Suatu ketika, seorang guru memanggil siswanya satu persatu yang tidak mengumpulkan tugas. Sampai pada seorang siswa yang cukup terkenal bandel, sang guru memanggilnya sampai berulang tapi siswa tersebut tidak juga kunjung menyahut dan akhirnya sang gurupun berang lalu memanggilnya dengan suara lebih keras. Siswa tersebut kaget dan mengiyakan panggilan guru tersebut tapi tatkala berbicara dengan gurunya untuk menjelaskan mengapa ia tidak mengerjakan tugas. Siswa tersebut hanya menjelaskan alasannya dengan sangat-sangat singkat seolah tidak ada rasa berkepentingan sama sekali dengan tugasnya. Saking cueknya ia akhirnya diberikan sanksi tambahan dan tidak naik kelas karena sang guru merasa tidak dihargai.
Jika dilihat secara sekilas, seolah-olah guru tersebut terlalu berlebihan dalam memberikan sebuah sanksi kepada siswanya. Tapi bisakah kita melihat sebab utama mengapa guru tersebut akhirnya memberikan sebuah hukuman yang berat? Alasannya Cuma satu, yaitu sebuah rasa penghargaan dan menghargai. Kepada orang tua kita sendiripun biasanya juga demikian. Tatkala ayah atau ibu memanggil kita, bukankah kita sebagai anaknya diwajibkan menyahut dan mendengarkan dengan seksama. Jika diminta pertanggung jawaban dari kita mengenai apa yang telah kita kerjakan hari ini sebagai anaknya, maka kita diharuskan menceritakan semuanya dengan tenang dan sabar. Tidak ada rasa terpaksa, karena mereka adalah orang tua kita.
Sayangnya, pada saat Allah memanggil hamba-hambaNYA, tak sedikit yang tidak menjawabnya dengan hati yang tenang. Atau, ada yang lebih mirisnya lagi, mereka mengiyakan akan tetapi hanya dengan sepintas lalu. Tidak aneh, jika Sang Maha Guru memberikan kita sebuah sanksi akan kepongahan kita yang berstatus sebagai seorang siswa di “sekolah”nya. Tidakkah kita bisa berhenti sejenak, lalu dengan hati tenang dan sabar memberikan laporan kepadaNYA akan apa-apa yang telah kita lakukan dikala siang menjelang sore, sore menjelang maghrib, maghrib menjelang malam, dan terakhir malam menjelang shubuh.
Ada tuma`ninah dalam melakukan shalat, seharusnya ke tuma`ninah itu membuat kita sebagai pembelajar yang sempurna. Membesarkan Allah karena memang kita sebagai seorang hamba merasa berkepentingan denganNYA. Terlepas dari berharap syurgaNYA, kita ini hanyalah seorang hamba yang menjadi budakNYA selama-lamanya. Tidak ada hal yang mewajibkan kita menuntut hak karena sebelumnya kita tidak pernah melakukan sebuah kewajiban. Bukankah semua orang tidak berhak menerima haknya jika kewajibannya belum dilaksanakannya.
Katanya, orang shalat itu artinya berbicara langsung dengan Allah. Tapi cobalah kita ulangi sekali lagi statement tersebut. Berbicara langsung dengan yang maha Pencipta, dan itu artinya kita harus berbicara dengan Yang Maha Tinggi. Tidak bisakah kita merendahkan suara, lalu bercurhat ria denganNYA, menikmati setiap ucapan yang diucapkan dan melaporkan segala aktivitas keseharian kita dengan hati yang benar-benar rendah. Tapi lagi-lagi, kita sangat sulit untuk bisa memahami hal tersebut. Entah itu karena kita begitu bodoh atau mungkin malah karena kita terlalu pintar dalam menjalankan semua aktivitas kehidupan kita sebagai seorang manusia di muka bumi.
Saat Allah memanggil, begitu sulitkah kita menyahutnya dan mengiyakan panggilan dan tugas yang dibebankan kepada kita. Dengan begitu mudah kita menganggap bahwa masih ada yang harus dikerjakan sehingga kita merasa pantas mengabaikan sesaat panggilan Allah tersebut. Dan dengan rasa tidak bersalah sama sekali, kita malah meminta uang, kesenangan, kebahagian, kebaikan, kesehatan, umur panjang dan kenderaan yang mewah kepadaNYA dengan sesuka hati kita. Satu hal, tidakkah kita malu? Melawan perintah tapi malah meminta kepada yang memberi perintah. Dimana rasa malu kita sebagai orang yang katanya mempunyai akal dan hati. Tidak pernah mengerjai tugas tapi meminta kelulusan dengan nilai terbaik. Apakah itu sesuatu hal yang masuk akal.
Sayang, sudah begitu banyak dari kita tidak menyadari kesalahan-kesalahan kecil yang sering kita lakukan, sehingga pada saat efek gunung es itu muncul kepermukaan baru kita berusaha menghancurkannya dengan sekuat tenaga. Saat kita dihimpit dengan kesempitan semisal, sakit, kurang harta, atau rasa besar sebuah kehilangan anggota keluarga barulah kita mengemis dan mengiba kepada Allah dengan sejadi-jadinya. Dan tatkala tidak dikabulkan, lalu kita malah menyalahkanNYA. Ya, begitulah manusia, tidak pernah mau menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang dilakukan olehnya sendiri. Bukankah apa yang terjadi sekarang adalah buah dari kelakuan masa lalu.
Jika demikian, tidak ada salahnya menyahut dan melaporkan semuanya dengan tenang, sabar dan ikhlas. Nikmatilah sesekali shalatmu sehingga kamu begitu merindukannya.
catatan saya semoga ada manfaatnya..karena sampai sekarangpun saya masih belajar...dan sangat susah untuk "menyahut"...jadikan catatan saya dan kekurangan saya ini untuk melengkapi kelebihan yang membaca catatan2 saya ini... moga ini menjadi pelengkap... :-)
SALAM CINTA
Selasa, 13 Oktober 2009
heramkempek
→ Kalau dipanggil nyahut dong!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar