Diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal r.a., dari Ibnu Abbas r.a. yang berkisah :
Kami bersama Rasulullah SAW dirumah salah seorang sahabat anshar, dimana saat itu kami ditengah-tengah jamaah. Lalu ada suara orang memanggil dari luar, "Wahai para penghuni rumah, apakah kalian mengizinkanku masuk, sementara kalian butuh kepadaku".
Rasulullah SAW bertanya kepada para jamaah, "Apakah kalian tahu, siapa yang memanggil dari luar itu ?". Mereka menjawab, "Tentu Alllah SWT dan Rasul-Nya lebih tahu".
Lalu Rasulullah SAW menjelaskan, "ini adalah iblis yang terkutuk -semoga Allah senantiasa melaknatnya".
Kemudian Umar r.a. meminta izin kepada Rasulullah sembari berkata, "YA Rasulullah, apakah engkau mengizinkanku untuk membunuhnya?". Beliau Nabi SAW menjawab, "bersabarlah wahai Umar, apakah engkau tidak tahu bahwa ia termasuk mahluk yang tertunda kematiannya sampai batas waktu yang telah diketahui (hari Kiamat)? Akan tetapi sekarang silahkan kalian membukakan pintu untuknya. Sebab ia diperintahkan untuk datang kesini, maka pahamilah apa yang diucapkan dan dengarkan apa yang bakal ia ceritakan kepada kalian."
Ibnu Abbas berkata : Kemudian dibukakan pintu, lalu ia masuk di tengah-tengah kami. Ternyata ia berupa orang yang sudah tua bangka dan buta sebelah mata. Ia berjenggot sebanyak tujuh helai rambut yang panjangnya seperti rambut kuda. Kedua kelopak matanya terbelah keatas tidak ke samping. Sedangkan kepalanya seperti gajah yang sangat besar, gigi taringnya memanjang keluar seperti babi. Sementara kedua bibirnya seperti bibir kerbau.
Ia datang sambil memberi salam. "Assalamu'alaika ya Muhammad, Assalamu'alaikum ya jamaa'atal-muslimim. " kata iblis.
Nabi SAW menjawab, "Assalamu lillah ya la'iin (Keselamatan hanya milik Allah wahai mahluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluan tersebut wahai iblis?".
"Wahai Muhammad, saya datang kesini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang kesini karena terpaksa", tutur iblis.
"Apa yang membuatmu terpaksa harus datang kesini wahai mahluk terkutuk?" tanya Rasulullah SAW.
Iblis menjawab, "Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Maha Agung, dimana utusan itu berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah SWT memerintahmu untuk datang kepada Muhammad SAW sementara engkau adalah mahluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucu Adam AS, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad SAW dengan jujur. Maka demi Kebesaran dan Keagungan Allah SWT, jika engkau menjawab dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah SWT jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang'.
Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawab dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku".
Rasulullah SAW mulai melemparkan pertanyaan kepada iblis, "Jika engkau bisa menjawab dengan jujur, maka coba ceritakan kepadaku, siapa orang yang paling engkau benci?"
Iblis menjawab dengan jujur, "Engkau, wahai Muhammad, adalah orang yang paling aku benci dan kemudian orang-orang yang mengikuti agamamu."
"Lalu siapa lagi yang palimg engkau benci?" tanya Rasulullah SAW.
"Seorang pemuda yang bertakwa dimana ia mencurahkan dirinya hanya kepada Allah SWT ", jawab iblis.
"Siapa lagi?" tanya Rasulullah SAW.
"Orang alim yang wara' (menjaga diri dari syubhat) lagi sabar," jawab iblis.
"Siapa lagi?" tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang senantiasa melanggengkan kesucian dari tiga kotoran (hadats besar, kecil, dan najis)", tutur iblis.
"Siapa lagi?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang fakir yang senantiasa bersabar, yang tidak pernah menuturkan kefakirannya kepada siapapun dan juga tidak pernah mengeluhkan penderitaan yang dialaminya," jawab iblis.
"Lalu dari mana engkau tahu kalau ia bersabar?" tanya Rasulullah SAW.
"Wahai Muhammad, bila ia masih dan pernah mengeluhkan penderitaannya kepada mahluk yang sama dengannya selama tiga hari, maka Allah SWT tidak akan mencatat perbuatannya dalam kelompok orang-orang yang bersabar," jelas iblis.
"Lalu siapa lagi wahai iblis?" tanya Rasulullah SAW.
"Orang kaya yang bersyukur", tutur iblis.
"Lalu apa yang bisa memberi tahu kepadamu, bahwa ia bersyukur?" Tanya Rasulullah SAW.
"Bila saya melihatnya ia mengambil kekayaannya dari apa saja yang dihalalkan dan kemudian disalurkan pada tempatnya", tutur iblis.
"Bagaimana kondisimu apabila ummatku menjalankan shalat?" Tanya Rasulullah SAW.
"Wahai Muhammad, saya langsung merasa gelisah dan gemetar," jawab iblis.
"Mengapa wahai mahluk yang terkutuk?" tanya Rasulullah SAW.
"Sesunguhnya apabila seorang hamba bersujud kepada Allah SWT sekali sujud, maka Allah SWT akan mengangkat satu derajat (tingkat). Apabila mereka berpuasa, maka saya terikat sampai mereka berbuka kembali. Apabila mereka menunaikan manasik haji, maka saya jadi gila. Apabila mereka membaca Al-Qur'an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. Apabila mereka bersedekah maka seakan-akan orang yang bersedekah tersebut mengambil kapak lalu memotong saya menjadi dua," jawab iblis.
"Mengapa demikian wahai Abu Murrah (julukan iblis)?" tanya Rasulullah SAW.
"Sebab dalam sedekah ada empat perkara yang perlu diperhatikan; Dengan sedekah itu, Allah SWT akan menurunkan keberkahan dalam hartanya, menjadikan ia disenangi dikalangan mahluk-Nya, dengan sedekah itu pula Allah SWT akan menjadikan suatu penghalang antara neraka dengannya dan akan menghindarkan segala bencana dan penyakit," tutur iblis menjelaskan.
"Lalu bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?" tanya Rasulullah SAW.
"Ia sewaktu Jahiliyyah saja tidak pernah taat kepadaku, apalagi sewaktu dalam Islam", tutur iblis.
"Bagaimana dengan Umar bin Khaththab?" tanya Rasulullah SAW.
"Demi Allah SWT, setiap kali saya bertemu dengannya, mesti akan lari darinya," jawab iblis.
"Bagaimana dengan Utsman?" tanya Rasulullah SAW.
"Saya merasa malu terhadap orang yang para malaikat saja malu kepadanya", jawab iblis.
"Lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thalib?" tanya Rasulullah SAW.
"Andaikan saya bisa selamat darinya dan tidak pernah bertemu dengannya, ia meninggalkanku dan saya pun meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak pernah melakukan hal itu sama sekali" tutur iblis.
"Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan ummatku bahagia dan mencelakakanmu sampai pada waktu yang ditentukan", tutur Rasulullah SAW.
"Tidak dan tidak mungkin, dimana ummatmu bisa bahagia sementara saya senantiasa hidup dan tidak mati sampai pada waktu yang telah ditentukan. Lalu bagaimana engkau bisa bahagia terhadap ummtmu, sementara saya bisa masuk kepada mereka melalui aliran darah dan daging, sedangkan mereka tidak melihatku. Demi Tuhan yang telah menciptakanku dan telah menunda kematianku sampai pada hari mereka dibangkitkan kembali (Kiamat), sungguh saya akan menyesatkan mereka seluruhnya, baik yang bodoh maupun yang alim, yang awam maupun yang bisa membaca Al-Qur'an, yang nakal maupun yang rajin beribadah, kecuali hamba-hamba Allah SWT yang mukhlis (murni)," tutur iblis.
"Siapa menurut engkau hamba-hamba Allah SWT yang mukhlis itu?" Tanya Rasulullah SAW.
Iblis menjawab dengan panjang lebar, "Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa orang yang masih suka dirham dan dinar (harta) adalah belum bisa murni karena Allah SWT. Apabila saya melihat seseorang sudah tidak menyukai dirham dan dinar, serta tidak suka dipuji, maka saya tahu bahwa ia adalah orang yang mukhlis karena Allah, lalu saya tinggalkan. Sesungguhnya seorang hamba selagi masih suka harta dan pujian, sedangkan hatinya selalu bergantung pada kesenangan-kesenangan duniawi, maka ia akan lebih taat kepadaku daripada orang-orang yang telah saya jelaskan kepadamu.
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta harta itu termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa cinta kedudukan adalah termasuk dosa yang paling besar? Apakah engkau tidak tahu saya memiliki tujuh puluh ribu anak, sedangkan setiap anak dari jumlah tersebut memiliki tujuh puluh ribu setan. Diantara mereka ada yang sudah saya tugaskan untuk menggoda ulama, ada yang saya tugaskan untuk menggoda para pemuda, ada yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang yang sudah tua. Anak-anak muda bagi kami tidak masalah, sedangkan anak-anak kecil lebih mudah kami permainkan sekehendak saya. Diantara mereka juga ada yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang yang tekun beribadah, dan ada juga yang saya tugaskan untuk menggoda orang-orang zuhud. Mereka keluar-masuk dari kondisi ke kondisi lain, dari satu pintu ke pintu lain, sehingga mereka berhasil dengan menggunakan cara apapun. Saya ambil dari mereka nilai keikhlasan dalam hatinya, sehingga mereka beribadah kepada Allah dengan tidak ikhlas, sementara mereka tidak merasakan hal itu.
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa Barshish seorang rahib (pendeta) yang berbuat ikhlas karena Allah selama tujuh puluh tahun, sehingga dengan doanya ia sanggup menyelamatkan orang-orang yang sakit. Akan tetapi saya tidak berhenti menggodanya sehingga ia sempat berbuat zina dengan seorang perempuan, membunuh orang dan mati dalam kondisi kafir? Inilah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya dengan firman-Nya: "(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia : 'Kafirlah kamu', maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata, 'sesungguhnya aku cuci tangan darimu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan Semesta Alam". (QS.Al-Hasyr:16).
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa kebohongan itu dari saya, saya adalah yang berbohong pertama kali. Orang yang berbohong adalah temanku. Barangsiapa bersumpah atas nama Allah dengan berbohong maka ia adalah kekasihku.
Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad, bahwa saya pernah bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan atas nama Allah, "Bahwa saya akan memberi nasihat kepada kalian berdua'. Maka sumpah bohong itu menyenangkan hatiku. Sedangkan menggunjing dan mengadu domba adalah buah santapan dan kesukaanku. Kesaksian dusta adalah penyejuk mataku dan kesenanganku. Barangsiapa bersumpah dengan menceraikan istrinya (talak) maka hampir tidak akan bisa selamat, sekalipun hanya sekali. Andaikan itu benar, yang karenanya orang membiasakan lidahnya mengucapkan kata-kata tersebut, istrinya akan menjadi haram. Kemudian dari pasangan tersebut menghasilkan keturunan sampai hari Kiamat nanti yang semuanya hasil dari anak-anak zina. Sehingga seluruhnya masuk neraka hanya gara-gara satu ucapan.
Wahai Muhammad, sesungguhnya diantara ummatmu ada orang yang menunda-nunda shalatnya dari waktu ke waktu. Ketika ia hendak menjalankan shalat maka saya selalu berada padanya dan mengganggu sembari berkata kepadanya, 'Masih ada waktu, teruskan engkau sibuk dengan urusan dan pekerjaan yang engkau lakukan' sehingga ia menunda shalatnya, dan kemudian shalat diluar waktunya. Akibatnya dengan shalat yang dikerjakan diluar waktunya itu akan dipukul di kepalanya. Kalau saya merasa kalah, maka saya mengirim kepadanya salah seorang dari setan-setan manusia yang akan menyibukkan waktunya. Kalau dengan usaha itu saya masih kalah, maka saya tinggalkan sampai ia menjalankan shalat.
Ketika dalam shalatnya saya berkata kepadanya, 'Lihatlah ke kanan dan ke kiri'. Akhirnya ia melihat. Maka pada saat itu wajahnya saya usap dengan tangan saya, kemudian saya menghadap didepan matanya sembari berkata, 'engkau telah melakukan apa yang tidak akan menjadi baik lamanya'.
Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang banyak menoleh dalam shalatnya, Allah akan memukul kepalanya dengan shalat tersebut. Kalau dalam shalat ia sanggup mengalahkan saya, sementara ia shalat sendirian, maka saya perintahkan untuk tergesa-gesa. Maka ia mengerjakan shalat seperti ayam yang mencocok benih-benih untuk dimakan dan segera meninggalkannya. Kalau ia sanggup mengalahkan saya, dan shalat berjamaah, maka saya kalungkan rantai dilehernya. Ketika ia sednag ruku' saya tarik kepalanya keatas sebelum imam bangun dari ruku' dan saya turunkan sebelum imam turun. Wahai Muhammad, engkau tahu, bahwa orang yang melakukan shalat seperti itu, maka batal shalatnya, dan di hari Kiamat nanti Allah akan menyalin kepalanya dengan kepala keledai.
Kalau dengan cara tersebut saya masih kalah, maka saya perintahkan meremas-remas jari-jemarinya sehingga bersuara, sedangkan ia sedang shalat, karenanya ia tidak termasuk orang-orang yang bertasbih kepadaku padahal ia sedang shalat.
Kalau dengan cara tersebut masih juga tidak mempan, maka saya tiup hidungnya sehingga ia menguap, sementara ia sedang shalat. Kalau ia tidak menutupi mulutnya dengan tangannya maka setan masuk kedalam perutnya, sehingga ia semakin rakus dengan dunia dan berbagai perangkapnya. Ia akan selalu mendengar dan taat kepadaku.
Bagaimana ummatmu bisa bahagia wahai muhammad, sementara saya memerintah orang-orang miskin untuk meninggalkan shalat, dan saya berkata kepadanya, 'Shalat bukanlah kewajiban kalian, shalat hanya kewajiban orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah'. Saya pun berkata kepada orang yang sakit, 'Tinggalkan shalat, karena shalat bukanlah kewajibanmu. Shalat hanyalah kewajiban orang-orang yang diberi nikmat kesehatan. Sebab Allah sudah berfirman, '...dan tidak apa-apa bagi seorang yang sedang sakit...' (QS An-Nur:61). Kalau engkau sudah sembuh baru melakukan shalat. Akhirnya ia mati dalam kondisi kafir. Apabila ia mati dengan meninggalkan shalat ketika sedang sakit, maka ia akan bertemu Allah dengan dimurkai.
Wahai Muhammad, jika saya menyimpang dan berdusta kepadamu, maka hendaknya engkau memohon kepada Allah agar saya dijadikan debu yang lembut. Wahai Muhammad, apakah engkau masih juga merasa gembira terhadap ummatmu, sementara saya bisa memurtadkan seperenam dari ummatmu untuk keluar dari Islam?".
Kemudian Rasulullah SAW meneruskan pertanyaannya, "Wahai mahluk yang terkutuk, siapa teman dudukmu?".
"Orang-orang yang suka makan riba", jawab Iblis.
"Lalu siapa teman dekatmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang berzina", jawab Iblis.
"Siapa teman tidurmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang mabuk", jawab Iblis.
"Siapa tamumu?", tanya Rasulullah SAW.
"Pencuri", jawab Iblis.
"Siapa utusanmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Tukang sihir", jawab Iblis.
"Apa yang menyenangkan pandangan matamu?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang bersumpah dengan talak", jawab Iblis.
"Siapa kekasihmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang meninggalkan shalat Jum'at", jawab Iblis.
"Wahai mahluk yang terkutuk, apa yang mengakibatkan punggungmu patah?", tanya Rasulullah SAW.
"Suara ringkik kuda untuk berperang membela agama Allah SWT", jawab Iblis.
"Apa yang membuat hatimu panas?", tanya Rasulullah SAW.
"Banyak beristighfar kepada Allah, baik di malam hari maupun di siang hari", jawab Iblis.
"Apa yang membuatmu merasa malu dan hina?", tanya Rasulullah SAW.
"Sedekah secara rahasia", jawab Iblis.
"Apa yang menjadikan matamu buta?", tanya Rasulullah SAW.
"Shalat diwaktu sahur", jawab Iblis.
"Apa yang dapat mengendalikan kepalamu?", tanya Rasulullah SAW.
"Memperbanyak shalat berjamaah", tutur Iblis.
"Siapa orang yang paling membahagiakanmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang yang sengaja meninggalkan shalat", tutur Iblis.
"Siapa yang paling celaka menurut engkau?", tanya Rasulullah SAW.
"Orang-orang yang kikir", jawab Iblis.
"Apa yang paling menyita pekerjaanmu?", tanya Rasulullah SAW.
"Majelis orang-orang alim", jawab Iblis
"Bagaimana cara engkau makan?", tanya Rasulullah SAW.
"Dengan tangan kiriku dan jari-jemariku", jawab Iblis.
"Dimana engkau mencari tempat berteduh untuk anak-anakmu diwaktu panas?", tanya Rasulullah SAW.
"Dibawah kuku manusia", jawab Iblis.
"Berapa kebutuhan yang pernah engkau minta kepada Tuhanmu?", Tanya Rasulullah SAW.
"Sepuluh macam", jawab Iblis.
"Apa saja itu wahai mahluk terkutuk?", tanya Rasulullah SAW.
Iblis pun menjawab : "Saya meminta-Nya agar saya bisa berserikat dengan anak-cucu Adam dalam harta kekayaan dan anak-anak mereka. Akhirnya Allah mengizinkanku berserikat dalam kelompok mereka. Itulah maksud firman Allah SWT : 'Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka'. QS.Al-Isra':64).
Setiap harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, maka saya ikut memakannya. Saya juga ikut makan makanan yang bercampur riba dan haram serta segala harta yang tidak dimohonkan perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Setiap orang yang tidak memohon perlindungan kepada Allah dari setan ketika bersetubuh dengan istrinya, maka setan akan ikut bersetubuh. Akhirnya melahirkan anak yang mendengar dan taat kepadaku.
Begitu pula orang yang naik kendaraan dengan maksud mencari penghasilan yang tidak dihalalkan, maka saya adalah temannya. Itulah maksud firman Allah SWT: 'Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki'. (QS.Al-Isra':64).
Saya memohon kepada-Nya agar saya punya rumah, maka rumahku adalah kamar mandi. Saya memohon agar saya punya masjid, akhirnya pasar menjadi masjidku. Saya memohon agar saya punya Al-Qur'an, maka syair adalah Al-Qur'anku. Saya memohon agar saya punya adzan, maka terompet adalah penggilan adzanku. Saya memohon kepada-Nya agar saya punya tempat tidur, maka orang-orang mabuk adalah tempat tidurku. Saya memohon agar saya memiliki teman-teman yang menolongku, maka kelompok Al-Qadariyyah menjadi teman-teman yang membantuku.
Dan saya memohon agar saya memiliki teman-teman dekat, maka orang-orang yang menginfakkan harta kekayaannya untuk kemaksiatan adalah teman dekatku. Itulah maksud firman Allah SWT : 'Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya'. (QS.Al-Isra':27) ".
Rasulullah SAW berkata kepada Iblis, "Andaikan tidak setiap apa yang engkau ucapkan itu didukung oleh ayat-ayat dari Kitab Allah tentu aku tidak akan membenarkanmu". Lalu Iblis berkata lagi, "Wahai Muhammad, saya memohon kepada Allah agar saya bisa melihat anak-cucu Adam, sementara mereka tidak bisa melihatku. Kemudian Allah menjadikan aku bisa mengalir melalui peredaran darah mereka. Diriku bisa berjalan kemanapun sesuai kemauan diriku dan dengan cara bagaimana pun. Kalau saya mau dalam sesaat pun bisa. Kemudian Allah berfirman kepadaku. 'Engkau bisa melakukan apa saja yang kau minta'. Akhirnya saya merasa senang dan bangga sampai hari Kiamat. Sesungguhnya orang yang mengikutiku lebih banyak daripada orang yang mengikutimu. Sebagian besar anak-cucu Adam akan mengikutiku sampai hari Kiamat".
Iblis melanjutkan lagi, "Saya memiliki anak yang saya beri nama Atamah. Ia akan kencing di telinga seorang hamba ketika ia tidur meninggalkan shalat Isya'. Andaikan tidak karenanya tentu manusia tidak akan tidur terlebih dahulu sebelum menjalankan shalat.
Saya juga punya anak yang saya beri nama Mutaqadhi. Apabila ada seorang hamba melakukan ketaatan (ibadah) dengan rahasia dan ingin menutupinya, maka anak saya tersebut senantiasa membatalkannya dan dipamerkan ditengah-tengah manusia, sehingga semua manusia tahu. Akhirnya Allah membatalkan sembilan puluh sembilan dari seratus pahala. Sehingga yang tersisa hanya satu pahala. Sebab setiap ketaatan yang dilakukan secara rahasia akan diberi seratus pahala.
Saya punya anak lagi yang bernama Kuhyal, dimana ia bertugas mengusapi celak mata semua orang yang sedang berada di majelis pengajian dan ketika khatib sedang berkuthbah. Sehingga mereka terkantuk dan akhirnya tidur, tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan para ulama. Mereka yang tertidur tidak akan ditulis pahala sedikitpun untuk selamanya".
Iblis melanjutkan lagi, "Setiap kali ada perempuan keluar mesti ada setan yang duduk di pinggulnya, ada pula yang duduk di daging yang mengelilingi kukunya. Dimana mereka akan menghiasi kepada orang-orang yang melihatnya. Kedua setan itu kemudian berkata kepadanya, 'Keluarkan tanganmu'. Akhirnya ia mengeluarkan tangannya, kemudian kukunya tampak, lalu kelihatan nodanya".
Iblis melanjutkan lagi, "Wahai Muhammad, sebenarnya saya tidak bisa menyesatkan sedikit pun. Akan tetapi saya hanya akan mengganggu dan menghiasi. Andaikan saya memiliki hak dan kemampuan untuk menyesatkan, tentu saya tidak membiarkan segelintir manusia pun di muka bumi ini yang masih sempat mengucapkan dua kalimat Syahadat, 'Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya'. Tidak akan ada lagi orang yang shalat dan berpuasa. Sebagaimana engkau wahai Muhammad, tidak berhak untuk memberikan hidayah sedikit pun kepada siapa saja. Akan tetapi engkau adalah seorang utusan dan penyampai amanat dari Allah. Andaikan engkau memiliki hak dan kemampuan untuk memberi hidayah, tentu engkau tidak akan membiarkan segelintir orang kafir pun di muka bumi ini. Engkau hanyalah sebagai argumentasi (Hujjah) Allah SWT terhadap mahluk-Nya. Sementara saya hanyalah menjadi sebab celakanya orang yang sebelumnya sudah dicap oleh Allah sebagai orang celaka. Orang yang bahagia dan beruntung adalah orang yang dijadikan bahagia oleh Allah sejak dalam perut ibunya, sedangkan orang yang celaka adalah orang yang dijadikan celaka oleh Allah sejak dalam perut ibunya".
Rasulullah SAW kemudian membacakan firman Allah SWT : "Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi Rahmat oleh Tuhanmu'. (QS.Hud:118-119).
Kemudian beliau Nabi SAW melanjutkan dengan firman Allah SWT : "Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku". (QS.Al-Ahzab:38).
Lantas Rasulullah SAW berkata lagi kepada iblis, "Wahai Abu Murrah (iblis), apakah engkau masih mungkin bertobat dan kembali kepada Allah, sementara saya akan menjaminmu masuk surga".
Iblis menjawab, "Wahai Rasulullah, Ketentuan telah memutuskan dan Qalam pun telah kering dengan apa yang terjadi seperti ini hingga hari Kiamat nanti. Maka Maha Suci Allah Yang telah menjadikanmu sebagai tuan para Nabi dan Khathib para penduduk Surga, Dia telah memilih dan mengkhususkan dirimu. Sementara Dia telah menjadikan saya sebagai tuan orang-orang celaka dan Khatib para penduduk Neraka. Saya adalah mahluk yang celaka lagi terusir. Ini adalah akhir dari apa yang saya beritahukan kepadamu, dan saya mengatakan sejujurnya ".
Segala Puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, Awal dan Akhir, Zhahir dan Bathin Dan semoga Shalawat dan Salam sejahtera tetap diberikan kepada seorang Nabi yang Ummi dan kepada para keluarga dan sahabatnya serta para Utusan dan para Nabi.
------------------------------------------
Dikutip dari Syajaratul Kaun, doktrin tentang pribadi manusia pilihan, Muhammad SAW, yang ditulis oleh Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyidin Ibnu Arabi Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali Al-Hatimi Ath-Tha'i Al-Andalusia), 17 Ramadhan 560 H - 22 Rabi'uts-Tsani 638 H
Semoga bermanfaat buat kita semua,
Senin, 14 Desember 2009
MARI KITA KORUPSI
Tak ada yang salah
hanya rambu lalu lintas kehidupan yang dilanggar
tak ada yang dusta
hanya angka-angka yang tak lagi bersua,di balik realitas terselip dusta
tak ada yang berhianat
hanya kesepakatan yang sudah sekarat
tak ada yang korupsi
hanya huruf tertabiri karena ia terkebiri
tak ada yang salah
hanya waktu lah,yang memberi :kesempatan dan mencuri
baiklah!
Bapak-bapak,ibu-ibu
kita lanjutkan permainan ini
siapa bilang aku maling
aku menjabat karena diangkat dibantu para maling
balas jasa, hanya kewajibanku
biar mereka teriak, korupsi, apa peduli
Indonesia milik kita bersama : mari kita korumsi bersama-sama
siapa bilang aku Mencuri
aku ini hanya disuruh untuk mewakili
karena aku lihai melihat materi
siapa bilang aku korupsi
semua orang juga pada korumsi
MARI KITA HIDUP BERKORUPSI
Mengapa hanya saya dituduh korumsi
wong..di mana-mana tak lepas dari korumsi
untuk hidup dan bisa berdiri
saya pemerintah
ya korumsi uang rakyat
saya guru
ya korupsi waktu
saya pengusaha
ya korupsi dalam takar
saya budayawa
ya korupsi karya
saya penyair
ya korupsi kata
saya.......ah
MEMANG, SEMUANYA TAK ADA ATURANNYA
karena hidup hanya permainan
tapi, jangan bergembira
karena kau akan meninggal
meninggalkan nama yang akan disandang
meninggalkan ruh
yang terbang menemui pemiilik-Nya
maka disanalah pengadilan yang sebenarnya.
kalau hari ini kau diadili
yang mengadili kau juga tak jauh dari korupsi.....
jadi, bingun ni aku
karena korupsi sekarat
tak ada lagu yang dapat kudendangkan
kecuali : MARI HIDUP MANDIRI, DI ATAS SAJADAH ILAHI
BIAR MENJADI MANUSIA YANG TAKUT AKAN KORUPSI
DENGAN IMAN DI DADA........SEMUA AKAN SELESAI APA PUN YANG ADA.
hanya rambu lalu lintas kehidupan yang dilanggar
tak ada yang dusta
hanya angka-angka yang tak lagi bersua,di balik realitas terselip dusta
tak ada yang berhianat
hanya kesepakatan yang sudah sekarat
tak ada yang korupsi
hanya huruf tertabiri karena ia terkebiri
tak ada yang salah
hanya waktu lah,yang memberi :kesempatan dan mencuri
baiklah!
Bapak-bapak,ibu-ibu
kita lanjutkan permainan ini
siapa bilang aku maling
aku menjabat karena diangkat dibantu para maling
balas jasa, hanya kewajibanku
biar mereka teriak, korupsi, apa peduli
Indonesia milik kita bersama : mari kita korumsi bersama-sama
siapa bilang aku Mencuri
aku ini hanya disuruh untuk mewakili
karena aku lihai melihat materi
siapa bilang aku korupsi
semua orang juga pada korumsi
MARI KITA HIDUP BERKORUPSI
Mengapa hanya saya dituduh korumsi
wong..di mana-mana tak lepas dari korumsi
untuk hidup dan bisa berdiri
saya pemerintah
ya korumsi uang rakyat
saya guru
ya korupsi waktu
saya pengusaha
ya korupsi dalam takar
saya budayawa
ya korupsi karya
saya penyair
ya korupsi kata
saya.......ah
MEMANG, SEMUANYA TAK ADA ATURANNYA
karena hidup hanya permainan
tapi, jangan bergembira
karena kau akan meninggal
meninggalkan nama yang akan disandang
meninggalkan ruh
yang terbang menemui pemiilik-Nya
maka disanalah pengadilan yang sebenarnya.
kalau hari ini kau diadili
yang mengadili kau juga tak jauh dari korupsi.....
jadi, bingun ni aku
karena korupsi sekarat
tak ada lagu yang dapat kudendangkan
kecuali : MARI HIDUP MANDIRI, DI ATAS SAJADAH ILAHI
BIAR MENJADI MANUSIA YANG TAKUT AKAN KORUPSI
DENGAN IMAN DI DADA........SEMUA AKAN SELESAI APA PUN YANG ADA.
Hujah(hujat) vs Debat
Debat memang dilarang bahkan diancam dengan neraka, dan disisi lain kita diperintahkan untuk menghujjah. Pada awalnya memang kita hanya berdikusi namun tidak dihayalkan lagi jika tidak didasari dengan kearifan akan terjebak pada perdebatan.
[6.57] Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Adapun dalam surah Al-Kafirun sangat jelas dimana ayat pertama ~[109.1] Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir,~ Jelas sekali adanya kalimat perintah.
Medan Perang
========
Perang adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Disadari ataupun tidak peperangan fisik memang sudah lama berlalu, akan tetapi ada peperangan yang jauh lebih dahsyat lagi yaitu perang pemikiran. Dimana idelogi kita diacak-acak dan yang paling nyata adalah seputar teologi (ketuhanan) dimana seperti yang mereka akui (kafir) bahwa mereka beriman kepada agama yang selalu diupdate. Teologi kristen dulu kita kenal sebagai trinitas kemudian menjadi tritunggal ditembeli sana-sini mengambil perbandingan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka ambil sepotong-sepotong yang menguntungkan dirinya. Sekali lagi jangan takut! Mereka sedikitpun tidak dapat menyentuh maknanya hanya kata-kata (kulit) saja. Sungguh nyata bahwa Alloh melindungi Al-Qur'an bukan pada fisiknya yang mudah didapat di mana saja melainkan kepada makna.
[40.56] Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Coba kita prediksi
===========
Boleh jadi hari ini kita mampu menepis fitnah yang ada dimana Rosululloh menggambarkan seperti hujan (fitnah) atau angin yang selalu menggoyang pohon sekarang. Namun bila kita mampu memprediksi dan melihat bagaimana sepak terjang mereka terhadap kitab mereka yang senantiasa diupdate, seperti apa yang mereka sebut dari salam sampai menyebut nama Alloh dan do'a2 dengan AsmaNYA sama persis apa yang kita sebutkan. Mereka tidak akan berhenti sampai kita mengakui Tuhan mereka. Kebencian mereka sangatlah nampak, hal ini berlaku bagi siapapun yang tidak mampu meyakinkan diri terhadap kuasa Alloh. Hatinya tidak akan teguh apalagi amanah yang ada jutru akan terus memfitnah karena kedengkian mereka.
Sampai kapankah kita menunggu hingga fitnah itu datang dari mulut anak atau tetangga kita? Menghampiri siapa saja yang tak mau tahu persoalan ini.
[29.25] Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak menyadari betapa seseorang yang tidak berpijak pada keyakinan yang benar dengan pendirian teguh, tidak akan pernah bisa dipercaya bahkan akan membawanya kepada kedholiman. Kata damai hanya di mulut mereka saja, sesungguhnya mereka amat membenci kita. Silahkan telusuri sifat-sifat yang ada pada diri kita lebih jauh dengan melihat plus-minusnya, niscaya kita dapat mengenali 'kenapa dan untuk apa beragama yang benar'. Adakah merugikan penganutnya? Sama sekali tidak, justru agar menjadi orang yang beruntung dunia-akhirat. Hanya saja seseorang sering terjebak hanya melihat dari penganut atau prilaku luar saja, yang tidak lebih timbul dari penilaian hati yang buruk. Dengan mengetahui lebih jauh keadaan mereka niscaya kita lebih arif bahkan mampu memaafkan, walaupun kenyataanya berat bagi kita untuk tidak terpancing emosi.
Silahkan anda menilainya saya bukan mengajak untuk menggunakan ilmu sebagai bekal untuk debat, namun semata untuk memerangi fitnah, adapun point2 yg harus dihindari sudah terdapat dalam Al-Qur'an. Dan bagaimana kita menghindari agar tidak terjebak pada debat kusir kesemuanya sudah ada. Tinggal kita mampu atau tidak membawa diri dan senantiasa agar diri kita lebih yakin dengan melihat kenyataan bahwa "o.. seperti inikah orang yang fasik." Kebanyakan mereka tidaklah sadar apa yang mereka lakukan karena tipu daya atau kedengkian yang ada pada diri mereka dan hanya sedikit saja yang sadar diantara kedua belah pihak telah menjadi bagian propaganda dan adu domba Yahudi dengan mempersenjatai salah satunya.
Manakah Lebih baik?
============
Berdebat dengan orang seiman jauh lebih rumit dimana kedudukan pengetahuan tidak mungkin dapat menjadi landasan untuk saling memahami atau dipertemukan, melainkan mengambil penyambung pengertian diantara keduanya. Belum lagi orang-orang yang samar keimanannya. Selayaknya sejauh mungkin kita hindari melainkan untuk diskusi saja, niscaya Alloh membimbing kita untuk menunjukan kebenarannya. Medan yang saya sebutkan di atas jauh lebih baik dan mudah untuk mencapai keridhoan Alloh. Dengan niatan saling menutupi aib dan saling mengingatkan dan menerimanya dengan penuh kearifan.
Tersirat/Tersurat
==============
[29.49] Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.
Kalimat 'tersirat' mungkin sering kita dengar dari orang yang tasawuf, memang benar adanya akan tetapi mampukah seseorang menjalankan seluruh perintah-perintah didalamNYA tanpa memilah-milah yaitu diambil untuk keuntungan pribadinya saja. Sebagian ia terima dan sebagian lainnya ia tolak. Dan keluasan pandangan (pengetahuan) seseorang dapat melihatnya sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dimana Al-Qur'an merupakan peringatan untuk seluruh umat.
[68.52] Dan Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.
Bisakah Makrifat tanpa Tareqot?
====================
Jawaban dari saya adalah 'bisa'. Asal kita benar-benar menujukan segala kepastian hanya kepada Alloh, dengan segala daya upaya kita untuk mendekat dan mengenal dengan penuh kehati-hatian; takut berbuat salah dan rasa kecintaan semata karena Alloh dan lainnya adalah perbanyak mengingat Alloh (jangan sampai lalai/lupa) dan kerjakan syariat yang telah ditetapkan Rosululloh. Setahap-demi setahap akan tetapi semakin mantap sampai diperlihatkanNYA kesalahan-kesalahan kita. Hal ini baru tahap awal saja dan tidak sedikit diantaranya bangun dengan keterkagetan antara percaya dan tidak menerima pancaran CahayaNYA. Dalam tahap ini seseorang hendaknya lebih banyak menanam kebaikan dengan penuh kelembutan dan yang paling berat adalah mengenali istilah yang berlaku dimasyarakat. Dimana hakikat cahaya (petunjuk) dengan angin (bahasa kita) jelas jauh berbeda. Dari sini pula kita harus pandai-pandai mengenal agama lain agar tidak terjebak pada pencampur-adukan yang membingungkan orang dibawahnya. Banyak-banyaklah berkonsultasi dengan orang yang lebih paham, atau dengan jalan menanamkan ilmu yg sudah kita ketahui dengan tidak lepas dari kerangka Al-Qur'an dan Sunnah.
[51.7] Demi langit yang mempunyai jalan-jalan,
[51.8] sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat,
[51.9] dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al Qur'an) orang yang dipalingkan.
[51.10] Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,
Perkembangan Pemahaman
======================
Perkembangan pemahaman terutama dalam dunia Teologi (ketuhanan) sudah mengalami pergeseran jauh. Dimana kitab Injil sudah mengalami pembaharuan sana-sini dengan mengambil perbandingan Qur'an, dan tidak dihayalkan lagi kitab-kitab lainnya, karena pengaruh sosial dimana saling mengikat dan mempengaruhi ini telah membawa bahasa jauh dari makna sesungguhnya. Disinilah hakikat 7 lautan :
[18.109] Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).
Ya Alloh yang Maha Kuasa, anugeralihah kami kekuatan untuk berperang dijalanMU, masukanlah kami kepada golongan orang yang berserah diri. Kuserahkan ketakutan dan kecintaan kami hanya untukMU.
Renungan dalam kaitan bahasan kita kali ini :
[79.17] "Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, [79.18] dan katakanlah (kepada Firaun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" [79.19] Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?"
[2.41] Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa
[2.42] Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
[7.33] Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".
[7.34] Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
[7.35] Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
[16.126] Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
[16.127] Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
[16.128] Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
[6.57] Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.
Adapun dalam surah Al-Kafirun sangat jelas dimana ayat pertama ~[109.1] Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir,~ Jelas sekali adanya kalimat perintah.
Medan Perang
========
Perang adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim. Disadari ataupun tidak peperangan fisik memang sudah lama berlalu, akan tetapi ada peperangan yang jauh lebih dahsyat lagi yaitu perang pemikiran. Dimana idelogi kita diacak-acak dan yang paling nyata adalah seputar teologi (ketuhanan) dimana seperti yang mereka akui (kafir) bahwa mereka beriman kepada agama yang selalu diupdate. Teologi kristen dulu kita kenal sebagai trinitas kemudian menjadi tritunggal ditembeli sana-sini mengambil perbandingan dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka ambil sepotong-sepotong yang menguntungkan dirinya. Sekali lagi jangan takut! Mereka sedikitpun tidak dapat menyentuh maknanya hanya kata-kata (kulit) saja. Sungguh nyata bahwa Alloh melindungi Al-Qur'an bukan pada fisiknya yang mudah didapat di mana saja melainkan kepada makna.
[40.56] Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, maka mintalah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Coba kita prediksi
===========
Boleh jadi hari ini kita mampu menepis fitnah yang ada dimana Rosululloh menggambarkan seperti hujan (fitnah) atau angin yang selalu menggoyang pohon sekarang. Namun bila kita mampu memprediksi dan melihat bagaimana sepak terjang mereka terhadap kitab mereka yang senantiasa diupdate, seperti apa yang mereka sebut dari salam sampai menyebut nama Alloh dan do'a2 dengan AsmaNYA sama persis apa yang kita sebutkan. Mereka tidak akan berhenti sampai kita mengakui Tuhan mereka. Kebencian mereka sangatlah nampak, hal ini berlaku bagi siapapun yang tidak mampu meyakinkan diri terhadap kuasa Alloh. Hatinya tidak akan teguh apalagi amanah yang ada jutru akan terus memfitnah karena kedengkian mereka.
Sampai kapankah kita menunggu hingga fitnah itu datang dari mulut anak atau tetangga kita? Menghampiri siapa saja yang tak mau tahu persoalan ini.
[29.25] Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.
Mungkin banyak diantara kita yang tidak menyadari betapa seseorang yang tidak berpijak pada keyakinan yang benar dengan pendirian teguh, tidak akan pernah bisa dipercaya bahkan akan membawanya kepada kedholiman. Kata damai hanya di mulut mereka saja, sesungguhnya mereka amat membenci kita. Silahkan telusuri sifat-sifat yang ada pada diri kita lebih jauh dengan melihat plus-minusnya, niscaya kita dapat mengenali 'kenapa dan untuk apa beragama yang benar'. Adakah merugikan penganutnya? Sama sekali tidak, justru agar menjadi orang yang beruntung dunia-akhirat. Hanya saja seseorang sering terjebak hanya melihat dari penganut atau prilaku luar saja, yang tidak lebih timbul dari penilaian hati yang buruk. Dengan mengetahui lebih jauh keadaan mereka niscaya kita lebih arif bahkan mampu memaafkan, walaupun kenyataanya berat bagi kita untuk tidak terpancing emosi.
Silahkan anda menilainya saya bukan mengajak untuk menggunakan ilmu sebagai bekal untuk debat, namun semata untuk memerangi fitnah, adapun point2 yg harus dihindari sudah terdapat dalam Al-Qur'an. Dan bagaimana kita menghindari agar tidak terjebak pada debat kusir kesemuanya sudah ada. Tinggal kita mampu atau tidak membawa diri dan senantiasa agar diri kita lebih yakin dengan melihat kenyataan bahwa "o.. seperti inikah orang yang fasik." Kebanyakan mereka tidaklah sadar apa yang mereka lakukan karena tipu daya atau kedengkian yang ada pada diri mereka dan hanya sedikit saja yang sadar diantara kedua belah pihak telah menjadi bagian propaganda dan adu domba Yahudi dengan mempersenjatai salah satunya.
Manakah Lebih baik?
============
Berdebat dengan orang seiman jauh lebih rumit dimana kedudukan pengetahuan tidak mungkin dapat menjadi landasan untuk saling memahami atau dipertemukan, melainkan mengambil penyambung pengertian diantara keduanya. Belum lagi orang-orang yang samar keimanannya. Selayaknya sejauh mungkin kita hindari melainkan untuk diskusi saja, niscaya Alloh membimbing kita untuk menunjukan kebenarannya. Medan yang saya sebutkan di atas jauh lebih baik dan mudah untuk mencapai keridhoan Alloh. Dengan niatan saling menutupi aib dan saling mengingatkan dan menerimanya dengan penuh kearifan.
Tersirat/Tersurat
==============
[29.49] Sebenarnya, Al Qur'an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang lalim.
Kalimat 'tersirat' mungkin sering kita dengar dari orang yang tasawuf, memang benar adanya akan tetapi mampukah seseorang menjalankan seluruh perintah-perintah didalamNYA tanpa memilah-milah yaitu diambil untuk keuntungan pribadinya saja. Sebagian ia terima dan sebagian lainnya ia tolak. Dan keluasan pandangan (pengetahuan) seseorang dapat melihatnya sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dimana Al-Qur'an merupakan peringatan untuk seluruh umat.
[68.52] Dan Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat.
Bisakah Makrifat tanpa Tareqot?
====================
Jawaban dari saya adalah 'bisa'. Asal kita benar-benar menujukan segala kepastian hanya kepada Alloh, dengan segala daya upaya kita untuk mendekat dan mengenal dengan penuh kehati-hatian; takut berbuat salah dan rasa kecintaan semata karena Alloh dan lainnya adalah perbanyak mengingat Alloh (jangan sampai lalai/lupa) dan kerjakan syariat yang telah ditetapkan Rosululloh. Setahap-demi setahap akan tetapi semakin mantap sampai diperlihatkanNYA kesalahan-kesalahan kita. Hal ini baru tahap awal saja dan tidak sedikit diantaranya bangun dengan keterkagetan antara percaya dan tidak menerima pancaran CahayaNYA. Dalam tahap ini seseorang hendaknya lebih banyak menanam kebaikan dengan penuh kelembutan dan yang paling berat adalah mengenali istilah yang berlaku dimasyarakat. Dimana hakikat cahaya (petunjuk) dengan angin (bahasa kita) jelas jauh berbeda. Dari sini pula kita harus pandai-pandai mengenal agama lain agar tidak terjebak pada pencampur-adukan yang membingungkan orang dibawahnya. Banyak-banyaklah berkonsultasi dengan orang yang lebih paham, atau dengan jalan menanamkan ilmu yg sudah kita ketahui dengan tidak lepas dari kerangka Al-Qur'an dan Sunnah.
[51.7] Demi langit yang mempunyai jalan-jalan,
[51.8] sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat,
[51.9] dipalingkan daripadanya (Rasul dan Al Qur'an) orang yang dipalingkan.
[51.10] Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta,
Perkembangan Pemahaman
======================
Perkembangan pemahaman terutama dalam dunia Teologi (ketuhanan) sudah mengalami pergeseran jauh. Dimana kitab Injil sudah mengalami pembaharuan sana-sini dengan mengambil perbandingan Qur'an, dan tidak dihayalkan lagi kitab-kitab lainnya, karena pengaruh sosial dimana saling mengikat dan mempengaruhi ini telah membawa bahasa jauh dari makna sesungguhnya. Disinilah hakikat 7 lautan :
[18.109] Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).
Ya Alloh yang Maha Kuasa, anugeralihah kami kekuatan untuk berperang dijalanMU, masukanlah kami kepada golongan orang yang berserah diri. Kuserahkan ketakutan dan kecintaan kami hanya untukMU.
Renungan dalam kaitan bahasan kita kali ini :
[79.17] "Pergilah kamu kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas, [79.18] dan katakanlah (kepada Firaun): "Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" [79.19] Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?"
[2.41] Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa
[2.42] Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
[7.33] Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".
[7.34] Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.
[7.35] Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
[16.126] Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
[16.127] Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.
[16.128] Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
NIKAH TANPA KUA
Nikah Tanpa “KUA” Bermasalahkah?
October 12, 2009
Admin
Leave a comment
Go to comments
oleh:
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Penulis masih ingat betul, tatkala Majalah tercinta ini ( al-Furqon ) edisi 12/Th. III pernah mencantumkan artikel berjudul “Nikah Sirri Antara Hukum Syar’i dan Undang-Undang Negara” oleh akhuna al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf. Ternyata tanpa terduga, banyak komplain dan suara miring saat itu yang masuk ke meja redaksi, ada yang mempertanyakan kepada kami dengan baik, namun ada juga yang bernada emosi, sehingga sebagian mereka berlebihan tatkala berkomentar:
“Penulis telah membuat suatu bid’ah baru dalam agama”!!! “Tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu”!!! dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, kami memandang perlu kiranya penjelasan tambahan tentang masalah penting ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah di antara kita semua. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan taufiq kepada penulis untuk menulis kebenaran. Apabila tulisan ini memang benar, maka itu hanyalah taufiq Allah semata. Sebaliknya, apabila ada kesalahan, maka itu datangnya dari Syetan dan kelemahan hamba yang lemah ini. Kami terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun dari semuanya, tentunya dengan cara dan Oleh karena itu, kami memandang perlu kiranya penjelasan tambahan tentang masalah penting ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah di antara kita semua. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan taufiq kepada penulis untuk menulis kebenaran. Apabila tulisan ini memang benar, maka itu hanyalah taufiq Allah semata. Sebaliknya, apabila ada kesalahan, maka itu datangnya dari Syetan dan kelemahan hamba yang lemah ini. Kami terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun dari semuanya, tentunya dengan cara dan adab Islami yang indah. Wallahul Muwaffiq.
Definisi Nikah ‘Urfi
Masalah yang sedang kita bahas ini dalam istilah fiqih kontemporer dikenal dengan istilah Zawaj ‘Urfi yaitu
suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[1]
Disebut dengan nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.[2]
Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit untuk digugat”.[3]
Faktor-Faktor Pendorong Nikah ‘Urfi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Di antaranya adalah:
1. Faktor Sosial:
a. Problem Poligami
Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan pernikahan model ini.
b. Undang-Undang Usia
Dalam suatu Negara, biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.
3. Tempat Tinggal Yang Tidak Menetap
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang digelutinya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor agama
Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.[4]
Sejarah Pencatatan Akad Nikah
Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[5]
Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan sebagai bukti pernikahan.
Syaikhul Islam mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang Syaikhul Islam mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.[6]
Manfaat Pencatatan Akad Nikah
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:
Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[7]
Bila Undang-Undang Mewajibkan Pencatatan Akad Nikah
Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua Negara sekarang membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[8] yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.[9]
Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelehkan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.
Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Al-Mawardi berkata: “Allah mewajibkan kepada kita untuk mentaati para pemimpin kita”.[10]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[11]
Dalam sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan).[12]
Lantas, masalahat apa yang lebih besar daripada menjaga kehormatan dan nasab manusia?!!!
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib mentaatinya.
Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh mentaatinya.
Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Apakah Pencatatan Akad Merupakan Syarat Sahnya Nikah?
Betapapun pentingnya pencatatan akad nikah pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah dan pertikaian. Sekalipun demikian, pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, suatu pernikahan tetap hukumnya sah apabila telah terpenuhi semua syaratnya sekalipun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:
Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.
Tidak ada dalil syar’i untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.
Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi pencatatan akad nikah.[14]
Hukum Nikah Tanpa KUA
Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran biasanya para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syarat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi dan sahabat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.
Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sahnya nikah sebagaimana telah lalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk mentaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan yang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat di bagian resmi pemerintah[15].
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdur Rozzaq Afifi, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud:
Soal:
Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut untuk datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya-pun datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini merupakan nikah yang syar’i? Bila jawabannya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?
Jawab:
Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[16]
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.
Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, namun itu hanyalah politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki banyak manfaat.
Wajib bagi setiap muslim untuk mentaati undang-undang tersebut dan tidak melanggarnya karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.
Demikianlah pembahasan yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekali lagi, hati kami terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari saudara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.
Daftar Referensi
1. Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqor, Dar Nafais, Yordania, cet kedua 1425 H.
2. Az-Zawaj Al-’Urfi karya DR. Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA, cet pertama 1426 H.
3. Dll
.
artikel: http://abiubaidah.wordpress.com/
[1] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/Rojab-Sya’ban-Ramadhan 1428 H, hal. 194.
[2] Al-’Aqdu Al-’Urf, oleh Azmi Mamduh hal. 11, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah Al-Asyqor hlm. 130.
[3] As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fil Ahwal Syakhsyiyyah oleh Amr Abdul Fattah hlm. 43.
[4] Lihat selangkapnya dalam Az-Zawaj Al-’Urfi hlm. 85-89 oleh DR. Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy.
[5] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah edisi 36, hlm. 194.
[6] Majmu’ Fatawa 32/131.
[7] Lihat Az-Zawaj Al-’Urfi hlm. 74-75 oleh DR. Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy.
[8] Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syari’at, bukan hanya yang diperintahkan syari’at. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syari’at maka itulah politik syar’i. Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-Lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
[9] As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fii Ahwal Asy-Syakhsyiyyah hlm. 43 oleh ‘Amr Abdul Fattah.
[10] Al-Ahkam As-Sulthoniyah hlm. 30.
[11] Lihat buku yang sangat bagus tentang masalah ini “Mu’amalatul Hukkam” oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.
[12] Lihat Al-Asybah wa Nadhoir oleh Ibnu Nujaim hlm. 123, Al-Asybah wa Nadhoir oleh As-Suyuthi hlm. 121, Al-Mantsur fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah oleh Az-Zarkasyi 1/309.
[13] Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656.
[14] Az-Zawaj Al-Urfi hlm. 68-71 oleh Al-Ustadz DR. Ahmad bin Yusuf.
[15] Lihat beberapa kejadian dan penyesalan tersebut dalam Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah Al-Asyqor hlm. 152-156.
[16] Fatawa Lajnah Daimah 18/87 no. 7910. Demikian juga para anggota komisi fatwa sekarang seperti Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa’ad Asy-Sasyri dan lain-lain, penulis pernah menanyakan kepada mereka tentang masalah ini, dan jawaban mereka seperti kesimpulan kami. Wallahu A’lam. Kami sampaikan hal ini karena beberapa ikhwan yang komplain dahulu meminta kepada kami fatwa ulama kita tentang masalah ini. Semoga dengan keterangan ini, kita bisa lebih menerima dengan lapang dada. Amiin.
October 12, 2009
Admin
Leave a comment
Go to comments
oleh:
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Penulis masih ingat betul, tatkala Majalah tercinta ini ( al-Furqon ) edisi 12/Th. III pernah mencantumkan artikel berjudul “Nikah Sirri Antara Hukum Syar’i dan Undang-Undang Negara” oleh akhuna al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf. Ternyata tanpa terduga, banyak komplain dan suara miring saat itu yang masuk ke meja redaksi, ada yang mempertanyakan kepada kami dengan baik, namun ada juga yang bernada emosi, sehingga sebagian mereka berlebihan tatkala berkomentar:
“Penulis telah membuat suatu bid’ah baru dalam agama”!!! “Tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu”!!! dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, kami memandang perlu kiranya penjelasan tambahan tentang masalah penting ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah di antara kita semua. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan taufiq kepada penulis untuk menulis kebenaran. Apabila tulisan ini memang benar, maka itu hanyalah taufiq Allah semata. Sebaliknya, apabila ada kesalahan, maka itu datangnya dari Syetan dan kelemahan hamba yang lemah ini. Kami terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun dari semuanya, tentunya dengan cara dan Oleh karena itu, kami memandang perlu kiranya penjelasan tambahan tentang masalah penting ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah di antara kita semua. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan taufiq kepada penulis untuk menulis kebenaran. Apabila tulisan ini memang benar, maka itu hanyalah taufiq Allah semata. Sebaliknya, apabila ada kesalahan, maka itu datangnya dari Syetan dan kelemahan hamba yang lemah ini. Kami terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun dari semuanya, tentunya dengan cara dan adab Islami yang indah. Wallahul Muwaffiq.
Definisi Nikah ‘Urfi
Masalah yang sedang kita bahas ini dalam istilah fiqih kontemporer dikenal dengan istilah Zawaj ‘Urfi yaitu
suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[1]
Disebut dengan nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.[2]
Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit untuk digugat”.[3]
Faktor-Faktor Pendorong Nikah ‘Urfi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Di antaranya adalah:
1. Faktor Sosial:
a. Problem Poligami
Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan pernikahan model ini.
b. Undang-Undang Usia
Dalam suatu Negara, biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.
3. Tempat Tinggal Yang Tidak Menetap
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang digelutinya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor agama
Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.[4]
Sejarah Pencatatan Akad Nikah
Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[5]
Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan sebagai bukti pernikahan.
Syaikhul Islam mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang Syaikhul Islam mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.[6]
Manfaat Pencatatan Akad Nikah
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:
Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.
Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.
Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[7]
Bila Undang-Undang Mewajibkan Pencatatan Akad Nikah
Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua Negara sekarang membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[8] yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.[9]
Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelehkan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.
Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Al-Mawardi berkata: “Allah mewajibkan kepada kita untuk mentaati para pemimpin kita”.[10]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[11]
Dalam sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan).[12]
Lantas, masalahat apa yang lebih besar daripada menjaga kehormatan dan nasab manusia?!!!
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib mentaatinya.
Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh mentaatinya.
Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Apakah Pencatatan Akad Merupakan Syarat Sahnya Nikah?
Betapapun pentingnya pencatatan akad nikah pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah dan pertikaian. Sekalipun demikian, pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, suatu pernikahan tetap hukumnya sah apabila telah terpenuhi semua syaratnya sekalipun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:
Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.
Tidak ada dalil syar’i untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.
Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi pencatatan akad nikah.[14]
Hukum Nikah Tanpa KUA
Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran biasanya para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syarat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi dan sahabat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.
Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sahnya nikah sebagaimana telah lalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk mentaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan yang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat di bagian resmi pemerintah[15].
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdur Rozzaq Afifi, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud:
Soal:
Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut untuk datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya-pun datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini merupakan nikah yang syar’i? Bila jawabannya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?
Jawab:
Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[16]
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.
Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, namun itu hanyalah politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki banyak manfaat.
Wajib bagi setiap muslim untuk mentaati undang-undang tersebut dan tidak melanggarnya karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.
Demikianlah pembahasan yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekali lagi, hati kami terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari saudara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.
Daftar Referensi
1. Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman Al-Asyqor, Dar Nafais, Yordania, cet kedua 1425 H.
2. Az-Zawaj Al-’Urfi karya DR. Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA, cet pertama 1426 H.
3. Dll
.
artikel: http://abiubaidah.wordpress.com/
[1] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/Rojab-Sya’ban-Ramadhan 1428 H, hal. 194.
[2] Al-’Aqdu Al-’Urf, oleh Azmi Mamduh hal. 11, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah Al-Asyqor hlm. 130.
[3] As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fil Ahwal Syakhsyiyyah oleh Amr Abdul Fattah hlm. 43.
[4] Lihat selangkapnya dalam Az-Zawaj Al-’Urfi hlm. 85-89 oleh DR. Ahmad bin Yusuf Ad-Daryuwisy.
[5] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah edisi 36, hlm. 194.
[6] Majmu’ Fatawa 32/131.
[7] Lihat Az-Zawaj Al-’Urfi hlm. 74-75 oleh DR. Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy.
[8] Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syari’at, bukan hanya yang diperintahkan syari’at. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syari’at maka itulah politik syar’i. Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-Lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman).
[9] As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fii Ahwal Asy-Syakhsyiyyah hlm. 43 oleh ‘Amr Abdul Fattah.
[10] Al-Ahkam As-Sulthoniyah hlm. 30.
[11] Lihat buku yang sangat bagus tentang masalah ini “Mu’amalatul Hukkam” oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.
[12] Lihat Al-Asybah wa Nadhoir oleh Ibnu Nujaim hlm. 123, Al-Asybah wa Nadhoir oleh As-Suyuthi hlm. 121, Al-Mantsur fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah oleh Az-Zarkasyi 1/309.
[13] Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656.
[14] Az-Zawaj Al-Urfi hlm. 68-71 oleh Al-Ustadz DR. Ahmad bin Yusuf.
[15] Lihat beberapa kejadian dan penyesalan tersebut dalam Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah Al-Asyqor hlm. 152-156.
[16] Fatawa Lajnah Daimah 18/87 no. 7910. Demikian juga para anggota komisi fatwa sekarang seperti Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa’ad Asy-Sasyri dan lain-lain, penulis pernah menanyakan kepada mereka tentang masalah ini, dan jawaban mereka seperti kesimpulan kami. Wallahu A’lam. Kami sampaikan hal ini karena beberapa ikhwan yang komplain dahulu meminta kepada kami fatwa ulama kita tentang masalah ini. Semoga dengan keterangan ini, kita bisa lebih menerima dengan lapang dada. Amiin.
Hukum Menonton Televisi
Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz -rahimahullah- pernah ditanya,
“Di beberapa kamar pasien difasilitasi televisi. Sebagian pasien ingin menyetel TV tersebut dan sebagian lagi enggan menyetelnya. Yang enggan menonton hanya takut mengganggu yang lainnya. Apa yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini?”
Jawab:
Jika sebagian pasien di kamar yang sama, ada yang tidak suka melihat televisi, maka hendaklah televisi tersebut tidak dinyalakan. Ini bertujuan untuk menyenangkan hati orang lain dan tidak mengganggunya. Jika semuanya ingin melihat TV, maka tidak mengapa. Akan tetapi, hal ini dengan syarat, yang ditonton hanyalah acara yang bermanfaat seperti mendengar murotal (namun dengan volume suara yang tidak terlalu keras), mendengar kajian ilmu dan acara lain yang bermanfaat bagi dunia dan agama.
Namun jika yang ditonton adalah acara yang rusak semacam nyanyian (musik), acara yang melalaikan, dan acara lain yang tidak bermanfaat, maka sudah selayaknya TV tersebut tidak ditonton. Bahkan jika TV itu tidak ditonton sama sekali, itu lebih hati-hati dan lebih baik. Mereka tentu yang lebih mengetahui manakah yang lebih maslahat untuk diri mereka masing-masing.
Adapun jika TV tersebut diputar, namun memberi gangguan dan dapat menyakiti pasien yang lain, padahal mereka butuh tidur dengan nyenyak dan butuh istirahat yang cukup, bahkan terkadang pula masing-masing di antara mereka tidak peduli dengan keadaan pasien yang lain, maka seperti ini tentu saja tidak dibolehkan.
Ini semua tentu saja butuh ada orang terpercaya yang lebih bertakwa yang bertindak sebagai pengawas dalam mengawasi hal ini. Hendaklah TV tersebut digunakan hanya untuk hal yang bermanfaat dengan tetap melihat keridhoaan pasien yang lain. Namun jika TV itu dapat mengganggu pasien lainnya, maka sudah selayaknya tidak dinyalakan.
Fatawa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, no. 452.
Sumber: http://alifta.net/
Dari fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas beberapa pelajaran penting yang bisa kita gali:
1. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (dibolehkan).
2. Perkara yang mubah jika dapat mengantarkan pada perkara yang dilarang atau menyia-nyiakan, maka lebih pantas untuk ditinggalkan dan dijauhi. Sebagaimana para ulama seringkali membawakan kaedah fiqhiyah: Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram). Begitu pula kaedah lainnya: Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh). Sehingga yang dibolehkan adalah jika televisi digunakan untuk hal yang bermanfaat (untuk agama dan dunia) saja seperti untuk mendengar kajian ilmu agama yang bermanfaat, mendengar tanya jawab ulama, dan hal yang bermanfaat lainnya.
3. Kebanyakan penggunaan televisi saat ini adalah untuk hal-hal yang haram atau sia-sia seperti untuk mendengar nyanyian, tontonan acara mistik dan kesyirikan atau tontonan sinetron yang mendorong pada materialis dan merusak akhlaq. Padahal kaedah menyebutkan, “Al hukmu ‘alal gholib”(Hukum itu dilihat dari yang dominan yang ada pada permasalahan yang dibahas).
4. Dalam kaedah fiqhiyah disebutkan: Mencegah kejelekan lebih didahulukan daripada mendapatkan manfaat (dar-ul mafaasid muqoddam ‘ala jalbil masholih). Kejelekan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh TV untuk saat ini lebih banyak, daripada manfaatnya yang sedikit. Sehingga bagusnya TV tidak hadir di tengah keluarga muslim.
“Di beberapa kamar pasien difasilitasi televisi. Sebagian pasien ingin menyetel TV tersebut dan sebagian lagi enggan menyetelnya. Yang enggan menonton hanya takut mengganggu yang lainnya. Apa yang harus dilakukan dalam kondisi semacam ini?”
Jawab:
Jika sebagian pasien di kamar yang sama, ada yang tidak suka melihat televisi, maka hendaklah televisi tersebut tidak dinyalakan. Ini bertujuan untuk menyenangkan hati orang lain dan tidak mengganggunya. Jika semuanya ingin melihat TV, maka tidak mengapa. Akan tetapi, hal ini dengan syarat, yang ditonton hanyalah acara yang bermanfaat seperti mendengar murotal (namun dengan volume suara yang tidak terlalu keras), mendengar kajian ilmu dan acara lain yang bermanfaat bagi dunia dan agama.
Namun jika yang ditonton adalah acara yang rusak semacam nyanyian (musik), acara yang melalaikan, dan acara lain yang tidak bermanfaat, maka sudah selayaknya TV tersebut tidak ditonton. Bahkan jika TV itu tidak ditonton sama sekali, itu lebih hati-hati dan lebih baik. Mereka tentu yang lebih mengetahui manakah yang lebih maslahat untuk diri mereka masing-masing.
Adapun jika TV tersebut diputar, namun memberi gangguan dan dapat menyakiti pasien yang lain, padahal mereka butuh tidur dengan nyenyak dan butuh istirahat yang cukup, bahkan terkadang pula masing-masing di antara mereka tidak peduli dengan keadaan pasien yang lain, maka seperti ini tentu saja tidak dibolehkan.
Ini semua tentu saja butuh ada orang terpercaya yang lebih bertakwa yang bertindak sebagai pengawas dalam mengawasi hal ini. Hendaklah TV tersebut digunakan hanya untuk hal yang bermanfaat dengan tetap melihat keridhoaan pasien yang lain. Namun jika TV itu dapat mengganggu pasien lainnya, maka sudah selayaknya tidak dinyalakan.
Fatawa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, no. 452.
Sumber: http://alifta.net/
Dari fatwa Syaikh Ibnu Baz di atas beberapa pelajaran penting yang bisa kita gali:
1. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (dibolehkan).
2. Perkara yang mubah jika dapat mengantarkan pada perkara yang dilarang atau menyia-nyiakan, maka lebih pantas untuk ditinggalkan dan dijauhi. Sebagaimana para ulama seringkali membawakan kaedah fiqhiyah: Maa yatawaqqoful haromu ‘alaihi fa huwa haromun (Suatu yang bisa menyebabkan terjerumus pada yang haram, maka sarana menuju yang haram tersebut menjadi haram). Begitu pula kaedah lainnya: Wasail makruh makruhatun (Perantara kepada perkara yang makruh juga dinilah makruh). Sehingga yang dibolehkan adalah jika televisi digunakan untuk hal yang bermanfaat (untuk agama dan dunia) saja seperti untuk mendengar kajian ilmu agama yang bermanfaat, mendengar tanya jawab ulama, dan hal yang bermanfaat lainnya.
3. Kebanyakan penggunaan televisi saat ini adalah untuk hal-hal yang haram atau sia-sia seperti untuk mendengar nyanyian, tontonan acara mistik dan kesyirikan atau tontonan sinetron yang mendorong pada materialis dan merusak akhlaq. Padahal kaedah menyebutkan, “Al hukmu ‘alal gholib”(Hukum itu dilihat dari yang dominan yang ada pada permasalahan yang dibahas).
4. Dalam kaedah fiqhiyah disebutkan: Mencegah kejelekan lebih didahulukan daripada mendapatkan manfaat (dar-ul mafaasid muqoddam ‘ala jalbil masholih). Kejelekan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh TV untuk saat ini lebih banyak, daripada manfaatnya yang sedikit. Sehingga bagusnya TV tidak hadir di tengah keluarga muslim.
Adakah perayaan tahun baru Islam ?
Kaum muslimin yang semoga selalu dirahmati Allah, Allah yang Maha Bijaksana telah menjadikan bagi umat Islam dua hari raya besar. Kaum muslimin pada hari itu bersuka cita dan riang gembira, karena memang hari itu adalah hari kegembiraan. Dan perlu untuk diketahui, bahwa hari raya yang digariskan oleh syariat tidak lebih dari dua, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, tidak ada yang lain. Maka satu pertanyaan terbesit dalam benak kita seperti termaktub dalam judul tulisan ini, yaitu "Adakah peringatan Tahun Baru Islam ?"
Tahun Baru Tandingan?
Para pembaca sekalian, pada zaman sekarang banyak orang-orang mulai menambah-nambah hari raya yang seharusnya bukan hari raya. Contoh mudahnya, bila bulan Muharrom tiba maka ada sebagian umat Islam yang merayakan tahun baru Islam. Alasan mereka, kalau dalam penanggalan masehi itu ada istilah tahun baru tempat orang-orang bersuka cita dan gembira, bahkan malah dipenuhi dengan banyak acara kemaksiatan, lalu mengapa kita tidak membuat tandingannya? Kita buat saja tahun baru Islam berdasarkan penganggalan hijriyah, kemudian diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan terkait dengan hari itu?
Para pembaca sekalian, nampaknya niat tersebut sekilas terlihat baik. Namun perlu untuk diketahui, tidak setiap niat baik itu akan mendatangkan kebaikan. Seluruh ibadah yang kita laksanakan harus ada contoh dan teladan dari Nabi kita shollallohu'alaihi wa sallam. Hal ini karena beliaulah yang Allah utus untuk menjelaskan tatacara ibadah yang benar dan diterima. Konsekuensinya, tidak ada kreatifitas dalam bentuk ibadah. Jika seseorang berinisiatif membuat cara sendiri maka dia akan terjatuh dalam kebid'ahan. Hukum perkara bid'ah adalah dosa. Maka kewajiban bagi setiap muslimn untuk beragama berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan shahih, hal ini sebagai dasar pelaksanaan ibadah dalam Islam.
Ikutlah Rasul Dalam Tatacara Ibadah
Para pembaca yang budiman, syarat diterima amalan ibadah apapun itu ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba' (sesuai tuntunan Rasulullah shollallohu'alaihi wa sallam). Tahun baru -sekalipun dengan penanggalan hijriyah- adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabat beliau. Jika perayaan tahun baru Islam adalah boleh mengapa tidak ada para sahabat yang melakukannya? Padahal tidak ada kebaikan yang ditinggalkan begitu saja dan tidak dilaksanakan oleh para sahabat. Andaikan ada satu kebaikan walaupun itu sebesar biji sawi, niscaya mereka akan mendahului kita melaksanakannya.
Sedangkan hukum perkara bid'ah adalah terlarang dan tertolak, kita tidak diperbolehkan melakukan perkara bid'ah dalam hal agama. Hal ini karena Islam adalah agama yang sempurna, tidak perlu penambahan dan pengurangan. Sebagaimana dalam firman Allah surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu."
Hati-Hati Dengan Tasyabbuh !
Perayaan tahun baru Islam termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang merayakan tahun baru Masehi (1 Januari). Sedangkan tasyabbuh terhadap orang kafir adalah haram sebagaimana hadits Rasulullah shollallohu'alaihi wa sallam yang artinya, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum tersebut." (Shohih. HR. Abu Dawud, Ahmad)
Hati-Hati Dengan Maksiat !
Para pemabca sekalian, tidak jarang kita temui perayaan tahun baru yang dilabeli 'Tahun Baru Islam' justru malah diwarnai dengan kemaksiatan, seperti ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), dzikir berjamaah, dan ritual-ritual bid'ah lainnya. Bahkan perayaan tahun baru Islam akan membuka pintu banyak bid'ah dan mematikan sunnah Nabi shollallohu'alaihi wa sallam. Jika hal ini terus berlanjut maka tidak akan menambah kejayaan umat, yang ada justru akan menyebabkan kerusakan Islam dan kehancuran Islam.
Kita berlindung dari hal-hal yang haram dan tidak dibenarkan dalam Islam, oleh karena itu kita berusaha belajar ilmu agama yang benar yang sesuai pemahaman Islam yang benar yaitu pemahaman Salafush Shalih agar kita mampu membedakan amalan-amalan yang dituntunkan dalam Islam. Semoga kemudahan dan kekuatan diberikan pada kita. Kita juga berdoa agar dijauhkan dari hal-hal yang membuat kita binasa baik itu maksiat, maupun perkara-perkara haram dan yang tidak dituntunkan.
Nah ini yang menyangkut bulan Muharram yang sebentar lagi tiba..
Suro, satu nama bulan yang tidak asing lagi di telinga masyarakat kita, khususnya masyarakat jawa. Bulan ini malah lebih masyhur ketimbang nama aslinya, yaitu Muharrom. Kata 'suro' ini diambil dari 'asyuro', yaitu hari kesepuluh pada bulan Muharrom dalam penanggalan tahun Hijriah. Namun permasalahan yang akan dibahas di sini bukanlah nama, akan tetapi ada apa di balik bulan suro ini.
Kaum muslimin sekalian, kalau kita mau buka mata, tentunya di depan kita sudah jelas terpampang adanya berbagai keyakinan terkait dengan bulan suro ini. Keyakinan-keyakinan tersebut yang jelas tidak didasari dalil dan hanya sekedar ikut-ikutan adat nenek moyang saja. Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Gugon tuton atau tahayul ini begitu kental merasuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat, hingga muncul beragam tradisi, sebagai cerminan kepercayaan mereka. Jika diteliti dengan seksama ternyata tradisi-tradisi yang berkaitan dengan bulan suro umumnya berbasis bid'ah, khurofat dan kesyirikan. WAllahul musta'an. Berikut ini beberapa contoh umum dari kepercayaan dan tradisi tersebut:
Melemparkan Sesajian Atau Tumbal ke Lautan
Tradisi ini kebanyakan dijumpai di daerah pesisir laut selatan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini maka amarah penunggu laut dapat tercegah serta nantinya dapat mendatangkan keberkahan laut berupa ikan yang banyak. Para pembaca sekalian, jika dilihat, maka tradisi ini -tidak ragu lagi- merupakan bentuk kesyirikan. Dengan berbuat seperti itu seseorang telah mengakui adanya sekutu bagi Allah dalam hal pemberian rizki dan penangguhan bahaya. Padahal tidak ada yang kuasa untuk memberi manfaat berupa rezeki maupun yang lainnya kecuali Allah. Tidak ada yang kuasa menimpakan bahaya, bencana dan kecelakaan selain Allah. Allah pula lah yang Mahakuasa untuk melepaskan bahaya dan bencana tersebut. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan nikmat apa saja yang engkau miliki, maka datangnya dari Allah. Bila kamu ditimpa oleh kemudhorotan, maka hamya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (QS. An Nahl: 53)
Namun, banyak orang yang percaya seyakin-yakinnya, bahwa Nyi Roro Kidul lah yang berkuasa atas itu semua. Apakah di benak mereka yang mengatur rizki dan menetapkan jumlah ikan ialah Nyi Roro Kidul? Apakah kekuasaan Allah dianggap di bawah kekuasaan Roro Kidul? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan! Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: "Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong." (QS. Al Baqoroh: 107). Maka adakah jalan lain bagi orang yang masih punya akal pikiran untuk menyekutukan Allah??
Tidak Mengadakan Pernikahan, Khitanan dan Membangun Rumah
Tradisi ini bersumber dari keyakinan masyarakat bahwa bulan suro adalah bulan yang keramat dan penuh bala. Ini membuat masyarakat tidak bernyali untuk mengadakan suatu acara terutama hajatan dan acara pernikahan. Mereka berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa kesialan dan malapetaka bagi diri mereka. Ini merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan. Mencela ciptaan Allah sama saja dengan mencela Allah. Nabi shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Janganlah kamu mencela waktu (dahr), karena Allah itu yang mengatur silih bergantinya waktu." (HR. Muslim)
Melakukan Ibadah-Ibadah Tertentu di Malam Suro
Ritual yang umumnya dilakukan biasanya selamatan atau syukuran, Sholat Asyuro, membaca Do'a Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid'ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh shollAllahu 'alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Ibadah-ibadah ini tertolak dan mendapat ancaman keras berupa neraka. Rosululloh shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak." (HR. Muslim). Hadist-hadits yang menerangkan tentang Sholat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La'ali al-Masnu'ah.
Ngalap Berkah
Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di kraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, bergadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar'i (Al Qur'an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga Allah Ta'ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid'ahan yang membinasakan.
Tahun Baru Tandingan?
Para pembaca sekalian, pada zaman sekarang banyak orang-orang mulai menambah-nambah hari raya yang seharusnya bukan hari raya. Contoh mudahnya, bila bulan Muharrom tiba maka ada sebagian umat Islam yang merayakan tahun baru Islam. Alasan mereka, kalau dalam penanggalan masehi itu ada istilah tahun baru tempat orang-orang bersuka cita dan gembira, bahkan malah dipenuhi dengan banyak acara kemaksiatan, lalu mengapa kita tidak membuat tandingannya? Kita buat saja tahun baru Islam berdasarkan penganggalan hijriyah, kemudian diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan terkait dengan hari itu?
Para pembaca sekalian, nampaknya niat tersebut sekilas terlihat baik. Namun perlu untuk diketahui, tidak setiap niat baik itu akan mendatangkan kebaikan. Seluruh ibadah yang kita laksanakan harus ada contoh dan teladan dari Nabi kita shollallohu'alaihi wa sallam. Hal ini karena beliaulah yang Allah utus untuk menjelaskan tatacara ibadah yang benar dan diterima. Konsekuensinya, tidak ada kreatifitas dalam bentuk ibadah. Jika seseorang berinisiatif membuat cara sendiri maka dia akan terjatuh dalam kebid'ahan. Hukum perkara bid'ah adalah dosa. Maka kewajiban bagi setiap muslimn untuk beragama berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan shahih, hal ini sebagai dasar pelaksanaan ibadah dalam Islam.
Ikutlah Rasul Dalam Tatacara Ibadah
Para pembaca yang budiman, syarat diterima amalan ibadah apapun itu ada dua, yaitu ikhlas dan ittiba' (sesuai tuntunan Rasulullah shollallohu'alaihi wa sallam). Tahun baru -sekalipun dengan penanggalan hijriyah- adalah sesuatu yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabat beliau. Jika perayaan tahun baru Islam adalah boleh mengapa tidak ada para sahabat yang melakukannya? Padahal tidak ada kebaikan yang ditinggalkan begitu saja dan tidak dilaksanakan oleh para sahabat. Andaikan ada satu kebaikan walaupun itu sebesar biji sawi, niscaya mereka akan mendahului kita melaksanakannya.
Sedangkan hukum perkara bid'ah adalah terlarang dan tertolak, kita tidak diperbolehkan melakukan perkara bid'ah dalam hal agama. Hal ini karena Islam adalah agama yang sempurna, tidak perlu penambahan dan pengurangan. Sebagaimana dalam firman Allah surat Al Maidah ayat 3 yang artinya: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam sebagai agamamu."
Hati-Hati Dengan Tasyabbuh !
Perayaan tahun baru Islam termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir yang merayakan tahun baru Masehi (1 Januari). Sedangkan tasyabbuh terhadap orang kafir adalah haram sebagaimana hadits Rasulullah shollallohu'alaihi wa sallam yang artinya, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum tersebut." (Shohih. HR. Abu Dawud, Ahmad)
Hati-Hati Dengan Maksiat !
Para pemabca sekalian, tidak jarang kita temui perayaan tahun baru yang dilabeli 'Tahun Baru Islam' justru malah diwarnai dengan kemaksiatan, seperti ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), dzikir berjamaah, dan ritual-ritual bid'ah lainnya. Bahkan perayaan tahun baru Islam akan membuka pintu banyak bid'ah dan mematikan sunnah Nabi shollallohu'alaihi wa sallam. Jika hal ini terus berlanjut maka tidak akan menambah kejayaan umat, yang ada justru akan menyebabkan kerusakan Islam dan kehancuran Islam.
Kita berlindung dari hal-hal yang haram dan tidak dibenarkan dalam Islam, oleh karena itu kita berusaha belajar ilmu agama yang benar yang sesuai pemahaman Islam yang benar yaitu pemahaman Salafush Shalih agar kita mampu membedakan amalan-amalan yang dituntunkan dalam Islam. Semoga kemudahan dan kekuatan diberikan pada kita. Kita juga berdoa agar dijauhkan dari hal-hal yang membuat kita binasa baik itu maksiat, maupun perkara-perkara haram dan yang tidak dituntunkan.
Nah ini yang menyangkut bulan Muharram yang sebentar lagi tiba..
Suro, satu nama bulan yang tidak asing lagi di telinga masyarakat kita, khususnya masyarakat jawa. Bulan ini malah lebih masyhur ketimbang nama aslinya, yaitu Muharrom. Kata 'suro' ini diambil dari 'asyuro', yaitu hari kesepuluh pada bulan Muharrom dalam penanggalan tahun Hijriah. Namun permasalahan yang akan dibahas di sini bukanlah nama, akan tetapi ada apa di balik bulan suro ini.
Kaum muslimin sekalian, kalau kita mau buka mata, tentunya di depan kita sudah jelas terpampang adanya berbagai keyakinan terkait dengan bulan suro ini. Keyakinan-keyakinan tersebut yang jelas tidak didasari dalil dan hanya sekedar ikut-ikutan adat nenek moyang saja. Suro diyakini sebagai bulan yang keramat, gawat dan penuh bala. Gugon tuton atau tahayul ini begitu kental merasuk ke dalam nadi kehidupan masyarakat, hingga muncul beragam tradisi, sebagai cerminan kepercayaan mereka. Jika diteliti dengan seksama ternyata tradisi-tradisi yang berkaitan dengan bulan suro umumnya berbasis bid'ah, khurofat dan kesyirikan. WAllahul musta'an. Berikut ini beberapa contoh umum dari kepercayaan dan tradisi tersebut:
Melemparkan Sesajian Atau Tumbal ke Lautan
Tradisi ini kebanyakan dijumpai di daerah pesisir laut selatan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini maka amarah penunggu laut dapat tercegah serta nantinya dapat mendatangkan keberkahan laut berupa ikan yang banyak. Para pembaca sekalian, jika dilihat, maka tradisi ini -tidak ragu lagi- merupakan bentuk kesyirikan. Dengan berbuat seperti itu seseorang telah mengakui adanya sekutu bagi Allah dalam hal pemberian rizki dan penangguhan bahaya. Padahal tidak ada yang kuasa untuk memberi manfaat berupa rezeki maupun yang lainnya kecuali Allah. Tidak ada yang kuasa menimpakan bahaya, bencana dan kecelakaan selain Allah. Allah pula lah yang Mahakuasa untuk melepaskan bahaya dan bencana tersebut. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Dan nikmat apa saja yang engkau miliki, maka datangnya dari Allah. Bila kamu ditimpa oleh kemudhorotan, maka hamya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan." (QS. An Nahl: 53)
Namun, banyak orang yang percaya seyakin-yakinnya, bahwa Nyi Roro Kidul lah yang berkuasa atas itu semua. Apakah di benak mereka yang mengatur rizki dan menetapkan jumlah ikan ialah Nyi Roro Kidul? Apakah kekuasaan Allah dianggap di bawah kekuasaan Roro Kidul? Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan! Allah Ta'ala berfirman, yang artinya: "Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong." (QS. Al Baqoroh: 107). Maka adakah jalan lain bagi orang yang masih punya akal pikiran untuk menyekutukan Allah??
Tidak Mengadakan Pernikahan, Khitanan dan Membangun Rumah
Tradisi ini bersumber dari keyakinan masyarakat bahwa bulan suro adalah bulan yang keramat dan penuh bala. Ini membuat masyarakat tidak bernyali untuk mengadakan suatu acara terutama hajatan dan acara pernikahan. Mereka berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa kesialan dan malapetaka bagi diri mereka. Ini merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan. Mencela ciptaan Allah sama saja dengan mencela Allah. Nabi shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Janganlah kamu mencela waktu (dahr), karena Allah itu yang mengatur silih bergantinya waktu." (HR. Muslim)
Melakukan Ibadah-Ibadah Tertentu di Malam Suro
Ritual yang umumnya dilakukan biasanya selamatan atau syukuran, Sholat Asyuro, membaca Do'a Asyuro (dengan keyakinan tidak akan mati pada tahun tersebut) dan ibadah-ibadah lainnya. Semua ibadah tersebut merupakan bid'ah (hal baru dalam agama) dan tidak pernah ada contohnya dari Rosululloh shollAllahu 'alaihi wasallam maupun para sahabatnya. Ibadah-ibadah ini tertolak dan mendapat ancaman keras berupa neraka. Rosululloh shollAllahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya, "Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak ada contohnya dari kami maka dia tertolak." (HR. Muslim). Hadist-hadits yang menerangkan tentang Sholat Asyuro adalah palsu sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab al-La'ali al-Masnu'ah.
Ngalap Berkah
Tradisi ini dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di kraton Kasunan Solo, thowaf di tempat-tempat keramat, memandikan benda-benda pusaka, bergadang semalam suntuk dan lain-lainnya. Ini semuanya merupakan kesalahan, sebab suatu hal boleh dipercaya mempunyai berkah dan manfaat jika dilandasi oleh dalil syar'i (Al Qur'an dan hadits) atau ada bukti bukti ilmiah yang menunjukkannya. Semoga Allah Ta'ala menghindarkan kita dari kesyirikan dan kebid'ahan yang membinasakan.
al-Imâm Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (w 505 H), nama yang sangat akrab dengan kita, seorang teolog, sufi besar, seorang yang ahli dalam banyak disiplin ilmu. Dalam kitab karyanya yang sangat agung; Ihya’ Ulumiddin, pada jilid pertama menuliskan bab khusus tentang penjelasan akidah mayoritas umat Islam; akidah Ahlussunnah, yaitu pada bagian Qawa’id al-Aqa’id. . Di antara yang beliau tulis adalah sebagai berikut:
تعالى (أى الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (إحياء علوم الدين، كتاب قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1 ص. 108)
“Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 108).
Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
“Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan:
الأصل السابع: العلم بأن الله تعالى منـزه الذات عن الإختصاص بالجهات، فإن الجهة إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة خلق الإنسان إذ خلق له طرفين أحدهما يعتمد على الأرض ويسمى رجلا، والآخر يقابله يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق لما يلي جهة الرأس واسم السفل لما يلي جهة الرجل، حتى إن النملة التي تدب منكسة تحت السقف تنقلب جهة الفوق في حقها تحتا وإن كان في حقنا فوقا.
وخلق للإنسان يدين وإحداهما أقوى من الأخرى في الغالب فحدث اسم اليمين للأقوى واسم الشمال لما يقابله، وتسمى الجهة التي تلي اليمين يمينا والأخرى شمالا، وخلق له جانبين يبصر من أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم القدام للجهة التي يتقدم إليها بالحركة واسم الخلف لما يقابلها. (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Pokok ke tujuh; adalah berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dlaam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang” (Ihya 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
فكيف كان في الأزل مختصا بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف صار مختصا بجهة بعد أن لم يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ تعالى أن يكون له رأس، والفوق عبارة عما يكون جهة الرأس، أو خلق العالم تحته فتعالى عن أن يكون له تحت إذ تعالى عن أن يكون له رجل والتحت عبارة عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما يستحيل في العقل (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di arah atas-ya?! Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan “arah atas” bagi-Nya. Karena bila dikatakan “arah atas” bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhnya penyebutan “arah atas” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan “arah bawah” bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali menuliskan:
وأنه لا يحل في شىء ولا يحل فيه شىء، تعالى عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (الأربعين في أصول الدين، ص 8)
“... dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu”. (al-Arba’in Fi Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN: Akidah Rasulullah, para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.
Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan “tidak berakal”, bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-orang Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah berada di langit?! Juga berkeyakinan Allah berada di arsy?! Di dua tempat heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A’udzu Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.
Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak Alayhim as-Sufaha’ Qabl al-‘Uqala’.
تعالى (أى الله) عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (إحياء علوم الدين، كتاب قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1 ص. 108)
“Allah Maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci untuk dibatasi oleh waktu dan zaman. Dia ada tanpa permulaan, tanpa tempat, dan tanpa zaman, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan arah) ada seperti sediakala tanpa tempat dan dan tanpa arah” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 108).
Pada bagian lain dari kitab tersebut al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
“Pokok ke empat; Adalah mengetahui bahwa Allah bukan benda yang memiliki tempat. Dia maha suci dari dibatasi oleh tempat. Arguman atas ini adalah bahwa setiap benda itu pasti memiliki tempat, dengan demikian ia membutuhkan kepada yang mengkhususkannya dalam tempat tersebut. Juga sesuatu yang bertempat itu tidak lepas dari dua keadaan; menetap pada tempatnya tersebut atau bergerak pindah dari satu tempat ke tempat alinnya. Dan kedua sifat ini jelas merupakan sifat-sifat dari sesuatu yang baharu. Dan sesuatu yang tidak lepas dari kebaharuan maka berarti sesuatu tersebut adalah sesuatu yang baharu” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h. 127).
Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm al-Ghazali juga menuliskan:
الأصل السابع: العلم بأن الله تعالى منـزه الذات عن الإختصاص بالجهات، فإن الجهة إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة خلق الإنسان إذ خلق له طرفين أحدهما يعتمد على الأرض ويسمى رجلا، والآخر يقابله يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق لما يلي جهة الرأس واسم السفل لما يلي جهة الرجل، حتى إن النملة التي تدب منكسة تحت السقف تنقلب جهة الفوق في حقها تحتا وإن كان في حقنا فوقا.
وخلق للإنسان يدين وإحداهما أقوى من الأخرى في الغالب فحدث اسم اليمين للأقوى واسم الشمال لما يقابله، وتسمى الجهة التي تلي اليمين يمينا والأخرى شمالا، وخلق له جانبين يبصر من أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم القدام للجهة التي يتقدم إليها بالحركة واسم الخلف لما يقابلها. (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Pokok ke tujuh; adalah berkeyakinan bahwa Dzat Allah suci dari bertempat pada suatu arah. Karena arah tidak lepas dari salah satu yang enam; atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Arah-arah tersebut diciptakan oleh Allah denga jalan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia dengan dua bagian; bagian yang megarah ke bumi yaitu bagian kakinya, dan bagian yang berlawanan dengannya yaitu bagian kepalanya. Dengan adanya pembagian ini maka terjadilah arah, bagian ke arah kakinya disebut bawah dan bagian ke arah kepalanya disebut atas. Demikian pula seekor semut yang merayap terbalik di atas langit-langit rumah, walaupun dlaam pandangan kita tubuhnya terbalik, namun baginya arah atasnya adalah bagian yang ke arah kepalanya dan bagian bawahnya adalah adalah bagian yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah menciptakan dua tangan, yang pada umumnya salah satunya memiliki kekuatan lebih atas lainnya. Maka terjadilah penamaan bagi tangan yang memiliki kekuatan lebih sebagai tangan kanan. Sementara tangan bagian lainnya yang yang berlawanan dengannya disebut dengan tangan kiri. Juga Allah menciptakan bagi manusia tersebut dua bagian bagi arah badanya; bagian yang ia lihat dan ia tuju dengan bergerak kepadanya, dan bagian yang berada pada sebaliknya. Bagian yang pertama disebut arah depan semantara yang bagian sebaliknya disebut dengan arah belakang” (Ihya 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali menuliskan:
فكيف كان في الأزل مختصا بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف صار مختصا بجهة بعد أن لم يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ تعالى أن يكون له رأس، والفوق عبارة عما يكون جهة الرأس، أو خلق العالم تحته فتعالى عن أن يكون له تحت إذ تعالى عن أن يكون له رجل والتحت عبارة عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما يستحيل في العقل (إحياء علوم الدين، ج.1، ص. 128)
“Dengan demikian bagaimana mungkin Allah Yang ada tanpa permulaan (azaly) memiliki tempat dan arah, sementara tempat dan arah itu sendiri baharu?! Bagaimana mungkin Allah yang ada tanpa permulaan dan tanpa tempat lalu kemudian berubah menjadi berada pada tempat tersebut?! Apakah Allah menciptakan alam yang alam tersebut berada di arah atas-ya?! Sesesungguhnya Allah maha suci dari dikatakan “arah atas” bagi-Nya. Karena bila dikatakan “arah atas” bagi Allah maka berarti Dia memiliki kepala. Karena sesungguhnya penyebutan “arah atas” hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kepala. Demikian pula Allah maha suci dari dikatakan “arah bawah” bagi-Nya. Karena bila dikatakan arah bawah bagi Allah maka berarti Dia memiliki kaki. Karena sesungguhnya penyebutan arah bawah hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu semua secara akal adalah sesuatu yang mustahil atas Allah” (Ihya' 'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba’in fi Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali menuliskan:
وأنه لا يحل في شىء ولا يحل فيه شىء، تعالى عن أن يحويه مكان كما تقدس عن أن يحده زمان، بل كان قبل أن خلق الزمان والمكان وهو الآن على ما عليه كان (الأربعين في أصول الدين، ص 8)
“... dan bahwa Allah tidak bertempat di dalam sesuatu, dan tidak ada sesuatu apapun yang bertempat pada-Nya. Allah maha suci dari diliputi oleh tempat, sebagaimana Dia maha suci dari dibatasi oleh waktu/zaman. Dia Allah ada sebelum terciptanya waktu dan tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat dan waktu) ada sebagaimana pada sifat-Nya azaly; tanpa tempat dan tidak terikat oleh waktu”. (al-Arba’in Fi Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN: Akidah Rasulullah, para sahabat, dan kaum Salaf saleh, serta keyakinan mayoritas umat Islam; Ahlussunnah Wal Jama’ah ialah “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.
Sangat tidak masuk akal, atau tepatnya kita katakan “tidak berakal”, bila ada orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di langit atau di di arsy, seperti keyakinan orang-orang Wahhabiyah di masa sekarang. Bagaimana mereka berkeyakinan Allah berada di langit?! Juga berkeyakinan Allah berada di arsy?! Di dua tempat heh..?! Padahal mereka yakin bahwa langit dan arsy adalah makhluk Allah. Itu artinya dalam keyakinan mereka Allah bertempat pada makhluk-Nya sendiri. A’udzu Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.
Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak Alayhim as-Sufaha’ Qabl al-‘Uqala’.
Syarat Maksiat
Pada suatu hari Ibrahim bin Adham didatangi oleh seorang lelaki yang gemar melakukan maksiat. Lelaki tersebut bernama Jahdar bin Rabi’ah. Ia meminta nasehat kepada Ibrahim agar ia dapat menghentikan perbuatan maksiatnya.
Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat PERTAMA, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, JANGAN kau MEMAKAN REZEKI ALLAH,” ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim dengan tegas.
“Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?”
“Baiklah,” jawab Jahdar tampak menyerah.
“Kemudian apa syarat yang KEDUA?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, JANGANLAH kau TINGGAL di BUMI-NYA,” kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?” tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak,” ucap Jahdar kemudian.
“Lalu apa syarat KETIGA?” tanya Jahdar dengan penasaran.
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka CARILAH TEMPAT BERSEMBUNYI dari-NYA.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?” tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi’ah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat KEEMPAT?”
“JIKA MALAIKAT MAUT HENDAK MENCABUT NYAWAMU, KATAKANLAH KEPADANYA BAHWA ENGKAU BELUM MAU MATI SEBELUM BERTAUBAT dan MELAKUKAN AMAL SALEH.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin… tidak mungkin semua itu aku lakukan.”
“Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang KELIMA, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, BILA MALAIKAT ZABANIYAH HENDAK MENGGIRINGMU KE NERAKA DI HARI KIAMAT KIAMAT NANTI, JANGANLAH KAU BERSEDIA IKUT DENGANNYA DAN MENJAUHLAH!”
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, “Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutnya, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, “Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku.”
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, “Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, “Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya.”
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi’ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
Ia berkata, “Ya Aba Ishak, aku ini seorang yang suka melakukan perbuatan maksiat. Tolong berikan aku cara yang ampuh untuk menghentikannya!”
Setelah merenung sejenak, Ibrahim berkata, “Jika kau mampu melaksanakan lima syarat yang kuajukan, aku tidak keberatan kau berbuat dosa.”
Tentu saja dengan penuh rasa ingin tahu yang besar Jahdar balik bertanya, “Apa saja syarat-syarat itu, ya Aba Ishak?”
“Syarat PERTAMA, jika engkau melaksanakan perbuatan maksiat, JANGAN kau MEMAKAN REZEKI ALLAH,” ucap Ibrahim.
Jahdar mengernyitkan dahinya lalu berkata, “Lalu aku makan dari mana? Bukankah segala sesuatu yang berada di bumi ini adalah rezeki Allah?”
“Benar,” jawab Ibrahim dengan tegas.
“Bila engkau telah mengetahuinya, masih pantaskah engkau memakan rezeki-Nya, sementara Kau terus-menerus melakukan maksiat dan melanggar perintah-perintahnya?”
“Baiklah,” jawab Jahdar tampak menyerah.
“Kemudian apa syarat yang KEDUA?”
“Kalau kau bermaksiat kepada Allah, JANGANLAH kau TINGGAL di BUMI-NYA,” kata Ibrahim lebih tegas lagi.
Syarat kedua membuat Jahdar lebih kaget lagi. “Apa? Syarat ini lebih hebat lagi. Lalu aku harus tinggal di mana? Bukankah bumi dengan segala isinya ini milik Allah?”
“Benar wahai hamba Allah. Karena itu, pikirkanlah baik-baik, apakah kau masih pantas memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, sementara kau terus berbuat maksiat?” tanya Ibrahim.
“Kau benar Aba Ishak,” ucap Jahdar kemudian.
“Lalu apa syarat KETIGA?” tanya Jahdar dengan penasaran.
“Kalau kau masih bermaksiat kepada Allah, tetapi masih ingin memakan rezeki-Nya dan tinggal di bumi-Nya, maka CARILAH TEMPAT BERSEMBUNYI dari-NYA.”
Syarat ini membuat lelaki itu terkesima. “Ya Aba Ishak, nasihat macam apa semua ini? Mana mungkin Allah tidak melihat kita?”
“Bagus! Kalau kau yakin Allah selalu melihat kita, tetapi kau masih terus memakan rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, dan terus melakukan maksiat kepada-Nya, pantaskah kau melakukan semua itu?” tanya Ibrahin kepada Jahdar yang masih tampak bingung dan terkesima. Semua ucapan itu membuat Jahdar bin Rabi’ah tidak berkutik dan membenarkannya.
“Baiklah, ya Aba Ishak, lalu katakan sekarang apa syarat KEEMPAT?”
“JIKA MALAIKAT MAUT HENDAK MENCABUT NYAWAMU, KATAKANLAH KEPADANYA BAHWA ENGKAU BELUM MAU MATI SEBELUM BERTAUBAT dan MELAKUKAN AMAL SALEH.”
Jahdar termenung. Tampaknya ia mulai menyadari semua perbuatan yang dilakukannya selama ini. Ia kemudian berkata, “Tidak mungkin… tidak mungkin semua itu aku lakukan.”
“Wahai hamba Allah, bila kau tidak sanggup mengundurkan hari kematianmu, lalu dengan cara apa kau dapat menghindari murka Allah?”
Tanpa banyak komentar lagi, ia bertanya syarat yang KELIMA, yang merupakan syarat terakhir. Ibrahim bin Adham untuk kesekian kalinya memberi nasihat kepada lelaki itu.
“Yang terakhir, BILA MALAIKAT ZABANIYAH HENDAK MENGGIRINGMU KE NERAKA DI HARI KIAMAT KIAMAT NANTI, JANGANLAH KAU BERSEDIA IKUT DENGANNYA DAN MENJAUHLAH!”
Lelaki itu nampaknya tidak sanggup lagi mendengar nasihatnya. Ia menangis penuh penyesalan. Dengan wajah penuh sesal ia berkata, “Cukup…cukup ya Aba Ishak! Jangan kau teruskan lagi. Aku tidak sanggup lagi mendengarnya. Aku berjanji, mulai saat ini aku akan beristighfar dan bertaubat nasuha kepada Allah.”
Jahdar memang menepati janjinya. Sejak pertemuannya dengan Ibrahim bin Adham, ia benar-benar berubah. Ia mulai menjalankan ibadah dan semua perintah-perintah Allah dengan baik dan khusyu’.
Ibrahim bin Adham yang sebenarnya adalah seorang pangeran yang berkuasa di Balakh itu mendengar bahwa di salah satu negeri taklukannya, yaitu negeri Yamamah, telah terjadi pembelotan terhadap dirinya. Kezaliman merajalela. Semua itu terjadi karena ulah gubernur yang dipercayainya untuk memimpin wilayah tersebut.
Selanjutnya, Ibrahim bin Adham memanggil Jahdar bin Rabi’ah untuk menghadap. Setelah ia menghadap, Ibrahim pun berkata, “Wahai Jahdar, kini engkau telah bertaubat. Alangkah mulianya bila taubatmu itu disertai amal kebajikan. Untuk itu, aku ingin memerintahkan engkau untuk memberantas kezaliman yang terjadi di salah satu wilayah kekuasaanku.”
Mendengar perkataan Ibrahim bin Adham tersebut Jahdar menjawab, “Wahai Aba Ishak, sungguh suatu anugrah yang amat mulia bagi saya, di mana saya bisa berbuat yang terbaik untuk umat. Dan tugas tersebut akan saya laksanakan dengan segenap kemampuan yang diberikan Allah kepada saya. Kemudian di wilayah manakah gerangan kezaliman itu terjadi?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Kezaliman itu terjadi di Yamamah. Dan jika engkau dapat memberantasnya, maka aku akan mengangkat engkau menjadi gubernur di sana.”
Betapa kagetnya Jahdaar mendengar keterangan Ibrahim bin Adham. Kemudian ia berkata, “Ya Allah, ini adalah rahmat-Mu dan sekaligus ujian atas taubatku. Yamamah adalah sebuah wilayah yang dulu sering menjadi sasaran perampokan yang aku lakukan dengan gerombolanku. Dan kini aku datang ke sana untuk menegakkan keadilan. Subhanallah, Maha Suci Allah atas segala rahmat-Nya.”
Kemudian, berangkatlah Jahdar bin Rabi’ah ke negeri Yamamah untuk melaksanakan tugas mulia memberantas kezaliman, sekaligus menunaikan amanah menegakkan keadilan. Pada akhirnya ia berhasil menunaikan tugas tersebut, serta menjadi hamba Allah yang taat hingga akhir hayatnya.
Kedudukan Akal Dalam Islam
Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah serta dalam Sunnah Rasulullah pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:
1. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)
3. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Nabi bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah , sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam , kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi Lc
(asysyariah)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah serta dalam Sunnah Rasulullah pujian dan sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah, 2/157)
Kitapun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal, seperti:
1. Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ
“Pena diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal. 34-35)
3. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah: 90)
Nabi bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ
“Setiap yang memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya, keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
Walaupun akal dimuliakan tapi kita menyadari bahwa akal adalah sesuatu yang berada dalam jasmani makhluk. Maka ia sebagaimana makhluk yang lain, memiliki sifat lemah dan keterbatasan.
As-Safarini rahimahullah berkata: “Allah menciptakan akal dan memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat (menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yang Allah telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Nabi bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi, justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang terpuji dan akal yang tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah , sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.
Akal yang sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam –ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim t di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika dalil bertentangan dengan akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Sedangkan dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang berpengalaman dengan Nabi dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal didahulukan
Jika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam , kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
“Allah berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad . Mereka katakan:
“Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5. Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.
6. Berkata dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj: 8)
Ini termasuk larangan terbesar.
“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi Lc
(asysyariah)
NASIHAT BAGI PEMUDA MUSLIM DAN PENUNTUT ILMU
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala seperti :
[1] Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firmanNya.
"Artinya : ... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...?" [Al-Mujaadilah : 11]
[2] Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian " Thalibul Ilmi" (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya. Diantara perkara-perkara itu :
[a] Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
[b] Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan "harta warisan" berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagai mana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.
Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan "Ghuraba" (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti :
"Artinya : Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing"
Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka" [Hadits Riwayat Ahmad]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :
"Artinya : Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku".
Aku katakan : "Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya".
Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap "berbalik", dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri[1]. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya ? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.
Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.
Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang ("suatu jama'ah") dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama'ah-jama'ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du'at (da'i).
Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan "ijtihad mereka".
Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : "Saya berijtihad". Atau "Saya berpendapat begini" atau "Saya tidak berpendapat begitu", dan ketika anda bertanya kepada mereka ; Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu ? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta ijma' (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.
Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda ? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata.
"Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)"
Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman.
"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]
Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali".
[Nasehat ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]
Foote Note.
[1] Penyusun katakan : "Sebagaimana yang terjadi di negeri ini, munculnya beberapa gelintir manusia dengan berpakaian "Salafiyah", memberikan kesan seolah-olah mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namum hakekatnya mereka adalah pengekor hawa nafsu dan perusak dakwah Salafiyah, akibatnya mereka hancur berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri. Wal 'iyadzu billahi, kami mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari nasib yang serupa
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertama-tama aku menasihatimu dan diriku agar bertakwa kepada Allah Jalla Jalaluhu, kemudian apa saja yang menjadi bagian/cabang dari ketakwaan kepada Allah Tabaarakan wa Ta'ala seperti :
[1] Hendaklah kamu menuntut ilmu semata-mata hanya karena ikhlas kepada Allah Jalla Jalaluhu, dengan tidak menginginkan dibalik itu balasan dan ucapan terima kasih. Tidak pula menginginkan agar menjadi pemimpin di majelis-majelis ilmu. Tujuan menuntut ilmu hanyalah untuk mencapai derajat yang Allah Jalla Jalaluhu telah khususkan bagi para ulama. Dalam firmanNya.
"Artinya : ... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat ...?" [Al-Mujaadilah : 11]
[2] Menjauhi perkara-perkara yang dapat menggelincirkanmu, yang sebagian " Thalibul Ilmi" (para penuntut ilmu) telah terperosok dan terjatuh padanya. Diantara perkara-perkara itu :
[a] Mereka amat cepat terkuasai oleh sifat ujub (kagum pada diri sendiri) dan terpedaya, sehingga ingin menaiki kepala mereka sendiri.
[b] Mengeluarkan fatwa untuk dirinya dan untuk orang lain sesuai dengan apa yang tampak menurut pandangannya, tanpa meminta bantuan (dari pendapat-pendapat) para ulama Salaf pendahulu ummat ini, yang telah meninggalkan "harta warisan" berupa ilmu yang menerangi dan menyinari dunia keilmuan Islam. (Dengan warisan) itu jika dijadikan sebagai alat bantu dalam upaya penyelesaian berbagai musibah/bencana yang bertumpuk sepanjang perjalanan zaman. Sebagai mana kita telah ikut menjalani/merasakannya, dimana sepanjang zaman itu dalam kondisi yang sangat gelap gulita.
Meminta bantuan dalam berpendapat dengan berpedoman pada perkataan dan pendapat Salaf, akan sangat membantu kita untuk menghilangkan berbagai kegelapan dan mengembalikan kita kepada sumber Islam yang murni, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahihah.
Sesuatu yang tidak tertutup bagi kalian bahwasannya aku hidup di suatu zaman yang mana kualami padanya dua perkara yang kontradiksi dan bertolak belakang, yaitu pada zaman dimana kaum muslimin, baik para syaikh maupun para penuntut ilmu, kaum awam ataupun yang memiliki ilmu, hidup dalam jurang taqlid, bukan saja pada madzhab, bahkan lebih dari itu bertaqlid pada nenek moyang mereka.
Sedangkan kami dalam upaya menghentikan sikap tersebut, mengajak manusia kepada al-Qur'an dan as-Sunnah. Demikian juga yang terjadi di berbagai negeri Islam. Ada beberapa orang tertentu yang mengupayakan seperti apa yang kami upayakan, sehingga kamipun hidup bagaikan "Ghuraba" (orang-orang asing) yang telah digambarkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits beliau yang telah dimaklumi, seperti :
"Artinya : Sesungguhnya awal mula Islam itu sebagai suatu yang asing/aneh, dan akan kembali asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing"
Dalam sebagian riwayat, Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Artinya : Mereka (al-Ghurabaa) adalah orang-orang shaleh yang jumlahnya sedikit sekeliling orang banyak, yang mendurhakai mereka lebih banyak dari yang mentaati mereka" [Hadits Riwayat Ahmad]
Dalam riwayat yang lain beliau bersabda :
"Artinya : Mereka orang-orang yang memperbaiki apa yang telah di rusak oleh manusia dari Sunnah-Sunnahku sepeninggalku".
Aku katakan : "Kami telah alami zaman itu, lalu kami mulai membangun sebuah pengaruh yang baik bagi dakwah yang di lakukan oleh mereka para ghuraba, dengan tujuan mengadakan perbaikan ditengah barisan para pemuda mukmin. Sehingga kami jumpai bahwa para pemuda beristiqomah dalam kesungguhan di berbagai negeri muslim, giat dalam berpegang teguh pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengetahui keshahihannya".
Akan tetapi kegembiraan kami terhadap kebangkitan yang kami rasakan pada tahun-tahun terakhir tidak berlangsung lama. Kita telah dikejutkan dengan terjadinya sikap "berbalik", dan perubahan yang dahsyat pada diri pemuda-pemuda itu, di sebagian negeri[1]. Sikap tersebut, hampir saja memusnahkan pengaruh dan buah yang baik sebagai hasil kebangkitan ini, apa penyebabnya ? Di sinilah letak sebuah pelajaran penting, penyebabnya adalah karena mereka tertimpa oleh perasaan ujub (membanggakan diri) dan terperdaya oleh kejelasan bahwa mereka berada di atas ilmu yang shahih. Perasaan tersebut bukan saja diseputar para pemuda muslim yang terlantar, bahkan terhadap para ulama. Perasaan itu muncul tatkala merasa bahwa mereka memilki keunggulan dengan lahirnya kebangkitan ini, atas para ulama, ahli ilmu dan para syaikh yang bertebaran diberbagai belahan dunia Islam.
Sebagaimana merekapun tidak mensyukuri nikmat Allah Jalla Jalaluhu yang telah memberikan Taufik dan Petunjuk kepada mereka untuk mengenal ilmu yang benar beserta adab-adabnya. Mereka tertipu oleh diri mereka sendiri dan mengira sesungguhnya mereka telah berada pada status kedudukan dan posisi tertentu.
Merekapun mulai mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak matang alias mentah, tidak berdiri diatas sebuah pemahaman yang bersumber dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka tampaklah fatwa-fatwa itu dari pendapat-pendapat yang tidak matang, lalu mereka mengira bahwasanya itulah ilmu yang terambil dari al-Qur'an dan as-Sunnah, maka mereka pun tersesat dengan pendapat-pendapat itu, dan juga menyesatkan banyak orang.
Suatu hal yang tidak sama bagi kalian, akibat dari itu semuanya muncullah sekelompok orang ("suatu jama'ah") dibeberapa negeri Islam yang secara lantang mengkafirkan setiap jama'ah-jama'ah muslimin dengan filsafat-filsafat yang tidak dapat diungkapkan secara mendalam pada kesempatan yang secepat ini, apalagi tujuan kami pada kesempatan ini hanya untuk menasehati dan mengingatkan para penuntut ilmu dan para du'at (da'i).
Oleh sebab itu saya menasehati saudara-saudara kami ahli sunnah dan ahli hadits yang berada di setiap negeri muslim, agar bersabar dalam menuntut ilmu, hendaklah tidak terperdaya oleh apa yang telah mereka capai berupa ilmu yang dimilikinya. Pada hakekatnya mereka hanyalah mengikuti jalan, dan tidak hanya bersandar pada pemahaman-pemahaman murni mereka atau apa yang mereka sebut dengan "ijtihad mereka".
Saya banyak mendengar pula dari saudara-saudara kami, mereka mengucapkan kalimat itu, dengan sangat mudah dan gampang tanpa memikirkan akibatnya : "Saya berijtihad". Atau "Saya berpendapat begini" atau "Saya tidak berpendapat begitu", dan ketika anda bertanya kepada mereka ; Kamu berijtihad berdasarkan pada apa, sehingga pendapatmu begini dan begitu ? Apakah kamu bersandar pada pemahaman al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta ijma' (kesepakatan) para ulama dari kalangan Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan yang lainnya ? Ataukah pendapatmu ini hanya hawa nafsu dan pemahaman yang pendek dalam menganalisa dan beristidlal (pengambilan dalil)?. Inilah realitanya, berpendapat berdasarkan hawa nafsu, pemahaman yang kerdil dalam menganalisa dan beristidlal. Ini semuanya dalam keyakinanku disebabkan karena perasaan ujub, kagum pada diri sendiri dan terperdaya.
Oleh sebab itu saya jumpai di dunia Islam sebuah fenomena (gejala) yang sangat aneh, tampak pada sebagian karya-karya tulis.
Fenomena tersebut tampak dimana seorang yang tadinya sebagai musuh hadits, menjadi seorang penulis dalam ilmu hadits supaya dikatakan bahwa dia memiliki karya dalam ilmu hadits. Padahal jika anda kembali melihat tulisannya dalam ilmu yang mulia ini, anda akan jumpai sekedar kumpulan nukilan-nukilan dari sini dan dari sana, lalu jadilah sebuah karya tersebut. Nah apakah faktor pendorongnya (dalam melakukan hal ini) wahai anak muda ? Faktor pendorongnya adalah karena ingin tampak dan muncul di permukaan. Maka benarlah orang yang berkata.
"Perasaan cinta/senang untuk tampil akan mematahkan punggung (akan berkaibat buruk)"
Sekali lagi saya menasehati saudara-saudaraku para penuntut ilmu, agar menjauhi segala perangai yang tidak Islami, seperti perasaan terperdaya oleh apa yang telah diberikan kepada mereka berupa ilmu, dan janganlah terkalahkan oleh perasaan ujub terhadap diri sendiri.
Sebagai penutup nasehat ini hendaklah mereka menasehati manusia dengan cara yang terbaik, menghindar dari penggunaan cara-cara kaku dan keras di dalam berdakwah, karena kami berkeyakinan bahwasanya Allah Jalla Jalaluhu ketika berfirman.
"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]
Bahwa sesungguhnya Allah Jalla Jalaluhu tidaklah mengatakannya kecuali dengan kebenaran (al-haq) itu, terasa berat oleh jiwa manusia, oleh sebab itu ia cenderung menyombongkan diri untuk menerimannya, kecuali mereka yang dikehendaki oleh Allah. Maka dari itu, jika di padukan antara beratnya kebenaran pada jiwa manusia plus cara dakwah yang keras lagi kaku, ini berarti menjadikan manusia semakin jauh dari panggilan dakwah, sedangkan kalian telah mengetahui sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Bahwasanya di antara kalian ada orang-orang yang menjauhkan (manusia dari agama) ; beliau mengucapkan tiga kali".
[Nasehat ini dinukil dari kitab "Hayat al-Albani" halaman : 452-455]
Foote Note.
[1] Penyusun katakan : "Sebagaimana yang terjadi di negeri ini, munculnya beberapa gelintir manusia dengan berpakaian "Salafiyah", memberikan kesan seolah-olah mereka mengajak kepada pemahaman Salaf, namum hakekatnya mereka adalah pengekor hawa nafsu dan perusak dakwah Salafiyah, akibatnya mereka hancur berkeping-keping, dan saling memakan daging temannya sendiri. Wal 'iyadzu billahi, kami mohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari nasib yang serupa
Langganan:
Postingan (Atom)