnya makhluk….



kami bertanya :

*lalu makna zahir mana yg mereka katakan "menerima secara zahir" ??*

*Inilah akidah akal akalan mereka tak ada satu orangpun salaf al shalih yg
berakal seperti ini.*



9. *Dimanakah Tuhan kalian: apakah di langit pertama (lihat hadis nuzul),
di langit (surat **al mulk), diatas arsy (lihat surat ar‟ad),
menempel/menyatu dengan orang beriman (lihat **surat albaqarah),
dimana-mana/disemua arah, tanpa tempat (hadis zaman azali)?*



*Jika menggunakan makna dhahir ayat dan hadist maka tidak akan bisa
menjawabnya dan **terjerumus dalam tasybih (penyerupaan kepada makhluq).*



Ta‟wil disni berarti menjauhkan makna dari segi zahirnya kepada makna yang
lebih layak bagi

Allah, ini kerana zahir makna nas al-Mutasyabihat tersebut mempunyai unsur
jelas persamaan

Allah dengan makhluk. Dalil melakukan ta‟wil ayat dan hadis mutasyabihat:



Rasulullah berdoa kepada Ibnu Abbas dengan doa:

*"Ya Allah alimkanlah dia hikmah dan takwil Al quran" H.R Ibnu Majah.*

*(Sebagian ulama' salaf termasuk Ibnu Abbas mentakwil ayat-ayat
mutasyabihah)*

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template