Jangan sekali-kali kita menyamakan diri kita dengan Rasul. Karena tidak seujung kuku pun kita menyamai dengan Rasulullah
Rosulullah saw adalah sosok yang sempurna. Beliau diutus dalam rangka memerbaiki akidah umat ketika itu. Dan, memang hakekatnya Rasulullah itu sama dengan manusia. Tetapi, kelebihan yang dimiliki Rasul itu tidak dimiliki manusia biasa.
Pertama, meski beliau adalah manusia biasa tetapi cahaya beliau diciptakan dari cahaya Allah SWT. Kemudian Rasul adalah makhluk Allah yang maksum, terlepas dari segala dosa dan dijaga dari segala perbuatan nista dan dosa. Lalu, meskipun beliau adalah seorang yang tidak pandai membaca dan menulis, tetapi beliau mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT melalui malaikat Jibril. Jadi jelas, tidak bisa manusia menyamakan dirinya dengan Rasul.
Jika Rasul menjadi pemimpin umat, karena memang setiap permasalahan yang dihadapi Rasul, petunjuknya langsung dari Allah SWT. Berbeda dengan manusia yang memiliki kealpaan, dan kebodohan, sehingga harus memelajari apa yang ia belum mengerti. Sementara Rasul belajarnya langsung dari malaikat Jibril. Dan, tidak ada manusia yang belajar melalui malaikat kecuali Nabi SAW.
Jika ada tokoh umat, pemimpin umat, pemimpin partai, pemimpin organisasi menyatakan seorang pemimpin itu tidak harus sarjana dan lain sebagainya, lalu dia menyamakan dengan Rasulullah ini sudah suatu kesalahan yang besar. Kenapa? Rasul memang manusia tapi bukan manusia biasa. Hal ini sebagaimana para ulama mengambarkan tentang Rasulullah. Bahkan Rasul sendiri memiliki suatu sifat yang sempurna dari mulai siddiq, tabligh, amanah, dan fatonah, yang mutlak dimiliki oleh Nabi dan tidak semua manusia memiliki sifat yang empat.
Rasul itu seorang yang siddiq, artinya terpercaya, kemudian amanah, orang yang diberikan amanah tidak sedikit pun ada khianat. Lalu, tabligh artinya menyampaikan kebenaran. Jadi kebenaran yang disampaikan oleh Nabi bukan dari dirinya tetapi apa yang disampaikan oleh Allah SWT, bahwa yang benar itu benar dan salah itu salah.
Rasulullah itu fatonah yang artinya pandai. Ketika Rasul dikatakan tidak pandai menulis dan membaca, ketika belum diberi pelajaran oleh malaikat Jibril. Tetapi, ketika sekali Rasul diberikan satu pelajaran langsung menyerap segala ilmu yang diberikan oleh malaikat Jibril. Jadi, janganlah sekali-kali kita menyamakan diri kita dengan Rasul. Karena tidak seujung kuku pun kita menyamai Rasulullah SAW.
Ketika seorang manusia, menyamakan dirinya seperti Nabi, dikhawatirkan keimanannya sudah mulai bergeser. Orang semacam itu, pada akhirnya justru akan menyesatkan orang lain. Ini yang kita khawatirkan. Siapa pun dia, walau seorang tokoh agama sekali pun ketika menyatakan semacam itu boleh jadi akan menyesatkan orang lain.
Ana berharap kepada tokoh-tokoh agama, jangan sekali-kali menyamakan diri dengan Nabi, karena Nabi adalah seorang yang mulia, tidak pernah dendam dalam hidupnya, tidak pernah memaki orang lain. Sangat jelas, jika ada tokoh yang sudah menjatuhkan tokoh yang lain, tokoh semacam itu sudah tidak bisa dipercayai di masa depan. Karena seorang pemimpin yang baik, ketika datang ujian lantas berupaya memperbaiki apa yang dilakukan.
Sikap yang harus ditanamkan umat Islam ketika ada tokoh yang menyamakan dirinya seperti Nabi saw., tentunya harus bersikap dingin. Jika dilawan dengan sesuatu yang tidak baik, maka dikhawatirkan umat malah menjadi resah. Bagi mereka yang terlanjur menyatakan itu, harus segera bertobat kepada Allah SWT. Namun demikian, kita harus menyampaikan, bahwa yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil.
Akhlak adalah karakter. Akhlak wajib diatur sesuai pemahaman-pemahaman syara’. Karena itu akhlak yang dinyatakan baik oleh syara’, disebut akhlak yang baik, dan yang dinyatakan buruk oleh syara’, disebut akhlak yang buruk. Hal ini karena akhlak merupakan bagian syariat, juga bagian dari perintah dan larangan Allah.
Syara’ telah memerintahkan kita untuk berakhlak baik dan melarang berakhlak buruk. Setiap muslim, khususnya pengemban dakwah, wajib berusaha sungguh-sungguh untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik, sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan akhlak.
Hal yang perlu dikemukakan dan perlu digarisbawahi disini adalah bahwa akhlak wajib dibangun berdasarkan akidah islam. Seorang mukmin harus mensifati dirinya dengan akhlak yang baik hanya atas pertimbangan bahwa akhlak tersebut merupakan bagian dari perintah Allah dan larangan Allah. Dengan demikian ia akan berbuat jujur karena Allah memerintahkan untuk jujur. Ia menghiasi dirinya dengan sifat amanah, karena Allah memerintahkan untuk amanah.
Semua itu bukan dilakukan untuk mewujudkan kemanfaatan materi, seperti agar orang-orang banyak menerima dagangannya atau agar ia dipilih menjadi pemimpin. Perkara ini yang bisa membedakan kejujuran seorang mukmin dengan kejujuran seorang kafir. Karena kejujuran seorang mukmin semata-mata karena perintah Allah, sedangkan kejujuran orang kafir bertujuan untuk memperoleh kemanfaatan materi dibalik kejujuran itu. Sungguh berbeda jauh antara kedua jenis kejujuran tersebut.
Nash-nash yang menganjurkan untuk berakhlak baik antara lain:
“Sesungguhnya orang yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya”. (Mutafaq ‘alaih).
“Kebaikan adalah akhlaq yang baik. Dosa adalah yang meragukan dalam dirimu dan engkau tidak suka jika manusia melihatnya. (HR. Muslim).
Kamis, 21 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar