Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jombang menilai aktivitas komunitas Noto Ati tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. MUI sempat mengeluarkan SK No 01/MUI/Jom/A/SK/II/2009 tentang Pengajian Noto Ati, MUI menyatakan dan memfatwakan bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang dilakukan oleh pengajian Noto Ati adalah menyalahi dan menyimpang dari pemahaman dan pengamalan jumhur (mayoritas) umat Islam.
''Keputusan itu kita ambil setelah melalui beberapa pengkajian,'' terang KH Junaedi Hidayat, sekretaris MUI Jombang. Baik melalui audiensi dengan jamaah Noto Ati sendiri. Maupun dengan hasil kerja dua tim investigasi yang dibentuk MUI.
Temuan MUI menyebutkan, bahwa para pengikut pengajian Noto Ati dalam mengamalkan ajaran Islam telah menimbulkan keresahan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Bentuk-bentuk ajaran, pemahaman serta pengalaman yang menimbulkan keresahan itu antara lain adanya informasi dari pimpinan pengajian Noto Ati kepada para pengikutnya bahwa tanggal 15 Januari 2009 akan terjadi kiamat.
Pengikut pengajian Noto Ati menjadi jauh dari orang tua dan saudara termasuk pada hari raya tidak lagi datang silaturahmi kepada orang tua dan sanak keluarga yang bukan anggota pengajian Noto Ati.
Dalam melakukan atau tidak melakukan berbagai amalan dan perbuatan termasuk pada hal-hal yang sudah jelas hukumnya secara syari dan aqli pengikut pengajian Noto Ati lebih menyandarkan pada bisikan hati dari pada pertimbangan syari dan aqli.
Tidak mau takziah dan mendoakan kepada oarang tua, keluarga serta orang lain yang meninggal yang bukan anggota pengajian. Kewajiban zakat fitrah bagi anggota tidak hanya sebesar 2,5 Kg tapi disempurnakan sebesar 5 Kg. Diantara pengikut pengajian Noto Ati ada yang melarang keluarganya sekolah.
Pada surat tertanggal 10 Februari tersebut, MUI juga memberikan rekomendasi sebagai tindak lanjut keputusannya. Yakni mengimbau kepada pimpinan dan anggota Pengajian Noto Ati agar kembali kepada pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sesuai dengan pemahaman dan pengamalan jumhur (mayoritas) umat Islam.
Meminta kepada masyarakat untuk tidak mengikuti kegiatan pengajian Noto Ati yang mengajarkan pemahaman dan pengamalan agama tersebut. Mengimbau kepada pihak-pihak yang berwenang untuk membubarkan keberadaan Pengajian Noto Ati dan menghentikan segala bentuk kegiatannya.
MUI Jombang bersama pihak-pihak terkait bersedia memberikan bimbingan dan pembinaan kepada Pengajian Noto Ati untuk kembali pada pemahaman dan pengamalan jumhur (mayoritas) umat Islam.
Apapun, Selalu Bertanya pada Allah
Keberadaan komunitas Noto Ati sudah cukup lama di Jombang, terutama di desa Pesantren Tembelang. Sejumlah pengikutnya bahkan mengaku telah beberapa tahun aktif dalam pengajian Noto Ati tersebut. Bahkan, komunitas ini, pada awal 2009 lalu pernah dianggap menyimpang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena beberapa ajarannya dinilai tak sesuai syari dan aqli. Bagaimana sebenarnya Noto Ati dan bagaimana saat ini pascakeputusan MUI?
''Kita sudah delapan tahun mengadakan wirid bersama-sama,'' kata Setyo Adi, salah satu pengikut jamaah tersebut. Selama delapan tahun itu, pihaknya mengaku melakoni wirid secara berjamaah setiap malam. ''Mulai pukul 21.30 sampai pukul 02.30 dini hari,'' terangnya. Baginya, tidak ada kata lelah dalam melakoni wirid.
Karena motivasinya menjalni wirid tersebut sangat tinggi. ''Wirid ya wirid saja. Kita tidak minta apa-apa. Tidak minta panjang umur, tidak minta rezeki. Kita hanya minta bersama Allah. Minta pengampunan dosa,'' terang purnawirawan polisi yang kini berusia 61 tahun.
Karena itu bacaan wiridnya juga tidak berbeda dengan jamaah wirid lainnya. ''Kita memperbanyak bacaan tasbih dan istighfar selama wirid,'' ungkapnya.
Hal itu dilakukan untuk menyongsong kehidupan setelah dunia yakni akhirat. Karena memang semua orientasi wirid dan semua kegiatan yang diamalkannya adalah akhirat. ''Pandangan hidup kami adalah kampung akhirat,'' tegasnya.
Untuk itu mereka tidak takut mati. Selalu teringat dosa dan beribadah hanya karena Allah bukan yang lain.
Tidak mau memakan barang syubhat. Selalu zuhud dan qanaah. Hati-hati dalam berperilaku dan berbuat. Siap dipenjara, difitnah, prihatin dan siap miskin. Selalu introspeksi. Senang salaman dan senang membicarakan Allah. Sedikit tidur di waktu malam untuk memohon ampunan.
''Kita menyadari bahwa semuanya milik Allah. Saya tidak punya apa-apa. Harta, barang-barang ini semuanya milik Allah,'' ucap Setyo sembari menunjuk seisi rumah. Kediaman bapak lima anak dan delapan cucu ini cukup luas dan megah.
Di sebelah ruang tamu terdapat ruangan yang bisa dijadikan kelas. Di dindingnya menempel dua papan tulis berisikan ciri-ciri anggota komunitas Noto Ati serta sejumlah wirid.
Pada bagian lain rumahnya juga terdapat semacam musola keluarga berukuran 5 meter x 10 meter. Lengkap dengan kipas angin dinding dan papan kecil bertuliskan wirid lima dan wirid sembilan.
''Itu yang saya wiridkan setiap usai salat,'' ucapnya sembari menunjuk papan bertuliskan wirid lima dan wirid sembilan. ''Jamaah juga biasanya wiridan bersama di sini. Kalau kumpul muat sampai 200 orang lebih,'' tambahnya mengomentari musala tersebut.
Tapi sayang sekarang ini komunitas tersebut sudah tidak mengadakan wirid bersama lagi. ''Belajarnya sudah hatam. Jadi sekarang wirid di rumah masing-masing. Sesekali saja kita kontak untuk saling mengingatkan,'' urainya.
Bagaimana kalau ingin menjadi anggota? ''Sudah tidak bisa, karena sudah katam,'' jawabnya.
Jadi sekarang bagaimana menyebarkannya? ''Dulu kita disuruh menyebarkan, tapi ada batasannya. Sekarang kita sudah tidak boleh menyebarkan.''
Dia menyatakan dalam komunitasnya tidak ada pimpinan. Yang ada hanyalah Allah, yang menjadi tujuan wirid itu sendiri. ''Kita ingin menjadi orang mukmin yang terbuka hatinya,'' urainya. Untuk itu mereka harus sabar, ikhlas, tawakal, loman, istikamah dan tunduk patuh pada Allah.
Sehingga memiliki mata hati yang terbuka. Bisa mengetahui kegaiban. Bisa merasakan terkabulnya doa. Dapat merasakan peringatan atau azab secara langsung. Bisa merasakan hati sedang terbuka atau tertutup.
''Kalau hati kita sedang dibuka, ada getaran. Ada rasa hangat dan sejuk di dada. Itu berarti kita bisa nyambung langsung dengan Allah. Bisa komunikasi dan bertanya langsung pada Allah,'' ungkapnya seperti dilansir Jawapos.com.
Pada saat seperti itu, dia mengaku merasa sangat bahagia. ''Tapi bila salah sedikit saja, hati akan ditutup, sehingga kita merasa sangat susah. Makanya kita langsung introspeksi mencari kesalahan yang telah kita buat. Kita langsung memperbanyak istighfar. Juga minta maaf jika memang telah berbuat salah pada orang lain. Sehingga hati bisa dibuka kembali,'' urainya.
Hal itu pula yang membuat mereka menjadikan ibadah utamanya salat wajib sebagai kebutuhan dan ibadah salat sunah sebagai kewajiban. ''Tujuan wirid kita juga untuk memperbaiki kualitas salat,'' terangnya.
Anggota komunitas Noto Ati selalu menjaga agar hatinya terus terbuka sehingga senantiasa dapat konsultasi apapun kepada Allah. ''Ketika hati terbuka, kita bisa langsung istikharah. Tanya pada Allah.'' Terkait semua hal yang akan dilakukan dan dikerjakan. ''Jika Allah membolehkan, kita lakukan. Tapi bila tidak, ya tidak kita lakukan,'' ujarnya.
Selasa, 10 November 2009
heramkempek
→
artikel
→ MUI ANGGAP KOMUNITAS NOTO ATI MENYIMPANG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar