Ketika menganalisis keterpurukan NU saat ini, sebagian besar pengkritik menuding dua hal: politik dan Hasyim Muzadi. Saya pribadi tidak sepakat. Mempersalahkan Hasyim Muzadi untuk segala ketidak beruntungan NU hari ini adalah tidak adil! Hemat saya, beliau telah mencurahkan segala yang beliau punya dan bisa, sebagai Ketua Umum PBNU. Yang namanya badzlul majhuud telah beliau lakukan, dan semua orang menyaksikannya. Kalaupun kemudian terjadi kegagalan-kegagalan, salah arah, bahkan kemerosotan, itu semua semata-mata karena batas ilmu dan kemampuan Hasyim Muzadi memang tidak mencukupi untuk menangani berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi. Orang bodoh yang sudah bekerja keras tak dapat dipersalahkan atas kegagalannya. Yang salah ya yang menyuruhnya bekerja!
Saya justru ingin menyarankan kepada para penggemar kambing hitam agar mengalihkan tudingannya ke sasaran lain: Mbah Sahal Mahfudz!
Sebagai Rais ‘Aam, Mbah Sahal menggenggam segala wewenang untuk membawa NU kemana saja semau-maunya. Ia imam yang wajib ditaati oleh warga NU. Membangkang dari perintah Mbah Sahal itu haram, selagi bukan perintah fii ma’shiyyatil Khooliq.
Mbah Sahal juga orang ‘alim yang langka tandinganya. Tak seorang pun ulama di seantero Nusantara ini kecuali mengakui keunggulan ilmunya, yang memang nyata. Kalau orang mengagumi tokoh-tokoh “ulama internasional” seperti Syaikh Yusuf Al Qardhawi, Syaikh Muhammad Sa’id Romadlon Al Bouthi, dan lain-lain, sesungguhnyalah Syaikh Ahmad Muhammad Sahal bin Mahfudz Al Kajeni pun sudah sekelas dengan mereka.
Tapi lihatlah: dengan segala kapasitas raksasanya, dengan sepuluh tahun —sepuluh tahun!— wewenang imamah di tangannya, nyaris selama itu pula Mbah Sahal diam seribu bahasa, nyaris tak melakukan apa-apa selain rajin menghadiri upacara-upacara! Seolah beliau hanya memandangi saja NU berjalan menuju tubir jurang!
Kenapa mempersalahkan Hasyim Muzadi? Hasyim Muzadi itu tak ada apa-apanya di hadapan Mbah Sahal, fadllan wa wilaayatan!. Kalaupun Hasyim Muzadi membangkang kepada Mbah Sahal, Mbah Sahal bisa memerintahkan kepada seluruh warga NU untuk menendangnya, dan warga NU wajib patuh! Sebagaimana saya tulis lima tahun lalu di sebuah koran, dua periode mutakhir PBNU ini adalah ”Daulah Sahaliyyah”, bukan Daulah Hasyimiyyah!
* * * * *
Gerutuan orang terhadap kiprah politik baik oleh NU maupun warganya juga cenderung salah arah karena biasanya berujung —atau sekurang-kurang menimbulkan kesan— seruan agar NU dan kyai-kyainya menjauh dari politik. Seruan semacam itu adalah ’ainudh dhulm, kelaliman yang nyata. Menurut survey mutakhir —konon tersedia versi BIN dan versi LSI— populasi warga NU di Indonesia mencapai sekitar 50-60 juta jiwa. Hampir sepertiga dari jumlah keseluruhan warga negara. Meminta agar sepertiga warga sebuah negara demokratis untuk menjauhi politik, apa namanya kalau bukan lalim? Kalau ada yang berkilah bahwa yang harus dijauhi itu bukan politik sebagai substansi tapi hanya politik kekuasaan, pastilah dia orang bodoh. Mana ada politik tanpa berhubungan dengan kekuasaan? Mana bisa kepentingan politik teragregasikan tanpa kekuasaan?
Orang pun mencela para kyai yang berpolitik dan menuduh mereka menerlantarkan ummat demi politik. Pernahkah ditanyakan kepada kyai-kyai itu, dengan niyat apa dan demi tujuan apa beliau-beliau berpolitik? Mengapa bersuudh dhon kepada mereka? Kalau kau suruh kyai-kyai itu berkonsentrasi mengurusi ummat… katakan kepadaku: DENGAN CARA APA?
Tak pernah aku menemui seorang pun kyai pesantren yang menerlantarkan kewajiban mengajar santri demi politik. Tak pernah kutemui seorang pun kyai yang menghindari ummatnya demi politik. Kalau kau bilang seharusnya kyai-kyai itu berkonsentrasi memikirkan kesejahteraan ummatnya… ajarkan kepadaku: APA YANG MENJADIKAN UMMAT SELAMA INI TIDAK SEJAHTERA?
Demi Allah, aku mengenal kyai-kyai yang terpaksa harus mengurangi lagi jatah waktu istirahatnya yang sudah tinggal sedikit demi ikut serta dalam kiprah politik… semata-mata karena keprihatinan yang tulus —Allah Syaahid— akan nasib ummatnya. Kalaupun upaya-upaya politik NU dan para kyai itu banyak menemui kegagalan, mengapa harus mencurigai niyat dan ketulusan mereka? Mengapa tidak membantu mereka agar berhasil maksud-maksud baiknya?
Kalau kepemimpinan NU saat ini dianggap gagal, mengapa tidak mencari pemimpin baru yang lebih ‘alim, lebih ‘aqil, lebih kuat, lebih terpercaya untuk memberi tanggapan yang tepat terhadap tantangan sejarah hari ini dan masa depan? Allahu Waliyyunaa wa yaroo a’maalanaa.
Gus Yahya C. Staquf
TERONG GOSONG
Selasa, 27 Oktober 2009
heramkempek
→
artikel
→ NU, POLITIK DAN HASYIM MUZADI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar