Selasa, 24 November 2009

Sholatmu Cahayamu

Shalat adalah cahaya, mampu melengyapkan gelapnya kesesatan dan kebatilan. Mampu menerangi muka orang yang shalat di dunia ini, mendandaninya dengan keindahan dan kecerahan, seperti tampak terlihat pada muka orang-orang yang biasa shalat di tengah masyarakat.

Shalat menyebabkan cahaya-cahaya bersinar-sinar padanya dan menerangi kegelaoan kuburnya, sesuai dengan perkataan Abu Darda’ radliyallahu’anhu:

“Shalatlah dua rakaat di kegelapan malam untuk menghindari kegelapan kubur (nantinya)”

Cahay muka orang yang shalat juga akan berseri-seri di hari kiamat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ

“Shalat adalah cahaya” (HR. Muslim)

Shalat merupakan sumber cahaya dan sinar penerangan bagi wajah seseorang. Allah ta’ala berfirman:
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ

”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...” (QS. Al-Fath: 29)

Pengertian firman Allah azza wa jalla di atas yang artinya, ”Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”: dikatakan sebagian ulama tafsir: Shalat telah memperindah wajah-wajah mereka”. Sementara Ibnu Abbas radliyallahu’anhu mengatakan: ”Kepribadian yang baik terpencar pada raut muka mereka hasil dari sujud”.

Dari Mashur daru Mujahid, ia berkata bahwa maksudnya adalah ”kekhusyu’an hati”.

Mungkin ada diantara kalian yang menyangka bahwa tanda bekas sujud adalah tanda hitam di wajah (dahi) seseorang. Akan tetapi menengok penafsiran para ulama tafsir di atas yang sudah tidak perlu dipertanyakan kapabilitasnya anggapan itu tidak (kurang) tepat. Meskipun bisa saja tanda itu dijadikan bahan pertimbangan keshalihan dan indikator ketekunannya mengerjakan shalat, namun jangan salah, standar penilaian ini tidak bisa dipakai secara mutlak. Sebab, tanda hitam di dahi bisa saja ’menghiasi’ wilayah di atas dua mata seseorang yang hatinya lebih keras dari Fir’aun, orang munafik, atau siapa saja yang ingin dibilang gemar ibadah shalat, lalu jidatnya digesek-gesekkan ke tembok. Ini kan mungkin.

Nah, kembali kepada keterangan Ulama tadi mengenai makna ayat yang sebenarnya, bahwa tanda-tanda tersebut akan benar-benar memancarkan kecerahan, keceriaan, kejernihan dan penolakan terhadap dosa-dosa pada wajah orang-orang yang shalat. Itu tiada lain buah dari pengaruh kekhusyu’an hati, dan ketenangan jiwa, yang pada gilirannya terpencar di raut wajah seseorang. Sifat kesombongan dan ketakaburan pun tersingkir, tergantikan oleh sifat rendah hati, kelembutan jiwa dan keceriaan wajah hingga kian menjernihkan wajah seorang mukmin.

Sebagai pengaruh positif dari kekhusyu’an hati, rasa takut dan harap-harap cemas, serta pujian dan tasbih yang terucap, maka seorang mukmin tampil laksana insan yang baru tiba dari kampung akhirat untuk menceritakan hal-hal yang ia saksikan kepada khalayak. Atau bagaikan seorang manusia yang tersisa dari generasi awal umat, melompat ke zaman sekarang untuk hidup bersama di masa kita ini.

Dari Abu Buraidah radliyallahu’anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang biasa berjalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat.” (Shahihut Targhib no.313)

Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Sungguh, Allah akan menghiasi orang-orang yang terbiasa mondar-mandir ke masjid di kegelapan malam dengan cahaya yang besinar di hari Kiamat”. (Shahihut Targhib no.315)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya:

”Tidak ada seorang pun dari kalangan umatku, melainkan aku akan mengenalinya di hari kiamat kelak. Para sahabat berkata:’Bagaimana engkau dapat mengenali mereka, wahai Rasulullah, di kerumunan orang yang banyak (pada waktu itu) ? Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata: ’Menurutmu, jika engkau masuk ke sebuah kandang, di sana ada kuda berwarna hitam pekat, dan kuda yang di kepalanya dan ujung-ujung kakinya terdapat warna putih, bukankah engkau akan mengenalinya?. Ia menjawab: ”Iya, betul”. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ’Sesungguhnya umatnya akan datang pada hari itu dengan kepala berwarna putih pengaruh dari sujud dan kaki-kaki yang cerah pengaruh dari wudlu’”. (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

----

Diadaptasi dari

Muntaqa Fadhailish Shalaah wa Adaabiha,

Syaikh Ali Hasan al-Halabi hlm, 11-12

Sumber: Majalah Elfata edisi II Vol. 09 2009, hlm. 65-57

Merajut Ta’awun Syar’i Antara Pasutri

Oleh. Ust. Abu Zahroh

Sudah merupakan sunatulloh dalam kehidupan dunia ini, bahwa suami istri secara bersama-sama bergandeng tangan memakmurkan dan mengatur kegiatan-kegiatan kehidupan dunia yang dimulai dari rumah tangga mereka. Suami selalu butuh kepada istri, begitu pula sebaliknya. Dari sini, syari’at Islam memberikan petunjuk agar kaum muslimin secara umum dan pasutri secara khusus, mempunyai sifat ta’awun (saling menolong) dalam kebajikan sebatas kemampuan yang dimilikinya dan menjauh secara total ta’awun dalam dosa dan permusuhan. Allah ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“....dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2)

Kebajikan yang dimaksud dalam ayat ini adalah mengamalkan semua perintah Allah. Sedangkan takwa adalah menjauhi segala larangan Allah ta’ala, menjauhi bermaksiat kepada-Nya. Dari makna ini, kita dapat mengetahui bahwa ruang lingkup ta’awun syar’i antara pasutri sungguh sangatlah luas, diantaranya:

1. Bekerja sama dalam beribadah kepada Allah ta’ala.

Sebagai contoh adalah membaca al-Qur’an. Akan sangat bagus seandainya pasutri mengkhususkan waktu tertentu untuk membacanya dengan cara saling menyimak bacaannya. Atau membangunkan salah satu dari keduanya di malam hari, untuk melaksanakan sholat malam, dan ibadah-ibadan lainnya. Sesungguhnya hal yang seperti ini akan menumbuhkan kecintaan antara keduanya, kehidupannya akan diberkahi dan penuh dengan kebahagiaan. Ini ketika keduanya di dunia, adapun di akhirat kelak tentu mereka akan mendapatkan sebaik-baik pahala. Allah ta’ala berfirman:
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بَالصَّلاَةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا

“Dan ia menyuruh ahlinya (keluarganya) untuk shalat dan menunaikan zakat. Dan ia adalah seorang yang diridloi di sisi Rabb-nya” (QS. Maryam: 55)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun malam lalu membangunkan keluarganya. Jika keluarganya enggan, ia mengambil air dan menyiramkannya ke wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam lalu membangunkan keluarganya. Jika keluarganya enggan, ia mengambil air dan menyiramkannya ke wajah.” (HR. Abu Dawud 1113)

2. Bekerja sama dalam mentarbiyah (mendidik) anak.

Di kedua pundak pasutri terdapat amanat yang besar lagi pokok, yakni mentarbiyah anak-anak mereka untuk senantiasa berpegang pada akhlak-akhlak mulia, mengerjakan kebajikan-kebajikan, meninggalkan kejelekan dan kerendahan serta melakukan hal-hal yang dicintai dan diridloi oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلآئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادُُ لاَّيَعْصُونَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَايُؤْمَرُونَ

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

Rumah merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak. Kebaikan anak sangat bergantung kepada kebaikan tarbiyah di rumah, demikian pula sebaliknya. Sedangkan baik-buruknya tarbiyah di rumah sangat bergantung pada kerapian kerja sama antara kedua pasutri dalam mentarbiyah anak mereka.

3. Bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah

Hal ini telah dipraktikkan langsung oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bermusyawarah dengan istri-istrinya, dan beliau juag mengambil pendapat mereka. Perhatikanlah kejadian pada masa perjanjian Hudaibiyah. Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam selesai mengadakan perjanjian, beliau bersabda kepada para sahabatnya:

”Berdirilah kalian dan menyembelihlah lalu cukurlah rambut-rambut kalian !”.

Demi Allah, tak seorang pun mau melaksanakan seruan beliau tersebut. Melihat peristiwa ini, beliau pun masuk ke tempat Ummu Salamah radliyallahu’anha dan menceritakan peristiwa yang beliau alami. Mendengar penuturan Rasulullah tersebut, Ummu Salamah radliyallahu’anha berkata:

”Wahai Nabiyullah, apakah Anda suka hal itu (perintah Anda dilaksanakan) ?, keluarlah dan jangan bicara satu kalimat pun dengan salah seorang diantara mereka sehingga Anda menyembelih unta-unta Anda, dan Anda memanggil seorang pencukur kemudian ia mencukur rambut Anda”.

Maka Rasulullah pun mengerjakan apa yang disarankan Ummu Salamah radliyallahu’anha. Ketika para sahabat melihat Rasulullah menyembelih Unta dan mencukur rambutnya, mereka pun berbuat semisal perbuatan Rasulullah tersebut. (HR. Bukhori 2529)

4. Suami membantu istri mengurus anak-anaknya

Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan akhlak yang sangat terpuji bagi seorang suami, dan merupakan sarana yang amat bagus bagi seorang bapak untuk mengenali hajat material dan spiritual anak. Dengan melakukan itu dia bisa lebih akrab dengan anak-anaknya dan bisa mengawasi kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari dari dekat.

Bukanlah aib jika suami membantu istrinya merawat dan mengurus anak-anaknya, terutama jika seorang istri memiliki pekerjaan lain selain merawat dan mengurus anak. Hal ini lebih sangat dibutuhkan lagi ketika seorang istri sedang sakit atau anaknya sedang sakit. Tidak selayaknya seorang suami yang mengetahui istrinya sedang sakit kemudian membiarkannya sendiri mengurus anak-anak, atau ketika anaknya sedang sakit ia membiarkannya mengurus anaknya sendirian tanpa dibantu sama sekali. Bagaimanapun juga mereka adalah anak mereka berdua, bukan hanya anak sang istri.

Hendaknya seorang suami menyadari bahwa bantuannya kepada istri ketika ia atau anaknya sedang sakit sangatlah dibutuhkan dan merupakan sebuah kemestian. Ia wajib melakukan hal ini sehingga dengannya akan sempurna kebahagiaan keluarga dan kebahagiaan akhirat.

5. Suami membantu istri menyelesaikan pekerjaan rumah

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagai suri tauladan seluruh kaum muslimin memberikan contoh yang bagus dalam mewujudkan ta’awun syar’i dalam rumah tangga pasutri ini, yaitu dengan membantu istri untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Berikut ini penuturan Aisyah radliyallahu’anha tentang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bekerja sama beliau dengan istrinya ketika berada di rumah:

Dari al-Aswad radliyallahu’anhu beliau berkata: ”Aku bertanya kepada Aisyah tentang apa yang dilakukan oleh Rasululah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya, maka Aisyah menjawab: ’Beliau membantu istrinya, dan jika datang waktu shalat, beliau keluar untuk shalat’”. (HR. Bukhori 676)

Dalam riwayat lain, Aisyah radliyallahu’anha mengatakan: ”Nabi menjahit pakaiannya sendiri, menjahit sandalnya dan bekerja sabagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki di rumah mereka”. (Lihat shahih jami’ush shogir 4937)

Semoga kita (kelak) termasuk ke dalam golongan pasutri yang senantiasa merajut ta’awun syar’i menuju ridlo Ilahi dan kebehagiaan akhirat yang hakiki. Amiin.

---

Sumber: Majalah al-Mawaddah edisi ke-8 tahun ke-2 Rabiul Awal 1430 H/ Maret 2009, hal. 37-38.

Diposting ulang di: http://maramissetiawan.wordpress.com

AL-JENAZAH AIRLINE

INFORMASI PENERBANGAN GRATIS AL-JENAZAH AIRLINES,
LAYANAN PENUH 24 JAM

Bila kita akan 'berangkat" dari alam ini ia ibarat penerbangan ke sebuah
negara.
Dimana informasi tentangnya tidak terdapat dalam brosur penerbangan,
tetapi melalui
Al-Qur'an dan Al-Hadist.
Dimana penerbangan bukannya dengan Garuda Airlines, Singapore Airlines,
atau
American Airlines, tetapi Al-Jenazah Airlines.
Dimana bekal kita bukan lagi tas seberat 23Kg, tetapi amalan yang tak
lebih dan tak kurang.
Dimana bajunya bukan lagi Pierre Cardin, atau setaraf dengannya, akan
tetapi kain kafan putih.
Dimana pewanginya bukan Channel atau Polo, tetapi air biasa yang suci.
Dimana passport kita bukanIndonesia , British atau American, tetapi
Al-Islam.
Dimana visa kita bukan lagi sekedar 6 bulan, tetapi 'Laailaahaillallah'
Dimana pelayannya bukan pramugari jelita, tetapi Izrail dan lain-lain.
Dimana servisnya bukan lagi kelas business atau ekonomi, tetapi sekedar
kain yang
diwangikan.
Dimana tujuan mendarat bukannya Bandara Cengkareng, Heathrow Airport atau
Jeddah International, tetapi tanah pekuburan.
Dimana ruang menunggunya bukan lagi ruangan ber AC dan permadani, tetapi
ruang 2x1 meter, gelap gulita.
Dimana pegawai imigrasi adalah Munkar dan Nakir, mereka hanya memeriksa
apakah kita layak ke tujuan yang diidamkan.
Dimana tidak perlu satpam dan alat detector.
Dimana lapangan terbang transitnya adalah Al Barzah
Dimana tujuan terakhir apakah Syurga yang mengalir sungai dibawahnya atau
Neraka Jahannam.
Penerbangan ini tidak akan dibajak atau dibom, karena itu tak perlu
bimbang.
Sajian tidak akan disediakan, oleh karena itu tidak perlu merisaukan
masalah alergi atau halal haram makanan.
Jangan risaukan cancel pembatalan, penerbangan ini senantiasa tepat
waktunya, ia berangkat dan tiba tepat pada masanya.
Jangan pikirkan tentang hiburan dalam penerbangan, anda telah hilang
selera bersuka ria.
Jangan bimbang tentang pembelian tiket, ianya telah siap di booking sejak
anda ditiupkan ruh di dalam rahim ibu.
YA ! BERITA BAIK !! :D:D:D
Jangan bimbangkan siapa yang duduk di sebelah anda.
Anda adalah satu-satunya penumpang penerbangan ini. :-o:-o
Oleh karena itu bergembiralah selagi bisa! Dan sekiranya anda bisa!
Hanya ingat! Penerbangan ini datang tanpa 'Pemberitahuan' .
Cuma perlu ingat!! Nama anda telah tertulis dalam tiket untuk
Penerbangan. ...
Saat penerbangan anda berangkat... tanpa doa Bismillahi Tawakkaltu 'Alallah, [-o<[-o<[-o<
atau ungkapan selamat jalan.
Tetapi Inalillahi Wa Inna ilaihi Rajiuun....
Anda berangkat pulang ke Rahmatullah. Mati.
ADAKAH KITA TELAH SIAP UNTUK BERANGKAT?
'Orang yang cerdas adalah orang yang mengingat kematian. Karena dengan
kecerdasannya dia akan mempersiapkan segala perbekalan untuk
menghadapinya. '
ASTAGHFIRULLAH 3X, semoga ALLAH SWT mengampuni kita beserta keluarga...
Amiin
WALLAHU A'LAM
Catatan:
Penerbangan ini berlaku untuk segala umur...tanpa kecuali, maka perbekalan
lebih baik dipersiapkan sejak dini.....sangat tidak bijak dan tidak cerdas
bagi yang menunda-nunda mempersiapkan perbekalannya.
SUARA YANG DIDENGAR MAYAT
Yang akan ikut mayat adalah tiga hal yaitu:
1. Keluarga
2. Hartanya
3. Amalnya
Ada Dua Yang Kembali Dan Satu akan Tinggal Bersamanya yaitu:
1.Keluarga dan Hartanya Akan Kembali
2. Sementara Amalnya Akan Tinggal Bersamanya.
Ketika Roh Meninggalkan Jasad...Terdengarla h Suara Dari Langit Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan..
Apakah Kau Yang Telah Meninggalkan Dunia, Atau Dunia Yang
Meninggalkanmu
Apakah Kau Yang Telah Menumpuk Harta Kekayaan, Atau Kekayaan Yang
Telah
Menumpukmu
Apakah Kau Yang Telah Menumpuk Dunia, Atau Dunia Yang Telah Menumpukmu
Apakah Kau Yang Telah Mengubur Dunia, Atau Dunia Yang Telah
Menguburmu."
Ketika Mayat Tergeletak Akan Dimandikan.. ..Terdengar Dari Langit Suara
Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan...
Mana Badanmu Yang Dahulunya Kuat, Mengapa Kini Te rkulai Lemah Mana
Lisanmu
Yang Dahulunya Fasih, Mengapa Kini Bungkam Tak Bersuara Mana
Telingamu Yang
Dahulunya Mendengar, Mengapa Kini Tuli Dari Seribu Bahasa
Mana Sahabat-Sahabatmu Yang Dahulunya Setia, Mengapa Kini Raib Tak
Bersuara"
Ketika Mayat Siap Dikafan...Suara Dari Langit Terdengar Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan
Berbahagialah Apabila Kau Bersahabat Dengan Ridha
Celakalah Apabila Kau Bersahabat Dengan Murka Allah Wahai Fulan Anak
Si Fulan...
Kini Kau Tengah Berada Dalam Sebuah Perjalanan Nun Jauh Tanpa Bekal
Kau Telah Keluar Dari Rumahmu Dan Tidak Akan Kembali Selamanya Kini
Kau Tengah Safar Pada Sebuah Tujuan Yang Penuh Pertanyaan."
Ketika Mayat Diusung.... Terdengar Dari Langit Suara Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan..
Berbahagialah Apabila Amalmu Adalah Kebajikan
Berbahagialah Apabila Matimu Diawali Tobat
Berbahagialah Apabila Hidupmu Penuh Dengan Taat."
Ketika Mayat Siap Dishalatkan. ...Terdengar Dari Langit Suara Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan..
Setiap Pekerjaan Yang Kau Lakukan Kelak Kau Lihat Hasilnya Di Akhirat
Apabila Baik Maka Kau Akan Melihatnya Baik
Apabila Buruk, Kau Akan Melihatnya Buruk."
Ketika Mayat Dibaringkan Di Liang Lahat....terdengar Suara Memekik Dari
Langit,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan...
Apa Yang Telah Kau Siapkan Dari Rumahmu Yang Luas Di Dunia Untuk
Kehidupan
Yang Penuh Gelap Gulita Di Sini
Wahai Fulan Anak Si Fulan...
Dahulu Kau Tertawa, Kini Dalam Perutku Kau Menangis
Dahulu Kau Bergembira,Kini Dalam Perutku Kau Berduka
Dahulu Kau Bertutur Kata, Kini Dalam Perutku Kau Bungkam Seribu
Bahasa."
Ketika Semua Manusia Meninggalkannya Sendirian... .Allah Berkata Kepadanya,
"Wahai Hamba-Ku.... .
Kini Kau Tinggal Seorang Diri
Tiada Teman Dan Tiada Kerabat
Di Sebuah Tempat Kecil, Sempit Dan Gelap..
Mereka Pergi Meninggalkanmu. . Seorang Diri
Padahal, Karena Mereka Kau Pernah LanggarPerintahku
Hari Ini,....
Akan Kutunjukan Kepadamu
Kasih Sayang-Ku
Yang Akan Takjub Seisi Alam
Aku Akan Menyayangimu
Lebih Dari Kasih Sayang Seorang Ibu Pada Anaknya".
Kepada Jiwa-Jiwa Yang Tenang Allah Berfirman,
"Wahai Jiwa Yang Tenang Kembalilah Kepada Tuhanmu
Dengan Hati Yang Puas Lagi Diridhai-Nya
Maka Masuklah Ke Dalam Jamaah Hamba-Hamba- Ku
Dan Masuklah Ke Dalam Jannah-Ku"
Anda Ingin Beramal Shaleh...?
Tolong Kirimkan Kepada Rekan-Rekan Muslim Lainnya Yang Anda Kenal...!!!
Semoga Kematian akan menjadi pelajaran yang berharga bagi kita dalam
menjalani
hidup ini.
Rasulullah SAW. menganjurkan kita untuk senantiasa mengingat mati (maut)
dan dalam sebuah hadistnya yang lain, beliau bersabda "wakafa bi
almautiwa'idha" , artinya, cukuplah mati itu akan menjadi pelajaran bagimu!
Semoga bermanfaat bagi kita semua, Amiin....
Bahan Renungan Untuk Anda, Sahabatku, yang mungkin terlalu sibuk
bekerja...
Luangkanlah waktu sejenak untuk membaca dan merenungkan pesan ini...
Alhamdulillah, Anda beruntung telah terpilih untuk mendapatkan kesempatan
membaca catatan ini.
Aktifitas keseharian kita selalu mencuri konsentrasi kita. Kita seolah
lupa dengan sesuatu yang kita tak pernah tahu kapan datangannya. Sesuatu
yang bagi sebagian orang sangat menakutkan.Tahukah kita kapan kematian
akan menjemput kita???

SALAM CINTA 19 !!!

Ketika Hari Raya Bertepatan Hari Jum’at

Terkutip dari kitab Musnad as Syafi’i, karya syaikh Muhammad Abid as Sindi (w. 1257H) mengenai hari raya yang bertepatan dengan hari jumat sebagai berikut (terjemah oleh Bahrun Abu Bakar terbitan Sinar Baru Algensindo),

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepadanya Ibrahim ibnu Utbah, dari Umar ibnu Abdul Aziz yang.menceritakan: Di zaman Nabi. Saw. pernah terjadi dua hari raya bersatu, maka beliau bersabda,”"Barang siapa yang dari kalangan penduduk Aliyah ingin tetap duduk (menunggu salat Jumat), hendakloh ia duduk tanpa harus bersusah payah.”

Penjelasan:
Di dalam kitab Al-Lisan disebutkan bahwa al awaali artinya yaitu daerah perbukitan yang terletak sejauh empat mil dari kota Madinah, dan yang paling jauh ialah dari arah Najd, letaknya delapan mil dari Madinah. Yang dimaksud dengan dua hari raya ialah hari Jumat dan hari raya. Nabi Saw menyuruh mereka memilih antara tetap tinggal menunggu salat Jumat atau kembali ke tempat tinggal mereka (sesudah salat hari raya). Seakan-akan Nabi Saw. berpandangan, tidak mau memberatkan dengan menahan mereka tidak kembali ke tempat tinggal mereka yang jauh dalam hari raya seperti ini sampai salat jumat selesai, sesudah mereka salat Id. Karena itu Nabi Saw. bersabda, “Hendaklah ia tetap duduk tanpa harus bersusah payah.”

Malik ibnu Anas telah menceritakan kepada kami, dari lbnu Syihab, dari Abu Ubaid maula ibnu Azhar yang menceritakan: Aku pernah menyaksihan (shalat) hari raya bersama Khalifah Utsrnan ibn Affan. Ia datang, lalu shalat (hari raya). Setelah salat, ia berkhotbah dan mengatakan (dalam khotbahnya), “sesungguhnya telah berkumpul menjadi satu bagi kalian di hari kalian sekarang ini, dua hari,raya. Maha barang siapa dari kalangan penduduk Aliyah ingin menunggu salat Jumat, ia boleh menunggunya. Dan barang siapa yang lebih menyukai kembali (ke tempat tinggalnya), maka sesungguhnya aku telah mengizinkan (untuk kembali).”
Selesai kutipan.

Berikut penjelasan pesantren virtual dan habib Munzir al Musawa mengenai hal ini dalam madzab Syafi’i. Semoga manfaat.

http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/274.shtml

Sebelumnya saya ingin menjelaskan dulu bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah/Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut musholla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied.
Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami’. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut.
Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami’ dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami’ sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum’at.
Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah berkata dalam suatu hadist sahih, yang diriwayatkan `Utsman RA, : “Barang siapa (dari penduduk pegunungan/pedesaan) yang ingin melaksanakan shalat jum`at bersama kami maka shalatlah, dan barang siapa yang ingin kembali maka kembalilah.”
Adapun pendapat Ulama` dalam kasus ini sebagai berikut, Syafi`iyah mengatakan shalat jum`at tetap wajib bagi penduduk kota/sekitar masjid, sedangkan bagi penduduk desa/pedalaman shalat jum`atnya gugur/tidak wajib (mendapat keringanan), berdasarkan hadist di atas.
Malikiyah, Hanafiyah, dan Dhahiriyah mengatakan tidak ada perubahan hukum dalam masalah ini, yaitu wajib melaksanakan shalat Jum`at bagi setiap mukallaf (baik penduduk desa/kota), dan sunnah melaksanakan shalat Ied.
Jadi, jika hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka bagi kaum Muslimin yang telah melaksanakan shalat Ied, mendapatkan kelonggaran untuk tidak mengikuti shalat Jum’at. Namun bagi yang ingin mengikuti shalat Jum’at pun tetap sah dan disunnahkan.
Sedangkan bagi imam Masjid, untuk tetap mendirikan shalat Jum’at untuk memberikan kesempatan bagi kaum Muslimin yang tidak sempat mengikuti shalat Ied atau ingin menunaikan shalat Jum’at. Hal ini didasarkan pada Sabda rasulullah s.a.w. yang artinya, “Nabi melakukan shalat Ied dan memberi keringanan dalam shalat Jum’at, beliau bersabda: ‘Barangsiapa ingin shalat Jum’at, maka shalatlah. Dan sesungguhnya kita telah berjama’ah (fa inna mujammi`un)’.” (H.R. Turmudzi)

Sekian dari kami semoga bermanfa`at

http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=7&id=18439#18439
saudaraku yg kumuliakan, hal itu (berlakunya keringanan itu) adalah di wilayah yg padanya hanya ada satu masjid, sebagaimana masa lalu muslimin berdatangan dari wilayah perkampungan dan wilayah jauh, maka mereka melakukan shalat ied saja, dan jika harus kembali lagi untuk jumat maka akan sangat melelahkan, maka diudzurkan jumat dihari itu,
beda dimasa kini yg masjid sudah ada dimana mana, maka tak ada udzur untuk meninggalkan jumat,
dan diperjelas pada riwayat shahih bahwa Nu’man bi Basyir ra berkata :
“Rasul saw membaca surat sabbihisma rabbikal a’la dan Hal ataaka pada shalat jumat dan Ied, dan jika bersatu Ied dan Jumat pada satu hari maka membaca dua surat itu pada keduanya” (Shahih Muslim Bab Maa yaqra’ filjum’ah, Shahih Ibn Khuzaimah, Shahih Ibn Hibban, Musnad Ahmad, dan banyak lagi).

mengenai udzur tsb adalah hadits riwayat Musnad Ahmad dan Ibn Khuzaimah bahwa Rasul saw menjelaskan jika hal ini terjadi maka Rasul saw memberi izin rukhsah/kemudahan untuk tidak melakukan jumat, dan barangsiapa yg ingin melakukan keduanya maka lakukanlah keduanya” (Shahih Ibn Khuzaimah)

namun tentunya hal itu adalah karena sedikitnya masjid masa itu, dan mereka berdatangan dari jauh.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a’lam

http://orgawam.wordpress.com/2009/11/22/ketika-hari-raya-bertepatan-hari-jumat/

TAKDIR ALLAH

Suatu ketika orang bertanya kepada saya tentang takdir Allah. Ia mempertanyakan tentang nasibnya, yang selalu dirundung malang. Di antara pertanyaannya, apakah takdir Allah bagi seseorang dipengaruhi oleh cara orang tersebut berpikir, berperilaku, dan berusaha?

Ia juga mengatakan, ada orang yang saling menyayangi sampai bertahun-tahun, tapi mereka tidak sampai menikah, hubungan mereka terputus tanpa sebab yang kuat. Dan sebaliknya, ada orang yang bertemu dengan seseorang, dalam waktu singkat mereka menikah.

Lalu, lanjutnya, ada orang yang berusaha mencari rezeki dengan susah payah dan mengikuti ketentuan agama secara ketat, menjaga yang halal dan haram, tapi pendapatannya hanya cukup untuk hidup sederhana saja. Di lain pihak, ada orang yang berusaha tanpa modal, dan pekerjaannya tidak berat, namun hasilnya sangat menakjubkan, dalam waktu singkat ia memperoleh laba puluhan juta. Apakah ini Takdir Allah atau tidak?

Memang untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Yang penting dan harus kita yakini adalah, bahwa Allah menentukan sesuatu atas kehendak-Nya, tidak ada yang dapat mempengaruhi-Nya. Yang dapat dilakukan oleh manusia, hanya memohon dan berdoa kepada-Nya. Jika Dia mau mengabulkan permohonan hamba-Nya itu akan diberi-Nya apa yang dimohonkan hamba-Nya itu. Sesungguhnya Allah berjanji akan mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Nya.

Allah berfirman: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (Q. S. 2 : 186) Jadi, takdir Allah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Namun demikian, Allah membuka kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan memohon kepada-Nya. Hanya Allah menuntut agar manusia itu mematuhi segala perintah-Nya dan beriman kepada-Nya.

Dari tinjauan psikologi, sesungguhnya manusia membutuhkan iman kepada Allah, terutama bila manusia itu dihadapkan kepada kekecewaan yang amat sangat, apabila yang diharapkannya tidak tercapai, atau yang tidak diinginkannya terjadi.

Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu manusia perlu mendasarkan semua yang diinginkan dan diusahakannya menurut ketentuan Allah dan dalam batas-batas yang diridlai-Nya. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada yang di luar kehendak Allah. Orang yang teguh imannya kepada Allah, ia yakin bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan, faktor X dan sebagainya.

Oleh karena itu orang beriman tidak mengenal putus asa. Jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan atas dirinya, ia segera ingat kepada Allah. Boleh jadi ada hikmahnya, yang saat ini ia belum mengetahuinya, ia dapat menghindari rasa kecewa. Firman Allah: Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q. S. 4 : 19) Jadi iman kepada Takdir Allah, dapat menjadi obat bagi gangguan kejiwaan dan dapat pula mencegah terjadinya gangguan kejiwaan.

Berihram di Dalam Negeri

Assalamualaikum Wr Wb,
Sewaktu kecil saat sholat berjamaah banyak kejadian lucu. Melihat teman sebelah garuk-garuk karena nggak khusyu, dengan niatan lugu teman satunya mengingatkan : hei, kalau banyak gerak, nanti sholatmu batal. Dengan lugunya pula teman di belakangnya nyeletuk : Sholat kok ngomong ! batal Lho. Lha gadah ! kamu juga ngomong ! sama-sama batal dong !. Di sekelilingnya juga mulai cekikikan mendengar kekonyolan itu. Yang agak senior dengan setengah sinis nggerundhel : Arek-arek iki rek...rame ae. Nanti mulutnya tak obras baru tau rasa. Sholat kok buat guyonan. Mungkin sesepuhnya masjid sambil meneruskan rakaat juga nimbrung dalam hati : Ah...Seandainya mereka tahu manfaat dan nikmatnya sholat...

Tak terasa, ternyata semua terlibat kebatalan-kebatalan yang tak disadari. Semua merasa benar. Semua merasa berkewajiban mengingatkan. Semua berhak marah bila agama jadi sesuatu yang tidak serius. Semua ingin berbagi kebahagiaan spiritual. Namun mata hatinya masih melirik ke kanan kiri. Belum memandang lurus ke depan. Allah Sang Penggerak.

Semua berdebat kendaraan cara. Semua berdebat jalan kebenaran. Semua berdebat pengalaman. Terhenti di hiruk pikuk sampai tak terasa lupa tujuan.
Batal tapi benar. Batal tapi indah. Batal tapi lega. Batal tapi lapang. Tahu tujuan tapi masih berat di ongkos.

Sampai kita dewasa pun ternyata kebatalan-kebatalan itu selalu terjadi dengan bentuk yang lebih halus dan luas. Tentu sesuai dengan rumitnya parameter file otak kita tentang tafsir-tafsir. Mungkin kalau urusan mengerjakan tertib sholat yang lima waktu itu, bolehlah kita bangga merasa lebih khusyu ketimbang sahabat-sahabat kita yang kecil. Tapi bagaimana dengan mendirikan sholat ? Perintah aqomu sholat, mendirikan sholat, seperti orang mendirikan rumah. Setelah mendirikan, sudah seharusnya seseorang harus bermukim di dalamnya. Menjadi mukimin sholat. Bermaqom di sholat. Kalau mengerjakan itu urusan lima waktu, sedangkan mendirikan dan bermukim harus 24 jam online. Tidak boleh melakukan gerakan-gerakan yang membatalkan.Khusyu 24 jam tanpa melirik sekalipun.

Kekhusyukan terus-menerus mendirikan sholat tanpa lirak-lirik kanan ini sudah seharusnya menjadi kewajiban moral. Tapi siapa sih yang betah tidak lirak-lirik senggal-senggol kanan kiri ? Ah...kalau berjilbabnya masih gitu sih belum kafah. Ah...kalau metode penafsirannya begituan, apa bisa dipertanggungjawabkan. Ah...ngaji di pesantren belum tuntas kok kesusu ngomong. Jadi nambahin kacau deh. Ah...kalau metode sholatnya Abu Sangkan sih sebenarnya sudah jadi lauk pauk keseharian. Sayang kita tinggal di pinggiran yang tak tercover peradaban media modern. Itu semua sebagian contoh kecil lirikan dan gerakan diluar rakaat mata pikiran dan mata hati kita dalam bermukim sholat.

Kalau fikih syariat tidak sahnya rukun sholat karena najisnya pakaian, maka fikih hakekat batalnya gerakan mukim sholat ini penyebab utamanya adalah masalah model pakaian. Setiap hari kita berganti model baju tak pernah puas. Kemarin kita pakai baju intelektual. Setelah bosan, sekarang ganti kostum politikus. Besok mungkin sudah merancang desain model pengusaha. Kemarin ikut ini, sekarang ikut itu. Lusanya karena nggak puas terhadap semuanya lalu pindah jadi spiritualis. Ketika nggak laku, balik lagi jadi pedagang, menjual spiritualitas.

Kita semua terombang-ambing oleh perputaran trend baju gelar, profesi dan status sosial. Sehingga kita begitu peka mengamati baju-baju orang sekitar. Oh...kalau itu pakaianku lima tahun yang lalu waktu ABG. Eihh...masih ada juga model begini. Wah...ini bisa jadi trend futuristik. Sip...ini hak patenku.Ini nilai jualnya tinggi. Waduh gimana bajuku ini kok mulai ketinggalan ya...
Seandainya kita paham bahwa makna dasar baju hanyalah sebatas menutup nilai aurat ruhani yang sangat personal, maka selesailah sudah urusan yang tidak perlu itu. Kita tak lagi bingung jahitan model tafsir siapa, motif model gerakan halaqah siapa, benang spiritual siapa, warna pemahaman siapa dan kancing fatwa siapa. Kita juga tak perlu menyelidik menyingkap bagaimana sebenarnya bentuk body ruhani seseorang di balik baju itu.

Kepentingan kita seharusnya cukup mensibukkan diri menutupi pencapaian-pencapaian spiritual dengan baju putih bersih tanpa rajutan, tanpa warna, tanpa motif dan tanpa model. Netral seperti netralnya baju ihram. Inilah kostum sejati seseorang yang telah mencapai puncak ibadah. Baik ibadah sholat maupun haji ataupun ketiga rukun Islam lainnya.

Bila saja semua pemuka agama Islam telah berbaju ihram dalam keseharian, selesailah sudah pertikaian itu. Baik berihram secara syariat maupun hakikat.

Andai saya punya dana sangat buwessarrr, saya akan ber SMS kepada semua Kyai, Ustadz, Ajengan, Mursyid, Murobbi dan sejenisnya yang berbunyi :

Minggu depan di mohon kumpul di Istiqlal. Wajib memakai baju ihram. diharamkan membawa bendera dan label apapun. Ongkos ditanggung panitia. Mohon konfirmasi balik untuk masalah akomodasi. Wassalam, dari pecinta warosatul anbiya.

Ah...kita akan melihat Istiqlal bagaikan miniatur Makkah. Kita para makmum dan umat juga tidak akan larut dalam penilaian yang tak perlu. Kita tidak bisa lagi menilai : Tuh yang sorbannya segedhe wakul itu golongan si A. Yang celananya hampir sedengkul itu pasukan B. Kalau yang berbaju koko itu jamaah C. Kayaknya yang kopyah hitam itu favoritku. Wah ini nih gamisnya mantap. Cara pandang kita akan dibutakan dengan keindahan. Kemanapun memandang yang ada hanyalah putih bersinar bagaikan kesucian hati mereka. Tak ada lagi klaim merasa bersih dari yang lainnya.

Tinggal selangkah. Jika para beliau telah berjajar rapi dengan pakaian ihram, saya ingin memberanikan diri berdiri mengajukan sebuah uneg-uneg :

"Ya para pewaris nabi...hari ini aku sangat bahagia. Karena tak lagi kulihat sekat-sekat dari golongan Islam mana engkau berasal. Engkau semua begitu bersih sebersih kain ihram. Terlihat jelas olehku perbedaan antara bersih dan kotor. Hitam dan putih. Dan engkaulah yang putih bersih itu. Maka sudah seharusnya engkau semua layak menjadi simbol moral kami. Pimpinlah kami turun ke jalan secara besar-besaran. Meneriakkan segala ketidak beresan negeri ini. Teriakkan anti korupsi secara lantang. Sebab inilah biang keroknya.

Adanya tayangan maksiat itu karena aturan yang sebenarnya sudah berpihak pada nilai Islam dikorupsi, dilanggar. Bertebarannya fakir miskin dan anak yatim juga karena korupsi dana kesejahteraan. Kebodohan yang berakibat mudah menuduh dan menghakimi itu juga karena korupsi anggaran pendidikan. Ketidak khusyukan sholat seorang bapak yang bingung cari nafkah itu juga karena korupsi regulasi yang tak berpihak samasekali kepada pedagang kecil. Semua berasal dari nilai luhur dan kesantunan yang telah dikorupsi demi sebuah eksistensi kain seluas kurang lebih satu kali dua meter alias bendera - bendera golongan.

Ayolah kita bikin gerakan moral besar-besaran tanpa kepentingan apapun. Setulus kain ihram. Tanpa motif, tanpa warna dan jahitan. Ayo kita hancurkan berhala-berhala bendera golongan itu ! Saya yakin bila Anda semua turun kejalan dengan pakaian ihram, pasti semua orang di pinggir jalan akan ikut. Sebab orang-orang kecil atau makmum biasanya lebih jeli membaca sebuah ketulusan. Pasti ikut ! Pasti ikut !. Lautan manusia ruhani akan terjadi. Mosok kita kalah sama gerakan para biksu suci di Myanmar.

Ayo kita berfastabiqul khairat dengan mereka....Buktikan bahwa kita lebih baik. Jadikan seperti gerakan Hijrah Rasulullah yang sedang memimpin kaum terpinggirkan. Badan dan jiwa kami semua ingin hidup lapang seperti tenangnya orang yang sudah bermukim di sholat, seperti jembar dodo nya orang yang sudah mukim wukuf di padang Arafah. Diamnya nafsu karena telah bermukim di padang penyaksian".

Begitu menggebunya angan-angan saya untuk berdiri tegak menyampaikan aspirasi kepada para bapaknya umat. Tetapi tiba-tiba...

Glodhak ...! Saya terjatuh dari tempat tidur. Rupanya mimpi lagi. Namun diam-diam saya tetap kepikiran apakah mimpi semacam ini mungkin terwujud ? Sebab kenyataannya pemimpin kita masih lebih gemar senggol-senggolan seperti sholatnya adik-adik kita. Sebab senggol-sengolan itu asyik.

Maka putarlah musik dangdut sekeras-keras agar senggolan itu makin nikmat, memikat dan mendatangkan banyak penonton. Dengarlah rancak suara kendang tak dan dut. Kepentingan otak dan perut gendut. Tak dut...tak dut...tak dut...

Akupun ngelindur keloyongan bingung lagi mencari imam.

Wassalam, tetap makmum garda belakang.
Oleh : DODY ISKANDAR dinata

Kesetiaan Istri-Istri Nabi dalam Menghadapi Kaumnya

Sesungguhnya Allah l menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi. Setelah Allah menciptakan Adam, maka Dia pun menciptakan Hawa sebagai teman hidupnya.

Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Ruum: 21)

Demikianlah, Allah menakdirkan wanita sebagai pendamping bagi laki-laki. Pun bagi seorang nabi, kehadiran istri yang shalihah di sisinya sangatlah berarti. Keberadaan sosok lembut itu akan membantunya menepis lelah dalam menyampaikan kebenaran risalah-Nya, dan menghiburnya tatkala ia gundah menghadapi “kebandelan” kaumnya.
WANITA-WANITA PILIHAN BAGI IBRAHIM
Beruntunglah Nabi Ibrahim khalilullah, yang telah dikaruniai dua orang istri shalihah, Sarah dan Hajar. Kedua wanita itu telah terpilih sebagai ibunda para nabi.

Sesungguhnya Sarah adalah seorang wanita yang cantik rupawan. Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan bersama suaminya, seorang raja yang zalim menginginkan dirinya. Namun dirinya sama sekali tak tergoda dengan beragam kemewahan yang ditawarkan sang raja. Imannya tak tergoyahkan. Dia selalu berlindung kepada Allah setiap kali raja itu ingin menyentuhnya.

Qadarallah (telah merupakan ketetapan Allah), Allah tidak membiarkan sang raja menyentuh wanita suci ini, hingga kemudian dia melepaskannya, untuk kembali pada Ibrahim p. Bahkan raja itu memberikan hadiah kepada Sarah, berupa seorang budak jelita bernama Hajar.

Sarah pun kemudian mempersilakan Ibrahim p untuk menikahi Hajar, ketika Sarah tak kunjung melahirkan anak. Hajar adalah seorang wanita yang kuat. Sebagai istri Nabi Ibrahim, dia telah melalui ujian berat yang tidak seorang wanita pun (selain dirinya) pernah mengalaminya.

Wanita ini begitu tegar dan tabah ketika Ibrahim p meninggalkannya di tengah padang pasir bersama bayi mungilnya. Dia sadar sepenuhnya, bila suaminya hanyalah menjalankan titah dari Sang Khalik. Dia berjuang tanpa putus asa untuk mendapatkan air, manakala bekal dan air susunya habis. Di antara derai tangis bayinya yang kehausan, dia berlari kesana kemari antara dua buah bukit, Shafa dan Marwa, hingga tujuh kali putaran, tanpa hasil. Hingga akhirnya Allah l menurunkan rahmat-Nya, dengan memunculkan mata air zam-zam dari jejakan kaki Ismail ....

Rupanya, ujian bagi kesabarannya masih berlanjut. Ketika putranya, Ismail beranjak remaja, menjadi penyejuk mata dan kebanggaannya, Allah l memerintahkan ayahnya untuk mengorbankannya. Wanita mana tak `kan berduka, mendengar putra semata wayangnya hendak disembelih?

Hatinya bagai tersayat-sayat, namun sekali lagi, dia tetap tabah dan tegar, sebagaimana suaminya. Dia tahu, bila Allah hanya ingin menguji keimanan dan cinta mereka pada-Nya. Setelah terbukti bahwa mereka lebih mencintai Allah di atas segalanya, maka

Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, menebus Ismail dengan sembelihan yang besar …. Allahu Akbar! Hati Hajar pun berbunga-bunga, puji syukur tak henti keluar dari bibirnya, tatkala melihat suami dan putranya kembali pulang dengan senyum bahagia.
Begitulah, ujian kesabaran bagi Hajar telah berbuah manis.

KESETIAAN ISTRI NABI AYYUB

Nabi Ayyub adalah anak ‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim. Beliau adalah Nabi yang kaya raya, memiliki istri shalihah, banyak anak, dan memiliki bermacam binatang ternak. Namun, keadaannya menjadi sangat berbeda ketika Allah memberikan berbagai cobaan padanya.

Mula-mula, Allah mengujinya dengan mengurangkan rezekinya, hingga ia jatuh miskin. Hal ini tidak menggoncangkan keimanannya, juga istrinya. Kemudian Allah mengujinya dengan kematian beberapa anaknya. Nabi Ayyub dan istrinya pun sangat berduka, namun mereka tetap sabar dan tawakal. Berbagai ujian dari Allah itu tidak menyurutkan Nabi Ayyub untuk tetap giat beribadah kepada Allah.

Hingga akhirnya ia diuji dengan timbulnya penyakit kulit di sekujur tubuhnya. Sakit kulit itu berlangsung cukup lama, dan menjijikkan setiap orang yang memandangnya. Hingga lama kelamaan sanak famili Nabi Ayyub pun meninggalkannya. Namun, istrinya tetap setia mendampinginya.

Rupanya, kesetiaan istri Nabi Ayyub mengusik setan untuk menggodanya. Lambat laun, istrinya itu pun terkena godaan setan, dan mulai enggan menaati suaminya. Akhirnya, Nabi Ayyub pun berkata, “Jika aku sembuh, niscaya engkau aku pukul seratus kali.”

Setelah nyata kesabaran dan ketabahan Nabi Ayyub, Allah pun berkena menyembuhkannya. Saat beliau ingat nazarnya untuk memukul istrinya, maka Allah berfirman, “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya).” (Shaad: 44)

Demikianlah, akhirnya Nabi Ayyub memukul istrinya dengan seikat rumput, yang tentu saja tidak menyakitkan. Sesungguhnya istri Nabi Ayyub adalah wanita shalihah yang setia, hanya saja dia sempat khilaf karena terkena godaan setan. Karena itulah Allah l memaklumi dan mengampuninya, dan Dia tidak mengizinkan Nabi Ayyub untuk memberikan pukulan yang menyakitkan istrinya.

KETELADANAN UMMAHATUL MUKMININ

Membicarakan istri-istri Nabi, tentu kurang lengkap bila tidak membahas para Ummahatul Mukminin, yaitu istri-istri Rasulullah. Istri pertama Rasulullah yang sangat beliau cintai adalah Khadijah binti Khuwailid. Wanita bangsawan yang keibuan inilah yang setia mendampingi dan menghibur hati Rasulullah saat pertama kali Allah menurunkan wahyu-Nya.

Beliau menenangkan Rasulullah yang pulang dari gua Hira’ dalam keadaan takut dan resah. Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah, beliau menjawab, "Wahai Khadijah, sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku."

Maka istri yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan. Ia berkata, “Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap agar engkau menjadi nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya engkau telah menyambung tali silaturahim, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu, dan menolong para pelaku kebenaran.”

Menjadi tenteramlah hati Nabi berkat dukungan ini, dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa. Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan yang pertama kali masuk Islam.

Beliau adalah istri Nabi yang mencintai suaminya, berdiri mendampingi Nabi untuk menolong, menguatkan, dan membantunya dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman kaumnya, sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya. Tidaklah beliau n mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya, bila beliau kembali ke rumahnya. Khadijah meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya, dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau.

Setelah Khadijah wafat, maka Rasulullah n pun menikahi beberapa wanita lain yang layak pula kita teladani. Di antaranya, ada Aisyah, satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi saat masih perawan. Wanita yang paling dicintai Rasulullah ini terkenal cerdas, dan banyak meriwayatkan hadits dari beliau.

Selain itu, ada pula Zainab, yang sangat terkenal kedermawanannya. Beliau adalah seorang wanita yang mulia dan baik. Beliau bekerja dengan kedua tangannya, menyamak kulit dan menyedekahkannya di jalan Allah, yakni membagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Tatkala Aisyah mendengar berita wafatnya Zainab, beliau berkata, "Telah pergi wanita yang mulia dan rajin beribadah, yang menyantuni para yatim dan para janda." Kemudian beliau berkata, “Rasulullah n bersabda kepada para istrinya, ‘Orang yang paling cepat menyusulku di antara kalian adalah yang paling panjang tangannya ….’”

Ternyata yang dimaksud Rasulullah itu adalah Zainab, dan yang dimaksud “panjang tangannya” adalah banyak sedekahnya. Demikianlah beberapa keteladanan dari istri-istri para Nabi, semoga kita bisa mencontoh akhlak, ketabahan, dan kedermawanan mereka. Aamiin. (oel)

Cangkir yang Cantik

Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu,” kata si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si Kakek.

Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “belum !” lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras. Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum !”

Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak.

Wanita itu berkata “belum !” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin.

Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.

Sahabat, dalam kehidupan ini adakalanya kita seperti disuruh berlari, ada kalanya kita seperti digencet permasalahan kehidupan. Tapi sadarlah bahwa lakon-lakon itu merupakan cara Tuhan untuk membuat kita kuat. Hingga cita-cita kita tercapai. Memang pada saat itu tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan.

“Sahabat, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian terhadap kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”

Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena akhir dari apa yang sedang anda hadapi adalah kenyataan bahwa anda lebih baik, dan makin cantik dalam kehidupan ini.


Dikirim oleh Ibu Oktavia Elisawati.
Sumber: daunlontar.com

Minggu, 22 November 2009

Takut Kepada Syirik

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Firman Allah 'Azza wa Jalla:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, tetapi Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya." (An-Nisaa': 116)

Al-Khalil Ibrahim 'alaihissalam berkata:
"...dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari (perbuatan) menyembah berhala-berhala." (Ibrahim: 35)

Diriwayatkan dalam satu hadits, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesuatu yang paling aku khawatirkan kepada kamu sekalian adalah perbuatan syirik kecil. Ketika ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: Yaitu riya'." (HR Ahmad, Ath-Thabarani, Ibnu Abid-Dunya dan Al Baihaqi dalam kitab Az-Zuhd)

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa mati dalam keadaan menyembah sesembahan selain Allah, masuklah ia ke dalam neraka." (HR Bukhari)

Muslim meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa menemui Allah (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya sedikit pun, pasti masuk surga, tetapi barang siapa menemui-Nya (mati) dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk neraka."

Kandungan tulisan ini:

• Syirik adalah perbuatan dosa yang harus ditakuti dan dijauhi.

• Riya' termasuk perbuatan syirik.

• Riya' termasuk syirik ashghar (kecil).

• Syirik ada 2 macam:

>Syirik akbar (besar) yaitu memperlakukan sesuatu selain Allah sama dengan Allah, dalam hal-hal yang merupakan hak khusus bagi-Nya.

>Syirik ashghar (kecil) yaitu perbuatan yang disebutkan dalam Al Qur'an dan Hadits sebagai suatu syirik tetapi belum sampai ke tingkat syirik akbar.

Adapun perbedaan antara keduanya:

>Syirik akbar menghapuskan seluruh amal, sedangkan syirik ashghar hanya menghapuskan amal yang disertainya saja.

>Syirik akbar mengakibatkan pelakunya kekal di dalam neraka, sedang syirik ashghar tidak sampai demikian.

• Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedang syirik ashghar tidak menyebabkan keluar dari Islam.

• Syirik ashghar ini adalah perbuatan dosa yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap para sahabat, padahal mereka ini adalah orang-orang shaleh.

• Surga dan neraka adalah dekat.

• Dekatnya surga dan neraka telah sama-sama disebutkan dalam satu hadits.

• Barangsiapa mati dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada Allah sedikitpun pasti masuk surga. Tetapi barangsiapa mati dalam keadaan berbuat sesuatu syirik kepada-Nya, pasti masuk neraka, sekalipun dia termasuk orang yang paling banyak ibadahnya.

• Masalah penting yaitu: bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Allah untuk diri dan anak cucunya supaya dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala. (Nabi Ibrahim yang dijuluki Abul Anbiyaa' saja berdo'a agar dirinya dijauhkan dari perbuatan menyembah berhala, lantas bagaimana dengan kita? Tentunya kita harus lebih waspada terhadap dosa syirik ini -adm)

• Nabi Ibrahim mengambil pelajaran dari keadaan sebagian besar manusia, yaitu bahwa mereka itu adalah sebagaimana kata beliau: "Tuhanku! Sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak manusia..." (Ibrahim: 36)

• Tafsiran kalimat Laa ilaha illa Allah, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, yaitu: pembersihan diri dari syirik dan pemurnian ibadah kepada Allah.

• Keutamaan orang yang dirinya bersih dari syirik.

Dikutip dari buku: "Kitab Tauhid" karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Penerbit: Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H.

wallahua'lam bish shawwab.

Pluralisme ala Alloh

Setiap pandangan mata kita bisa menjadi pelajaran, jika kita memandang dunia dengan pandanganNYA; bukan sekedar pandangan kita akan berbagai bentuk ciptaanNYA yang berbeda-beda.
Memang pada awalnya kita melihat betapa banyak CiptaanNYA yang tak terbilang banyaknya. Namun seindah apapun dunia ini hanya kulit saja.

Fungsi kulit adalah :

A. Meraba (merasa).
Bisakah kita meraba dengan akal pikiran dan segala kesadaran hati, untuk menimbulkan suatu pertanyaan "Apakah yang Alloh maksudkan dengan penciptaan ini?" bila kita mengamati suatu benda.
Betapa banyak orang mengeluh hanya karena kulit. Bagaimana mungkin seseorang bisa bersyukur; karena syukur adalah puncak Ibadah. Puncak dalam artian sebagai balasan atas karuniaNYA yang tak terbilang. Kita bisa saja belajar dari cara memanfaatkan kelapa, atau apapun di dunia ini. Semua penuh makna.
Seberapa berharga akan makna kok saya belum menemukan Tuhan?
Jika kita masih mencintai kulit, apalagi berlebihan. Apa mungkin bisa merasakan isinya? Begitu juga kita pada mulanya menyukai makanan enak-enak, segala yang enak dicoba. Namun jika kita sadari enak atau tidaknya hanya soal pembiasaan saja. Lihatlah gembel yang memakan sampah. Mereka tidak mati bukan? Orang Islam adalah orang yang menahan kesenanganya untuk hari esok. Dari sinilah kita belajar sabar. Jangan tertipu oleh fatamorgana, betapa tidak pikiran kita selalu mempermainkan perasaan sendiri.

Memenuhi kebutuhan seolah hidup selamanya,
memenuhi keinginan seolah akan mati besok.

Begitu melihat sms "diskon sampai 70% hanya untuk hari ini" dari gallery terkenal. Sudah langsung terbirit-birit untuk belanja. Eh tahunya barang kedaluarsa. Begitu juga pandangan mata kita akan inovasi2 produk yang secara instan menciptakan hidangan mewah.

Subhanalloh... sampai kapan kita terus larut dengan permainan dunia?
Buat apa pula badan mendewasa, sedangkan ia masih tertarik dengan mainan-mainan. Nikmat dunia tidak lebih daripada racun, semakin engkau terlena dengannya semakin susah engkau mengobatinnya. Panasnya badanmu akan cuaca senantiasa mengingatkan akan panasnya api neraka, jika engkau bisa menikmati ini semua penuh syukur, engkaupun tak butuh pendingin buatan. Renungkanlah surah Al-Fatihah.

Sadarlah sobat... jika kita memang bisa berhitung apalah artinya 50-75 tahun hidup didunia, dengan kampung akhirat?
Jika Alloh mengatakan akhirat adalah kampung berarti kita pernah disana? Ingatkah kita akan janji jiwa dihadapan Sang Pencipta? Jika tidak ingat? Kegelisahan manakah yang memanggilmu?
Jika Yahudi begitu sukses mereka hanya memikirkan perut (perutnya dikepala/otak udang), begitu juga Firaun2 lainnya. Sebagaimana Abu Jahal (Lahab) adalah firaun dimasa Rosululloh.
Tak usah heran pula falsafah cina yang tua begitu efektif untuk mengejar dunia, itu semua karena dikiblatkan kepada materi.

B. Berlindung
Jika kulitmu tidak bergetar dimana ayat-ayatNYA dibacakan, berarti engkau jauh dari lindungannNYA. Imanmu sangat tipis, engkau pembangkang yang nyata... padahal engkau dulunya dari setetes air yang hina.

Lihatlah suatu komplek perumahaan, awalnya seragam dan satu konsep (desain). Tapi 5 ato 10 tahun kedepan, pastinya sudah berantakan gak karuan. Masing-masing ingin menonjolkan rumahnya. Padahal isi rumah ya cuman bapak ibu dan anak dllnya. Begitu juga badan kita, jika kita melihat berbagai unsur ada pada diri kita, unsur manakah yang harus dimenangkan? Mana pula yang harus dimatikan/dilawan? Ataukah engkau memilih bersekutu dengan jin, yang tidak lain menambah dosamu. Lihatlah disekililing kita betapa banyak orang kepayahan mengejar dunia dan putus asa. Menempuh jalan yang tidak disadarinya... menuju cahaya-cahaya palsu.
Adakah penolong selain Alloh? Atau kau tidak percaya akan Dia yang maha Kaya dan Maha mengetahui akan segala sesuatu?

Rukyahlah dirimu dengan hartamau, ilmumu, atau apapun yang mampu dengan ikhlas hanya mengharap Ridho Alloh, Dia menghendaki kemudahan. Jangan engkau persulit dirimu karena kefasikanmu, jika engkau memang orang yang melihat. Agar Dia memenuhi ronga dadamu dengan CahayaNYA. Dia tidak menghendaki 2 hati dalam 1 rongga. Seberapakah kecintaanmu padaNYA?!

Jika masih menyukai yang relatif tidak ubahnya seperti Yahudi dimana Alloh mengatakan seperti keledai (dungu) yang membawa kitab yang besar. Segala kitab dipelajari dari berbagai zaman ; dari yang ada dibatu, artefak, dan segala macemnya diburu dan dikumpulkan, dari serpihan zabur, taurat, injil bahkan Qur'an. Adakah mereka buta? Buta sebelah mata!
Yahudi tidak lebih mantan budak Firaun, mungkin saja mereka telah mencuri resep Firaun, jadi si budak lupa mantan majikannya. Apalagi orang yang menyelamatkannya (Musa) karena Perintah Alloh yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah mengharamkan diriNYA kedholiman.
Firaun ataupun Yahudi adalah umat yang durhaka, Berbagai kehinaan di dunia tak pernah menjerakannya. Ingatkan kasus-kasus sejarah betapa yahudi telah dihinakan? Tunggulah hari pembalasan itu, janji Alloh pastilah benar. Dia cukup membangkitkan satu jiwa saja. Maka yang takut kepadaNYA akan bangkit.

Buka mata lebar-lebar, anjing goa tidak akan menyalak kecuali ada bahaya. Bangunlah pemuda yang berlindung didalam goa. Bangunlah jiwamu ... jadilah tentara Alloh.

Semoga bermanfaat .... damai selalu dalam lindungan Alloh, mari kita ciptakan damai bersama dalam Din yang sempurna. Jalan yang lurus dan tak pantas kita untuk ragu. Atau kau memilih menempuh jalan lain? Aku menyatakan diri menjadi musuhmu... Sebagaimana para Rosul menjadi musuh umatnya itulah Sunnatulloh. Keputusan ada ditanganmu bukan mulut orang lain. Tidak ada dosa yang dipikul oleh orang lain, kecuali ditambahkan dosa orang lain.... bertasbilah bangunlah wahai orang-orang berselimut (tidur dan mimpi indah dunia)... bersucilah... dengarlah suara Adzhan Subuh yang Agung.... bersegeralah menuju Shalat. Sesungguhnya akhir lebih baik daripada permulaan. Allohuakbar!

Ketahuilah pintunya lebih lebar daripada rumahnya (rumah Alloh).

SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH

Syaikhul Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin menampakkan dien-Nya, maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”

Seteru Syaikhul Islam rahimahullahu sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini. Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah, kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil (istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.

Salah seorang murid beliau, Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar rahimahullahu (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam. Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata, menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang semua itu? Tidakkah mereka mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)

Tentu, demi Allah (demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya, karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat, ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan sendi-sendi kesesatan mereka.

Di antara bentuk-bentuk permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:[1]
1. Melemparkan tuduhan palsu kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya) tentang istiwa’ Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam lancang menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan tawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
c. Syaikhul Islam memuji kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.

3. Tahdzir (agar menjauh) dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk beliau. Akhirnya mereka men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa waktu. Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.

4. Menuduh Syaikhul Islam sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan bertawassul dan sebagainya.


BANTAHAN TERHADAP SEBAGIAN SYUBHAT DAN TUDUHAN

Sebagaimana kita uraikan tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah KEPALSUAN, TUDUHAN DUSTA, dan TANPA BUKTI. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semestinya, mereka yang melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.

Tuduhan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah),
maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya, maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf, berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf?

Para penulis biografi beliau selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi atau ditambah.

Berbagai tuduhan yang ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh as, mereka telah melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut Nabi Nuh as:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)

Begitu pula kepada Nabi yang diutus kepada mereka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)

Apalagi terhadap pengikut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pewaris nabi dan rasul.

Al-Imam Ash-Shabuni rahimahullahu (wafat 449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullahu, dia mengatakan:
Tanda-tanda/ciri-ciri ahli bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.[2]
Tanda-tanda kaum zanadiqah (orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah[3], karena hendak menggugurkan atsar.
Tanda-tanda Qadariyah ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).[4]
Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk).
Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”[5]

Demikianlah keadaan ahli ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz tersebut. Wallahul musta’an.

Tetapi, semua julukan itu tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya, terlebih terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)

Itulah sebagian ciri dan tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.

Sebagaimana telah diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai mujassimah atau musyabbihah.[6]
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih[7] mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah[8] (yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itulah sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Karena salah memahami makna tauhid dan tanzih[9], mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada). Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada, karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.

Contoh, kalau Allah Subhanahu wa Ta’ala dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan dalam Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnah beliau, tanpa menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat sifat itu (takyif).

Termasuk kedustaan yang paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu adalah nukilan pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib, sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu Bathuthah?

Untuk menampakkan bukti kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu baik ‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan mujassimah. Apalagi mengatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah rahimahullahu? Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.

Tuduhan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak menganggapnya sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”[10]

Tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang ziarah kubur. Ada yang mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak? Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya, hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan.

Telah shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini disunnahkan.

Beberapa ulama Baghdad juga bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “...Sesungguhnya jawaban beliau dalam masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para nabi... Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak dahulu kala...
Tidaklah hal itu dibawa oleh yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada penyimpangan....”

Jadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan ziarah kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid. Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.

Inilah sekelumit dari penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu. Lembaran dan waktu yang tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati umat Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara warisan beliau dan memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.

Sumber Bacaan:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis doktoral).
14. Da'wah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.

1 Apa yang diuraikan di sini hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang shahih dari salafus shalih, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu semata-mata kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan, yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat 'Aqidah Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki jasmani seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu.
8 Golongan Mu’aththilah (yang menolak sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz

PLURALISME DALAM PANDANGAN TASAWUF

Oleh : Deskof Zakaria *
Bismillahirrohmaanirrohiim. Alhamdulillaahi robbil Alamien. Allohumma Sholli Wa sallim 'alaa Sayyidinaa Muhammad..wa 'alaa aalihi wa shohbihii ila yawmil ma'aad. Amma ba'd,
Salah satu hal yang akhir-akhir ini menggelisahkan banyak kalangan kaum muslimin adalah penyebaran nilai-nilai ultra liberal. Nilai-nilai dan ajaran ultra liberal ini diusung oleh mereka yang menamakan dirinya kaum Islam Liberal ( Islib ). Nilai-nilai yang dibawa oleh kaum Islib ini memandang bahwa manusia bebas untuk melakukan apapun selama hal itu secara fisik tidak merugikan pihak lain. Mereka membebaskan ketelanjangan, sex tanpa nikah, serta membicarakan apa pun. Termasuk di antaranya mengkritik sahabat, Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam, bahkan hingga mengritik Al Qur’an. Dan hal ini dalam pandangan kaum ultra liberalis adalah sekspresi yang harus dihormati dan dihargai.
Salah satu ajaran kaum Islam Liberal adalah bahwa seseorang bukan hanya bebas memeluk suatu agama atau menghormati agama lain. Dua hal ini sejak lama sudah diakui di dalam Islam. Namun kaum Islib menuntut lebih dari itu. Mereka menuntut kaum muslimin menanggalkan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Mereka menuntut agar kaum muslimin juga meyakini agama lain juga benar. Bahwa surga bukan hanya milik pengikut Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam. Pengikut Paulus yang menganggap Yesus sebagai anak Allah, kaum Yahudi yang menganggap orang di luar mereka tidak lebih dari binatang, kaum Budha Tantra ( juga pengikut vadoo ) yang menggunakan pengorbanan manusia sebagai sarana pendekatan kepada Tuhan, atau kaum Yazidis yang memuja Iblis juga harus diakui sebagai orang yang benar dan ahli surga. Bahkan dalam kepercayaan kaum Islib, sikap tidak bertuhan ( atheis ) adalah juga sikap yang tidak boleh disalahkan. Bagi kaum Islib, keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan kebenaran manusia haruslah ditanggalkan dari akidah Islam. Sikap menerima semua agama inilah yang kemudian mereka istilahlan dengan inklusif atau Islam Inklusif.
Ulil Abshar, salah satu motor Jaringan Islam Liberal dalam tulisannya, Doktrin-doktrin yang kurang perlu dalam Islam, mengatakan “ Doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya”
Pada bagian lain, Ulil mengatakan “
Bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.

Berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi “..
Akibat-akibat sosial keagamaan dari libaralisasi agama
Leberalisasi agama dalam pengertian keyakinan bahwa semua agama adalah benar dan keyakinan bahwa setiap orang yang konsekuen terhadap suatu agama adalah mukmin ( orang beriman ) sudah tentu akan menimbulkan akibat luas yang merugikan dan bahkan meruntuhkan keberadaan Islam. Akibat-akibat tersebut antara lain adalah sebagai berikut,
Pertama, sikap inklusif ini akan menjadikan agama sebagai permainan. Manusia akan dengan dengan mudah berganti-ganti agama. Sehingga dengan demikian, jati diri keberagamaan seseorang menjadi tidak jelas. Bahkan seseorang beragama bukan lagi karena kebenaran dan keluhuran ajaran suatu agama, namun karena mencari kemudahan dari suatu ajaran agama. Atau karena alasan-alasan jangka pendek yang bersifat materi.
Kedua, sikap inklusif ini akan menyebabkan hilangnya jati diri agama. Akan muncul generasi baru yang mencampuradukkan akidah dan syariat berbagai agama. Hal ini muncul karena sudah tidak ada lagi istilah “ salah “ bagi akidah atau syariat apa pun. Karena semua agama sudah diyakini sebagai kebenaran. Hingga dengan demikian, tidak ada lagi hambatan untuk mencampur adukkan keyakinan dan syariat berbagai agama yang ada.
Ketiga, sikap inklusif ini akan menimbulkan ketidak jelasan batasan moralitas dan etika. Hal ini terjadi karena dalam pandangan kaum inklusif setiap orang secara mutlak dan tanpa syarat bebas untuk menafsirkan agama. Apa pun bentuk penafsiran ajaran agama, bagi kaum inklusif tidak boleh dianggap sesat. Sebagaimana ungkapan K.H. Abdurrahman Wahid, bahwa seseorang tidaklah mempunyai hak untuk memberikan cap sesat kepada pihak lain. Karena itulah, bagi kaum inklusif, seseorang kumpul kebo atau menjadi pelacur adalah boleh dan legal jika memang hal itu merupakan produk penafsiran keagamaan.
Keempat, sikap inklusif ini akan menjadikan kaum muslimin semakin terpuruk secara politik dan ekonomi. Dengan sikap inklusif ini, perampasan dan pendudukan Masjid Al Aqsha oleh kaum Yahudi menjadi legal dan sah. Karena toh dalam pandangan kaum inklusif kaum Yahudi juga kaum beriman. Bahkan andaikan Masjidil haram ataupun Masjid Nabawi dirubah menjadi Katedral atau Synagog ( tempay ibadah kaum Yahudi ), maka dalam pandangan kaum inklusif, hal itu juga sah jika telah melalui prosedur yang demokratis. Karena itulah, bias dimaklumi jika kaum inklusif ini bersikap pasif dan bahkan sangat sinis terhadap upaya-upaya pembebasan Al Aqsha. Sangat sia-sia jika seseorang mengharapkan agar mereka bersuara lantang terhadap penodaan Masdid Al Aqsha oleh kaum Yahudi. Bahkan ketika gelombang protes melanda hampir seluruh dunia Islam akibat pemuatan kartun yang melecehkan Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam, kaum Islib tidak berkomentar sama sekali. Ini pun sebenarnya masih patut disyukuri. Yang sering terjadi adalah bahwa kaum Islib akan selalu bersikap sinis terhadap protes-protes untuk urusan seperti ini.

Keempat, sikap inklusif ini akan menjadikan kaum muslimin semakin terpuruk secara politik dan ekonomi. Dengan sikap inklusif ini, perampasan dan pendudukan Masjid Al Aqsha oleh kaum Yahudi menjadi legal dan sah. Karena toh dalam pandangan kaum inklusif kaum Yahudi juga kaum beriman. Bahkan andaikan Masjidil haram ataupun Masjid Nabawi dirubah menjadi Katedral atau Synagog ( tempay ibadah kaum Yahudi ), maka dalam pandangan kaum inklusif, hal itu juga sah jika telah melalui prosedur yang demokratis. Karena itulah, bias dimaklumi jika kaum inklusif ini bersikap pasif dan bahkan sangat sinis terhadap upaya-upaya pembebasan Al Aqsha. Sangat sia-sia jika seseorang mengharapkan agar mereka bersuara lantang terhadap penodaan Masdid Al Aqsha oleh kaum Yahudi. Bahkan ketika gelombang protes melanda hampir seluruh dunia Islam akibat pemuatan kartun yang melecehkan Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam, kaum Islib tidak berkomentar sama sekali. Ini pun sebenarnya masih patut disyukuri. Yang sering terjadi adalah bahwa kaum Islib akan selalu bersikap sinis terhadap protes-protes untuk urusan seperti ini.

Pembenaran semua agama dalam timbangan Tasawuf
Sebelum kami membahas masalah pluralisme agama ( pembenaran semua agama ) dalam perpektif tasawuf, terlebih dahulu kami kemukakan di sini standar kebenaran dan kesalahan dalam pandangan kaum sufi. Dalam hal ini, Syaikh Abul Qosim Al Junaid mengatakan,“ Ilmu kami ini ( tasawuf ) terikat dengan Al Qur’an dan Hadist. Barang siapa yang tidak membaca Al Qur’an dan tidak mempelajari Hadist, maka ia bukan dari ahlinya “. Imam Abdul Wahhab Asy Sya’rani mengatakan,” Sebagian di antara akhlak kaum sufi adalah bahwa mereka menahan diri dari semua ucapan atau perbuatan hingga mereka mengetahui timbangannya dari Al Qur’an dan Sunnah “ ( Tanbihul Mughtarriin hal. 7 ). Bahkan hingga Syaikh Abdul Karim Al Jilli, yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai sufi liar pun mengatakan,” Ketahuilah, bahwa setiap ilmu yang tidak dikuatkan oleh Al Qur’an dan Sunnah, maka ia adalah sesat “ ( Al Insaan Al Kaamil Juz 1 hal. 8 ). Karena itulah, dalam pandangan kaum sufi, untuk menentukan suatu pendapat itu benar atau salah, maka timbangan pertama adalah Al Qur’an dan Sunnah.
Al Qur’an sendiri dengan jelas mengatakan,” Dan ketika Allah mengambil janji para Nabi sungguh apa yang Aku datangkan kepada kalian berupa Kitab dan Hikmah, kemudian dating kepada kalian Rasul ( Muhammad ) yang membenarkan kepada ( Kitab ) yang ada bersama kalian, hendaklah kalian beriman kepadanya ( Muhammad ) dan menilongnya. Allah berfirman,’Adakah kalian mengakui dan mengambil janjiku itu ?’. Mereka menjawab,” Kami telah mengakui. Berkata Allah,’ Maka saksikanlah, dan Aku bersama kalian menjadi saksi pula ( atas kerasulan Muhammad shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ). Dan barang siapa yang berpaling setelah itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik “ ( Q.S. Ali Imraan : 81-82 ).
Berkaitan dengan ayat di atas, maka Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam bersabda,
“ Demi Dzat Yang Jiwaku di TanganNya, andaikan Musa ada di trngah kalian kemudian kalian mengikutiNya dan meninggalkan aku, maka sungguh tersesatlah kalian. Sesungguhnya kalian adalah umat bagianku dan aku adalah Rasul bagian kalian “ ( H.R. Ahmad ). Dalam sebuah hadist lain, Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam bersabda, “ Andaikan Musa hidup di antara kalian, maka haram baginya jika tidak mengikuti aku “ ( H.R. Ahmad ).
Dalam menjelaskan ayat dan hadist di atas, maka Imam Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas berkata,” Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi pun kecuali Allah mengambil janji atasnya yaitu andaikan mereka masih hidup ketika Muhammad diutus, maka mereka harus mengimani dan menolongnya. Dan Allah memerintahkan kepada Nabi itu agar mengambil janji kepada umatnya agar jika Muhammad diutus sedangkan mereka masih hidup, agar mereka beriman kepadaNya dan menolongnya “( Tafsir Ibnu Katsir Juz 1 hal. 264 ).
Karena itulah, kaum sufi sejati menolak keras pandangan bahwa ada jalan menuju Allah atau pun menuju surga di luar jalan yang di ajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam. Memang, dalam Fushushul Hikam, Syaikul Akbar Ibnu Arabi mengatakan sebuah syair yang seolah-olah menyatakan penerimaan beliau atas semua agama. Dan syair inilah yang kemudian dibajak oleh kaum pluralis untuk membenarkan keyakinan mereka. Beberapa kalangan mengutip dan mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya, mereka kemudian memanipulasi pendapatnya, untuk digunakan merusak aqidah Islam
Tokoh asal Andalusia, Spanyol, yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdillah al-Hatimi at-Tha’i ini sengaja dipilih oleh kaum pluralis karena-menurut mereka- ia merupakan sosok “sufi liberal”.
Memang sejak beberapa dasawarsa terakhir tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini oleh sebagian kalangan acapkali diklaim sebagai pelopor paham pluralisme agama. Namanya dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.
Sebagai dalih dikutiplah tiga bait puisi Ibn Arabi yang berbunyi:
“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku:”
Berdasarkan puisi ini, Nasr mendakwa Ibn Arabi konon “menyadari bahwa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan ke satu puncak yang sama (came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit).”
Meski sekilas tampak meyakinkan, pemaparan golongan ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh panggang dari api. Ibn Arabi bukanlah seorang pluralis atau transendentalis sebagaimana mereka khayalkan.
Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan dalam kitab yang ditulisnya sendiri: Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq. Di sana jelas dikatakan bahwa `agama cinta’ yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad SAW, merujuk kepada firman Allah SWT dalam al-Quran, surah Al Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Lihat: kitab Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Beirut, 1312 H), hlm. 39-40 = ed. Dr. Muhammad `Alamuddin as-Syaqiri (Kairo: Ein for Human and ocial Studies, 1995), hlm. 245-6)
Pengertian cinta dalam ayat tersebut juga diterangkannya dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (bab 178, fi maqam al-mahabbah) , dimana ia mengurai empat jenis cinta. Yaitu pertama, cinta kepada Tuhan (hubb ilahi). Kedua, cinta spiritual (hubb ruhani). Ketiga, cinta kodrati (hubb thabi`i). Dan keempat, cinta material (hubb ‘unshuri). Setelah menjelaskannya satu persatu, Ibn Arabi lantas menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syariat dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi shallallahu alayhi wa sallam fima syara‘a).
Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari`at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan la religion du coeur versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyata an Ibn Arabi yang dapat diplintir sesuka-hati. Ini biasanya disertai dengan interpretasi yang bersifat rekaan. Lebih teruk lagi, dan ini yang perlu cermati, adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks asli yang tidak mendukung asumsi mereka.
Sebagai contoh, mari kita lihat buku Chittick yang berjudul Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity (1994). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dunia Imajinal Ibn Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Sayang, penerjemahnya tidak memberikan kritik terhadap Chittick, tetapi justru memberi kata pengantar berjudul “Titik Temu Agama dalam Realitas Ketuhanan,” yang isinya mengesankan seolah-olah Ibn Arabi memang menganut ide “kesatuan agama”.
Buku Chittick ini sangat perlu dikritisi. Sebagai contoh, ketika ia mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab 339) yang mengungkap pendapat Ibn Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. Ia seakan sengaja memotong bagian-bagian penting yang tidak sesuai dengan asumsinya:
“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation– -that is the opinion of the ignorant.” (op.cit., hlm. 125).
Dengan sengaja berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam.
Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarahnya masing-masing, yakni sebelum Nabi Muhammad SAW muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman.
Namun demikian tidak berarti bahwa validitas agama-agama tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah SAW atau bahkan sampai sekarang.
Dalam Futuhat (bab 36), Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari`at kita (wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi-sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi-syar‘ina) .
Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha memberi kesan dan menggiring para pembaca agar meyakini seolah-olah Ibn Arabi itu adalah transendentalis yang menganut pluralisme agama seperti dirinya. Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw.
Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari`at mereka ikut syari’at beliau (Fa-raja‘at at-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiyy shallallahu `alayhi wa sallama, fa-law kanat ar-rusul fi zamanihi la-tabi‘uhu kama tabi‘at syara’i`uhum syar‘ahu).”
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syariat dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja`alna minkum syir‘atan wa minhajan)? Menurut Ibn Arabi, kata ganti orang kedua plural (kum) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab, jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Lagi pula, jika kata “kalian” di situ dipahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibn Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama.
Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dan seterusnya. Jika tidak, lanjut Ibn Arabi, niscaya Nabi SAW tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tidak akan disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak akan keluar perintah untuk membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu faqtuluhu”). Oleh sebab itu, Ibn Arabi menambahkan, orang Yahudi atau nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. (Untuk detailnya lihat: Futuhat, bab 495: (fi Ma`rifati hal qutb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Menurut Ibn Arabi, riwayat itu menunjukkan, bahwa pengikut Nabi Isa a.s. yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhammad SAW tetapi juga beribadah menurut syari`at Islam. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tegas Ibn Arabi seraya mengutip hadits Rasulullah SAW, “Seandainya Nabi Muhammad; hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, mesti mengikutiku (law kana Musa hayyan ma wasi’ahu illa an yattabi‘ani) .” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibn Arabi terhadap agama lain sebelum Islam. (Lihat Futuhat, bab 36: fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim). Beberapa kalangan mengutip dan mencatut nama Ibnu Arabi. Sayangnya, mereka kemudian memanipulasi pendapatnya, untuk digunakan merusak aqidah Islam
Di bulan suci Ramadhan ini, sebuah perkumpulan di bilangan Utan Kayu, Jakarta menggelar kajian pemikiran Ibnu Arabi (w. 638 H/ 1240 M). Tokoh asal Andalusia, Spanyol, yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Abdillah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdillah al-Hatimi at-Tha’i ini sengaja dipilih karena-menurut mereka- ia merupakan sosok “sufi liberal”.
Memang sejak beberapa dasawarsa terakhir tokoh yang telah menulis lebih dari 400 karya ini oleh sebagian kalangan acapkali diklaim sebagai pelopor paham pluralisme agama. Namanya dicatut dan dijadikan bemper untuk membenarkan konsep ‘agama perennial’ atau religio perennis yang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka.
Sebagai dalih dikutiplah tiga bait puisi Ibn Arabi yang berbunyi:
“Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa;
ia merupakan padang rumput bagi menjangan,
biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala,
ka`bah tempat orang bertawaf,
batu tulis untuk Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an.
Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya;
itulah agama dan keimananku:”
Berdasarkan puisi ini, Nasr mendakwa Ibn Arabi konon “menyadari bahwa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan ke satu puncak yang sama (came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit).”
Meski sekilas tampak meyakinkan, pemaparan golongan ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh panggang dari api. Ibn Arabi bukanlah seorang pluralis atau transendentalis sebagaimana mereka khayalkan.
Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan dalam kitab yang ditulisnya sendiri: Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq. Di sana jelas dikatakan bahwa `agama cinta’ yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad SAW, merujuk kepada firman Allah SWT dalam al-Quran, surah Al Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Lihat: kitab Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Beirut, 1312 H), hlm. 39-40 = ed. Dr. Muhammad `Alamuddin as-Syaqiri (Kairo: Ein for Human and ocial Studies, 1995), hlm. 245-6)
Pengertian cinta dalam ayat tersebut juga diterangkannya dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (bab 178, fi maqam al-mahabbah) , dimana ia mengurai empat jenis cinta. Yaitu pertama, cinta kepada Tuhan (hubb ilahi). Kedua, cinta spiritual (hubb ruhani). Ketiga, cinta kodrati (hubb thabi`i). Dan keempat, cinta material (hubb ‘unshuri). Setelah menjelaskannya satu persatu, Ibn Arabi lantas menegaskan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syariat dan sunnah Rasul-Nya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi shallallahu alayhi wa sallam fima syara‘a).
Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari`at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan la religion du coeur versi Schuon dan para pengikutnya itu.
Selain bait puisi di atas, kaum transendentalis juga giat mencari pernyataan-pernyata an Ibn Arabi yang dapat diplintir sesuka-hati. Ini biasanya disertai dengan interpretasi yang bersifat rekaan. Lebih teruk lagi, dan ini yang perlu cermati, adalah praktek menggunting dan membuang bagian dari teks asli yang tidak mendukung asumsi mereka.
Sebagai contoh, mari kita lihat buku Chittick yang berjudul Imaginal Worlds: Ibn Arabi and the Problem of Religious Diversity (1994). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul: Dunia Imajinal Ibn Arabi: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama. Sayang, penerjemahnya tidak memberikan kritik terhadap Chittick, tetapi justru memberi kata pengantar berjudul “Titik Temu Agama dalam Realitas Ketuhanan,” yang isinya mengesankan seolah-olah Ibn Arabi memang menganut ide “kesatuan agama”.
Buku Chittick ini sangat perlu dikritisi. Sebagai contoh, ketika ia mengutip sebuah paragraf dari Futuhat (bab 339) yang mengungkap pendapat Ibn Arabi mengenai status agama-agama lain dalam hubungannya dengan Islam, Chittick tidak memuatnya secara utuh. Ia seakan sengaja memotong bagian-bagian penting yang tidak sesuai dengan asumsinya:
“All the revealed religions (shara’i‘) are lights. Among these religions, the revealed religion of Muhammad is like the light of the sun among the lights of the stars. When the sun appears, the lights of the stars are hidden, and their lights are included in the light of the sun. Their being hidden is like the abrogation of the other revealed religions that takes place through Muhammad’s revealed religion. Nevertheless, they do in fact exist, just as the existence of the light of the stars is actualized. This explains why we have been required in our all-inclusive religion to have faith in the truth of all the messengers and all the revealed religions. They are not rendered null (batil) by abrogation– -that is the opinion of the ignorant.” (op.cit., hlm. 125).
Dengan sengaja berhenti di situ, Chittick memberi kesan seolah-olah Ibnu Arabi menolak pendapat mayoritas kaum Muslimin bahwa semua agama samawi pra-Islam dengan sendirinya terabrogasi dengan datangnya Islam.
Padahal maksud pernyataan Ibn Arabi adalah semua agama dan kitab suci yang dibawa oleh para rasul pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarahnya masing-masing, yakni sebelum Nabi Muhammad SAW muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman.
Namun demikian tidak berarti bahwa validitas agama-agama tersebut berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah SAW atau bahkan sampai sekarang.
Dalam Futuhat (bab 36), Ibn Arabi dengan tegas menyatakan bahwa “Nabi Isa (Jesus) pun, seandainya turun sekarang ini, niscaya tidak akan mengimami kita kecuali dengan mengikuti sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari`at kita (wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi-sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi-syar‘ina) .
Lebih jauh, dengan kutipan yang tidak komplit itu Chittick berusaha memberi kesan dan menggiring para pembaca agar meyakini seolah-olah Ibn Arabi itu adalah transendentalis yang menganut pluralisme agama seperti dirinya. Sambungan pernyataan Ibnu Arabi yang dipotong oleh Chittick dalam kutipan tersebut di atas berbunyi: “Maka berbagai jalan [agama] semuanya bermuara pada jalan [agama] Nabi [Muhammad] saw.
Karena itu, seandainya para rasul berada di zaman beliau, niscaya mereka mengikuti beliau sebagaimana syari`at mereka ikut syari’at beliau (Fa-raja‘at at-thuruq kulluha nazhiratan ila thariq an-Nabiyy shallallahu `alayhi wa sallama, fa-law kanat ar-rusul fi zamanihi la-tabi‘uhu kama tabi‘at syara’i`uhum syar‘ahu).”
Bagaimana dengan ayat yang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan syariat dan jalan untuk masing-masing kalian (QS al-Ma’idah 48: likullin ja`alna minkum syir‘atan wa minhajan)? Menurut Ibn Arabi, kata ganti orang kedua plural (kum) dalam konteks ayat tersebut merujuk kepada para Nabi, bukan umat mereka. Sebab, jika ia ditujukan kepada umat mereka, niscaya Allah tidak mengutus lebih dari seorang rasul untuk suatu umat. Lagi pula, jika kata “kalian” di situ dipahami sekaligus untuk para rasul serta umat mereka, maka kita telah menta’wilkannya secara gegabah. Jadi maksud ayat tersebut, menurut Ibn Arabi, bukan membenarkan semua jalan menuju Tuhan, atau menyamakan status semua agama.
Sebaliknya, terdapat garis demarkasi yang jelas antara hak dan batil, iman dan kufur, tawhid dan syirik, dan seterusnya. Jika tidak, lanjut Ibn Arabi, niscaya Nabi SAW tidak akan berdakwah mengajak orang masuk Islam, niscaya orang yang pindah agama (yartadid ‘an dinihi) tidak akan disebut kafir (QS 2:217) dan niscaya tidak akan keluar perintah untuk membunuh orang yang murtad (hadits: “man baddala dinahu faqtuluhu”). Oleh sebab itu, Ibn Arabi menambahkan, orang Yahudi atau nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman kepada dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. (Untuk detailnya lihat: Futuhat, bab 495: (fi Ma`rifati hal qutb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”).
Menurut Ibn Arabi, riwayat itu menunjukkan, bahwa pengikut Nabi Isa a.s. yang murni dan sejati tidak hanya mengimani kenabian Muhammad SAW tetapi juga beribadah menurut syari`at Islam. Sebab, dengan kedatangan sang Nabi terakhir, syari’at agama-agama sebelumnya otomatis tidak berlaku lagi. “Fa inna syari‘ata Muhammadin shallallahu alayhi wa sallama nasikhah,” tegas Ibn Arabi seraya mengutip hadits Rasulullah SAW, “Seandainya Nabi Muhammad; hidup saat ini, maka beliau pun tidak dapat tidak, mesti mengikutiku (law kana Musa hayyan ma wasi’ahu illa an yattabi‘ani) .” Di sini nampak cukup jelas sikap dan posisi Ibn Arabi terhadap agama lain sebelum Islam. (Lihat Futuhat, bab 36: fi ma‘rifat al-Isawiyyin wa aqthabihim wa ushulihim).Salah seorang Sufi Turki yang menjadi Mursyid Thariqah Jalutiyyah, Syaikh Ismail Haqqi mengatakan, “ Janji ini ( sebagaimana dalam Q.S. Ali Imraan : 81-82 di atas ) sungguh merupakan sesuatu yang disebutkan di dalam kitab mereka ( Yahudi dan Nasrani ) dan mereka mengetahui hal ini. Mereka benar-benar telah mengetahui kebenaran kenabian Muhammad shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam. Maka tidak lah ada sebab yang menyebabkan kekafiran mereka kecuali sikap permusuhan dan kedengkian semata-mata. Maka sikap mereka ini seperti sikap Iblis yang kedengkiannya atas Adam menariknya kepada kekafiran “ ( Tafsier Ruuhul Bayaan Juz 2 hal. 57 ).
Bahkan, Syaikh Abdul Karim Al Jilli rahimahullah sekalipun, yang menurut sebagian kalangan dianggap sebagai sufi liar, beliau juga menolak pandangan pluralisme ini. Dalam hal ini beliau berkata,” Adapun kaum muslimin, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka sebagaimana firman Allah,’ Kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia’ ( Q.S. Ali Imran : 110 ). Hal ini karena Nabi mereka, Muhammad shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam adalah sebaik-baik Nabi, dan agama mereka adalah sebaik-baik agama. Siapa saja yang menyelisihi mereka ( pengikut Muhammad shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ) setelah kenabian dan kerasulan Muhammad shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam, siapa pun dia, maka ia sesat, celaka serta disiksa di dalam neraka, sebagaimana Allah khabarkan. Mereka tidak akan kembali ke dalam kasih saying Allah kecuali setelah habisnya masa keabadian “ ( Al Insaan Al Kaamil Juz II hal. 128 ).
Karena itulah, kaum muslimin khususnya kalangan tasawuf hendaklah mewaspadai adanya upaya-upaya peruntuhan Islam melalui kedok pluralisme yang sering kali dilakukan dengan membajak ucapan-ucapan kaum sufi yang memang sering kali susah untuk difahami secara langsung. Semoga Allah menyelamatkan Iman dan Islam kita dari upaya-upaya pengkafiran yang dilakukan oleh mereka yang memusuhi Islam dan kaum muslimin. Amien. Washollallohu 'ala Sayyidinaa Muhammadin wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa sallam..Walhamdulillaahi robbil alamien...

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template