Denpasar (gp-ansor.org) Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Dr, K.H. Said Aqil Siradj MA menyimpulkan kemajemukan yang ada di Indonesia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapapun juga, terutama umat Islam.
Dari sudut sejarah, kata Said Aqil, Islam sejak awal sudah memberikan contoh hidup menghargai perbedaan dan kemajemukan. Pada saat Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana hidup tiga golongan, yakni Muslim, Yahudi dan Majusi. Namun, kata Said Aqil, semua bisa hidup berdampingan melalui sebuah perjanjian, yang terkenal dengan Piagam Madinah. Oleh karenanya, tegas Said Aqil, umat Islam yang tidak menghargai kemajemukan berarti tidak paham sejarah.
Paparan tersebut disampaikan Said Aqil dihadapan warga NU di Bali dalam seminar terbatas bertema “Kohesi Sosial antara Cita dan Fakta” di Hotel Aston, Sabtu (17/12) kemarin. ”Dari sudut sejarah, terlihat bagaimana Islam di awal-awal perkembangannya sudah mampu mengembangkan kohesifitas sosial antara warga pendatang dan warga asli Madinah,” tegas Said Aqil.
Seminar dalam rangka Pekan Muharram yang digagas Badan Otonom NU, yakni GP Ansor, Muslimat dan Fatayat NU Bali ini memang dilatarbelakangi keprihatinan atas semakin menipisnya kohesifitas sosial di masyarakat. Seperti disampaikan Ketua Penyelenggara, Wartha D. Shandy S.H, jika perbedaan di Indonesia justru mengarah menjadi factor pemecah-belah, dan agama dominan memicu tindak kekerasan. Menurut Said Aqil, manusia sejatinya cenderung pada keharmonisan sesuai dengan istilah manusia yang berasal dari kata “insaan” yang maknanya intim. Namun kadangkala kecenderungan hidup intim itu dikalahkan oleh kepentingan sehingga menimbulkan konflik.
Ketua Program S3 Universitas Hindu (UNHI) Bali, Prof. Dr. A.A Ngurah Anom Kumbara, M.A mencermati gejala ketidakharmonisan yang berbasis agama itu menawarkan adanya pemaknaan ulang atas konsep keshalihan. Menurut dia, saat ini di samping keshalihan teologis harus juga dikedepankan keshalihan sosial humanistik. Dalam hal ini, diperlukan perubahan internal dari setiap agama untuk merumuskan kembali semangat keagamaan yang sesuai dengan kehidupan bangsa yang multikultiral. Caranya yang pertama, kata guru besar Antropologi Universitas Udayana ini, adalah membangun kesadaran bahwa setiap agama berisikan ajaran mengenai kebenaran tentang eksistensi manusia.
Kedua mengganti agamaisme dengan tradisi spiritual yang asli, dan menekankan bahwa tujuan universal agama-agama adalah sama, yaitu menghadirkan spirit ketuhanan di bumi.
Wartha D. Shandy, ketua panitia yang juga ketua PW GP Anshor Bali, menjelaskan seminar ini merupakan rangkaian kegiatan Pekan Muharram yang didahuli acara jalan sehat, bazaar dan donor darah sepekan sebelumnya. Kemudian acara ditutup dengan tabligh akbar di Masjid Baiturrahman Kampung Jawa oleh K.H Said Aqil Siradj. “Pada intinya kami ingin menyampaikan jika paham Ahlussunah wal jamaah atau Aswaja yang dianut warga NU bisa ditempatkan sebagai solusi alternatif dalam memahami realitas kemajemukan Indonesia sekaligus membedah realitas kebangsaan sehingga kehidupan yang diamanatkan Pancasila bisa terwujud,” papar pegawai Dinas Perhubungan Kabupaten Badung ini.
sumber : Seputarbali.com
Kamis, 22 Desember 2011
heramkempek
→
artikel
→ PBNU: Kemajemukan di Indonesia harus Dihormati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar