Assalamualaikum wr wb
Bismillah. Alhamdulillah. Washsholaatu wassalaamu alaa Rasulillah, Sayyidinaa Muhammad ibni Abdillah, wa alaa aalihi wa shahbihi wa man waalah. Amma ba'du.
Segala puji bagi Allah SWT. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada para shahabat dan keluarga beliau, serta kepada para pengikut beliau hingga akhir masa. Ini adalah risalah kecil tentang masalah bid’ah yang masih perlu dilengkapi dan dikaji lebih jauh. Semoga bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
A. ANCAMAN KEPADA AHLI BID’AH
Banyak hadits yang memberikan ancaman yang nyata kepada para ahli bid’ah, di antaranya:
“Allah enggan menerima ibadah ahli bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya itu.” (HR Ibnu Majah)
Dari A’isyah Rda., bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (urusan agama/ibadah) sesuatu yang tidak ada dalam agama, maka perbuatan orang itu ditolak.” (HR Imam Muslim)
Imam Nawawi, Ulama yang menyusun Kitab Syarah Shahih Muslim mengatakan bahwa pengertian ditolak itu adalah batal atau batil, tidak masuk hitungan. Ini hadits yang jelas, yaitu menolak segenap ibadah yang diada-adakan, ibadah yang bid’ah.
Perlu diketahui bahwa Imam Nawawi ini juga penyusun Kitab Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab yang sangat terkenal, Kitab Riyaadhus Shalihin, Al-Adzkaar, dan lain-lain. Beliau sangat anti bid’ah, sehingga sangat aneh tuduhan sementara orang bahwa beliau mengajarkan bid’ah. Suatu hal yang sangat tidak logis dan tidak ilmiah.
Dan yang paling terkenal adalah sabda Rasulullah SAW: “.....Jauhilah perkara baru yang diada-adakan, karena semua yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Dawud)
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang sudah dimatikan orang setelah aku tidak ada, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya. Tidak sedikitpun dikurangi seperti orang yang mengamalkan sunnah. Dan barangsiapa yang membuat suatu bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapat pula dosa-dosa yang mengamalkan bid’ah tanpa dikurangi sedikit pun.” (H.R. Imam Tirmidzi)
Menurut Hadits ini, siapa yang mengadakan bid’ah, maka ia berdosa dan ia mendapat pula dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu sampai dengan Hari Kiamat. Maka sungguh buruklah orang yang berpendapat bahwa adzan kedua Shalat Jum’at itu bid’ah (dhalalah), karena dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Utsman bin Affan adalah ahli bid’ah yang akan memikul dosa semua orang yang melakukan adzan Jum’at dua kali. Sungguh kesimpulan yang sembrono dan salah besar. Sedangkan dalam beberapa Hadits, beliau telah dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.
Dari Abu Musa Al-Asy`ari Ra., ia berkata: ”Tatkala Rasulullah SAW berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang seseorang yang ingin menemui Rasulullah saw. ............... Kemudian Rasulullah saw. duduk dan bersabda: Bukakanlah pintu dan sampaikanlah kabar gembira tentang surga dengan musibah yang akan menimpa. Aku pun pergi menemui orang itu, ternyata dia adalah Usman bin Affan. Aku bukakan pintu untuknya dan menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga. Usman lalu berkata: Ya Allah, (berilah) kesabaran atau Allah-lah Yang Maha Penolong.” (HR Imam Muslim, Shahih Muslim No.4416)
B. PENGERTIAN BID’AH
Menurut Bahasa Arab, kata Bid’ah berarti “sesuatu yang diadakan tanpa contoh yang terdahulu”.
Sedangkan definisi (ta’rif) bid’ah tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Para Ulama’lah yang menyusun definisi/ta’rif tersebut setelah memperhatikan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Syeikh Izzuddin bin Abdis Salam berkata:
“Bid’ah itu adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW.”[1]
Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata: “Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan bid’ah tercela ialah yang tidak sesuai atau menentang sunnah Nabi.”[2]
Imam Baihaqi ahli hadits yang terkenal menerangkan dalam kitab ‘Manaqib Syafi’i’ bahwa Imam Syafi’i pernah berkata:
“Pekerjaan yang baru itu dua macam: Pekerjaan keagamaan yang menentang atau berlainan dengan Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar dan Ijma’, ini dinamakan bid’ah dhalalah, dan Pekerjaan keagamaan yang baik, yang tidak menentang salah satu dari yang tersebut di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela<.”
Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua golongan, yaitu bid’ah dhalalah dan bid’ah yang tidak tercela ( hasanah).
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan kemudian itu.
Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah yang buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu, diberikan kepadanya dosa seperti orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” (H.R. Imam Muslim).
Istilah bid’ah yang baik diambil dari ucapan Umar bin Khattab Ra.
Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar Bin khatab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke Mesjid Madinah. Di dalam mesjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Umar RA berkata : ”Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke mesjid, lalu kami melihat orang shalat berjama’ah di belakang seorang Imam. Umar RA. berkata : ”ini adalah bid’ah yang baik”. (Shahih Bukhari Juz I hal. 242)
Umar bin Khattab memberi istilah bid’ah pada pekerjaan yang diperintahkannya, yaitu Shalat Tarawih berjamaah. Hanya saja, itu adalah bid’ah yang baik. Sementara orang boleh menyatakan bahwa perbuatan Tarawih berjamaah itu bukan bid’ah, tapi yang sudah pasti adalah bahwa Umar bin Khatttab itu lebih pandai dalam hal agama daripada kita. Ia memberi ta’rif perbuatannya sebagai bid’ah, hanya saja bid’ah yang baik.
Imam Suyuthi berkata:
“Maksud yang asal dari perkataan bid’ah ialah sesuatu yang baru diadakan tanpa contoh terlebih dahulu. Dalam istilah syari’at, bid’ah adalah lawan dari sunnah, yaitu sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian hukum bid’ah terbagi kepada hukum yang lima.”
Imam Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Ulama yang menyusun Kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, mengatakan: “Dan sebagian Ulama membagi bid’ah itu kepada hukum yang lima. Ini jelas.”
Untuk memperjelas persoalan bahwa tidak semua bid’ah dapat dikatakan sesat, kita ikuti uraian berikut ini:
C. SUNNAH DAN IJMA’ SHAHABAT
Nabi Muhammad SAW telah bersabda:“Ikutlah dua orang sesudahku, Abu Bakar dan Umar.” (HR Imam Tirmidzi)
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:“.....Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)
Ternyata kita diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk mengikuti sunnah para shahabat, yaitu sunnah yang dibuat dan disepakati oleh para shahabat Nabi SAW. Sunnah dan ijma’ shahabat Nabi SAW tak dapat dikatakan sebagai bid’ah dhalalah, meski beberapa di antaranya tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Karena bila apa yang diajarkan oleh Abu Bakar, Umar, para Khalifah Rasyidin disebut bid’ah, maka hal itu akan bertentangan dengan kedua hadits Nabi SAW di atas. Bila ijma’ (kesepakatan) shahabat Nabi dianggap sebagai bid’ah dhalalah, maka seluruh shahabat yang sepakat itu adalah ahli bid’ah, dan dengan demikian seluruh hadits yang melalui mereka akan tertolak. Ini tidak logis dan akan merusak seluruh bangunan ajaran islam yang ada.
Sudah sangat terkenal dalam dunia Islam, kisah dibukukannya Al-Qur’an oleh Abu Bakar atas usul Umar bin Khattab, dan bagaimana Al-Qur’an kemudian dicetak dengan standar khusus pada masa Utsman bin Affan.
Bahwasannya Zaid bin Tsabit berkata:
“Abu Bakar Ash-Shiddiq memanggil saya sesudah terjadi perang Yamamah, di mana banyak shahabat Nabi mati syahid. Di hadapan beliau ada Umar bin Khattab.
Abu Bakar berkata: ‘Zaid, Umar mengatakan kepadaku bahwa banyak ahli (penghafal) Al-Qur’an yang gugur di Perang Yamamah. ......... Umar mendesakku agar mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf. Aku berkata kepada Umar: “Bagaimana aku akan melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW?”. Umar berkata: “Demi Allah, ini baik.” Umar terus mendesakku sehingga aku kemudian sependapat dengannya.’
Zaid melanjutkan: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘Engkau adalah pemuda yang pintar......... Engkau adalah penulis wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasulullah. Kumpulkanlah wahyu-wahyu itu!’
(Aku menjawab:) ‘Demi Allah, kalau engkau minta aku memindahkan sebuah bukit, tidaklah seberat mengumpulkan Al-Qur’an ini. Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah SAW?’
Abu Bakar terus mendesakku: “Demi Allah, ini baik.” Beliau terus mendesakku sehingga Allah SWT membuka hatiku sebagaimana hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah tamar (kurma), batu-batu putih (di mana mulanya Al-Qur’an ditulis), dan dari dada para shahabat Nabi SAW.” (HR Imam Bukhari)
Ternyata bahwa baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa membukukan Al-Qur’an adalah bid’ah yang terlarang, karena Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakannya atau pun memerintahkannya. Namun Allah SWT melalui Umar bin Khattab membuka hati keduanya bahwa meskipun itu bid’ah, namun termasuk kategori bid’ah yang baik, bahkan wajib dilakukan. Sebab, tanpa upaya tersebut bisa jadi generasi Islam berikutnya akan kehilangan pegangan dan berselisih tentang Kitab Suci Al-Qur’an. Bila ada sementara orang yang berpendapat bahwa perbuatan membukukan Al-Qur’an itu bukan bid’ah, maka sebaiknya mereka belajar ta’rif bid’ah tersebut kepada Abu Bakar, Umar, dan Zaid. Bila semua bid’ah dianggap dhalalah (sesat), maka hal itu adalah mustahil, karena tidak mungkin Abu Bakar, Umar, dan Zaid adalah orang-orang yang sesat. Tanpa mereka, barangkali kita tidak mengenal Al-Qur’an. Selain itu, mereka pun telah dijamin oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga. Ini adalah dalil yang paling kuat dan nyata bahwa bid’ah hasanah itu ada.
Dari Abu Musa Al-Asy`ari Ra., ia berkata: ”Tatkala Rasulullah SAW berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang seseorang yang ingin menemui Rasulullah saw. Beliau bersabda kepada pelayan: Bukakanlah pintu dan sampaikan kepadanya kabar gembira dengan memasuki surga. Orang tersebut ternyata adalah Abu Bakar. Aku pun membukakannya dan menyampaikan kabar gembira tentang surga. Tak lama kemudian datang lagi seseorang minta dibukakan. Rasulullah saw. bersabda: Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira kepadanya mengenai surga. Aku beranjak dan ternyata orang tersebut adalah Umar. .................” (HR Imam Muslim)
Dari Saib bin Yazid beliau berkata: ”Adalah adzan pada waktu Jum’at permulaannya apabila duduk Imam di atas mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar RA. Pada zaman Utsman RA. di mana orang sudah bertambah banyak, beliau (Utsman RA) menambah adzan yang ketiga di atas zaura.” (H.R. Imam Bukhari)
Penambahan adzan Jum’at yang diperintahkan oleh Khalifah Utsman bin Affan jelas dan nyata adalah bid’ah. Namun, hal ini tak bisa disebut bid’ah dhalalah, karena amalan tersebut ternyata diikuti oleh para shahabat Nabi yang lain tanpa ada satu pun yang tercatat mengajukan keberatan. Kesepakatan (ijma’) shahabat adalah hujjah hukum yang kuat, karena merekalah orang-orang yang paling tahu bagaimana mengambil hukum dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Sunnah dari para Khulafa’ur Rasyidin telah dilembagakan oleh Rasulullah SAW, dan ijma’ shahabat jelas menunjukkan bagaimana golongan salaf menyikapi hukum berdasarkan pemahaman mereka atas prinsip dasar dan konsep ajaran Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas kesalahan.” (HR Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Al-Qur’an memberi petunjuk menyangkut hal ini di Surah An-Nisaa’ ayat 115:
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[1]dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Al-Qur’an juga memberi petunjuk bahwa kita dianjurkan untuk mengikuti apa yang dipegang teguh oleh para shahabat. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 100:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
D. HASIL IJTIHAD DAN PENGGUNAAN HADITS DHAIF
Di antara perkara yang musykil berkaitan dengan masalah bid’ah adalah hasil ijtihad. Telah sangat dikenal dalam dunia Islam adanya hasil ijtihad berkaitan dengan perkara-perkara baru yang belum terjadi di zaman Rasulullah SAW, bahkan juga ijtihad berkaitan dengan illat hukum menyangkut perkara agama yang ada dalilnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagai contoh, menyangkut hadits Nabi SAW yang memerintahkan untuk membansuh tujuh kali terhadap wadah yang dijilat anjing (HR Imam Bukhari, HR Imam Muslim, dan HR Imam Abu Dawud). Imam Syafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa illat diharuskannya membasuh tujuh kali itu adalah karena najis, sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa illatnya ada ta’abbud (kewajiban beribadah), sehingga anjing itu tidak najis menurut madzhab Maliki. Contoh lain adalah illat memberi isyarah tasyahud pada saat membaca kalimat Tauhid Asyahadu an laa ilaaha illa Allah, menurut jumhur Ulama adalah mengesakan Allah (Tauhid) bersamaan antara hati (i’tiqad Tauhid), lisan (membaca Syahadat), dan perbuatan (isyarah dengan telunjuk). Imam Hanafi dan Ahmad bin Hanbal memilih saat membaca laa ilaaha, sedangkan Imam Syafi’i memilih saat membaca illa Allah.
Adapun ijtihad menyangkut hal-hal yang belum ada atau belum dilakukan di masa Rasulullah SAW tidak dapat dikategorikan sebagai bid’ah dhalalah. Sebagai contoh, thawaf dengan kursi roda yang didorong bagi orang tua lanjut usia. Hal ini belum ada di masa Rasulullah SAW, karena pada masa itu kursi roda belum dikenal. Jamarat sekarang telah diperlebar sehingga sasaran lemparnya tidak lagi tiga buah tiang kecil, melainkan telah menjadi tiga buah dinding yang lebar mencapai 20 meter. Adzan dengan loudspeaker juga tidak dikenal di masa Nabi, demikian pula Imam menggunakan pengeras suara yang dijepitkan di bajunya. Zakat kerbau, membayar fitrah dengan beras dan uang, serta zakat profesi juga tidak dikenal di masa Nabi. Ini semua adalah bid’ah, karena tidak dikenal di masa Nabi. Namun, semua itu tidak dapat dikatakan bid’ah dhalalah.
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz: ”Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa kehadapanmu?”
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”, kata Mu’adz.
Nabi bertanya lagi, ” Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Mu’adz,”Saya akan memutuskannya menurut sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi,” Kalau engkau tak menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Mu’adz menjawab,” Ketika itu saya akan ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammmad SAW meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud)
Hadits ini memberi petunjuk kepada kita bahwa akan banyak masalah yang secara detil tidak dapat kita temukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah (Al-Hadits), sehingga mengharuskan dilakukannya ijtihad. Hadits ini – dengan demikian – menjadi dasar diperbolehkannya berijtihad dan penggunaan segenap kemampuan intelektual ( ar-ra’yu) untuk hal itu. Menafikan hasil ijtihad sama saja dengan menafikan hadits Rasulullah SAW di atas. Menafikan hadits Nabi – jangankan satu, sebagian pun – dapat dipandang telah meruntuhkan keutuhan dari ajaran Islam itu sendiri.
Peristiwa Muadz itu kemudian memberi petunjuk kepada generasi berikutnya untuk melakukan hal yang sama ketika menemukan kasus yang harus dijawab pada masanya. Para Ulama dari masa ke masa senantiasa melahirkan penemuan dan fatwa baru sesuai dengan hasil ijtihad mereka, kemudian diikuti oleh generasi demi generasi sehingga lahir berbagai madzhab dalam Islam. Dari berbagai madzhab itu kemudian tinggal empat madzhab saja yang diikuti oleh mayoritas ummat.
Rasulullah SAW juga telah bersabda:
“Ketika hakim berijtihad, kemudian ia benar dalam ijtihadnya, maka baginya dua pahala. Apabila ia salah, maka ia dapat satu pahala.” (HR Imam Muslim)
Dalam suatu surat yang dikirim oleh Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang pada waktu menjabat sabagi Wali Negeri di Bashrah, tertulis: “Fahamkan, fahamkan segenap perkara yang bergejolak dalam dadamu menyangkut hal-hal yang tidak terdapat (hukumnya secara jelas) di dalam Kitab dan Sunnah. Perhatikan yang serupa dan sebanding, kemudian qiyaskanlah yang satu kepada yang lain.”
Khalifah Umar bin Khattab dengan tegas meminta kepada utusannya untuk tanpa ragu melakukan ijtihad apabila mendapati masalah yang tidak dapat ditemukan hukumnya secara tegas di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sesuai dengan hadits Muadz bin Jabal di atas, di mana Rasulullah juga meminta hal yang sama.
Ada sebagian orang yang membid’ahkan amal ibadat yang berdasarkan Hadits dhaif. Pendapat semacam ini sungguh tidak tepat. Hadits dhaif bukanlah hadits yang dibuat-buat (maudhu’), melainkan hadits yang lemah sanadnya, bukan hadits dusta, karena asalnya dari Rasulullah SAW juga. Hadits dhaif adalah hadits yang derajatnya kurang sedikit dari Hadits Shahih atau Hadits Hasan. Suatu hadits yang dalam jalur periwayatannya terdapat orang yang akhlaknya kurang baik, seperti pernah makan sambil berjalan, buang air kecil berdiri, atau kurang kuat hafalannya, maka haditsnya disebut dhaif. Haditsnya sendiri tidak salah dan bukan sesuatu yang dibuat-buat, hanya saja derajatnya turun karena masalah pada perawinya.
Ada juga hadits dhaif karena ada salah satu perawi yang tidak disebutkan. Misalnya ada seorang tabi’in yang mengatakan “Rasulullah SAW bersabda”, padahal ia tidak berjumpa Rasulullah SAW. Hadits ini disebut dhaif juga (mursal), karena ‘”dilemparkan” ke atas, tanpa menyebut shahabat yang meriwayatkannya. Apakah kita akan mengatakan bahwa tabi’in yang bersangkutan adalah pendusta atau tak dapat dipercaya, sedangkan mereka adalah golongan Salaf? Bila ada orang yang meyakini kebenaran hadits tersebut karena kedekatan mereka dengan masa Rasulullah SAW, maka kita pun memahami keniscayaan tersebut. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal memakai hadits dhaif semacam ini sebagai hujjah hukum, juga untuk fadhail al-a’mal. Hal ini tak dapat disebut bid’ah, apalagi bid’ah dhalalah, karena amal mereka didasarkan kepada dalil yang secara logis dapat diterima kebenarannya. Atsar tabi’in saja kita pergunakan sebagai uswah dan panutan, apalagi bila tabi’in yang bersangkutan menyandarkan amalnya kepada sabda Rasulullah SAW.
Standar penetapan keshahihan hadits memang ketat, dan yang terkenal paling ketat adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim. Karena itu, dhaif-nya suatu hadits juga bertingkat-tingkat, ada yang ringan dan ada juga yang sangat dhaif. Hadits yang sangat dhaif inilah yang tidak dapat dipergunakan sebagai dalil pokok, meski masih mungkin menjadi dalil penguat bila ada hadits shahih yang senada atau isinya diperkuat oleh hadits yang lain.
Para Imam Mujtahid berbeda-beda dalam menggunakan hadits dhaif. Selain menggunakan hadits yang dhaif karena “dilemparkan ke atas”, Imam Ahmad bin Hanbal (yang dikenal sebagai ahlul hadits) juga menggunakan hadits dhaif yang lain sebagai penegak hukum, dengan syarat dhaifnya tidak keterlaluan. Hal ini tidak mengherankan, karena beliau dikenal hafal hingga 1 juta hadits beserta sanadnya, sehingga tingkat pemakaian haditsnya pun paling tinggi di antara para Imam Madzhab yang empat.
Dalam madzhab Syafi’i (Imam Syafi’i dikenal sebagai Nashir as-Sunnah/Penolong atau penyelamat Hadits), hadits dhaif tidak dipergunakan sebagai hujjah hukum, namun dapat dipergunakan sebagai dalil untuk fadhail al-a’mal, yaitu amalan sunnah yang utama, seperti doa, dzikir, tasbih, baca shalawat, dan lain-lain. Sebenarnya amalan-amalan tersebut telah terdapat dalil umumnya di dalam Al-Qur’an, di mana Allah SWT menganjurkan manusia untuk rajin berdzikir, berdoa, membaca tasbih, dan membaca shalawat, sehingga tanpa hadits pun amalan tersebut tetap boleh dilakukan berdasarkan keumuman dalil dalam Al-Qur’an atau hadits-hadits shahih yang lain. Berdzikir dan berdoa berdasarkan hadits dhaif tak dapat dikatakan bid’ah dhalalah, karena sebenarnya telah ada dalil umumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits yang lain. Khusus untuk hadits mursal, Madzhab Syafi’i juga tidak menggunakannya sebagai hujjah hukum, kecuali munqathi’nya tabi’in bernama Said ibnu al-Musayyab.
E. PENGERTIAN 'SEMUA BID’AH SESAT'
Sabda Rasulullah SAW “.....Jauhilah perkara baru yang diada-adakan, karena semua yang baru diada-adakan itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (HR Abu Dawud)
Pernyataan Rasulullah tersebut adalah pernyataan yang bersifat umum dan mempunyai takhsish (pengkhususan/ pengecualian). Banyak pernyataan umum dalam Al-Qur’an dan Hadits yang mempunyai takhsish. Berikut ini beberapa contohnya:
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 32:
“Katakanlah (hai Muhammad): Siapakah yang berani mengharamkan hiasan Tuhan yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-Nya dan rezeki yang baik?”
Ayat ini ditakhsish antara lain oleh hadits berikut ini:
“Bahwasannya Nabi melihat sebuah cincin mas pada jari seorang laki-laki, maka beliau buka cincin itu dan beliau buang, lalu berkata: ‘Mengambil seseorang darimu sepotong api dan ia letakkan ditangannya’.” ( H.R. Imam Muslim, Syarah Muslim juz 14 hal 65).
Maka, seluruh perhiasan itu halal, kecuali (antara lain) perhiasan emas bagi laki-laki. Ini adalah bentuk umum dari Al-Qur’an yang ditakhsish oleh Hadits.
Contoh lain, Allah berfirman dalam surah Al-Maaidah ayat 3:
“Diharamkan atasmu (memakan) bangkai ......”
Ayat ini ditakhsiskan dengan Hadits:
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulallah, kami memakai kendaraan laut sedang kami membawa air sedikit. Kalau kami pakai untuk berwudhu’ maka kami akan kekurangan air minum. Apakah boleh kami memakai air laut untuk berwudhu?”
Nabi SAW menjawab: “Air laut itu dapat dipakai untuk bersuci dan bangkainya halal untuk dimakan.” (H.R Imam Tirmidzi)
Contoh lain lagi, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 228:
“Wanita yang diceraikan suaminya ber-iddah tiga Quru (tiga kali suci)....”
Ayat ini ditakhsiskan dengan ayat yang lain, yaitu:
“Dan wanita-wanita yang hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan anak.” (At-Thalaq: 4)
Dengan demikian, pengertian makna umum hadits “semua bid’ah sesat” harus melihat pula sekalian hadits yang bertailan dengan ungkapan Rasulullah mengenai sunnah shahabat, mengenai ijtihad, mengenai ‘sunnah hasanah’ (inovasi yang baik), dan hal-hal yang bersifat memaksa (dharurat) dalam agama. Jika hanya memegang teguh satu hadits ini saja dan mengabaikan sekalian hadits yang bertalian dengan masalah ini, maka keputusan hukum kita akan menjadi radikal dan justru menyimpang dari ajaran suci yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, penentuan apakah suatu amalan termasuk dalam kategori bid’ah yang sesat haruslah ditetapkan melalui kehati-hatian dan tidak asal menyatakan bahwa sesuatu itu bid’ah atau sesat.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) maka diamalkan orang kemudian sunnahnya itu, diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yang mengerjakan kemudian itu.
Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam sunnah sayyiah (sunnah yang buruk), maka diamalkan orang kemudian sunnah buruknya itu, diberikan kepadanya dosa seperti orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” (H.R. Imam Muslim).
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara kalian maka ia akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan sunnah Khalifah ar-Rasyidin yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu ......” (HR Abu Dawud)
Dari Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW. ketika mengutusnya ke Yaman bertanya kepada Mu’adz: ”Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa kehadapanmu?”
“Saya akan memutuskannya menurut yang tersebut dalam Kitabullah”, kata Mu’adz.
Nabi bertanya lagi, ” Kalau engkau tidak menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Mu’adz,”Saya akan memutuskannya menurut sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi,” Kalau engkau tak menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Mu’adz menjawab,” Ketika itu saya akan ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammmad SAW meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati Rasul-Nya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud)\
Rasulullah SAW juga telah bersabda:
“Ketika hakim berijtihad, kemudian ia benar dalam ijtihadnya, maka baginya dua pahala. Apabila ia salah, maka ia dapat satu pahala.” (HR Imam Muslim)
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Ma’idah ayat 3:
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagai gambaran mengenai macam-macam hukum terkait amalan bid’ah, di antaranya:
Membukukan Al-Qur’an, termasuk bid’ah hasanah, bahkan wajib.
Adanya titik dan harakat pada tulisan Al-Qur’an, termasuk bid’ah hasanah.
Membukukan hadits-hadits Nabi SAW, termasuk bid’ah hasanah, bahkan wajib.
Menyusun Kitab Tafsir, Kitab-kitab Fiqih, belajar Ilmu Nahwu, Sharaf, dll., termasuk bid’ah hasanah.
Mendirikan madrasah dan menyelenggarakan pendidikan ke-Islam-an, termasuk bid’ah hasanah.
Berhaji menggunakan kendaraan, termasuk bid’ah hasanah.
Adzan Jum’at dua kali, termasuk bid’ah hasanah.
Shalat Tarawih berjama’ah, termasuk bid’ah hasanah.
dan lain-lain
Demikian uraian mengenai masalah bid’ah ini, semoga dapat memberikan penjelasan yang memadai dan berguna baik di dunia maupun di akhirat.
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رؤساء جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Bahwasanya Allah tidak menanggalkan ilmu agama begitu saja dari ummat, tetapi ia ambil ilmu itu dari ummat bersamaan dengan wafatnya ulama-ulama beserta ilmu mereka. Tinggallah manusia-manusia yang bodoh. Orang-orang yang bodoh ini dimintai fatwa agama, maka mereka berfatwa dengan pendapat mereka saja. Tersesatlah mereka dan mereka menyesatkan orang pula.” (H.R. Imam Bukhari, lihat Sahih Bukhari Juz IV – hal 185).
Wa Allah al-Muwaafiq ilaa aqwaam ath-thariiq,
Wassalaamu'alaikum wr wb
Al-Faqiir ilaa rahmati Rabbihi
Kamis, 19 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar