Oleh: Ustadz Ishak
Pada suatu hari seorang murid berjumpa dengan Asy-Syeikh, lalu memintanya
agar mengajariku berzujud. Lalu beliau berkata kepadaku:
"Kalau engkau ingin menjadi muridku dalam berzuhud, jangan hendaknya engkau
meminta sesuatu dari seseorang, andaikan pemberian itu datang tanpa engkau
minta juga jangan hendaknya engkau terima". Sehingga engkau meyakini, bahwa
hanya Allah-lah yang menjadi segala sumber dari apa-apa yang engkau miliki,
bukan yang lain !
Dalam hatiku aku berkata :"Nabi sendiri menerima hadiah dan beliau juga
bersabda apa yang datang kepadamu tanpa engkau minta, maka terimalah !".
Maka Syaikh berkata :"Nampaknya seolah-olah engkau berkata bahwa Nabi saw.
menerima hadiah dan Nabi bersabda :"Apa yang mendatangimu tanpa engkau
minta maka terimalah !". Tapi ingatlah anakku,
"Katakanlah Aku hanya memperingati kamu dengan wahyu" (Al-Anbiya' 21:45).
"Lalu sejak kapan Allah memberi wahyu kepadamu ?"
"Jika engkau hendak meneladani Rasulullah dalam hal menerima, maka teladani
pula perasaan yang terkandung dalam hati beliau dikala menerima pemberian
itu. Rasulullah saw. mau menerima sesuatu karena beliau handak memberi
kesempatan kepada si pemberi untuk menerima pahala dari pemberiannya dan
Rasulullah pun berdoa agar Allah memberikan penggantian bagi sang pemberi.
Jika jiwamu sudah suci dari najis dan sudah bersih dari segala kotoran,
sudah suci dari nafsu ingin diberi, sudah suci dari nafsu ingin mendapatkan
yang orang lain miliki, barulah engkau diperbolehkan, menerima hadiah,
kalau belum, maka jangan engkau lakukan".
Syarh dari pentahkik :
Pendapat yang amat mendalam ini kami sajikan agar difahami oleh pegawai dan
pejabat yang mempunyai kedudukan dan pangkat dan sering menerima hadiah dan
uang suapan, dan juga bagi siapa saja yang suka makan harta dengan jalan
batal, itulah mereka yang sudah disamarkan oleh setan hingga tidak dap at
membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
Keterangan :
Perawi hadis Ibnu Majah mengisahkan, seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah SAW dan berkata, ''Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu
perbuatan yang jika aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah dan juga
oleh manusia.''
Rasulullah menjawab, ''Berlaku zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia
niscaya kamu akan dicintai Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah
manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.''
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu
dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Quran surat
Al-Hadiid ayat 20-23)
Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak
mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat
sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia
mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya
maupun penderitaannya.
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang
makna dan hakikat zuhud. Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud.
Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala
kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. padahal tidak demikian.
Secara etimologi, zuhud adalah menjauhkan diri dari sesuatu karena
menganggap hina dan tidak bernilai. Bagi para sufi, zuhud adalah
meninggalkan sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup walaupun sudah jelas
kehalalannya.
Rasulullah saw. bersabda, "Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti
atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian
sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian
berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian
sebagaimana telah menghancurkan mereka." (Muttafaqun 'alaihi)
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar'i, zuhud
bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan.
- Abu Idris Al-Khaulani berkata, "Zuhud terhadap dunia bukanlah
mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud
terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang
apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita
sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih
bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya."
- Ibnu Khafif berkata, "Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa."
- Ibnu Taimiyah berkata, "Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara' adalah meninggalkan sesuatu
yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti."
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu: * *
1. **tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal
yang hilang.
2. **sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik
terkait dengan harta maupun kedudukan.
3. **hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi
oleh lezatnya ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan.
Apakah cinta Allah atau cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.
Imam Ahmad mengatakan, "Zuhud ada tiga bentuk.
1. meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam.
2. meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya
golong yang khusus.
3. meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah,
dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif."
Demikianlah orang-orang zuhud, sampai Abu Bakar berkata*, "Ya Allah,
jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami."*
Senin, 12 November 2012
Minggu, 11 November 2012
MEREKA ADALAH MANUSIA YANG TAK BUTUH SURGA DAN TAK TAKUT NERAKA ^_^
Oleh: Ustadz Ishak
Wahai anakku, Allah swt telah berkata : Ketika Aku menjadikan mahluk, maka
semua mengaku cinta pada-Ku. Kemudian aku membuat dunia, maka lari dari-Ku
90% (untuk mendapatkan dunia dan meninggalkan Allah), Kemudian Aku membuat
surga, maka larilah dari-Ku 90% dari yang tersisa (untuk mendapatkan surga
dan meninggalkan Allah). Kemudian aku membuat neraka, maka larilah dari-Ku
90% dari yang tersisa (untuk menghindari neraka dan meninggalkan Allah).
Kemudian aku turunkan bala (bencana), maka larilah dari-Ku 90% dari yang
tersisa (untuk menghindari bencana, dan meninggalkan Allah).
Maka Aku bertanya kepada sisa yang tinggal itu. Dunia kamu tidak mau, sorga
kau tak suka, neraka kau tidak takut, dari bala dan musibat kamu juga tidak
lari, maka apakah keinginanmu?
Mereka menjawab : Engkau maha mengetahui keinginan kami. (kami hanya
menginginkan yang satu (ahad) yaitu Engkau)
Aku berkata : Aku akan menuangkan kepadamu bala yang bukit besar pun tak
akan sanggup menanggungnya, sabarkah kamu ?
Jawab mereka : Apabila Engkau yang menguji, maka terserah padaMu
(berbuatlah sekehendak-Mu).
Maka mereka itulah hambaKu yang sebenarnya....
Anakku, begitu banyak buku yang menulis tentang cinta, bahkan dinilai
paling banyak dibandingkan dengan pengalaman hidup manusia lainnya. Banyak
orang yang berusaha menorehkan kalamnya ke kertas untuk menuliskan
keindahan cinta. Tetapi di balik itu semua, sisi cinta terindah yang
dimiliki oleh manusia adalah cinta kepada Tuhannya. Suatu cinta di mana
manusia kehitangan ego-nya, dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada cintanya
kepada Allah.
Orang yang benar-benar mencintai kekasihnya tidak akan pernah memperdulikan
kekayaan, kekuasaan, dan apapun yang dimiliki kekasihnya. Selain itu Ia pun
akan bertahan terhadap badai yang akan dilaluinya bersama kekasihnya.
Baginya, kekasihnya merupakan sesuatu yang jauh lebih berharga dari itu
semua. Ia akan mencintai kekasihnya dengan tulus, walaupun tanpa
diiming-imingi.
Demikian juga dengan cinta para aulia (kekasih Allah) dan para Wali Allah.
Mereka mencintai dan beribadah kepada Allah dengan tulus, tanpa memikirkan
apa yang akan mereka dapatkan dari ibadahnya. Para Wali Allah bahkan tidak
takut kepada bala yang akan ditimpakan Allah kepada mereka. Karena mereka
menyadari bahwa bila Allah berkasih sayang kepada seorang hamba, maka akan
dituangkan-Nya bala. Bila seorang wali Allah ditimpa bala, mereka akan
berdoa. Dan ketika si hamba berdoa, maka malaikat berkata : "Suara yang
sudah dikenal". Jibril berkata : "Tuhanku, hambamu si Fulan menyampaikan
hajatnya. Allah menjawab : "Biarkan hambaKu, aku suka mendengar suaranya.
Maka bila si hamba berkata : "Yaa Rabbi ..." Maka Allah menjawab :
"Labbaika hambaku, tiada engkau berdoa, melainkan Aku sambut, dan tiada
engkau meminta, melainkan pasti aku berikan. Imma (ada kalanya) Aku
segerakan untukmu, atau Aku simpan untukmu yang lebih baik bagimu, atau aku
tolak daripadamu bala yang lebih besar itu.
Berdasarkan kecintaan itu, seorang kekasih Allah akan mampu menghamba
kepada Allah dengan tulus dan ikhlas, tanpa merasa butuh kepada surga yang
dimiliki Allah, juga tidak berusaha menghindar dari keburukan neraka yang
dimiliki Allah. Mereka beribadah kepada Allah semata-mata karena kecintaan
mereka, dengan suatu bentuk kecintaan yang dirasakan oleh dua kekasih yang
sedang berkasih-kasihan.
Sesungguhnya jika manusia meminta surga atau meminta terhindar dari -
neraka atas amalan yang telah dilakukannya, maka hal itu berarti ia telah
meminta upah atas apa yang telah dikerjakannya. Seseorang pantas meminta
upah jika dia memberikan manfaat kepada pemberi upah atau menghindarkan si
pemberi upah dari tertimpa kemadtorotan.
Ketika seseorang beribadah, ia sama sekali tidak memberikan manfaat kepada
Allah. Allah tak diuntungkan dari ibadah manusia. Demikian juga jika
manusia tak beribadah, hal ini sama sekali tidak memberikan kemadlorotan
kepada Allah. Bahkan jika semua manusia berbuat dosa, sama sekali tidak
merubah kedudukan Allah sebagai Rabb. Lalu mengertikah kau, anakku, kenapa
manusia masih merasa pantas menerima-surga atau terhindar dari neraka
sebagai upah dari amalannya ?
Dengan pemberian upah, maka harga amalanmu menjadi murah. Tetapi dengan
amalan yang tulus, maka harga amalan melonjak tinggi, melesat ke langit
sampai ke arsy Allah swt.
Lagi pula amal ibadah seseorang tak akan sanggup menyampaikan seseorang ke
surga jika tidak dibarengi dengan rahmat Allah. Dalam hal ini Allah
menurunkan beberapa rahmatnya sekaligus. Allah dengan Al-Rahimnya telah
melipatgandakan nilai ibadah umatnya (tapi tidak nilai dosanya), dan Allah
dengan Al Ghofurnya telah memberikan ampunan dosa yang tak terbatas
(kecuali syirik) kepada umatnya. Maka fahamilah bahwa masuknya seseorang ke
surga adalah karena kasih sayang dari Allah pada umatnya, bukan hasil
amalannya. Bahkan puasa 300 tahun dan ibadah yang terus menerus selama itu,
hanya sanggup mengimbangi nikmat berupa diberikannya sebelah mata oleh
Allah. Maka demi Allah, DIA adalah dzat yang pantas untuk diibadahi.
Pantaskah kita mendapat surga, jika amalan kita hanya sholat lima waktu ?
(Sekitar 25 menit (2%) dari 24 jam sehari) Pantaskah kita terhindar dari
neraka jika kita sering melakukan persetujuan dengan setan dalam berbuat
dosa ?
Jika saja bukan karena sumpah Allah untuk memenuhi neraka dengan
orang-orang kafir dari golongan jin dan manusia seluruhnya, dan jika saja
bukan karena sumpah Allah untuk memenuhi surga dengan orang-orang beriman,
maka terdapat sebagian para wali yang berkeinginan untuk mengisi neraka
dengan es, dan menghiasi surga dengan api, agar ibadah yang dilakukan
manusia tidak lagi untuk surga atau terhindar dari neraka, melainkan murni
hanya untuk Allah. Bukan yang lain.
Dalam hal ini Rabiah Al Adawiyah bersyair :
Ya Allah,
Jika aku menyembah-Mu karena takut dari pada api nerakaMu
Maka Bakarlah aku di dalamnya !
Jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu
Maka haramkanlah aku daripadanya !
Tetapi jika aku menyembahmu karena kecintaanku kepadaMu
Maka berikanlah aku balasan yang besar,
Yaitu melihat Dzat-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu
Di waktu yang lain Rabiah Al Adawiyah menyatakan cintanya kembali kepada
Allah
Wahai Allah
Berikanlah surga-Mu kepada para ahli ibadah
Dan berikanlah nerakamu, kepada pada pendosa
aku tak butuh kepada keduanya
untukku, cukuplah Engkau....
Nah anakku, malulah engkau kepada Allah, jika ibadahmu karena menginginkan
surga atau menghindari neraka. Allah telah menciptakan surga dan neraka
BUKAN untuk diibadahi, Beribadahlah bukan karena pemberian, tetapi
beribadahlah karena DIA memang pantas untuk disembah.
Anakku, jika nanti (berandai-andai) engkau dianugerahi tiga orang putra.
Putra yang pertama mengikuti perkataanmu karena menginginkan uang jajannya
ditambah. Putra kedua mengikuti perkataanmu karena takut dimarahi atau
dihukum olehmu ketika melanggar. Sedangkan putra ketiga mengikuti
perkataanmu karena kecintaannya kepadamu. Putra yang manakah yang
mendapatkan cinta terbesarmu ?
Karena itu,
- Anakku, jika engkau beribadah kepada Allah, Jangankah karena takut
pada-Nya Sehingga engkau serupa saja dengan budak yang buruk, yang bekerja
dengan rasa takut terhadap hukuman majikannya.
- Anakku, jika engkau beribadah, janganlah karena mengharapkan surga,
sehingga engkau serupa dengan budak yang buruk, yang harus diiming-imingi
sesuatu untuk agar mau bekerja
- Anakku, beribadahlah engkau kepada Allah, Karena rasa cinta dan
rindumu kepada- Nya Dan karena DIA dengan segala keMaha-an-Nya memang
pantas untuk diibadahi.
-
Sungguh, bermuwajahah (bertemu Dzat-Nya) dalam kebersamaan dengan Allah
adalah kenikmatan puncak, yang jauh lebih besar kenikmatannya ketimbang
kenikmatan surga. Tapi jika kekasihmu, Allah, memaksamu untuk menerima
surga-Nya. Terima saja. Tak baik menolak pemberian kekasih, walaupun
kenikmatan surga tak ada artinya tanpa kehadiran-Nya menyertaimu. Janganlah
sampai kau berpaling dari Allah karena kenikmatan surga.
Nah, anakku, dekati Allah sedekat-dekatnya. Jika dalam proses tersebut
Allah berkenan "memperkenalkan diriNya" kepadamu, maka akan terbuka semua
hijab (penghalang), dan akan terbuka semua rahasia keTuhanan, akan
dibukakan kepadamu manazil al-qurubat, dan berkelilinglah ruh-mu di alam
malakut, merindukan belaian kasih sayang-Nya, merindukan perjumpaan
dengan-Nya, sehingga engkau menghampiri-Nya seperti menghampiri seorang
kekasih
*Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau mau menyembah-Nya ?*
Wahai anakku, Allah swt telah berkata : Ketika Aku menjadikan mahluk, maka
semua mengaku cinta pada-Ku. Kemudian aku membuat dunia, maka lari dari-Ku
90% (untuk mendapatkan dunia dan meninggalkan Allah), Kemudian Aku membuat
surga, maka larilah dari-Ku 90% dari yang tersisa (untuk mendapatkan surga
dan meninggalkan Allah). Kemudian aku membuat neraka, maka larilah dari-Ku
90% dari yang tersisa (untuk menghindari neraka dan meninggalkan Allah).
Kemudian aku turunkan bala (bencana), maka larilah dari-Ku 90% dari yang
tersisa (untuk menghindari bencana, dan meninggalkan Allah).
Maka Aku bertanya kepada sisa yang tinggal itu. Dunia kamu tidak mau, sorga
kau tak suka, neraka kau tidak takut, dari bala dan musibat kamu juga tidak
lari, maka apakah keinginanmu?
Mereka menjawab : Engkau maha mengetahui keinginan kami. (kami hanya
menginginkan yang satu (ahad) yaitu Engkau)
Aku berkata : Aku akan menuangkan kepadamu bala yang bukit besar pun tak
akan sanggup menanggungnya, sabarkah kamu ?
Jawab mereka : Apabila Engkau yang menguji, maka terserah padaMu
(berbuatlah sekehendak-Mu).
Maka mereka itulah hambaKu yang sebenarnya....
Anakku, begitu banyak buku yang menulis tentang cinta, bahkan dinilai
paling banyak dibandingkan dengan pengalaman hidup manusia lainnya. Banyak
orang yang berusaha menorehkan kalamnya ke kertas untuk menuliskan
keindahan cinta. Tetapi di balik itu semua, sisi cinta terindah yang
dimiliki oleh manusia adalah cinta kepada Tuhannya. Suatu cinta di mana
manusia kehitangan ego-nya, dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada cintanya
kepada Allah.
Orang yang benar-benar mencintai kekasihnya tidak akan pernah memperdulikan
kekayaan, kekuasaan, dan apapun yang dimiliki kekasihnya. Selain itu Ia pun
akan bertahan terhadap badai yang akan dilaluinya bersama kekasihnya.
Baginya, kekasihnya merupakan sesuatu yang jauh lebih berharga dari itu
semua. Ia akan mencintai kekasihnya dengan tulus, walaupun tanpa
diiming-imingi.
Demikian juga dengan cinta para aulia (kekasih Allah) dan para Wali Allah.
Mereka mencintai dan beribadah kepada Allah dengan tulus, tanpa memikirkan
apa yang akan mereka dapatkan dari ibadahnya. Para Wali Allah bahkan tidak
takut kepada bala yang akan ditimpakan Allah kepada mereka. Karena mereka
menyadari bahwa bila Allah berkasih sayang kepada seorang hamba, maka akan
dituangkan-Nya bala. Bila seorang wali Allah ditimpa bala, mereka akan
berdoa. Dan ketika si hamba berdoa, maka malaikat berkata : "Suara yang
sudah dikenal". Jibril berkata : "Tuhanku, hambamu si Fulan menyampaikan
hajatnya. Allah menjawab : "Biarkan hambaKu, aku suka mendengar suaranya.
Maka bila si hamba berkata : "Yaa Rabbi ..." Maka Allah menjawab :
"Labbaika hambaku, tiada engkau berdoa, melainkan Aku sambut, dan tiada
engkau meminta, melainkan pasti aku berikan. Imma (ada kalanya) Aku
segerakan untukmu, atau Aku simpan untukmu yang lebih baik bagimu, atau aku
tolak daripadamu bala yang lebih besar itu.
Berdasarkan kecintaan itu, seorang kekasih Allah akan mampu menghamba
kepada Allah dengan tulus dan ikhlas, tanpa merasa butuh kepada surga yang
dimiliki Allah, juga tidak berusaha menghindar dari keburukan neraka yang
dimiliki Allah. Mereka beribadah kepada Allah semata-mata karena kecintaan
mereka, dengan suatu bentuk kecintaan yang dirasakan oleh dua kekasih yang
sedang berkasih-kasihan.
Sesungguhnya jika manusia meminta surga atau meminta terhindar dari -
neraka atas amalan yang telah dilakukannya, maka hal itu berarti ia telah
meminta upah atas apa yang telah dikerjakannya. Seseorang pantas meminta
upah jika dia memberikan manfaat kepada pemberi upah atau menghindarkan si
pemberi upah dari tertimpa kemadtorotan.
Ketika seseorang beribadah, ia sama sekali tidak memberikan manfaat kepada
Allah. Allah tak diuntungkan dari ibadah manusia. Demikian juga jika
manusia tak beribadah, hal ini sama sekali tidak memberikan kemadlorotan
kepada Allah. Bahkan jika semua manusia berbuat dosa, sama sekali tidak
merubah kedudukan Allah sebagai Rabb. Lalu mengertikah kau, anakku, kenapa
manusia masih merasa pantas menerima-surga atau terhindar dari neraka
sebagai upah dari amalannya ?
Dengan pemberian upah, maka harga amalanmu menjadi murah. Tetapi dengan
amalan yang tulus, maka harga amalan melonjak tinggi, melesat ke langit
sampai ke arsy Allah swt.
Lagi pula amal ibadah seseorang tak akan sanggup menyampaikan seseorang ke
surga jika tidak dibarengi dengan rahmat Allah. Dalam hal ini Allah
menurunkan beberapa rahmatnya sekaligus. Allah dengan Al-Rahimnya telah
melipatgandakan nilai ibadah umatnya (tapi tidak nilai dosanya), dan Allah
dengan Al Ghofurnya telah memberikan ampunan dosa yang tak terbatas
(kecuali syirik) kepada umatnya. Maka fahamilah bahwa masuknya seseorang ke
surga adalah karena kasih sayang dari Allah pada umatnya, bukan hasil
amalannya. Bahkan puasa 300 tahun dan ibadah yang terus menerus selama itu,
hanya sanggup mengimbangi nikmat berupa diberikannya sebelah mata oleh
Allah. Maka demi Allah, DIA adalah dzat yang pantas untuk diibadahi.
Pantaskah kita mendapat surga, jika amalan kita hanya sholat lima waktu ?
(Sekitar 25 menit (2%) dari 24 jam sehari) Pantaskah kita terhindar dari
neraka jika kita sering melakukan persetujuan dengan setan dalam berbuat
dosa ?
Jika saja bukan karena sumpah Allah untuk memenuhi neraka dengan
orang-orang kafir dari golongan jin dan manusia seluruhnya, dan jika saja
bukan karena sumpah Allah untuk memenuhi surga dengan orang-orang beriman,
maka terdapat sebagian para wali yang berkeinginan untuk mengisi neraka
dengan es, dan menghiasi surga dengan api, agar ibadah yang dilakukan
manusia tidak lagi untuk surga atau terhindar dari neraka, melainkan murni
hanya untuk Allah. Bukan yang lain.
Dalam hal ini Rabiah Al Adawiyah bersyair :
Ya Allah,
Jika aku menyembah-Mu karena takut dari pada api nerakaMu
Maka Bakarlah aku di dalamnya !
Jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu
Maka haramkanlah aku daripadanya !
Tetapi jika aku menyembahmu karena kecintaanku kepadaMu
Maka berikanlah aku balasan yang besar,
Yaitu melihat Dzat-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu
Di waktu yang lain Rabiah Al Adawiyah menyatakan cintanya kembali kepada
Allah
Wahai Allah
Berikanlah surga-Mu kepada para ahli ibadah
Dan berikanlah nerakamu, kepada pada pendosa
aku tak butuh kepada keduanya
untukku, cukuplah Engkau....
Nah anakku, malulah engkau kepada Allah, jika ibadahmu karena menginginkan
surga atau menghindari neraka. Allah telah menciptakan surga dan neraka
BUKAN untuk diibadahi, Beribadahlah bukan karena pemberian, tetapi
beribadahlah karena DIA memang pantas untuk disembah.
Anakku, jika nanti (berandai-andai) engkau dianugerahi tiga orang putra.
Putra yang pertama mengikuti perkataanmu karena menginginkan uang jajannya
ditambah. Putra kedua mengikuti perkataanmu karena takut dimarahi atau
dihukum olehmu ketika melanggar. Sedangkan putra ketiga mengikuti
perkataanmu karena kecintaannya kepadamu. Putra yang manakah yang
mendapatkan cinta terbesarmu ?
Karena itu,
- Anakku, jika engkau beribadah kepada Allah, Jangankah karena takut
pada-Nya Sehingga engkau serupa saja dengan budak yang buruk, yang bekerja
dengan rasa takut terhadap hukuman majikannya.
- Anakku, jika engkau beribadah, janganlah karena mengharapkan surga,
sehingga engkau serupa dengan budak yang buruk, yang harus diiming-imingi
sesuatu untuk agar mau bekerja
- Anakku, beribadahlah engkau kepada Allah, Karena rasa cinta dan
rindumu kepada- Nya Dan karena DIA dengan segala keMaha-an-Nya memang
pantas untuk diibadahi.
-
Sungguh, bermuwajahah (bertemu Dzat-Nya) dalam kebersamaan dengan Allah
adalah kenikmatan puncak, yang jauh lebih besar kenikmatannya ketimbang
kenikmatan surga. Tapi jika kekasihmu, Allah, memaksamu untuk menerima
surga-Nya. Terima saja. Tak baik menolak pemberian kekasih, walaupun
kenikmatan surga tak ada artinya tanpa kehadiran-Nya menyertaimu. Janganlah
sampai kau berpaling dari Allah karena kenikmatan surga.
Nah, anakku, dekati Allah sedekat-dekatnya. Jika dalam proses tersebut
Allah berkenan "memperkenalkan diriNya" kepadamu, maka akan terbuka semua
hijab (penghalang), dan akan terbuka semua rahasia keTuhanan, akan
dibukakan kepadamu manazil al-qurubat, dan berkelilinglah ruh-mu di alam
malakut, merindukan belaian kasih sayang-Nya, merindukan perjumpaan
dengan-Nya, sehingga engkau menghampiri-Nya seperti menghampiri seorang
kekasih
*Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau mau menyembah-Nya ?*
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Minggu, 11 November 2012
Minggu, November 11, 2012
Tidak ada komentar:
Langganan:
Postingan (Atom)