Konon, hiduplah
seorang kiai yang
sangat alim,. Di dalam
dirinya jauh dari
penyakit hati. Sifat
sombong, rakus, iri,
dengki, adigang
adigung adiguno, dan
kikir sedikit pun tak
berani menempel dalam
relung hatinya.
Sebaliknya, yang
selalu terllihat
bersinar-sinar
menyilaukan seperti
sinar lentera di
kegelapan malam
adalah sifat-sifat
utama. Sabar, narimo,
tawakkal, jujur, loman,
dan ngalah
Dalam sestiap
muthola’ah di serambi
masjid kecil di
pesantrennya, sang
kiai tak henti-hentinya
mengingatkan ratusan
santri yang berguru
padanya. Mereka
dinasihatkan
mengugemi sifat-sifat
keutamaan itu.
“Orang itu harus
sabar dan ngalah,”
kata sang kiai suatu
ketika. Kemudian dua
sifat utama itu
diuraikan dengan
penuh kebaikan dan
waskita . Kata kiai,
hakikat sabar itu
adalah Sejatining
Amalan Kang Biso ‘Alaf
Rahmat (Allah)
Sedangkan ngalah,
bermakna Ngawula
marang gusti Allah. Itu
artinya orang bias
ngawula atau
menghamba , bahwa
tidak ada kekuatan
sejati selain
kekuasaan itu
datangnya dari Allah.
Bahwa, manusia itu
hanyalah sak dermo.
Tak memiliki kekuatan
apapun di hadapan
Allah Yang Qowiyyu
dan Yang Matin.
Kia ini terus
menjelaskan dua sifat
mulia ini dengan contoh
sehari-hari
dimasyarakat.
Sementara ratusan
santrinya semakin
meyakini kemuliaan hati
sang kiai.
Mereka juga
menyaksikan
bagaimana setiap hari
karomah yang
dipancarkan dari diri
sang kiai semakin
bertambah. Bukan
hanya di hadapan
santri, karomah ini
juga muncul di hadapan
makhluk-makhluk lain.
Pernah suatu hari,
ketika sang kiai pergi
ke hutan, binatang-
binatang penghuninya
tampak tawadlu’
memberi salam dan
hormat pada sang kiai.
Bahkan hewan-hewan
itu mengantarkan
langkahnya sampai
kepintu rumah.
Begitulah , bila
keheningan hari ini
selalu disinari sifat-
sifat terpuji, siapa pun
bias menari dengan
cahaya Ilahi.
Tapi suatu ketika sang
kiai ini tidak seperti
biasanya. Beliau
tampak termenung di
serambi masjid
pesantrennya. Sinar
karomah yang
menyala-nyala tampak
redup. Dia tampa sedih.
Melihat kianya seperti
itu, dating seorang
santri dan berkata
“Kiai.! Beberapa hari ini
engkau tampak sedih.
Selalu termenung
sendiri. Kadang saya
menyaksikan engkau
menangis. Saya juga
menyaksikan,
sekarang tidak lagi
hewan-hewan hutan
berucap salam kepda
kiai. Sesungguhnya
apa yang terkadi
kiai..?”
Sang kiai berucap “Aku
memang sedang
bersedih. Ketahuilah
santriku, aku sangat
khawatir tak bias
mendekati nur Allah.
Karena tujuh hari ini,
semenjak aku
beristrikan nyai
(sebutan santri untuk
istri kiai), tak seorang
pun menguji
kesabaranku. Istriku
sekarang orangnya
penyabar, tawakkal,
jujur, dan loman. Tak
pernah ada kata kasar
yang keluar dari
bibirnya. Sebaliknya
yang ada hanya
kerendahan hati, dia
nurut pada saya.”
“Sementara nyai yang
pertama dulu, sebelum
meninggal dunia, dia
orangnya cerewet.
Sedikit saja saya
salah, pasti
ditegurnya. Sedikit ada
yang tidak sesuai
dengan dia, pasti
marah. Mungkin karena
aku jauh dari ujian itu,
apa yang engkau
saksikan dulu tentang
aku lalu sekarang
mulaui menjauh
dariku.”
Memang benar.
Karomah pancaran
kemuliaan tak begitu
saja muncul dalam diri
manusai. Untuk
mendapatkan ini,
sestia saat kita harus
diuji. Ujian bias datang
dari sendiri, dari anak,
dan istri, atau
lingkungan kita.
Bahkan kalau memang
ujian itu sebagai jalan
menuju kesempurnaan
hakikat diri, harusnya
tak dihindari.
Sebaliknya harus
dijalani. Seperti juga
kiai kita ini. Beliau
bersedih, karena tak
pernah lagi diuji.
Lalu dihadapan santri
ini, kiai ini berpesan:
“Kesempurnaan lelaku
sabar, narima,
tawakkal, jujur dan
ngalah adallah
bertanding dengan
lelaku marah, menang-
menangan. Maka
jangan engkau
bersedih hati bila
waktunya diuji.
Berucaplah Lahaula
wala quwwata illa billah.
Tidak ada daya dan
kekuatan sejati,
kecuali dari dan
dengan Allah. Insya
Allah”
Selasa, 28 Juni 2011
heramkempek
→
cerita
→ ISTERI CEREWET DAN KAROMAH KYAI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar