Wajib, Mukhal dan Jaiz itu dapat di ketahui dg dua pendekatan :
1. ضروري (Dloruri) : perkara yg dapat segera di ketahui tanpa harus berpikir panjang. Contoh : setiap ada zat pasti bershifat, merah, hijau kuning, putih, keras, padat, cair, tinggi, rendah, kasar, halus dll. Dan itu semua dapat kita ketahui tanpa harus tanya kenapa. Inilah yg di sebut modal pertama Ma’rifat.
2. نظري (Nadlori) : perkara yg dapat di ketahui dg di fikir terlebih dahulu. Adanya shifat2 yg menempati pada suatu zat itu berpermulaan, berproses dan berpenghabisan, karena zat itu sendiri juga berpermulaan dari tiada kemudian ada, dan dari ada kemudian tiada. Inilah yg di sebut Ma’rifat ke dua.
Kemudian, Wajib dan Mukhal itu terbagi menjadi 3 bagian :
1. مطلق (Muthlaq) : sesuatu yg adanya dan ketiadaanya tidak ada hubungannya baik secara langsung maupun tidak langsung dg yg lain. Contoh : bergeraknya alam ini baik itu di selidiki maupun tidak, di yaqini maupun tidak, toh tetap juga bergerak. Adanya sekutu bagi Allah, baik itu di yakini maupun tidak Allah tetaplah Tuhan sekalian alam.
2. مقيد (Muqoyyad) : sesutu yg adanya dan tiadanya berhubungan dg yg lain. Contoh : Adanya hidup bagi Manusia di tentukan adanya ruh/nyawa. Jika tidak bernyawa tentulah tidak hidup.
3. عارضي (‘Aridli) : sesuatu yg adanya dan tiadanya karena sebab yg datang sebelumnya atau kemudian. Contoh : wujudnya seorang anak pasti di dahului oleh seorang Ibu. Tidak mungkin akan ada anak tanpa kehadiran seorang Ibu. Anak dan Ibu adalah sesuatu yg datang kemudian setelah datangya sesuatu terlebih dahulu.
Wajib secara Syar,i bagi mukallaf untuk Ma’rifatu al Ilahi bi istiqonin (Mengetahui Shifat keTuhanan dg yaqin). Dalam arti mengetahui Shifat2 wajib, mustakhil dan jaiz hak Allah. Sebuah keyaqinan yg tidak tergoyahkan ketika menghadapi persoalan dn pertanyaan seputar Shifat2 Allah yg di sertai argumen2 yg kuat.
Ma’rifat adalah : ألجزم المطابق عن دليل (Al Jazmu Al Muthobiqu ‘an dlilin) Kemantapan hati yg sesuai dg dalil (‘Aqli dan Naqli). Sehinnga dg itu hati dapat memperoleh sebuah kepastian yg tidak tergoyahkan. Maka barang siapa yg Imannya berdasarkan prasangka (dlon) atau bercampur dg keraguan, atau berdasarkan persepsi hasil penggembaraan akal yg tidak sistematis dn Ilmiyyah, maka Iman itu batal ( tidak Shohih).
Keharusan untuk mampu berargumentasi (berdalil) adalah syarat bagi seseorang yg ingin meraih kategori Mukminun Shokhikhun (orang beriman dg keimanan yg benar). Adapun Dalil itu terklasifikasi menjadi 2 kategori :
1. Ijmali (إجمالي) : dalil secara garis besar dn sederhana. Contoh : Allah itu Wujud, buktinya ada Alam dan alam tidak mungkin wujud jika tidak ada yg menciptakan, dan yg menciptakan itu tentu Sang Maha Kuasa, dn itu Allah. Dan ada dalil Alhamdu lillahi Robbil’alamin.
2. Tafshili (تفصيلي) : dalil secara terperinci. Contoh : di samping mampu berdalil dg dalil ijmali seperti contoh di atas, dia juga mampu menjawab pertanyaan2 lanjutannya. Kenapa alam menunjukkan adanya Sang Pencipta? Bukankah Alam itu adalah sesuatu yg kebetulan adanya? Dll. Dia mampu menjawab dg kaidah yg pernah kami sebutkan kemarin, yaitu mengenahi Wajib Al ;aqli, Mukhal Al ‘aqli, dn Jaiz Al ‘aqli.
Bagi seorang ‘Awam cukup lah dapat menggugurkan kuwajibannya sebagai seorang mukallaf hanya dg berdalil Ijmali saja. Berbeda dg Para Asatidl, Kiyai, dan ‘Ulama. Mereka wajib mengetahui dalil2 tafshili. Kenapa berbeda? Ya, tanggung jawab yg besar terhadap Ummat, mengharuskan mereka mampu menjawab segala tantangan dan rongrongan Aqidah dari para Kuffar dan AhlulBid’ah.
سبحان الذي أسرى بعبده ليا من المسج الحرام إلى المسجد الأقصى ,,,,,,,,,,,,,,,, ألآيه
Maha Suci Dzat yg telah menjalankan Hambanya dari masjidil Harom ke Msjidl Aqsho..........................
Perdebatan tentang Isro’ Mi,roj sudah di mulai sejak ketika pada siang harinya Rosulullah SAW menyampaikannya. Hal itu di sebabkan karena kisah itu sangat sulit di terima oleh Akal dan Nalar Manusia.
Sebagai seorang Muslim, mengimani Isro, adalah hal yg wajib karena kejelasan Alquran dalam penyebutannya. Namun demikian, perbedaan penalaran dalam hal Kayfiyyah Isro, itu masih belum menemukan titik temu. Bermacam pendekatan dalam penalarannya membuahkan berbagai perdebatan yg berkepanjangan. Timbullah pertanyaan2 Apakah Rosulullah SAW melakukan Isro, dg Sukma dan Raga sekaligus? Atau hanya menggunakan Sukma saja? Ataukah hanya sebuah mimpi?. Sampailah pada sebuah persepsi yg terahir kalinya dg mengatakan bhw ketika Isro, Tubuh Rosulullah SAW di ubah menjadi cahaya. (lihat buku Terpesona di Sidrotul Muntaha oleh Agus Mushthofa). Padahal, tak satupun keterangan dari Rosulullah SAW yg menyatakan hal itu, baik itu tersurat maupun tersirat, Shohih maupun Dlo,if. Bahkan hadist munkar sekalipun.
Allah SWT tidak menegaskan secara detail bagaimana Isro’ itu terjadi. Hanya saja pada awwal ayat di atas tersirat bhw Allah mengIsro,kan Rosulullah adalah dg jiwa , Raga dn Ruhnya sekaligus. Yaitu yg terdapat dalam kalimat "bi ‘abdihi", yg mana kalimat tersebut menunjukkan utuhnya sabagaimana seorang Hamba di sebut.
والعبد عبارة عن مجموع الروح والجسد
Imam Fakhruddin Al Rozy juga menyatakan dalam kitabnya Al Tafsiru Al Kbir, bhwa penggunaan kalimat ‘Abdihi dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa Rosulullah SAW Isro’ dg Raga dan Sukmanya sekaligus. Selanjutnya Al Rozy menyatakan Kalimat ‘Abdihi adalah ungkapan lain dari Manusia yg tidak lain adalah Muhammad SAW.
Adanya dua kalimat yg sama2 menunjukkan arti Malam pada ayat tersebut (LAILAN dan ASRO) mengesankan keluarbiasaan perjalanan Isro’ itu sendiri. Asro artinya menjakankan di malam hari, sedangkan Lailan juga berarti malam hari. Dan Lailan dg bentuk nakiroh yg dalam konteks bahasa Arab menunjukkan arti sedikit/sebentar. Kemudian Asro dg bentuk Fi,il madli, yg mana ini mengesankan arti bahwa perjalanan itu adalah murni di jalankan Oleh Allah sendiri. Dalam maksud tanpa ada ikut campurnya sebuah proses sebagaimana kebiasaan atau Sunnatullah yg berlaku. Wal hasil, Isro’ adalah perjalanan luar biasa Rosulullah SAW yg tidak bisa di nalar oleh otak siapapun maupun teknologi apapun, dg kata lain semua itu dalah MU’JIZAT.
Yg lebih istemewa dari itu adalah awwal Ayat yg sekaligus menjadi awwal Surat, yg di awwali dg kalimat ‘SUBHANA’. Kalimat ini terkenal dalam dialog Arab di gunakan atau menunjukkan hal2 yg luar biasa. Dan kalimat tersebut mempunyai dasar arti yg di tafsirkan para ulama tafsir
يمجد تعالى نفسه، ويعظم شأنه، لقدرته على ما لا يقدر عليه أحد سواه
Allah menyanjung DiriNya (bukan jasad) sendiri serta mengagungkan urusanNya terhadap keMaha KuasaNya atas apa yg tidak bisa di lakukan melainkan Dia Sendiri. Pendekatan sebuah peristiwa luar biasa dg sains teknologi memang terkadang membuat keasyikan tersendiri, tapi jiika ada kesan premise yg di paksakan dg meninggalkan Dalil2 dn Nash, tentu itu sangatlah membahayakan dasar ‘Aqidah bahwa Kekuasaan Allah tidak terbatas oleh dinding teori sains dan teknologi manapun. Allah melakukan apa saja yg di kehendakiNya, tidak ada teori ataupun kekuatan yg menghalangi.
Sengaja tulisan ini kami susun agar dasar Ilmu tauhid kita pada ahirny bemuara pada YUKMINUUNA BIL GHOIBI. Dan untuk selanjutnya semoga tidak ada lagi salah persepsi mengenahi ke absahan Teologi yg akan kita pelajari bersama. Yaitu kita memilih konsep yg lebih SALAF dr yg di katakan SALAF. Tanpa harus merebutkan dan menyebutkan kesalafan kita, kita sudah bermanhaj SALAF, dan itu tidak diragukan lagi dg alasan yg ilmiyyah!!! Dan otomatis Ahlussunnah wa al jama'ah pun tersemat di dada kita.
Ahاlussunnah adalah golongan yg mengimani bahwa Ma’rifat kepada Allah hanya bisa di capai dg mengethui Shifat2Nya sebagai tahap awwal perjalanan seseorang dalam menemukan Tuhannya. Dan itu hanya bisa di lalui dg selamat jika dia di bimbing oleh wahyu.
Dalam hal ini kami tidak perlu mengulang2 lagi penjelasan tentang kedudukan Akal dan Wahyu dalam berma’rifatillah dan pencapaian dg keduanya. Silahkan Anda menela’ah kembali tulisan2 yg lalu, agar tidak terjadi salah duga dalam penjelasan berikutnya.
Walaupun kemungkinan otak kita bisa membayangkan apa itu Shifat, yg mana dalam setiap aktifitas kita terjadi berbagai interksi dg kenyataan2 yg mengakibatkan munculnya aksi. Namun untuk menghindari kesalahan presepsi pada wilayah yg sensitif seperti dalam Aqidah ini, kita harus benar2 berhati2 dalam memahaminya.
Kita sering mendengar ungkapan " Kami hanya menshifati Allah dg apa yg Allah menshifati Dzatnya sendiri" tanpa merubah, mentakwil, mentahrif dan bertanya apa dan bagaimana. Seakan kalimat ini begitu indah, sebagai pernyataan seorang hamba yg lugu, penurut, konsisten dg wahyu dan mempertahankan Sunnah. Tetapi apa yg terjadi dalam karya tulis selanjutnya adalah kekacauan deskripsi akibat kerancuan dari segi definisi. Akan kita lihat yg sebenarnya Dzat atau perbuatan (af’al) di masukkan juga dalam shifat, tanpa ada kejelasan klasifikasi dr Shifat shifat itu sendiri. Seperti wajah, tangan, duduk, turun, mata dll. Yg lebih parah lagi, setiap kalimat kata kerja yg di sambung dg Allah, dg serta merta di dudukkan juga dalam shifat. Seperti ketika menyikapai sebuah Hadits Nuzul (ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر) Allah turun ke langit dunia ketika masih dalam sepertiga malam terahir. Maka dg serta merta di shifatkannyalah shifat Nuzul pada Allah. Seperti halnya ketika memakmanai ayat (بل يداه مبسوطتان) Sebaliknya, kedua Tangan Allah terbuka lebar. Dg serta merta pula Allah di shifati dg yg mempunyai dua tangan. Na,udlu billah min hadlihi.................. Jika kalimat YANZILU itu di artikan sebagaimana dlohirnya, maka itu berarti TURUN. dan turun itu bukan Shifat, tapi perbuatan. Dan turun itu tidak lepas dari gerak dan diam!!!, nah gerak dan diam itu shifatnya Mahluq, Allah Maha suci dari segala yg menyerupai MahluqNya. Antara Dzat dan perbuatan itu sama sekali berbeda kawan!!!. Jika kalimat YAD itu di artiakan sebagaimana dlohirnya, maka itu berarti TANGAN. Dan tangan itu bagian dari Dzat, padahal Dlat Allah itu tunggal, tidak tersusun dari beberapa bagian. Karena tersusun itu adalah shifatnya mahluq, dan Allah berbeda dg mahluqNya.
Shifat adalah sebuah ungkapan yg menyatakan keadaan, kondisi, bentuk, karakter yg wujud dn berdiri sendiri dari maushufnya. Artinya, shifat itu mengartikan ciri tertentu pada zat yg memunculkan istilah baru dari atsar yg di pengaruhi olehnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, shifat kuat pada seekor kuda, dg shifat itu memunculkan reaksi kecepatan dia dalam berlari. Berlarinya itu muncul akibat dari shifat kuat yg melekat pada zat kuda tersebut. Tetapi bukan berarti si kuda itu berlari dg shifatnya, melainkan larinya adalah dg zatnya, Dan kecepatan berlarinya itu menunjukkan shifat kuatnya. Jadi, kuat itu shifat kuda, berlari itu af’al (perbuatan)nya. Kemudian dari shifat dan perbuatannya itulah Sang kuda berhak mendapatkan nama/julukan/ asma {PELARI}. Walhasil, zat, shifat, af’al dan Asmak itu lain!!!! Hehehehehe gimana??? Mbulet kan??? Gak kok, baca aja pelan2, pahami juga dg pelan2. Lalu apa hubungannya ini semua dg pelajaran Aqidah??? Sebaiknya pertanyaan ini sesudah kita paham kaidah di atas, kenapa? Karena dari kesalahan pemahaman kaidah di atas mengakibatkan kontra dialog dari dua belah pihak yg berujung pada saling menyalahkan, menyesatkan, mengkafirkan dn pokoknya repot deh................ dan contoh di atas hanyalah untuk mendekatkan kefahaman tentang shifat saja. Dan bukan berarti bahwa Shifat Allah itu bisa di serupakan dg Hawadist.
Untuk itu, jangan teruskan dulu pada bacaan selanjutnya, sebelum faham yg di atas. Sebaiknya berhenti dulu, ambil air wudlu, menangislah, beristighfarlah, akuilah bhw dosa2 yg berkarat dalam hati telah menempel begitu kuat pada dinding2nya, sehingga sulit kiranya cahaya kefahaman menembus pada sanubari.
Kemudian shifat itu terklasifikasikan menjadi 4 kriteria :
1. Nafsiyyah : yaitu shifat yg menunjukkan sebenarnya Dzat dan tidak melebihi atau keluar dari hakikatnya Dzat itu sendiri. Artinya selama Dzat itu masih dalam keberadaannya, maka sudah pasti bershifat wujud. Dan jika Dzat itu telah berubah dari ada menjadi tiada, maka maka dzat itupun sudah tidak lagi memiliki shifat wujud.
Maka shifat Allah yg pertama, yg wajib kita ketahui adalah :
1. wujud :
Wujud Allah tidak seperti wujudnya mahluq, Dia ada sebelum adanya mahluq. Adanya tidak di pengaruhi atau akibat reaksi apapun, baik itu zaman dan tempat atau yg lain. Tetapi juga tidak bisa di fahami bahwa Allah mewujudkan diriNya sendiri. Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
1. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan, mengkristenkan, atau yang memajusikannya.” (HR. Al Bukhari)
2. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri.
Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah.
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah n yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur 35-37)
“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al Bukhari)
Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!
3. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.
4. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
a. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah.
b. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.
Bersambung................................ إن شاءالله