Rabu, 07 September 2011

MAKING LOVE

ku mendekati mu..
dengan berjalan..
kau tau maksud hati ku..
kau pun menjemputku..
berlarilah kamu..
kepada aku..
yang rindukan mu..
untuk memeluk mu..
yang cintai kamu..
seperti yang kau tau..
Kau adalah rahasia..
ku pemuja rahasia mu..
yang ada di dasar..
dasar samudera cintamu..
untuk menggapaimu..
ku beranikan diri ku..
tenggelam didasar mu..
menemukan diri mu..
tuk bercinta dengan mu saja..
cukuplah kamu saja..
Aku yang sedang
jatuh cinta..
cinta kepada diri mu..
sudilah kamu..
sambut aku..
karena kau tau..
aku tergila-gila pada pesona mu..
kau gairahku..
yang mampu membiusku..
untuk setiap saat memikirkan diri mu saja..
hanya kamu saja..
memanglah kamu..

Dalam ruang cinta ini..
dalam cahaya mu yang menyelimuti ku..
ketemui diri mu..
ku lepas jubah ku..
telanjanglah aku berhadapan dengan mu..
kuhampiri kamu..
diperaduan cinta mu..
kau tersenyum padaku..
kau mempesonaku..
simbol gairah cinta ku..
semakin ku terbawa..
oleh rasa yang ada..
nikmati diri mu..
bercumbu mesra dengan diri mu..
asmara yang ada tak mungkin bisa tuk dijelaskan dengan kata-kata..
karena ini adalah memang gairah cinta tak biasa..
mencumbu diri mu tak pernah habis ditelan waktu..
rasanya ingin selalu mencium seluruhmu..
mendekap hangat jiwa ini..
meliputi ku..
hingga ku terlelap dan tersadar ketika esok telah menjelang...
bawalah aku selalu..
atas nama cinta mu..
aku mau..
setulus hatiku..
melepas segala rinduku..
tuk setiap waktu bercumbu dengan mu..
hanya dengan mu saja..
cukuplah kamu..
kamu saja..
kamu yang satu..
satu satu nya..
Genggam tangan mu..
dekap tubuh mu..
cium bibir mu..
sentuh seluruh mu..
ku masuki hati mu..
Bercumbu mesra jadi satu..
hingga kusadar..
tiadalah aku.. hanyalah kamu....
kamulah yang satu satu nya..
tiadala yang lain yang ku cinta..
selain diri mu..
kusebut nama mu..
disetiap waktu ku....

" sayang.. kau adalah mutiara terindah yang terpendam didasar samudera..
yang hanya terambil dan tersentuh oleh dia yang terpilih..
dan kulepas jubah ku..
telanjang aku tenggelam di samudera cinta mu tiada batas..
menikmati kilau cahaya mu.. sang cahaya diatas cahaya.. "

" aku cinta kamu..
Setulus aku tak mengharap balasan cinta mu.. Karena ku yakin dengan cinta ku..
Cinta yang sejati..
Sejati nya aku merindukan meleburnya kembali aku kepada dirimu..
Tuk bersanding lagi..
Menjadi satu.. Dalam awal dan akhir.. "

CAHAYA HATI...

Aku masih takjub pada keindahan diri mu..

Sedetik pun rasanya ku tak ingin tuk mengindahkan mu... dan tak mau ku sejenak berpaling dari mu..

Kau lah cahaya hati ku..

Yang telah memeluk jiwa ku.. mendekap aku
ke dalam diri mu..

Hingga kau telah
membuatku luruh
kepada cinta mu..
larut dalam ada nya diri mu...

Terpesona ku di dalam istana mu.. Langit semesta terhampar yang maha sempurna..

Berkilauan bintang-bintang menerangi angkasa..

Tapi ku tau pasti ada satu bintang yang berpijar paling terang..

Membuat ku benderang namun tak sedikitpun
kau menyilaukan mata ku..

Itulah kamu.. dan aku pun tertunduk kepada
mu.. kekasih ku..

Dan ada tutur kata dari ku yang terucap...
Kepada mu penyejuk diri ku..

Dalam damai selalu ku bersama mu..

Bila sinar cinta mu
selalu sentuh wajah ku.. membelai ku..
dan menciumi aku hingga ku tak berdaya..
lemas karena gairah cinta
semesta..

Aku pun tersenyum bahagia atas besarnya cinta mu..

Kau lah cahaya hati ku..
Yang menuntun di
setiap langkah langkah ku..

Kepada mu aku jatuh cinta..
Dan hanya terucap atas nama cinta..

Kau begitu sempurna..
Aku pun masih
terpesona kepada mu yang sangat ku cinta..

Bawalah aku selalu di dalam mahligai tempatmu bersemayam..

Duduk kan aku di
hamparan di atas
singgahsana mu..
sebagai kekasih mu selalu..
Kau lah cahaya hati ku..

Dalam kilau mu..
menerangi langit langit mu..
Kau terang.. membuat benderang..
Menyejukan mata ku..

Damaikan jiwa ku..
menyentuh diri ku..

" Tiada yang
sebanding dengan
pesona mu.. Biarlah ini jadi rahasia ku.. Untuk
aku yang selalu dekati mu.. Selalu memuja mu..
Karena memang sejatinya kau lah sang CAHAYA HATI.. "

ZIARAH CINTA

(Melebur dalam samudra cinta
Berlayar dengan gemuruh ombak dan semilir angin)
……………………………………

menyisakan kepiluan Atas nama “cinta”
Kau tuangkan angka- angka dalam Serdadu-serdadu rasa membuai rindu

Atas nama “cinta”
Kau taburkan bunga kata-kata
Memutikkan keindahan, mengharumkan ruangan hati gadis pencari cinta

Atas nama “cinta”
Kau ziarahi gemulai tubuhnya
Dengan hijau matamu

Atas nama “cinta”
Kau tuangkan anggur rindu
Dalam cawan asmara

Atas nama “cinta”
Kau kosongkan
pikiranmu
Memoles dosa dalam birahi rindu
Menjebak gadis-gadis bernostalgia dengan kegilaanmu
Hari ini, kusaksikan bualan matamu
Mengatakan hakekat, yang hanya menambah
sekat

Sekat antara hakekat kebenaran dan hati busukmu
Hari ini, kusaksikan
lumut-lumut yang kau siram
Semakin menghijau menambah sembraut hidup
Kau perkosa
ketulusannya
Dengan noda-noda petak yang menancap dalam lidah manismu

Kau telah ziarahi
cintanya
Dengan menyisakan
seribu rindu
Dalam retak-retak
dosa

Membingkai bahasa surga
Membuat rada-rada tak bergerak

Sadarlah wahai hati yang lagi mengantuk
Menunggu jaga dan sadar atas dosa yang
terbalut kerapian kata
Kerapian sikap dan
kerapian yang penuh dengan api
kemunafikan
Kembali pada hakekat cinta, yang hanya
untuk-Nya,

Dalam jaga dan ketidak sadaran, Ia selalu bersama. Mengisi kekosongan cinta.

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary "Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid (pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini.

Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan.

Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya.

Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah? Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat.
Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu selagi di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita.

Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya.
Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya."

Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?

Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.

Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah.
Sebab nafsumu menginginkan karomah, sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.”

Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rokaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rokaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

Selasa, 06 September 2011

Tuhan Kita: Allah!

Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka.

Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam ‘mengelirukan’ pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, “semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu”.

Mereka mengatakan, soal nama “Yang Satu” itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: “Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama.”

Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: “Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).

Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.

Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan ‘Yahweh’ sebagai “The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.”

Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf “YHWH”. Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan).

Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang “nama Tuhan” yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz “Alloh”, sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi “Allah”; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan “God” atau “Lord”.

Bagi orang Kristen, “Allah” bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, “Allah” adalah sebutan untuk “Tuhan itu” (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada “Tuhan itu”. Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.

Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama “Allah” untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata “Yahwe”. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: “Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'’

Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata “Allah” menjadi “Eloim”, kata “TUHAN” diganti menjadi “YAHWE”; kata “Yesus” diganti dengan “Yesua”, dan “Yesus Kristus” diubah menjadi “Yesua Hamasiah”.

Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya “Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh” yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama “Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini”. Kelompok ini menegaskan, “Akhirnya nama “Allah” tidak dapat dipertahankan lagi.” (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).

Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi “God”. Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul ‘alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.

Maka, seharusnya, lafaz “Allah” dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan “Tuhan”, “God”, atau “Lord”.

Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur’an — menerjemahkan “Bismillah” dengan “In the name of God”.

Begitu juga, “Alhamdulillah” diterjemahkan dengan “Praise be to God”, dan “Qul Huwallahu ahad” diterjemahkan dengan “Say: He is God, the One and Only”. Kasus yang sama – penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M.

Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena “Allah” adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata “President Bush” dengan “Presiden semak”, atau nama Menlu AS “Rice” dengan “Menteri Nasi”.

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.

Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).

Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: “Naquulu fii tawqiidillaahi mu’taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu.” Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama kitab ini: “Abda’u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa’imil ihsani.” Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi “Bismillahirrahmaanirrahiimi”, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz ‘Allah’ dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata “Allah” tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.

Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.

Dengan demikian, “nama Tuhan”, yakni “Allah” juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan ’spekulasi filosofis’ untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: “La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah” — Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan “Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah”.

Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep ‘Tuhan’. Karen Armstrong menulis dalam bukunya:

“Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan.” (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).

Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:

“… setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama.” (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).

Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, “Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah.”

Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal “Allah” sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki ‘nama Tuhan’ secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz “Allah” sebagai nama Tuhan mereka.

Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan “Allah” sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut “Allah”. (Lihat QS 29:61, 43:87).

Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, ‘Allah’ dianggap sebagai ‘Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno’. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190).

Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.

Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy.

“Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS 109).

QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya sama, yaitu Allah — dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.

Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu a’lam.

Senin, 05 September 2011

Status pacaran, # part2

Seponsor sebentar;
-> (Tetaplah exis dalam lautan cinta membaca). Hehehe...
###
Nah, dr kejadian inilah yg sungguh2 sangat di sayangkan, knapa hanya dgan kata2 "PUTUS" saja semuanya akan berubah, yg dlunya kian indah,kian nampak arti dr indahnya tali persaudaraan, kini malah tiada artinya. Segitu sempitkah arti dr persaudaraan ini???

Disadari atau tidak, semua orang yg dluny telah terikat dlam status pacaran, ktika terjdilah suatu keputusan dngan ucpan satu kata saja, smuanya telah berakhir. Bahkan satu sisi keindahan dr persaudaraan tiada atsar atau pengaruhny sama sekali dikehidupan kita.

Apakah didunia sesempit ini??? Apakah dunia hanya sebatas sperti status pacaran? Apakah indahnya persaudaraan hnya sperti dipacaran saja? Tentulah smuany tidak sperti itu.

Coba kita tenggok sdkit dr beberapa ilmu akan bnyaknya fadhilah2ny orang yg mau menyambung dan selalu mempersatukan ikatan tali pesaudaraan yg krena Allah, maka sebesar apa pahalany yg diberikan Allah kpadany.

Dalam sbuah redaksi hadits telah terjelaskan, yg mana arti dr ksimpulannya ialah "Barang siapa yg menginginkan Rizkinya banyak Dan slalu ada dalam genggaman tangannya, falyashil Rochimahu, maka sambunglah tali persaudaraannya".

Mari kita renungi sedikit dr ma'na dan intisari hadits tsbt, orang yg hanya gara2 menyambung tali persaudaraan, maka akan mendpatkan rizki yg bnyak. Suf, ini baru rizki, yg mana rizki tsbt adalah termasuk dr masalah dunia saja, toh itu juga udah termasuk sbgai jaminannya, lha skrang gmna dengan masalah akhirotny??? Tentu tak ada keraguan lagi bahwa urusan akhirot, urusan pahala tentu lbih besar dan lebih mulia dibanding dunianya.


Nah, trus gmana dgan org2 yg mutus silaturrohim??? Adapun ttg orang yg memutuskan silatur arham tentu lebih gak enak pula balasan yg akan dipikulny, disamping kita mlihat kebalikannya balasannya orang2 yg menyambung tali persaudaraannya, pula terdapat Sebuah hadits yg menerangkan bahwa "tiada masuk surga baginya terhadap orang2 yg memutus tali persaudaraannya".

Nah, brgkt dr sini, tentu sudah jelas bahwasannya orang orang yg memutus tali persaudaraan maka diduniany akan sengsara, rizki sulit digapai, pula diakhirotny lbih susah lagi, syurga tidak menerimanya.


Ikhwany wa akhwaty hafidhohullah, mengapa alfaqir dsini menggunakan ibarat itu smuanya dgan sbuah status pacaran??? Bukan bermaksud buat menjelekkan atau menyinggung orang2 yg sdang menjalin hbgan status tsbt, akan tetapi dgan teropong kacamata renungan, memang ibarat dgan sbuah status pacaran tsbt itu memang lebih dekat untuk sbagae ibarat dan contoh, pula melihat perjalanannya zaman yg sdah kyak bgini, seakan2 itu adalah suatu hal yg sudah nyata didepan mata kita dan tdak bisa dipungkiri lagi, entah disadari dengan penuh kesadaran atau tidak. Bener bukan???

Baru beberapa hari kemaren, kita menjumpai sbuah hari yg fithry, yg mana dihari tsbt adalah termasuk hari yg sngat cocok dan sdah menjadi adat istiadat dr ulama2 dan salafussholih dulu, bahwasannya dihari tsbt kita smua slalu merayakannya dgan silaturrohim ke saudara, ketetangga pula ke saudara muslim smuanya. Nah, pertanyaan saya, dr sinilah apakah ada atsarny dr hari tsbt??? Smoga saja ada, yg dluny blom dekat, stelah melewati hari tsbt kian makin dekat, yg dlunya blom kenal, kini kian saling menggenalnya, dan alhasil, smga kita bisa saling meyambungkan tali persaudaraan kita hingga sampai selamanya.

Toh juga skrg media buat nyambung silatur arham sdah bnyak yg mendukung, entah bermula dr dunia nyata sampai ke saudara yg kita jumpai didunia maya, smuany telah mendukung buat saling silatur arham, yg aslinya sulit tuk saling berkunjung dan bertemu, skrang sdah ada jaringan via telp,sms,chat dsbnya. Lantas smua fasilitas yg ada dan telh kita ketahui ini buat apa lagi klo bukan buat ajang silatul arham kita??

Dalam kesempatan ini, marilah kita menyatukan pikiran dalam keheningan sejenak, terdiam seraya memutar otak, menggingat pada satu tujuan, tiada lain adalah tuk Muhasabatun nafsi, berintropeksi diri, dan bertekad dgan sbuah lafadz "Bismillah" buat memulai yg lebih baek lagi. Dan marilah kita agar lebih berhati2 dalam menghangatkan keakraban hbgan persaudaraan kita, janganlah hanya dengan suatu masalah spele persaudaraan kita bisa menjadi hancur lebur yg tak ubahnya sperti debu.

Terselipkan doa:"Allahumma allif baina qulubina, wa ashlih dzata bainina".

Wallahu a'lam.

Status Pacaran

Sebuah syair berkta:
Nadhrotun wa ibtisamatun fasalamun # fakalamun fa mau'idun faliqo'un.

Bermula dr saling memandang, disusul dgan saling tersnyum,dicoba saling berucap salam,lalu berbicara,kmudian dilanjutkan dengan sbuah tekad tuk mengungkapkan sbuah ajakan saling perjanjian, pula diberanikan tuk saling bertemu.

Tentu, dari diantara bberapa tahap tingkatan yg telah teruraikan ssuai yg diatas,pastilah muncul bberapa atsar pengaruh yg mlekat dlam hati, ada sbuah rasa saling ketertarikan,saling suka dan saling mencinta. Jika dr beberapa pengaruh perasaan tsbt tlah tertanam dan melekat dlm Hati, tentu didalam moment tuk saling memberanikan tuk bertemu diantara keduanya, tak aneh jika tiba2 muncullah suatu suasana yg larut dalam ketegangan dan keharmonisan, lalu terjadilah sbuah obrolan yg serius dan bener2 menegangkan yg ssuae dgan suasananya.

Fulan: "Hemm,,, aku mau mengungkapkan suatu hal yg paling indah bagiku kpadamu, bersediakah kau mendengarkannya???" Terucaplah dngan nada serius,namun ttp dlam pancaran suasana keharmonisan.

Fulanah: "dengan senang hati ku mendengarkannya. Suatu hal paling indah, apakah itu???"

Dalam keheningan kesunyian, terlarut dalam rasa penasaran akan suatu hal indah tersbut, keduanya saling merasakan getaran2 hati utk menjemput ssuatu yg indah tadi.

Fulan: Dengan terbete2 dan ttep memberanikan diri tuk berucap, aku hanya mau mengungkapkan 3kata saja, "I love you, aku cinta kamu".

Fulanah: dengan penuh rasa keheranan, pula kegembiraan, hingga seakan sudah buta dalam larutnya keheningan, keluarlah sunggingan senyuman pancaran keharmonisan, sembari berucap "I love you too, aku juga cinta kamu".

Detakan cinta bertasbih, menuju dalam kehanggatan keromantisan diantara keduanya.

#####

Diatas, adalah Sebuah realita yg kerap terjadi diantara kedua pasangan, realita yg mana adalah sbuah realita yg ssungguhnya penuh beberapa ma'na, tentulah jika kita mau merenunggi jauh kedalam terlebih dahulu.

Realita diatas adalah kerap disebut dengan status atau istilah Pacaran, gebetan atau lain sebagainya yg mana istilah ini akan lebih modern sesuai dengan perjalanan era zaman modern ini. Disini bukan akan membahas suatu hukum dengan istilah pacaran tsbt, namun sekiranya hanya akan menulusuri ssuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg terjadi didalam menjalankan momentum pacaran ini,dr awal hingga keadaan terakhirnya.


Silatur Arham, ya. Hubungan Silaturrohim lah yg akan kita jumpai dlam penulusuran tsbt. Apakah dlam istilah pacaran ini tidak ada nilai sdikit pun ttg silatul arhamnya??? Jika kita mengatakan tidak, tentulah sangat bodoh kita. Smpk segitunya kah kita mengatakannya bahwa dlam pacaran itu tiada nilai persaudaraanny??? Apa yg membuat kita larut dalam kebodohan sehingga kita tidak mengetahui suatu nilai yg sesungguhnya sangat berharga itu.

Memang dalam istilah Pacaran itu sungguh sangat indah, ya. Sangat indah jika dalam status pacaran tsbt masih hangat akan kasih sayang,masih romantis dlam ikatan cintanya, sehingga dr sini arti nilai dr persaudaraan semakin membumbung tinggi,smkin nampak indah,pula semakin bisa terasakan aroma indahnya tali persaudaraan.


Secara global saja, dibawah garis Status pacaran yg terikat diantara kedua pasangan, tentu kita mengalami bberapa perubahan dalam hidup kita. Dalam hidup kita bersama sang kekasih, sudah tidak membutuhkan bnyak kata2 untuk menjawabnya, sudah jelas tampak akan keindahan hubungannya. Yang dluny aslinya tiada kenal, tiada rasa ketertarikan, stelah tertanam rasa cinta, kian smkin berubah smuanya. Yg dlunya tidak pernah berkunjung kerumahny,skrg brubah sering berkunjung, yg dlunya tiada kedekatan dgan kluarganya,skrg kian dkat. Yg dlunya gitu,kian brubah begini, dan lain sbgainy. Bukankan Perubahan itu smua adalah suatu pencerminan akan indahnya hbgan persaudaraan???

Setelah beberapa lama menjalankan status dgan indah dan nyaman, mungkin dalam suatu tempo waktu, arti status ataupun istilah pacaran smkin berkurang keharmonisannya, tentulah dgan bberapa sebab dr bberapa bnyaknya sebab. Suatu sebab yg bsa membuat status itu kian jelek dan tak nyaman,pula tak merasakan indahnya keharmonisan kasih sayang dan cintanya. Dan jangan lah kaget jika akan terjadi suasana yg ssungguhny tiada harapan dr awal.

Berucap dengan nada dan suasana yg sungguh berbalik drastis dripada suasana yg dlu.
Fulan: "tho the point aja, mulai detik ini, kita PUTUS. So, Maafkanlah sgala kesalahanku yg telah menyakitimu,yg telah mengecawakanmu".

Fulanah: dengan suasana yg bener2 menyedihkan, isak tangis pun tiada tahan tuk digenggam, dengan suara terbete-bete menjawabnya "okelah klo itu maumu".

Sudah bsa ditebakkah apa yg akan terjadi selanjutnya???? Dalam menindak lanjuti keadaanya, smuanya pasti menjawab dan menyimpulkan bahwa keadaan selanjutnya adalah sungguh tiada mampu tuk mengguraikan dgan kata2 krna terlah terlalu larut dalam kesedihan dan pahitnya rasa patah hati ini, yg dluny indah semakin tiada artinya, seakan akan dunia memang tiada indahnya.

# Bersambung pada part kedua, ttp diikuti selalu. Gak mengeikuti dgan sempurna, merugilah anda.
Hehehe...

PENDAPAT IMAM MALIK BAHWA ALLAH ADA DAN TIDAK BERARAH

Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:

“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena "bagaimana" (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)".



Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”. Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.

Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur'an. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita. Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy. Hanya saja, --menurut mereka--, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. A'udzu Billah.

Untuk membantah keyakinan kaum Wahhabiyyah tersebut, kita katakan kepada mereka:

Dalam perkataan al-Lalika-i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman terdapat kata “al-Kayf Ghair Ma’qul”, ini artinya bahwa Istawa tersebut bukan Kayfiyyah, sebab Kayfiyyah adalah sifat benda. Dengan demikian, oleh karena kata Istawa ini bukan Kayfiyyah maka jelas maknanya bukan dalam pengertian duduk atau bersemayam. Karena duduk atau bertempat itu hanya berlaku pada sesuatu yang memiliki anggota badan, seperti pantat, lutut dan lainnya. Sementara Allah maha suci dari pada anggota-anggota badan.

Yang mengherankan, kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyyah di atas seringkali memutarbalikan perkataan dua Imam di atas. Mereka sering mengubahnya dengan mengatakan “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah”. Perkataan semacam ini sama sekali bukan riwayat yang benar berasal dari al-Imam Malik atau lainnya. Tujuan kaum Musyabbihah mengucapkan kata tesebut tidak lain adalah untuk menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Istawa Allah, lalu mereka mengatakan Kayfiyyah-Nya tidak diketahui. Karena itu mereka seringkali mengatakan: "Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy, tapi cara bersemayam-Nya tidak diketahui". Atau terkadang mereka juga berkata: "Allah duduk di atas arsy, tapi cara duduk-Nya tidak diketahui". jadi, Perkataan kaum Musyabbihah “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” tidak lain hanyalah untuk mengelabui orang-orang awam bahwa semacam itulah yang telah dikatakan dan yang dimaksud oleh Al-Imam Malik. A'udzu Billah.

Al-Hafizh al-Bayhaqi dari jalur Yahya ibn Yahya telah meriwayatkan bahwa ia -Yahya ibn Yahya- berkata:

Suatu saat ketika kami berada di majelis al-Imam Malik ibn Anas, tiba-tiba datang seseorang menghadap beliau, seraya bekata: Wahai Abu Abdlillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimankah Istawa Allah? Lalu al-Imam Malik menundukan kepala hingga badanya bergetar dan mengeluarkan keringat. Kemudian beliau berkata: “al-Istiwa’ telah jelas -penyebutannya dalam al-Qur’an- (al-Istiwa Ghair Majhul), dan “Bagaimana (sifat benda)” tidak logis dinyatakan kepada Allah (al-Kayf Ghair Ma’qul), beriman kepada adanya sifat al-Istiwa adalah wajib, dan mempermasalahkan masalah al-Istiwa tersebut adalah perbuatan bid’ah. Dan bagiku, engkau tidak lain kecuali seorang ahli bid’ah”. Lalu al-Imam Malik menyuruh murid-muridnya untuk mengeluarkan orang tersebut dari majelisnya. Al-Imam al-Bayhaqi berkata: “Selain dari al-Imam Malik, pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman, guru dari al-Imam Malik sendiri” (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).



Dalam mengomentari peristiwa ini, asy-Syaikh Salamah al-Uzami, salah seorang ulama al-Azhar terkemuka dalam bidang hadits, dalam karyanya berjudul Furqan al-Qur’an, mengatakan sebagai berikut:

“Penilaian al-Imam Malik terhadap orang tersebut sebagai ahli bid’ah tidak lain karena kesalahan orang itu mempertanyakan Kayfiyyah Istiwa bagi Allah. Hal ini menunjukan bahwa orang tersebut memahami ayat ini secara indrawi dan dalam makna zhahirnya. Tentu makna zhahir Istawa adalah duduk bertempat, atau menempelnya suatu benda di atas benda yan lain. Makna zhahir inilah yang dipahami oleh orang tersebut, namun ia meragukan tentang Kayfiyyah dari sifat duduk tersebut, karena itu ia bertanya kepada al-Imam Malik. Artinya, orang tersebut memang sudah menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah. Ini jelas merupakan keyakinan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), dan karena itu al-Imam Malik meyebut orang ini sebagai ahli bid’ah” (Furqan al-Qur’an Bain Shifat al-Khaliq Wa al-Akwan, h. 22).



Ada pelajaran penting yang dapat kita tarik dari peristiwa ini. Jika al-Imam Malik sangat marah terhadap orang tersebut hanya karena menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, hingga mengklaimnya sebagai ahli bid’ah, maka tentunya beliau akan lebih marah lagi terhadap mereka yang dengan terang-terangan mengartikan Istawa dengan duduk, bertempat atau bersemayam! Dapat kita pastikan seorang yang berpendapat kedua semacam ini akan lebih dimurkai lagi oleh al-Imam Malik. Hal itu karena mengartikan Istawa dengan duduk atau bersemayam tidak hanya menetapkan adanya Kayfiyyah bagi Allah, tapi jelas merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.

Dan sesungguhnya sangat tidak mungkin seorang alim sekaliber al-Imam Malik berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat dan arah. Al-Imam Malik adalah Imam kota Madinah (Imam Dar al-Hijrah), ahli hadits terkemuka, perintis fiqih madzhab Maliki, sudah barang tentu beliau adalah seorang ahli tauhid, berkeyakinan tanzih, mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya. Tentang kesucian tauhid al-Imam Malik ibn Anas, al-Imam al-‘Allamah al-Qadli Nashiruddin ibn al-Munayyir al-Maliki, salah seorang ulama terkemuka sekitar abad tujuh hijriyah, dalam karyanya berjudul al-Muqtafa Fi Syaraf al-Musthafa telah menuliskan pernyataan al-Imam Malik bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dalam karyanya tersebut, al-Imam Ibn al-Munayyir mengutip sebuah hadits, riwayat al-Imam Malik bahwa Rasulullah bersabda: “La Tufadl-dliluni ‘Ala Yunus Ibn Matta” (Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta). Dalam penjelasan hadits ini al-Imam Malik berkata bahwa Rasulullah secara khusus menyebut nabi Yunus dalam hadits ini, tidak menyebut nabi lainya, adalah untuk memberikan pemahaman akidah tanzih, -bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah-. Hal ini karena Rasulullah diangkat ke atas ke arah arsy -ketika peristiwa Mi’raj-, sementara nabi Yunus dibawa ke bawah hingga ke dasar lautan yang sangat dalam -ketika beliau ditelan oleh ikan besar-, dan kedua arah tersebut, baik arah atas maupun arah bawah, keduanya bagi Allah sama saja. Artinya satu dari lainnya tidak lebih dekat kepada-Nya, karena Allah ada tanpa tempat. Karena seandainya kemuliaan itu diraih karena berada di arah atas, maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan “Janganlah kalian melebih-lebihkan aku di atas nabi Yunus ibn Matta”. Dengan demikian, hadits ini oleh al-Imam Malik dijadikan salah satu dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah (Lihat penjelasan ini dalam al-Muqtafa Fi syaraf al-Mustahafa. Perkataan Al-Imam Malik ini juga dikutip oleh Al-Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam karya bantahannya atas Ibn al-Qayyim al-Jaiziyyah (murid Ibn Taimiyah); yang berjudul as-Saif ash-Shaqil Fi ar-Radd ‘Ala ibn Zafil. Demikian pula perkataan Al-Imam Malik ini dikutip oleh Al-Imam Muhammad Murtadla az-Zabidi dalam karyanya Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarah Ihya ‘Ulumiddin).

Adapun riwayat yang dikemukan oleh Suraij ibn an-Nu’man dari Abdullah ibn Nafi’ dari al-Imam Malik, bahwa ia -al-Imam Malik- berkata: “Allah berada di langit, dan ilmu-Nya di semua tempat”, adalah riwayat yang sama sekali tidak benar (Ghair Tsabit).

Abdullah ibn Nafi’ dinilai oleh para ahli hadits sebagai seorang yang dla’if. Al-Imam Ahmad ibn Hanbal berkata: “’Abdullah ibn Nafi’ ash-Sha’igh bukan seorang ahli hadits, ia adalah seorang yang dla’if”. Al-Imam Ibn Adi berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’ banyak meriwayatkan ghara-ib (riwayat-riwayat asing) dari al-Imam Malik”. Ibn Farhun berkata: “Dia -Abdullah ibn Nafi’- adalah seorang yang tidak membaca dan tidak menulis” (Lihat biografi Abdullah ibn Nafi’ dan Suraij ibn an-Nu’man dalam kitab-kitab adl-Dlu’afa’, seperti Kitab ald-Dlu’afa karya an-Nasa-i dan lainnya).

Dengan demikian pernyataan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik di atas adalah riwayat yang sama sekali tidak benar. Dan kata-kata tersebut yang sering kali dikutip oleh kaum Musyabbihah dan dinisbatkan kepada al-Imam Malik tidak lain hanyalah kedustaan belaka.

kesimpulan, Aqidah Imam Malik, Imam AbuHanifah, Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad ibn Hanbal adalah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.






http://www.facebook.com/pages/AQIDAH-AHLUSSUNNAH-ALLAH-ADA-TANPA-TEMPAT/351534640896

PUASA 6 hari Bulan SYAWAL

Bismillah
ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ
ﺻَﺎﻡَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗْﺒَﻌَﻪُ ﺳِﺘًّﺎ
ﻣﻦ ﺷَﻮَّﺍﻝٍ ﻛﺎﻥ ﻛَﺼِﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﺪَّﻫْﺮِ
ﺭَﻭَﺍﻩُ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ( ﻓﻴﻪ ﺩﻻﻟﺔ ﺻﺮﻳﺤﺔ
ﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺩﺍﻭﺩ
ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﺳﺘﺤﺒﺎﺏ
ﺻﻮﻡ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ
ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻳﻜﺮﻩ ﺫﻟﻚ ﻗﺎﻝ
ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻮﻃﺄ ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺖ
ﺃﺣﺪﺍ ﻣﻦ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺼﻮﻣﻬﺎ
ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻓﻴﻜﺮﻩ ﻟﺌﻼ ﻳﻈﻦ ﻭﺟﻮﺑﻪ
ﻭﺩﻟﻴﻞ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ ﻭﻣﻮﺍﻓﻘﻴﻪ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﺼﺮﻳﺢ
ﻭﺍﺫﺍ ﺛﺒﺘﺖ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻻ ﺗﺘﺮﻙ
ﻟﺘﺮﻙ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ
ﺃﻭ ﻛﻠﻬﻢ ﻟﻬﺎ ﻭﻗﻮﻟﻬﻢ ﻗﺪ ﻳﻈﻦ
ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ ﻳﻨﺘﻘﺾ ﺑﺼﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ
ﻭﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻮﻡ
ﺍﻟﻤﻨﺪﻭﺏ ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻭﺍﻷﻓﻀﻞ ﺃﻥ ﺗﺼﺎﻡ ﺍﻟﺴﺘﺔ
ﻣﺘﻮﺍﻟﻴﺔ ﻋﻘﺐ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻓﺎﻥ
ﻓﺮﻗﻬﺎ ﺃﻭ ﺃﺧﺮﻫﺎ ﻋﻦ ﺃﻭﺍﺋﻞ
ﺷﻮﺍﻝ ﺇﻟﻰ ﺍﻭﺍﺧﺮﻩ ﺣﺼﻠﺖ
ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﻤﺘﺎﺑﻌﺔ ﻷﻧﻪ ﻳﺼﺪﻕ
ﺃﻧﻪ ﺃﺗﺒﻌﻪ ﺳﺘﺎ ﻣﻦ ﺷﻮﺍﻝ ﻗﺎﻝ
ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺍﻧﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﻛﺼﻴﺎﻡ
ﺍﻟﺪﻫﺮ ﻻﻥ ﺍﻟﺤﺴﻨﺔ ﺑﻌﺸﺮ
ﺍﻣﺜﺎﻟﻬﺎ ﻓﺮﻣﻀﺎﻥ ﺑﻌﺸﺮﺓ ﺃﺷﻬﺮ
ﻭﺍﻟﺴﺘﺔ ﺑﺸﻬﺮﻳﻦ ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﻫﺬﺍ
ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﻣﺮﻓﻮﻉ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ
ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭ ﺳﻠﻢ ) ﺳﺘﺎ ﻣﻦ ﺷﻮﺍﻝ (
ﺻﺤﻴﺢ ﻭﻟﻮ ﻗﺎﻝ ﺳﺘﺔ ﺑﺎﻟﻬﺎﺀ ﺟﺎﺯ
ﺃﻳﻀﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻳﻘﺎﻝ
ﺻﻤﻨﺎ ﺧﻤﺴﺎ ﻭﺳﺘﺎ
)
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim)

Dalil ini yang dibuat pijakan kuat madzhab syafi’i, Ahmad Bin Hanbal dan Abu Daud tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari dibulan syawal, sedang Abu Hanifah memakruhkan menjalaninya dengan argument agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut. Para pengikut kalangan Syafi’i menilai yang lebih utama menjalaninya berurutan secara terus-menerus (mulai hari kedua syawal) namun andaikan dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan diakhir bulan syawal pun juga masih mendapatkan keutamaan sebagaimana hadits diatas.

Ulama berkata “alasan menyamainya puasa setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan, dengan demikian bulan ramadhan menyamai sepuluh bulan lain (1bulanx10=10 bulan) dan 6 hari dibulan syawal menyamai dua bulan lainnya (6x10=60=2 bulan). Syarh nawaawi ‘ala Muslim VIII/56

PUASA SYAWAL bersamaan QODHO PUASA

Diperbolehkan menggabung niat puasa 6 hari bulan syawal dengan qadha ramadhan menurut Imam Romli dan keduanya mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhromah tidak mendapatkan pahala keduanya bahkan tidak sah.
ﻗﺎﻝ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻛﺸﻴﺨﻪ ﻭﺍﻟﺬﻱ
ﻳﺘﺠﻪ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﻭﺟﻮﺩ ﺻﻮﻡ
ﻓﻴﻬﺎ ﻓﻬﻲ ﻛﺎﻟﺘﺤﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻧﻮﻯ
ﺍﻟﺘﻄﻮﻉ ﺃﻳﻀﺎ ﺣﺼﻼ ﻭﺇﻻ
ﺳﻘﻂ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻄﻠﺐ
) ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻛﺎﻟﺘﺤﻴﺔ ( ﺃﻱ ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﺗﺤﺼﻞ ﺑﻔﺮﺽ ﺃﻭ ﻧﻔﻞ ﻏﻴﺮﻫﺎ
ﻷﻥ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﺷﻐﻞ ﺍﻟﺒﻘﻌﺔ
ﺑﺎﻟﻄﺎﻋﺔ ﻭﻗﺪ ﻭﺟﺪﺕ ) ﻗﻮﻟﻪ ﻓﺈﻥ
ﻧﻮﻯ ﺍﻟﺘﻄﻮﻉ ﺃﻳﻀﺎ ( ﺃﻱ ﻛﻤﺎ
ﺃﻧﻪ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﻔﺮﺽ ) ﻭﻗﻮﻟﻪ
ﺣﺼﻼ ( ﺃﻱ ﺍﻟﺘﻄﻮﻉ ﻭﺍﻟﻔﺮﺽ
ﺃﻱ ﺛﻮﺍﺑﻬﻤﺎ ) ﻗﻮﻟﻪ ﻭﺇﻻ ( ﺃﻱ
ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﺘﻄﻮﻉ ﺑﻞ ﻧﻮﻯ
ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻓﻘﻂ ) ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺳﻘﻂ
ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻄﻠﺐ ( ﺃﻱ ﺑﺎﻟﺘﻄﻮﻉ
ﻻﻧﺪﺭﺍﺟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺽ
“Berkata Guru kami seperti guru beliau : Pendapat yang memiliki wajah penyengajaan dalam niat (dalam masalah ini) adalah adanya puasa didalamnya maka sama seperti shalat tahiyyat masjid bila diniati kesunahan kedua-duanya juga mendapatkan pahala, bila tidak diniati maka gugur tuntutannya” (Keterangan seperti shalat tahiyyat masjid) artinya shalat tahiyyah bisa berhasil ia dapatkan saat ia menjalani kewajiaban shalat fardhu atau sunah lainnya karena tujuan niat (dalam shalat tahiyyah masjid) adalah terdapatnya aktifitas ibadah di masjid dan ini sudah terjadi. (Keterangan diniati kesunahan) sama halnya saat ia niati ibadah fardhu (Keterangan kedua-duanya juga mendapatkan) artinya mendapatkan pahala puasa sunah dan puasa fardhu (Keterangan bila tidak ia niati) artinya ia tidak niat puasa sunah tapi hanya niat puasa fardhu saja (Keterangan maka gugur tuntutannya) artinya tuntutan puasa sunnahnya karena telah tercakup dalam puasa fardhu. I’aanah at-Thoolibiin II/271
( ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻙ :( ﻇﺎﻫﺮ ﺣﺪﻳﺚ :
» ﻭﺃﺗﺒﻌﻪ ﺳﺘﺎً ﻣﻦ ﺷﻮّﺍﻝ «
ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻋﺪﻡ
ﺣﺼﻮﻝ ﺍﻟﺴﺖ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﺍﻫﺎ ﻣﻊ
ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ، ﻟﻜﻦ ﺻﺮﺡ ﺍﺑﻦ
ﺣﺠﺮ ﺑﺤﺼﻮﻝ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ
ﻹﻛﻤﺎﻟﻪ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﺍﻫﺎ ﻛﻐﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ
ﻋﺮﻓﺔ ﻭﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ، ﺑﻞ ﺭﺟﺢ ) ﻡ ﺭ (
ﺣﺼﻮﻝ ﺃﺻﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﺳﺎﺋﺮ
ﺍﻟﺘﻄﻮﻋﺎﺕ ﻣﻊ ﺍﻟﻔﺮﺽ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ
ﻳﻨﻮﻫﺎ ، ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺼﺮﻓﻪ ﻋﻨﻬﺎ
ﺻﺎﺭﻑ ، ﻛﺄﻥ ﻗﻀﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻲ
ﺷﻮّﺍﻝ ، ﻭﻗﺼﺪ ﻗﻀﺎﺀ ﺍﻟﺴﺖ ﻣﻦ
ﺫﻱ ﺍﻟﻘﻌﺪﺓ ، ﻭﻳﺴﻦّ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﺴﺖ
ﻭﺇﻥ ﺃﻓﻄﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺍﻫـ . ﻗﻠﺖ :
ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﺃﺑﻮ ﻣﺨﺮﻣﺔ ﺗﺒﻌﺎً
ﻟﻠﺴﻤﻬﻮﺩﻱ ﻋﺪﻡ ﺣﺼﻮﻝ ﻭﺍﺣﺪ
ﻣﻨﻬﻤﺎ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﺍﻫﻤﺎ ﻣﻌﺎً ، ﻛﻤﺎ ﻟﻮ
ﻧﻮﻯ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺳﻨﺘﻬﺎ ، ﺑﻞ ﺭﺟﺢ
ﺃﺑﻮ ﻣﺨﺮﻣﺔ ﻋﺪﻡ ﺻﺤﺔ ﺻﻮﻡ
ﺍﻟﺴﺖ ﻟﻤﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ
ﻣﻄﻠﻘً‎
nabi saw bersabda, "Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun." (HR. Muslim) Bila melihat Dzohirnya hadits seolah memberi pengertian tidak terjadinya kesunahan 6 hari bulan syawal saat ia niati bersamaan dengan qadha ramadhan namun Ibn Hajar menjelaskan mendapatkan kesunahan dan pahalanya bila ia niati sama seperti puasa-puasa sunah lainnya seperti puasa hari arafah dan asyura bahkan Imam Romli mengunggulkan pendapat terjadinya pahala ibadah-ibadah sunah lainnya yang dilakukan bersamaan ibadah fardhu meskipun tidak ia niati selama tidak terbelokkan arah ibadahnya seperti ia niat puasa qadha ramadhan dibulan syawal dan ia niati... Lanjut kebawah ^_^

Kenapa Amalan di Terima ?

Untuk melihat secara full (web version) dari tulisan ini silahkan lihat disini

“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.” Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.

Dalam firmanNya: “Siapa yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.” (Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntut ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan: “Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.”

Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda: “Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya:
“Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya."

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”

Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.

Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum
melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya ditolak ia merasa amalnya diterima.

Semoga dapat diambil hikmahnya

Minggu, 04 September 2011

MAKNA HADITS AL-JARIYAH (MEWASPADAI AQIDAH SESAT WAHABI)

Ada sebuah hadits yang dikenal dengan Hadits al-Jariyah, hadits tentang seorang budak perempuan yang dihadapkan kepada Rasulullah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim; bahwa seorang sahabat datang menghadap Rasulullah menanyakan prihal budak perempuan yang dimilikinya, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan saja?”. Rasulullah berkata: ”Datangkanlah budak perempuan tersebut kepadaku”. Setelah budak perempuan tersebut didatangkan, Rasulullah bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak tersebut menjawab: “Fi as-sama’”. Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”. Budak menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada pemiliknya): “Merdekakanlah budak ini, sesungguhnya ia seorang yang beriman” . (HR. Muslim)

Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah, tetapi makna "Fi as-Sama'" dalam perkataan budak tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan keagungan-Nya. Pemahaman teks ini harus demikian agar sesuai dengan pemahaman bahasa. Seperti perkataan salah seorang penyair mashur; an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya berkata:

بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا # وَإنّا لَنَرْجُو فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا

“Kemuliaan dan kebesaran kami telah mencapai langit, dan sesungguhnya kita mengharapkan hal tersebut lebih tinggi lagi dari pada itu”
.
Pemahaman bait syair ini bukan berarti bahwa kemuliaan mereka bertempat di langit, tetapi maksudnya bahwa kemuliaan mereka tersebut sangat tinggi.

Kemudian dari pada itu, sebagian ulama hadits telah mengkritik Hadits al-Jariyah ini, mereka mengatakan bahwa hadits tersebut sebagai hadits mudltharib, yaitu hadits yang berbeda-beda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, baik dari segi sanad (mata rantai) maupun matan-nya (redaksi). Kritik mereka ini dengan melihat kepada dua segi berikut;

Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad dan matan (redaksi) yang berbeda-beda; ini yang dimaksud hadits mudltharib. Di antaranya; dalam matan Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dari asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat kepadaku agar aku memerdekakan seorang budak atas nama dirinya, dan saya memiliki seorang budak perempuan hitam”. Lalu Rasulullah berkata: “Panggilah dia!”. Kemudian setelah budak perempuan tersebut datang, Rasulullah berkata kepadanya: “Siapakah Tuhanmu?”, ia menjawab: “Allah”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”, ia menjawab: “Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia karena ia seorang budak perempuan yang beriman” .

Sementara dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.

Kemudian dalam riwayat lainnya, masih dalam riwayat al-Imam al-Bayhaqi, Hadits al-Jariyah ini diriwayatkan dengan redaksi: “Siapa Tuhanmu?”. Budak perempuan tersebut menjawab: “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah berkata: “Apakah agamamu?”. Ia menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”. Ia menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliki budak: “Merdekakanlah!” .

Dalam riwayat lainnya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Malik, disebutkan dengan memakai redaksi: “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau beriman dengan kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliknya: “Merdekakanlah ia” .

Riwayat al-Imam Malik terakhir disebut ini adalah riwayat yang sejalan dengan dasar-dasar akidah, karena dalam riwayat itu disebutkan bahwa budak perempuan tersebut sungguh-sungguh datang dengan kesaksiannya terhadap kandungan dua kalimat syahadat (asy-Syahadatayn), walaupun dalam riwayat al-Imam Malik ini tidak ada ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah” (Sesungguhnya ia seorang yang beriman)”.


Dengan demikian riwayat al-Imam Malik ini lebih kuat dari pada riwayat al-Imam Muslim, karena riwayat al-Imam Malik ini sejalan dengan sebuah hadits mashur, bahwa Rasulullah bersabda:

أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله (رواه البخاري وغيره)

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah” .

Riwayat al-Imam Malik ini juga sejalan dengan sebuah hadits riwayat al-Imam an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra dari sahabat Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke tempat seorang Yahudi yang sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang Yahudi tersebut kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata: “Ta’atilah perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka dengan jalan diriku” .

Ke dua; Bahwa riwayat Hadits al-Jariyah yang mempergunakan redaksi “Aina Allah?”, adalah riwayat yang menyalahi dasar-dasar akidah, karena di antara dasar akidah untuk menghukumi seseorang dengan keislamannya bukan dengan mengatakan “Allah Fi as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika ada seorang kafir yang hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah berada di langit. karena perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat tauhid. Sebaliknya kata “Allah Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, juga orang-orang kafir lainnya dalam menetapkan keyakinan mereka. Akan tetapi tolak dasar yang dibenarkan dalam syari’at Allah untuk menghukumi keimanan seseorang adalah apa bila ia bersaksi dengan dua kalimat syahadat sebagaimana tersebut dalam hadits mashur di atas.

(Masalah): Jika seseorang berkata: Bagaimana mungkin riwayat al-Imam Muslim yang menyebutkan dengan redaksi “Aina Allah?”, yang kemudian dijawab “Fi as-sama’”, sebagai hadits yang tertolak, padahal bukankah seluruh riwayat al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya disebut dengan hadits-hadits shahih?

(Jawab): Terdapat beberapa ulama hadits telah menolak beberapa riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya tersebut. Dan andaikan Hadits al-Jariyah tersebut tetap diterima sebagai hadits shahih, maka hal itu bukan berarti maknanya bahwa Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh sebagian orang bodoh, tetapi maknanya adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali derajat dan keagungannya. Dan di atas dasar makna inilah sebagian ulama Ahlussunah ada yang tetap menerima Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam Muslim tersebut sebagai hadits shahih. Artinya, bahwa mereka tidak memaknai Hadits al-Jariyah ini dalam pemahaman makna zhahirnya yang seakan menetapkan bahwa Allah berada di langit. Pemahaman ulama Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah sekarang) yang mamahami hadits tersebut sesuai makna zhahirnya, hingga mereka mengatakan bahwa Allah berada di langit. Yang aneh, pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. di dua tempat heh?!! A'udzu Billah. Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya seakan Allah berada di arah bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna zhahirnya. Pemahaman apa ini?!! Jelas, ini namanya pemahaman "seenak perut", pemahaman "semau gue" (tahkkum).

Penjelasan lebih lanjut tentang Hadits al-Jariyah, baca syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj) karya al-Imam an-Nawawi (w 676 H)

Ingat dan tetap selalu yakini bahwa aqidah Rasulullah dan para sahabatnya, serta kaum Salaf Saleh, yang kemudian turun temurun diyakini oleh mayoritas ummat Islam Ahlussunnah adalah; ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

sumber : http://istawa.byethost3.com/3.7.htm

Agar Putih tak Jadi Abu-abu

Islam itu bersih, maka bersihkanlah dirimu. Sesungguhnya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang bersih.” (HR Dailami)

Maha Agung Allah swt. yang telah menunjukkan hambaNya tentang warna-warni hidup. HidayahNya menguatkan sinar fitrah manusia yang putih untuk tetap putih. Dan yang sebelumnya hitam menjadi kembali putih dan bersih. Putih menunjukkan kebersihan. Dan hitam memperlihatkan kekotoran. Keduanya tidak akan menyatu. Seperti itulah sunnatullah buat semesta alam.

Hamba Allah yang istiqamah akan senantiasa menjaga diri supaya tetap bersih. Karena bersih menarik berbagai kemudahan dan keberkahan hidup. Di antaranya:

Kesuksesan berbanding lurus dengan kebersihan

Tiap orang pasti ingin hidup sukses. Mereka berusaha mencari jalan agar sukses cepat diraih. Mulai dari persiapan dalam diri hingga upaya sungguh-sungguh mencari dukungan luar. Bisa berupa ilmu, modal usaha, relasi kerja, dan lobi-lobi dalam dunia politik.

Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa kesuksesan diri bersifat menyeluruh. Artinya, tidak melulu pada sukses bisnis, studi, jodoh, dan karir. Tapi, mesti mencakup segala sisi diri seorang manusia.

Itu bisa berarti apa saja yang ada dalam diri seperti hati yang melahirkan motivasi, akal yang merangsang tumbuhnya gagasan, dan pemenuhan kebutuhan jasad yang menghasilkan keseimbangan tubuh. Juga, segala hal yang melingkupi luar diri seperti hubungan harmonis dengan lingkungan, kemampuan meningkatkan sumber daya dan lain-lain.

Namun, semua unsur sukses itu akan menemui jalan buntu jika inti dalam diri masih labil, kotor, dan tidak terawat. Itulah yang disebut hati dan jiwa. Hati dan jiwalah yang akhirnya menjadi penentu seperti apa motivasi, gagasan, kesungguhan gerak akan bergulir. Jika hati dan jiwanya keruh, maka aliran motivasi, gagasan, gerak oleh tubuh akan tersendat. Kalau pun dipaksakan untuk berjalan akan tampil kacau dan tak seimbang.

Seperti itulah yang kini dialami mereka yang jiwanya kering dari sentuhan iman. Gemerlap materi sama sekali tidak mampu membendung gelisah. Selalu tidak pernah puas. Bahkan, mereka tidak lagi tahu mau kemana diri berjalan. Kesuksesan menjadi fatamorgana yang terlihat begitu melimpah, pada hakekatnya kosong tanpa makna.

Maha benar Allah dalam firman-Nya, “Sungguh beruntung mereka yang mensucikan jiwanya. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Seorang hamba Allah yang takwa teramat sadar kalau sukses bukan cuma pada takaran dunia. Tapi juga untuk kehidupan akhirat. Dua target ini seolah terpisah. Tapi sebenarnya satu dan mengikat.

Sukses hidup buat seorang mukmin tidak identik dengan melimpahnya kekayaan, kesuksesan karir, mudahnya jodoh, dan kehormatan sebuah jabatan. Sukses hidup sebenarnya adalah ketika seorang hamba menemui ajalnya dalam rengkuhan ridha Allah swt.

Kasih sayang Allah bersama mereka yang bersih

Tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi kecuali menggapai ridha Allah. Apalah arti ridha seorang manusia buat seorang mukmin tanpa ridha dan kasih sayang Allah swt. Karena semua kasih sayang manusia sangat berbatas. Kalau tidak pada mutu, pasti pada ukuran waktu.

Sayangnya, kekerdilan nalar manusia kadang menggiringnya pada kesimpulan yang dangkal. Kasih sayang disamakan dengan kemudahan dan kenyamanan hidup. Padahal hidup tak lebih dari sekadar ruang ujian. Semakin sulit soal yang diterima, kian tinggi mutu seorang murid. Dan kebahagiaan sejati terlahir ketika seorang murid mendapat nilai akhir yang sangat memuaskan.

Sesuatu yang suci akan selalu bersama dengan yang bersih. Allah swt. Maha Suci, dan senantiasa mencurahkan kasih sayangNya pada hamba-hambaNya yang bersih. Kebersamaan akan melahirkan ikatan. Dan ikatan akan membuahkan cinta dan kasih sayang.

Maha Benar Allah dengan firmanNya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan dirinya.” (Q.S. Al-Baqarah: 222)

Simpati dan dukungan selalu tertuju pada yang bersih

Setiap manusia punya fitrah. Dan fitrah akan selalu condong pada yang bersih. Siapa pun dia, kecenderungan pada yang bersih akan selalu ada. Sejalan dengan kecenderungan itu, fitrah pun mengajak manusia membenci yang kotor.

Begitulah saat manusia mencintai kebersihan dan keindahan. Ketika manusia suka dengan yang teratur, disiplin dan kejujuran. Ketika manusia benci kekotoran, kebusukan, dan kesombongan.

Sayangnya, debu-debu kehidupan kerap menciderai fitrah. Bisa berupa tarikan nafsu berkuasa, takut hidup susah, dan kecenderungan mencintai kenikmatan hidup. Jika ini tak segera dibenahi, cahaya fitrah akan redup.

Namun begitu, cahaya fitrah ini akan kembali bersinar ketika ada tarikan dari kekuatan fitrah yang lebih besar. Lambat-laun, sinar fitrah yang semula redup akan tergiring dan akhirnya bersinar terang.

Seperti itulah ketika Rasulullah saw. menyatakan diri sebagai utusan Allah. Diam-diam masyarakat melirik dan kemudian benar-benar tertarik. Termasuk para tokoh Quraisy yang menyatakan diri memusuhi Rasulullah, padahal fitrahnya mulai hidup bersama ajaran Rasulullah. Kalau pun ada yang menyangkal, tak lebih dari kepura-puraan dan gengsi. Dan untuk mengubah itu, Allah hanya memberi waktu sekitar dua puluh tiga tahun. Sebuah perubahan yang teramat cepat.

Kebersihan dan kekotoran tidak akan pernah sama. Juga, tak akan bisa menyatu. Yang berat adalah ketika yang bersih berinteraksi dengan yang kotor. Maka keduanya akan saling mempengaruhi. Dan semuanya berujung pada siapa yang paling kuat.

Semoga kita tidak pernah beranggapan bahwa bersih serupa dengan stempel yang tidak pernah berubah. Ia perlu pengawasan dan perawatan. Agar yang bersih dan putih terus tetap bersih. Kalau tidak, boleh jadi putih akan bergeser warna. Bisa kehitam-hitaman, atau paling tidak abu-abu.

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template