Menikah? Hmmm, siapa sih yang nggak mau? Asal sudah cukup umur, cukup
dewasa, cukup penghasilan, ada calon dan ada ijin orang tua sih tidak
masalah. Tapi jika kuliah saja belum kelar, penghasilan belum jelas,
lantas nanti anak orang mau dikasih makan apa?", begitu banyak
pertanyaan yang harus dijawab.
Manusia, sesuai dengan fitrahnya, telah diciptakan berpasang-pasangan
oleh Allah SWT. Dan adalah suatu fitrah pula timbul kecenderungan
antar pasangan tersebut.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir"(QS. Ar-Ruum:21)
Karenanya Allah telah mengatur urusan itu dan memberikan solusi berupa
pernikahan. Akan tetapi, ketika pernikahan itu harus terjadi lebih
awal alias ketika kuliah belum selesai, beragam komentar lantas
bermunculan.
"Udah nikah? Nggak tahan ya? Baru umur segitu!"
"Anak kemaren sore aja mau sok-sok menikah. Memang dia bisa apa?"
"Ngurus diri sendiri saja belum beres!"
"Jangan kecewakan kepercayaan orang tua! Mereka kasih uang supaya kita
kuliah, bukan nikah…"
Bertubi-tubi komentar berdatangan, namun toh ada juga yang berani
menikah ketika kuliah dan berjuang untuk itu. Ada juga yang baru
sebatas menyetujui . terbukti dari 176 mahasiswa FKUI program S1
reguler yang ditanya, lebih dari 60% menyatakan setuju. Walaupun ada
28% yang menentang dan sisanya abstain. Mereka yang setuju umumnya
beralasan bahwa dengan menikah ketika kuliah seseorang dapat menjaga
diri dari perbuatan dosa. Sementara sisanya mengatakan bahwa menikah
membuat hati lebih tenang.
Peristiwa Hormonal
Keinginan untuk menikah dan membina rumah tangga tentunya menyangkut
aspek pemikiran yang jauh lebih luas dari sekedar keinginan pemuasan
dorongan biologis. Dorongan biologis yang muncul sebagai rasa tertarik
kepada lawan jenis ini sangat berkaitan erat dengan gejolak hormonal
yang muncul dalam diri seseorang. Seperti dikutip dari buku "Indahnya
Pernikahan Dini" karangan Ust. Fauzil Adhim, dalam masa ini,
kebanyakan pemuda sedang berada di bangku kuliah. Sementara mayoritas
masyarakat menilai mereka belum cukup umur untuk menikah.
Maka, tidak sedikit yang menggunakan istilah menikah dini bagi mereka
yang menikah pada masa-masa kuliah. Masih menurut Ustadz yang
berperawakan gempal ini, masyarakat tidak jarang melakukan over
generalisasi. Komentar yang sering muncul ialah "Ya enggak. Tapi kan
menikah di masa kuliah nggak lazim. Jadinya pasti masyarakat akan
menilai negatif."
Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang memberikan pujian bagi
mereka yang menikah lebih awal dan ternyata sanggup menjalaninya
dengan baik. Penilaian yang diberikan cenderung lebih menanggapi
tentang kedewasaan yang terbentuk selama mereka mengarungi bahtera
pernikahan.Menyegerakan Menikah vs Tergesa-gesa Menikah
"Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan
orang-orang yang layak (menikah) dari antara hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki dan yang perempuan." (QS. An-Nuur:32)
Ayat di atas menegaskan tentang pentingnya menikah hingga menjadi
perintah untuk menikahkan orang yang masih sendirian. Namun ayat
tersebut juga tidak memerintahkan seseorang untuk menikah `buta’,
sebab terdapat penekanan kata `layak’ yang harus menjadi pertimbangan.
Menikah bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, tetapi juga tidak boleh
dipandang sebelah mata. Menikah adalah fitrah bagi manusia dan sejalan
dengan anjuran Allah serta RosulNya. Pernyataan Rasulullah SAW dalam
hadist berikut dapat menjadi bahan renungan yang bisa membantu
memantapkan hati: "Kawinkanlah orang-orang yang masih sendirian di
antara kamu, sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka,
meluaskan rezeki mereka, dan menambah keluhuran mereka."
Allah akan menjamin siapapun yang mau menikah. Tetapi tetap saja harus
ada persiapan yang dilakukan. Karena menikah bukanlah pekerjaan yang
akan selesai dalam waktu dekat. Bahkan bisa jadi memakan waktu
sepanjang sisa umur pasangan tersebut di dunia ini. Sehingga
perencanaan yang matang mutlak diperlukan. "Orang yang mempunyai niat
yang tulus adalah dia yang hatinya tenang, terbebas dari pemikiran
mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niatmu
murni untuk Allah dalam segala perkara.." Begitu ucap Ja’far ash
Shiddiq, guru dari Imam Abu Hanifah. Menurutnya seseorang yang
menyegerakan menikah karena niat yang jernih Insya Allah hatinya akan
diliputi oleh perasaan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi
masalah-masalah yang harus diselesaikan. Berbeda dengan menikah
tergesa-gesa yang selalu ditandai oleh perasaan tidak aman dan hati
yang diliputi kecemasan yang memburu.
Ada sebuah perumpamaan tentang pernikahan dalam buku "Kado Pernikahan
Untuk Istriku": "Menikah itu seperti orang yang sedang mengendarai
motor dan menjumpai tikungan yang tajam, apakah dia akan segera
membelokkan kemudi tanpa mengurangi kecepatan karena ingin cepat
sampai atau dia mengurangi kecepatan sedikit, membelok, dan kembali
meningkatkan kecepatan perlahan-lahan?
Jalan hidup ini begitu panjang. Menikah merupakan salah satu rute yang
harus dilalui oleh manusia, sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk
hidup yang diciptakan berpasang-pasangan. Menikah ibarat menapaki
titian pelangi. Ada bagian yang mendaki dan memerlukan curahan energi
ekstra dan adapula bagian yang menurun yang menawarkan kesenangan,
kedamaian serta ujung kisah yang penuh pesona.
Ketenangan Emosi dan Separuh Agama
Sebuah penelitian antara tahun 1950-1970an menemukan bahwa orang yang
menikah cenderung lebih bahagia daripada mereka yang tidak menikah,
hidup sendiri atau bercerai. Mendukung pendahulunya, Campbell dkk
menulis dalam Human Development bahwa orang yang menikah cenderung
meraih kepuasan hidup. Yang menarik dari temuan mereka bahwa yang
paling bahagia diantara pasangan nikah bahagia adalah pasangan nikah
usia 20an. Sementara pada tahun 1989, Thomsen & Walker mendapati bahwa
dengan menikah para wanita menemukan tempat mengekspresikan perasaan
dan mengungkapkan luapan-luapan emosinya.
Enam tahun kemudian, Sprinthall & Collins mencatat bahwa pd pernikahan
dini kehidupan seksual akan lebih teratur & memperoleh legitimasi yang
kuat. Ini berpengaruh pada kemampuan mereka menikmati kehidupan seks.
Keteraturan & legitimasi terhadap kehidupan seksual mereka menjadikan
dorongan seks lebih stabil. Pada gilirannya, kestabilan ini dapat
menurunkan erotisisme shg mereka lebih mampu menundukkan pandangan.
Selain itu dengan turunnya erotisisme maka seseorang akan mencapai
ketenangan emosi. Manakala emosi mencapai kondisi yang seimbang, maka
kemampuan fisik & intelektual akan meningkat. Hu dan Goldman (1990)
memandangnya dari sudut kesehatan. Mereka menemukan fakta bahwa
orang-orang yang menikah cenderung lebih panjang usianya.
Mereka yang menikah akan mendapatkan jaminan kesempurnaan 50% agama.
"Apabila seseorang hamba telah berkeluarga, berarti dia telah
menyempurnakan separo dari agamanya, maka takutlah kepada Allah
terhadap separo yang lainya."(HR Ath-Thabrani).
Menikah dapat pula dijadikan bagian dari investasi meraih ridho Allah
dengan surga sebagai janjinya. Jika mereka mendapat anak sholeh, maka
ia telah membuka salah satu pintu pahala yang tidak berakhir sampai
hari perhitungan.
Kendala Yang Mungkin Dihadapi
Umumnya masyarakat masih menilai kedewasaan atau kesiapan seseorang
untuk menikah dari segi umur semata. Fenomena ini dapat menjadi batu
penghambat yang cukup berarti. Dalam bukunya: "Saatnya Untuk Menikah",
M. Fauzil Adhim menerangkan tentang kriteria kemampuan ekonomi
seseorang yang sering disalahartikan sebagai kemapanan dan
kepastiannya dalam menyediakan nafkah. Hal ini terbukti dari hasil
korespondensi menyatakan bahwa tak kurang dari sepertiga responden
memberi alasan tentang kondisi ekonomi sebagai kendala utama dalam
memutuskan menikah ketika kuliah. Definisi ini sedemikian pesatnya
berkembang sehingga banyak sekali keluarga akan berpikir dua-tiga kali
sebelum merelakan anak gadisnya dipinang. Hal ini juga mengakibatkan
gaya hidup materialistis, sehingga tak sedikit meninggikan kriteria
calon bagi dirinya.
Keluarga sebagai bagian dari komunitas yang paling sering berinteraksi
dengan seseorang, memegang andil yang besar dalam penentuan pilihan.
Seringkali keinginan yang menggebu-gebu untuk menikah ketika kuliah
mendapat tentangan dari orangtua alias tidak mendapat restu. Padahal
tanpa restu dari kedua orang tua, pernikahan bukanlah sesuatu yang
indah dan diberkahi oleh Allah SWT. Tidak sedikit orang tua yang sulit
menerima kenyataan bahwa anak mereka sudah tumbuh menjadi dewasa muda
dan sudah waktunya membina mahligai rumah tangga.
Selain itu keraguan akan diri sendiri, perasaan belum siap dan takut
terikat kepada komitmen juga memegang peranan yang tak kalah
pentingnya dalam menahan laju keinginan untuk menikah.
MENIKAHLAH
Nikah merupakan suatu kebutuhan bagi siapapun yang ingin hidup secara normal. Alloh telah menjadikan pernikahan sebagai salah satu sumber ketenangan dan ketentraman bagi manusia, sebagaimana firmanNya :
“ Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir .” ( Ar Rum : 21 )
Lebih dari itu, Allohpun telah menjanjikan kecukupan bagi orang yang menikah :
“ Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Alloh Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui. “ ( An Nur : 32 )
Pernikahan dapat memenuhi tuntutan perasaan dan naluri manusia. Dengan menikah akan memelihara kemaluan, menahan pandangan, serta menjaga agama dan akhlaq.
Sabda Rosululloh S.A.W :
“Apabila seorang hamba menikah, ia telah melengkapi separuh agama. Maka hendaknya ia bertaqwa kepada Alloh pada separuhnya lagi. “ ( HR. Baihaqi dan Hakim )
“ Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian yang memiliki kemampuan, hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Barang siapa tidak mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu menjadi pengekang nafsu syahwatnya. “ ( HR. Bukhori )
Dengan pernikahan hubungan sosial akan semakin erat, akan memperbanyak keturunan, serta dapat saling membantu dalam berbagai urusan .
Namun tak sedikit orang yang menjalani pernikahan malah tidak mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan rumah tangganya. Hal ini umumnya disebabkan kurangnya persiapan secara fisik dan mental dan kurangnya keilmuan tentang bagaimana seharusnya membina rumah tangga secara islami.
Oleh karenanya kesiapan fisik,mental dan ilmu yang sebanyak−banyaknya tentang pernikahan mutlak diperlukan dan semua ini harus diniatkan karena Alloh agar dalam pernikahannya nanti mendapat bantuan dan berkah dari Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh S.A.W :
“ Barang siapa yang menikah karena yakin kepada Alloh dan mengharapkan pahala, niscaya Allah akan membantunya dan memberikan berkah kepadanya. “ ( HR. Ath−Thabrani)
“ Ada tiga yang senantiasa akan ditolong Alloh : Mukatab yang ingin melunasi (harta tuannya ), Orang yang menikah karena menginginkan kesucian dan Orang yang berperang dijalan Alloh. “ (HR. Ahmad, Tirmidzi dan An−Nasa’i)
Bagi anda yang sudah mampu untuk menikah , tunggu apalagi, menikahlah !
Namun bagi anda yang yang belum mampu bersabarlah, mohonlah pertolongan Alloh, berbaik sangkalah dengan apapun yang Alloh tetapkan untuk kita.
Rosululloh S.A.W bersabda :
“ Ada tiga hal hai Ali, jangan kau tunda−tunda : shalat apabila telah tiba, jenazah apabila telah hadir dan wanita yang belum menikah apabila telah mendapatkan orang yang sekufu (sepadan). “ (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Hakim )
MEWUJUDKAN PERNIKAHAN ISLAMI
Ada artikel bagus dari Redaksi Asy-Syariah. Membaca ini sungguh terwujud niat untuk mengadakan walimah sesuai tuntunan agama. Ini dia kutipannya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memaknakan dalam haditsnya, menikah adalah menyempurnakan setengah dari agamanya. Ungkapan ini menegaskan betapa pernikahan menduduki posisi yang mulia dalam Islam. Ia bukan sekadar lembaga untuk menghalalkan “aktivitas ranjang”. Namun lebih dari itu. Menikah merupakan babak baru dari seorang individu muslim menjadi sebentuk keluarga di mana ia akan menegakkan syariat agama ini bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga terhadap pasangan hidupnya, anak-anaknya, dst.
Nilai kemuliaan atau kesakralan pernikahan dalam Islam juga tecermin dari “prosesi” pendahuluan yang juga beradab. Islam hanya mengenal proses ta’aruf. Bukan praktik iseng atau coba-coba layaknya pacaran. Namun dilambari niatan yang tulus untuk berumah tangga sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala diringi dengan kesiapan untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan dari pasangan hidupnya. Bukan niatan-niatan duniawi seperti mengejar materi, menutup aib, mengubur rasa malu, atau sekadar pelarian dari “patah hati”.
Islam juga mengatur proses walimah atau resepsi pernikahan yang menonjolkan nuansa kesederhanaan dengan diliputi tuntunan syariat. Bukan mengukuhi adat, tidak pula kental dengan tradisi Barat. Walimah dalam Islam, bukanlah hajatan yang sarat gengsi sehingga menuntut sahibul hajat untuk menyelenggarakan di luar kemampuannya.
Walimah nikah juga tidaklah dimaknai sebagai acara jual beli yang memperhitungkan untung rugi atau minimalnya “balik modal”, sebagaimana hal ini tecermin dalam budaya amplop. Sehingga yang diundang tidak dibedakan antara yang “beramplop tebal”, “tipis”, atau bahkan yang “tidak beramplop sama sekali”. Alhasil, tidak berlaku kaidah “yang penting bukan orangnya yang datang (untuk mendoakan), namun amplopnya.” Bahkan sebagaimana disitir dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut makanan dari walimatul ‘urs yang hanya mengundang orang-orang kaya sebagai sejelek-jelek makanan.
Lebih-lebih jika itu semua dibumbui acara-acara yang tidak memiliki makna secara Islam seperti (dalam adat Jawa) siraman, ngerik, midodareni, jual dawet, panggih, balang suruh, nginjak telur, dan sebagainya. Atau yang sok kebarat-baratan (baca: latah) dengan standing party (pesta berdiri), tukar cincin, lempar bunga, berciuman di depan tamu undangan, dansa, atau yang sekadar menyuguhkan “hiburan” berupa musik (organ tunggal).
Namun demikian, soal kemungkaran dalam proses menikah ini tidak hanya terjadi dalam dunia awam. Di kalangan aktivis atau pergerakan Islam juga tak sepi dari kemungkaran. Dalam niat, tak sedikit dari mereka yang meniatkan menikah karena ingin lari dari ”masa lalu”, semata menghindari orangtua yang dianggap jauh dari nilai-nilai Islam, dan sebagainya. Dalam tataran praktik ada yang mengawali proses nikah dengan pacaran ”Islami”, saling tukar foto, biro jodoh ”Islami”, hingga menikah tanpa wali.
Sebaliknya, ada pula kelompok sempalan Islam yang justru mengajarkan untuk hidup membujang atau selibat sebagaimana ini telah dilakoni para pastor, frater, bruder, suster, biksu/biksuni, biarawan/biarawati, rahib, dan sejenisnya. Itulah salah satu inti ajaran Sufi. Membiaklah dari gaya hidup menyimpang ala “rohaniwan-rohaniwan” ini, beragam kelainan seperti homoseks, pedofilia, incest (hubungan seks sedarah), dan lainnya.
Tak kalah “kacau balau”, adalah apa yang menjadi amalan ibadahnya orang-orang Syiah Rafidhah, yakni nikah mut’ah. Model pernikahan yang umum disebut dengan kawin kontrak ini praktiknya justru menjadi pintu perzinaan yang dikemas legal. Tak heran, jika ada orang-orang yang diulamakan atau ditokohkan tertangkap basah melakukan perzinaan, alasan nikah mut’ah kerap mengemuka.
Begitulah ketika fitrah agama ini dilanggar. Perzinaan semakin subur, perilaku seksual menyimpang kian meluas, dan kerusakan masyarakat pun menjadi bom waktu. Maka sudah masanya bagi kita untuk menghidupkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mewujudkan pernikahan Islami di tengah masyarakat kita!
9 GADIS YANG TIDAK BOLEH DI NIKAHI LAKI-LAKI
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh jurusan psikologi (ilmu jiwa) pada Fakultas Adab (sastra) di Universitas Zaqaqiq, Mesir dengan judul: "Kepribadian Remaja Putri, Tata Cara kesiapan Jiwa dalam Menghadapi Pernikahan, dan Masa Perubahan Jiwa Pasca Nikah Secara Khusus" menyimpulkan ada 9 tipe gadis yang tidak diminati oleh para pemuda:
Pertama: Gadis Pencemburu
Pencemburu adalah sifat pertama kali yang dihindari oleh para pemuda dari calon istri-istri mereka. Cemburu disini bermakna keraguan. Para pemuda itu menuntut adanya sebagian sifat cemburu yang memperkuat ikatan cinta, akan tetapi mereka menolak ketidak percayaan (keraguan) yang menimbulkan petaka dalam kehidupan rumah tangga. Mereka menginginkan kepercayaan dari para istri mereka, dan tidak suka jika mereka menceritakan atau mengungkap setiap langkah yang dilaluinya.
Kedua: Gadis Egois, sok menjadi ratu
Adapun gadis yang kedua adalah gadis yang egois, ingin berkuasa, menginginkan dari suaminya segenap kecintaan, ketundukan, dan kepasrahan hanya kepadanya saja. Dia akan marah jika melihat suaminya lebih mementingkan orang lain atau mencintai selain dirinya. Seperti cemburu kepada kerabat suami, atau teman-temannya. Perbuatan ini kadang menimbulkan banyak permasalahan. Dengan sikap seperti itu, dia telah mempersempit kepribadian suami, dan menyebabkan timbulnya permasalahan dengan kerabatnya. Dengan sikap seperti itu, dia telah menjadikan suami benci dengan kehidupan rumah tangganya. Sikap yang demikian tidak termasuk cinta, tetapi ambisi kepemilikan dan penguasaan. Maka wajib bagi gadis ini untuk menyadari bahwa mereka adalah kerabat suami, yang tidak mungkin ia bebas lepas dari mereka, begitu pula sebaliknya mereka tidak mungkin bebas lepas darinya.
Ketiga: Gadis Durhaka
Yaitu istri yang tidak ridha dengan kehidupannya. Dia senantiasa membangkang pada suami dan menggerutu tentang segala sesuatu. Dia tidak bersikap qonaah (menerima apa adanya), senantiasa menginginkan tambahan dan lebih. Dengan sikap seperti ini, dia telah menekan suami hingga mau memenuhi keinginannya. Dia tidak peduli darimana sang suami bisa memenuhi berbagai tuntutan itu, dan bagaimana ia bisa mendapatkan harta tersebut. Dia adalah jenis istri perusak. Dia hanya mencari untuk diri dan kebahagiannya sendiri, terutama harta, bukan cinta. Dia tidak menjaga suami atau rumahnya. Biasanya keadaan yang seperti ini berakhir dengan perceraian.Keempat: Gadis yang cuek dan masa bodoh
Gadis ini tidak layak disebut sebagai seorang istri. Dia sama sekali tidak menaruh perhatian pada suami, tidak juga pada rumahnya. Tidak berusaha memenuhi kebutuhan suami atau permintaannya. Di sini sang suami merasa bahwa si istri tidak mencintainya, atau tidak menganggapnya. Kadang yang demikian membuat sang suami bersikap kasar kepada istri sebagai usaha untuk meluruskannya. Akan tetapi jika sang istri memiliki sifat seperti ini, maka akan sulit merubahnya. Hal ini menjadikan sang suami tidak menaruh perhatian terhadap istri, tidak mesra dengannya dalam segala hal, dan bisa menyebabkan perpisahan. Maka mulai sekarang seharusnya istri mulai memberikan perhatian terhadap suami.
Kelima: Gadis yang Kekanak-kanakkan
Yaitu gadis yang senantiasa tergantung pada ibunya, dan terus terikat dengannya, bersandar kepadanya dalam segala hal. Dia bertindak dengan malu, tidak mampu mengemban tanggung jawab. Kebanyakan ibunyalah yang memberikan keputusan dan berkuasa pada seluruh urusan rumah. Maka sang putripun bersandar kepadanya dalam segala hal seperti apa yang dia kerjakan saat masih kanak-kanak. Dengan sifat seperti itu, dia tidak layak menjadi seorang ibu bagi putra-putranya, dikarenakan putra-putranya akan menjadi pribadi-pribadi yang terputus, tidak utuh. Adapun sang suami, maka ia merasa seolah-olah telah menikahi ibu mertuanya, karena dialah yang mengatur segala keperluannya. Maka wajib bagi para gadis untuk belajar memikul tanggung jawab dan berbuat secara dewasa.
Keenam: Gadis yang meninggalkan Tugas Rumah Tangga
Kebanyakan gadis seperti ini adalah gadis yang bekerja (wanita karir). Akan tetapi, ada perbedaan antara istri yang bekerja dan istri yang pergi meninggalkan tanggung jawab rumah. Artinya ada banyak istri yang bekerja, tetapi mereka dapat melakukan segenap pekerjaan rumah tangga dan memberikan perhatian terhadap berbagai keperluan suami dan anak-anak mereka. Pekerjaan mereka tidak membuat mereka durhaka terhadap keluarga. Maka istri harus menyeimbangkan antara pekerjaan dengan suami dan anak-anaknya. Janganlah pekerjaan membuat keluarga terhalangi dari perhatian dan kasih sayangnya. Sehingga sang suami merasa kehilangan kemesraan, akhirnya timbullah permasalahan diantara mereka.
Ketujuh: Gadis yang Lemah
Yaitu seorang gadis yang terbiasa pasrah terhadap keadaan di sekitarnya, apakah terhadap keluarga atau teman-temannya. Dia sangat lemah untuk bisa mengambil keputusan dengan dirinya sendiri, tidak berusaha mengadakan musyawarah atau menampakkan pendapat apapun. Kepribadian yang lemah, penurut, dan tidak terbiasa memikul tanggung jawab. Kebanyakan penyebabnya adalah keluarga, yaitu dengan sikap keras sang ayah, dan diamnya ibu. Maka sang suamipun kehilangan teman yang bisa memberikan nasihat, atau masukan-masukan dalam berbagai urusannya.
Kedelapan: Gadis yang membuat was was
Yaitu gadis yang menggambarkan suaminya dengan gambaran yang terburuk. Sebagai contoh, jika suami terkena penyakit mulas, maka sang istri membesar-besarkannya serta meyakininya bahwa sang suami menderita usus buntu. Jika panas sang suami meningkat dia berkata bahwa dia telah terkena demam. Jika sang suami terlambat, dia berkeyakinan telah terjadi kecelakaan atau terkena sesuatu yang tidak disukai. Istri semacam ini akan mendorong suami untuk selalu was-was dan berkhayal macam-macam serta selalu khawatir.
Kesembilan: Gadis yang Sok Sempurna
Yaitu gadis yang berambisi untuk mengerjakan sesuatu dengan benar, dan terlalu berlebih-lebihan di dalamnya sehingga sang suami dan orang-orang yang tinggal di sekitarnya terkadang merasa jengkel. Sifat seperti itu membuatnya fanatik buta dalam kehidupan rumah tangga. Dia menginginkan kesempurnaan dalam segala hal. Jika pergi salah seorang teman maka harus membawa hadiah berharga dan mahal dibungkus dengan bungkus yang mewah dan seterusnya. Sifat seperti ini dimungkinkan akan membuat suami melakukan respon yang mungkin bisa menjadi seorang laki-laki yang keras dan menolak apa saja yang dilakukan istri, sekalipun perbuatan itu untuk kepentingannya, dan dia tidak lagi mementingkan keridhaan istrinya
Sekarang, carilah untuk dirimu sendiri wahai saudariku, sifat manakah dari kesembilan sifat tersebut yang kamu miliki? Kemudian bersihkanlah dari dirimu agar kehidupan rumah tanggamu selamat dan bahagia.
(Zuhair Qarami. Majalah Qiblati)
SABAR DALAM PENANTIAN
Merindukan pendamping hidup adalah fitrah setiap insan. Wanita, sebagai makhluk Alloh yang cenderung ingin diayomi atau dilindungi, tentu wajar berharap pula akan kehadiran seorang ikhwan dalam hidupnya. Dan saat menanti adalah ujian berat bagi seorang gadis. Sebagai bunga yang sedang mekar atau yang mungkin telah mekar sekian lama, seringkali ia terlena dengan tawaran manis si kumbang yang datang mempesonanya. Sayang, kebanyakan kumbang–kumbang itu sekedar ingin menggoda saja. Malah ada pula yang sekedar ingin menghisap madunya tanpa mau bertanggung jawab. Na’udzubillah! Begitulah fakta di masa kini. Realita fitnah syahwat yang terjadi di mana–mana hingga banyak wanita kehilangan kehormatannya. Karena itu, setiap gadis muslimah hendaknya pandai–pandai menjaga diri dan selalu berhati–hati, jangan sampai tertipu. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang gadis muslimah dalam penantian?
a. Memperbanyak amal ibadah
Seorang muslimah dalam masa penantian hendaknya semakin mendekatkan diri kepada Alloh. Pendekatan diri kepada Alloh dengan memperbanyak amal ibadah, khususnya ibadah sunnah. Karena ia bisa menjadi perisai diri dari berbagai godaan.
b. Do’a dan tawakal
Rezeki, maut, termasuk jodoh manusia sudah diatur oleh Alloh, dan Dia maha mengetahui yang terbaik bagi hambaNya, yang bisa kita lakukan adalah berikhtiar dan berdoa, kemudian bertawakal kepadaNya. Hanya kepada Alloh kita berserah diri dan mohon pertolongan. Berdoalah agar segera dikaruniai jodoh yang shalih, yang baik agamanya, dan bisa membawa kebahagiaan bagi kita di dunia dan akhirat. Yakinlah Alloh akan memberikan yang terbaik. Bukankah Dia akan mengikuti persangkaan hambaNya? Karena itu jangan pernah berburuk sangka terhadap Alloh.
c. Mempersiapkan diri, membekali diri dengan ilmu
Bekali diri dengan ilmu, khususnya ilmu agama, terutama yang berkaitan dengan kerumah tanggaan. Lalu, bekali diri dengan keterampilan berumah tangga. Seorang suami tentu saja akan senang bila istrinya terampil dan cekatan. Terakhir, persiapkan diri menjadi istri shalihah dan sebaik–baik perhiasan bagi suami. Jangan lupa untuk merawat diri agar selalu tampil cantik dan segar. Tapi ingat, kecantikan itu tidak untuk diumbar sembarangan, persembahkan hanya untuk suami tercinta kelak.
Kepada para ikhwan
Bagi para ikhwan, ketahuilah sesungguhnya telah banyak akhwat yang siap. Mereka menunggu pinanganmu. Mereka menunggu keberanianmu. Tunggu apalagi jika engkau pun sudah siap menikah dan merindukan seorang istri? Ayolah, jangan ikhlaskan wanita–wanita shalihah itu dinikahkan dengan laki – laki yang tak baik agamanya. Ingat bahwa Alloh akan menolong seorang pemuda yang berniat menikah demi menyelamatkan agamanya. Karena itu, bersegeralah mencari pendamping yang bisa membantumu bertaqwa kepada Alloh.
PERJODOHAN ALA ISLAM
Pacaran sudah menjadi hal yang biasa dilakukan anak muda zaman sekarang. Bahkan sudah umum bila sebelum menikah mereka sudah gonta-ganti pacar. Namun sebagian kalangan, terutama muslim, banyak yang menolak pacaran. Mereka langsung melakukan pernikahan tanpa melalui fase pacaran.
Pacaran biasanya diklaim merupakan sarana untuk mengenal lebih dekat masing-masing pasangan. Umumnya, karakter yang ingin diketahui itu terdiri dari bibit, bebet, dan bobot dari calon pasangan.
Namun biasanya, dalam tahap pacaran ini, sering terjadi penyimpangan. Tidak sedikit mereka yang pacaran kemudian terjerumus dalam perbuatan yang dilarang oleh agama seperti zina.
Ustadah Hartati Anas menyatakan, Islam tidak mengenal pacaran. Dalam Islam, hubungan nonmuhrim juga diatur, yaitu adanya larangan berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis. Firman Allah SWT dalam surat Al Isra ayat 32 yang menyebutkan, janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Islam menyerukan agar menyegerakan pernikahan bagi yang sudah mampu. Dalam hadist Bukhari dan muslim, Nabi Muhammad bersabda, Wahai para pemuda. Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.
Dengan berpedoman pada Surat Al Isra dan hadis tersebut, maka banyak kalangan muslim yang menolak pacaran. Mereka hanya melakukan taaruf alias perkenalan sebelum menikah. Pacaran, dilakukan setelah kedua pasangan menikah.
Hal seperti ini misalnya dilakukan oleh Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Ia hanya bertaaruf dengan bertemu 3 kali dengan calon istri. Bagi Ketua MPR RI ini, waktu tiga minggu sudahlah cukup untuk mengenal calon istrinya, Diana Abbas Thalib. Selanjutnya melangkah ke jenjang pernikahan.” Keinginan saya untuk menikah lagi dilandaskan kepada agama, jadi tidak perlu neko-neko dan lama untuk prosesnya ” kata Hidayat kepada detikcom.
Dalam masa penjajakan, Hidayat dan Diana hanya melakukan ta’aruf, kemudian bertemu dengan didampingi beberapa teman selama 3 kali dan kemudian memutuskan khitbah (lamaran). Rencananya 10 Mei mendatang keduanya akan melangsungkan pernikahan.
Hidayat juga mengaku akan menjalani proses pacaran setelah perkawinan dilangsungkan atau setelah resmi menjadi suami istri. “Pacaran sudah tidak perlu lagi untuk seusia saya, seandainya perlu akan saya lakukan setelah kami menikah ” Tegas Hidayat.
Pasangan Andri dan Rina, warga Tangerang juga melakukan hal yang sama dengan Hidayat, menikah setelah taaruf tanpa melewati masa pacaran. Andri yang melakukan pernikahan ala Islam itu mengaku bahagia.
“Jika pernikahan ini diibaratkan seperti membeli buku, buku yang saya beli sangat terjamin baik dari isi maupun covernya karena belum terbuka segelnya dan belum tersentuh oleh pedagangnya,” kata Andri.
Andri yang menikah pada akhir 2007 ini mengaku tanpa pacaran terlebih dulu, justru ia kerap dihampiri rasa rindu dan kangen jika tidak bertemu sang istri.
Perkawinan adalah sebuah ikatan sakral. Ikatan itu diadakan bukan sekadar urusan pribadi dua manusia berlainan jenis. Namun ada makna sosial yang terkandung di dalamnya.
Dalam agama Islam sebuah perkawinan punya tujuan, selain untuk memperoleh keturunan, perkawinan juga dimaksudkan untuk menghindari perbuatan keji dan terlarang, zina misalnya. Islam juga memandang perkawinan juga bisa melindungi masyarakat dari kekacauan.
Ustadah Hartati Anas mengatakan, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami- istri dapat melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu Kafa’ah dan Shalihah.
“Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.” imbuh Ustazah Hartati Anas kepada detikcom.
Hartati kemudian menjelaskan pengertian kafa’ah sesuai dengan surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi, Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya.
Jadi kata Hartati, kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara suami-istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami, insya Allah akan terwujud.
Sedangkan Sholehah dalam pernikahan menurut islam, imbuhnya, adalah orang yang mau menikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih pria yang sholeh.
PROSES TATA CARA PERNIKAHAN ISLAMI
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah . Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain. Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang.
Pada risalah yang singkat ini, kami akan mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah). Sehingga orang-orang yang mengamalkannya akan berjalan di atas landasan yang jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan. Walaupun sederhana tetapi penuh barakah dan tetap terlihat mempesona. Islam juga menuntun bagaimana memperlakukan calon pendamping hidup setelah resmi menjadi sang penyejuk hati.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam secara singkat.
Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah
I. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.
II. Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon isterinya, hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam mengambil keputusan.
Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup. Insya Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
III. Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut,
yaitu:
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya.
Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya.” (HR. Jamaah)
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.
IV. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnyaDari Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya.”
Jabir berkata: “Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya.” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832). Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan ini di antaranya adalah:
1. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
2. Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan dengan laki- laki yang meminangnya.
V. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul.
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkimpoian yang dimaksud dengan “ijab qabul” adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa:
Sahl bin Said berkata: “Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: “Saya serahkan diriku kepadamu.” Lalu ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah kimpoikanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda: “Aku kimpoikan engkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist Sahl di atas menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau maskimpoinya ayat Al-Quran dan Sahl menerimanya.
c. Adanya Mahar (mas kimpoi)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya menyerahkan mahar (mas kimpoi). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas kimpoi ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam juga lebih menyukai mas kimpoi yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1836).Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sebelum aqad nikah diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
VI. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf:
“….Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib.”Jika kalian diundang walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkimpoian atau yang lainnya). Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat itu.
Dari Ali berkata: “Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda:
“Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar.” (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat Al-Jamius Shahih mimma Laisa fis Shahihain 4/318 oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii).
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya) seperti yang dibawakan oleh Anas radliallahu `anhu, katanya:
Dari Anas radliallahu `anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam telah menikahi Shafiyah dengan maskimpoi pembebasannya (sebagai tawanan perang Khaibar) dan mengadakan walimah selama tiga hari.” (HR. Abu Yala, sanad hasan, seperti yang terdapat pada Al-Fath 9/199 dan terdapat di dalam Shahih Bukhari 7/387 dengan makna seperti itu. Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah Al-Muthaharah oleh Al-Albani hal. 65)
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya sesuai dengan wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
“Jangan bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan jangan makan makananmu kecuali seorang yang bertaqwa.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Said Al-Khudri, hasan, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 7341 dan Misykah Al-Mashabih 5018).
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya. Keterangan ini terdapat dalam hadits Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Baihaqi dan lain-lain dari Anas radliallahu `anhu. Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf:
“Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Akan tetapi dari beberapa hadits yang shahih menunjukkan dibolehkan pula mengadakan walimah tanpa daging. Dibolehkan pula memeriahkan perkimpoian dengan nyanyi-nyanyian dan menabuh rebana (bukan musik) dengan syarat lagu yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan ahklaq seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah bahwasanya ia mengarak seorang wanita menemui seorang pria Anshar. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Aisyah, mengapa kalian tidak menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang pada hiburan.” (HR. Bukhari 9/184-185 dan Al-Hakim 2/184, dan Al-Baihaqi 7/288). Tuntunan Islam bagi para tamu undangan yang datang ke pesta perkimpoian hendaknya mendoakan kedua mempelai dan keluarganya.Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaih wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa: “Mudah-mudahan Allah memberimu berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan keberkahan kepadamu dan mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam kebajikan.” (HR. Said bin Manshur di dalam Sunannya 522, begitu pula Abu Dawud 1/332 dan At-Tirmidzi 2/171 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 89)
Adapun ucapan seperti “Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak anak” sebagai ucapan selamat kepada kedua mempelai adalah ucapan yang dilarang oleh Islam, karena hal itu adalah ucapan yang sering dikatakan oleh Kaum jahiliyyah.
Dari Hasan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Jisyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah: “Bir rafa wal banin.” Aqil bin Abi Thalib mencegahnya, katanya: “Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah melarangnya.” Para tamu bertanya: ” Lalu apa yang harus kami ucapkan ya Aba Zaid?” Aqil menjelaskan, ucapkanlah: “Mudah- mudahan Allah memberi kalian berkah dan melimpahkan atas kalian keberkahan.” Seperti itulah kami diperintahkan. (HR. Ibnu Abi Syaibah 7/52/2, An-Nasai 2/91, Ibnu Majah 1/589 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 90)
Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga Allah Taala memberikan kelapangan bagi orang- orang yang ikhlas untuk mengikuti petunjuk yang benar dalam memulai hidup berumah tangga dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaih wa sallam.
sumber: http://tentang-pernikahan.com/
Kamis, 21 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar