Ibarat musim, hujan lebat selalu dimulai dengan gerimis terlebih dulu. Usaha musuh-musuh Islam untuk menghancurkan umat Islam tak pernah kendor.
Tak hanya fisik, ghazwul fikri pun ditempuh. Cara ini dipandang lebih efektif dan murah. Líhatlah, sebelum terjadi pengeboman di JW Marriot dan Ritz Carlton. Bulan sebelumnya kita disuguhkan dengan buku Ilusi Negara Islam. Buku ini menyerang Islam politik.
Buku tersebut diterbitkan atas kerjasama Gerakan Bhineka Tunggal Ika, the Wahid Institute dan Maarif Institute. Buku itu merupakan hasil penelitian yang berlangsung lebih dari dua tahun dan dilakukan oleh LibForAll Foundation. Yang menjadi editor dalam buku itu adalah Gus Dur dan yang menjadi penyelaras bahasanya adalah Mohamad Guntur Romli.
Buku berjudul lengkap Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia yang menyebutkan PKS sebagai bagian dari gerakan Islam garis keras transnasional. PKS membantah dan mengatakan, para penulis buku itu merupakan antek-antek dari mantan Presiden AS George W Bush.
Dalam kata pengantar buku itu yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), memaparkan bahwa PKS telah melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah Juli 2005 di Malang. Saat itu, para agen kelompok garis keras seperti PKS mendominasi banyak forum dan berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi Ketua PP Muhammdiyah.
"Dugaan saya, dana riset buku itu didapatan dari Bush. Itu merupakan proyek terakhir Bush sebelum kejatuhannya. Karena Bush memiliki kebijakan perang melawan terorisme," ujar Wasekjen PKS Fahri Hamzah.
Menurut Fahri, tulisan-tulisan yang ada pada buku itu masih mengacu pada framework dunia saat Bus masih jadi Presiden AS. "Padahal kan framework dunia sudah berbeda dan tuduhan-tuduhan tentang PKS itu semuanya palsu. Saat ini dunia sudah mulai tidak terlalu menyoroti isu terorisme, bahkan dunia sudah menilai Bush sebagai penjahat perang," katanya.
Adapun tuduhan terhadap Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang membahayakan Indonesia, adalah sebuah kebohongan besar. Hizbut Tahrir dengan perjuangan syariah dan Khilafah justru bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan penjajahan modern di segala bidang.
Menurut Ismail Yusanto, Jurubicara HTI, Liberalisme dan Sekularisme yang selama ini mereka propagandakan itulah yang telah nyata-nyata merusak dan menghancurkan Indonesia. Atas dasar Liberalisme pula, mereka mendukung aliran sesat (Ahmadiyah, Lia Eden, dll), legalisasi aborsi, menolak larangan pornografi dan pornoaksi, mendukung penjualan aset-aset strategis.
“Maka, merekalah yang sesungguhnya harus diwaspadai, karena mereka menghalangi upaya penyelamatan Indonesia dengan syariah, dengan tetap mempertahankan Sekularisme dan penjajahan asing di negeri ini,” tegas Ismail Yusanto.
Dalam masalah Bom di JW Marriot dan Ritz Carlton, HTI Menyerukan kepada semua pihak, khususnya kepolisian dan media massa, untuk bersikap hati-hati menanggapi spekulasi yang mengaitkan bom JW Marriot dan Ritz Carlton ini dengan kelompok, gerakan atau organisasi Islam. Dari sekian kemungkinan, bisa saja peledakan bom itu sengaja dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu untuk mengacaukan situasi keamanan di masyarakat dan negara ini demi mendiskreditkan organisasi Islam.
Setelah pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott Jakarta, Jumat (17/7), berhasil diungkap Kepolisian. Kontroversi teror bom masih mengganggu benak umat muslim Indonesia. Kedekatan pelaku dengan Noordin M Top dan Jamaah Islamiyah (JI) seolah-olah kembali menggiring opini publik jika Islam di Indonesia identik dengan kekerasan meski tanpa bukti dan fakta yang nyata. Sehingga menyebabkan antipati publik terhadap Islam. Padahal, selama ini Islam selalu hidup damai, terbuka dan toleran.
Yang menarik adalah kesimpulan AM Hendropriyono. Mantan Kepala BIN ini mengatakan bahwa kaum ekstrimis Islam yg terlibat teroris mancanegara berasal dari dua aliran dalam agama Islam yaitu Wahabi dan Ikhwanul Muslimin.
Statemen AM Hendropriyono mengundang protes keras dari kalangan tertentu. “Terorisme ada di Indonesia karena suasana kondusif untuk benih-benih terorisme. Selama anasir-anasir tsb tidak dibersihkan dari bumi nusantara maka terorisme tidak akan hilang,” katanya pada Sabili yang mewawancarai Hendropriyono di Yogyakarta.
Siapakah Wahabi?
Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Muhammad bin Abdul Wahab adalah Syekh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah, di antaranya terdapat Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin 'Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, sebagai ajaran akidah tauhid, apa yang disampaikan Muhammad bin Abdul Wahab menyebar ke seluruh dunia Islam melalui jamaah haji yang pulang dari tanah suci. Menguatnya persatuan akidah ini ternyata membawa dampak lain pada kekuatan kolonial yang saat itu berkuasa di dunia Islam. Akhirnya, Inggris ajaran akidah tauhid ini sebagai bentuk baru persatuan dunia Islam yang akan melahirkan ancaman pada kolonial. Berikutnya, kekuatan kolonial membentuk kelompok Murtaziqah (orang-orang bayaran) untuk mencemarkan nama baik dakwah. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid, para penyeru tauhid, dengan kata Wahabi.
Pasca 9/11, sebuah buku diterbitkan oleh di AS dengan judul Wahabi Islam, ditulis seorang orientalis yang merupakan mahasiswa S3 John Esposito. Penulisnya mengatakan bahwa ia tertarik untuk meneliti Wahabisme ketika saat mengambil kuliah Islamologi dan membaca tulisan Muhammad bin Abdul Wahhab, namun tidak menemukan elemen-elemen yang menganjurkan kekerasan. Dalam salah satu babnya, ia mengatakan bahwa pengidentikan Wahabi dengan kekerasan dimulai oleh Inggris di India tahun 1800-an saat terjadi revolusi Muslim. Sejarah menyatakan tidak ada kaitan antara gerakan tersebut dan Wahabisme.
Wahabi sendiri sebenarnya suatu yang kontroversial. Orang awam cenderung mengaitkan Wahabi dengan Islam yang “bertentangan” dengan arus besar (mainstream).
Apa yang dimaksud dengan Wahabi? Bukankah dalam berbagai kesempatan Hendropriyono mengaku bahwa dirinya berasal dari Muhammadiyah. Seperti kita ketahui, Muhammadiyah adalah gerakan Wahabi yang gencar memerangi TBC (Tachayul, Bidah dan Churafat, dalam ejaan lama). “Yang saya maksud adalah Wahabi radikal,” katanya.
Terminologi Wahabi yang sering dilontarkan seringkali menambah kisruh suasana. Ulama-ulama Saudi yang selalu dicap Wahabi oleh sebagian orang, dalam sejarahnya selalu mengecam dan mengritik al-Qaidah, bahkan sebelum pemboman Tanzania.
Taliban selalu dikaitkan dengan Wahabisme. Padahal jika seseorang benar-benar mengikuti ulama Saudi, dampaknya sebenarnya mengejutkan mereka yang selalu berpikir negatif tentang Wahabi. Karena, seluruh ulama terkemuka di Saudi sepakat tindakan teror hukumnya haram. Memberontak bahkan mendemo pemerintah, atau misalnya menebarkan aib pemimpin, juga haram.
Mereka tidak suka mencaci maki pemerintah. Kritikan akan dilakukan secara tertutup (kalau bisa empat mata) dengan penguasa. Ulama mengharamkan melakukan pemberontakan (bughat) selama penguasa masih Muslim.
Suasana semakin kisruh ketika Ikhwanul Muslimin (IM) juga disatukan dalam barisan. IM didirikan untuk untuk mengembalikan kekhalifahan setelah runtuhnya kekhalifahan Usmani Turki lepas Perang Dunia I. Ikhwanul Muslimin sendiri tidak terlepas dari proses radikalisasi. Ada beberapa faktor. Salah satu faktor bersifat internal, karena ada beberapa elemen yang memang memilih jalur keras. Di IM, pemikiran radikal ini diwakili oleh misalnya Sayyid Quthb. Faktor eksternal, suatu faktor yang lebih dominan, adalah reaksi politik dari pemerintah yang cenderung menutup akses politik lawan mereka, termasuk IM.
Faktor ini sebenarnya lebih mendorong radikalisasi. Kasus populer adalah Aljazair. Kekerasan muncul saat hasil pemilu tahun 1990an yang dimenangkan secara mutlak oleh partai Islam (FIS) dibatalkan oleh pemerintah berkuasa dan didukung oleh Barat, dan partai tersebut dinyatakan ilegal. Demikian juga di Iran saat Shah Iran.
Faktor penting yang tak bisa dikesampingkan adalah, Afghanistan. Negara ini ketika berperang dengan Komunis Soviet dijadikan sebagai laboratorium jihad oleh berbagai elemen Islam. Apalagi Amerika berada di pihak yang membantu mujahidin.
Namun setelah kemenangan itu diraih, mujahidin banyak yang secara psikologis masih merasa berada di medan jihad. Suasana tempur tak bisa hilang begitu saja. Apalagi negara Barat berbalik menganggap Islam sebagai ancaman. Provokasi dan kezaliman muncul di negeri-negeri Islam. Maka radikalisme itu seolah mendapatkan tempat dan pupuk yang maksimal. Dan setelah itu, target dialihkan pada umat Islam yang dinyatakan radikal.
Padahal, sejarah menceritakan pada dunia bahwa radikalisme nampaknya selalu dipelihara, demi kepentingan kolonial yang selalu berganti pemainnya. Jadi lontaran statemen Wahabi memang lebih dahsyat dari bom itu sendiri. (Eman Mulyatman)
sumber : http://www.sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=440:ghazwul-fikri-lebih-dahsyat-dari-bom&catid=82:inkit&Itemid=199
Senin, 09 November 2009
heramkempek
→
artikel
→ perang pemikiran lebih dahsyat dibandingkan Bom
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar