'Bersyukur atas ujian'. kenyataan ini mungkin terlalu sulit untuk kita terima, bahwasanya kita harus bersyukur atas segala sesuatu yang Alloh tentukan untuk kita, walaupun kenyataan itu seringkali terasa pahit.
Adanya fenomena bunuh diri dan kesempitan hidup manakala menghadapi ujian yang begitu menyesakan dada, senantiasa mengingatkan kepada kita untuk kembali menanyakan apa yang Alloh kehendaki atas hidup kita dan apa yang DIA tetapkan atas diri kita hingga kita harus menerima suatu kensekuensi, atas kelalaian kitakah atau hanya sebatas ujian saja atau mungkin hukuman, berbagai perspektif kita keluarkan untuk mengartikannya.
Bahkan pada suatu titik tertentu diri kita senantiasa berontak menggugat, namun apabila ia mampu menelusuri dengan betul ia tidak dapat menyalahkan siapa-siapa. Saat itu ia benar-benar sendiri kemudian pandanganya mulai diarahkan kepada yang menciptakan (menakdirkan)-nya. Saat itu pula berbagai persangkaan mulai timbul. Saat diri dihadapkan kepada Dzat yang Maha Sempurna, mampukah ia tetap berprasangka baik atau mungkin sebaliknya, ia mengingkari/menjauh/membangkang.
Jika seseorang mampu menelusuri hidupnya dimasa ia belum mengenal apa-apa, hanya kesenangan dan kedamian yang ia peroleh kapanpun ia mampu mengenalinya, pastilah ia sadar namun tidak akan menjadi sadar manakala ia tidak mampu mengenali sistem yang mengendalikan dirinya menjadi baik.
Bagi orang yang mengenal Islam dan menjalankannya dengan baik Insya Alloh tidak sulit, kemana ia harus kembali membenahi diri. Sebagaimana kisah Nabi Musa as dengan muridnya mencari sorang Guru (Khidir as). Untuk menelusuri pertemuan dua lautan yang terjaga dengan baik. Jangan terikat oleh dimensi ceritanya namun fokuslah pada pengajaran (hikmah). Orang yang terfokus pada cerita senantiasa menuntut bukti.
Dua lautan yang terpisah adalah pengetahuan yang murni namun seringkali terkontaminasi tatkala mencuat. Ibarat kata susu sapi yang diperas dengan tangan kotor, maka kotorlah susu tersebut. Begitu juga wadah-wadah lainnya, turut mengkontaminasinya. Namun bukan salah susu atau sumbernya. Persepektif yang menilai/memandangnyalah yang salah, karena si penerima sibuk memilah.
Sebagai contoh mudah adalah ketika saya menulis apa yang saya pahami namun disisi lain saya tidak mampu menguraikan dengan detil bagaimana sekiranya dapat memberi gambaran yang jelas kepada pembaca sehingga pembaca dapat mencapai kesimpulan yang serupa dengan apa yang saya maksudkan. Jika dunia ini iabarat sebuah perjalanan yang jauh sebagaimana Malaikat yang melapor menempuh 50.000 tahun tentulah teramat panjang, dan tidak cukup umur kita untuk mengenaliNYA apapun ilmu yang kita dapatkan.
Tulisan saya tidak lebih hanya keringat yang terasa asin dilidah anda, jika dapat memandang suatu upaya. Jika pembaca ingin merasakan manisnya harus menggalinya sendiri dari sumbernya, atau mengeluarkan keringat juga. Itulah dimensi rohani, yang tidak dapat terwakili apapun kecauali anda menjalaninya.
Dalam mengenalNYA yang ada hanya 'menurutku' atau 'yang aku tahu' sebagai wakil seseorang dalam memahami hidup. Ketika dibagi kepada orang lain orang hanya menerjemahkan sebatas apa yang dialami dari bahasa yang disampaikan. Namun dari bahasa itu tidak pula orang lain dapat mewakili kepedihan yang dialami si pencerita. Begitu juga hal-hal lainnya sebagaimana halnya pengetahuan dan proses belajar-mengajar atau interaksi antar sesama. Boleh jadi kita merasa bahwa kita senasib dan sepenanggungan di dunia ini, sebagai sesama mahluk adalah betul, namun jika kita tengok jauh berdasarkan perjalanan rohani seseorang akan mendapati sesuatu yang berbeda. Jika kita mampu menyelami lebih mendalam, sebagaimana hati yang damai tidak dari suatu perjalanan yang terus ditempa dengan berbagai cobaan. Ibarat mengkredit kita lalui dengan berangsur-angsur, sehingga tidak terlalu memberatkan kita. Dan apa yang ditentukan atas diri kita tentulah sesuai dengan kemampuan kita. Ketika tidak mampu menghadapi atau bahkan sampai nekat bunuh diri disitulah bukan kehendakNYA, melainkan apa yang selama ini DIA larang tidak diabaikan. Pada saat memahami arahkan pada diri selaku pribadi, jangan buru-buru diarahkan kepada objek lain. Dari wilayah terkecil yaitu diri kita niscaya orang mampu memahami arti dari perjalanan hidupnya.
Seringkali kita tidak merasa ingin dilahirkan didunia. Entah bagaimanapun bentuknya terwakili oleh keluhan-keluhan, baik yang sampai terdengar orang lain atau sebatas merenung.
Kenyataan sudah banyak membuktikan bahwa kecerdasan emosi (EQ), lebih menentukan keberhasilan seseorang dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Apa sebab? Takala orang merasa pintar, saat itulah ia menutupi diri dari menerima. Pernah bukan ketika kita menerima suatu pengajaran timbul pikiran 'ach bahasanya gak level'. Disitulah orang dengan sendirinya telah memisahkan diri dari pemahaman yang seharusnya masuk, ia tolak karena merasa tidak sepaham. Namun bila seseorang sudah memasuki Islam dengan benar sesuai urutannya dan menjalaninya dengan baik, niscaya ia akan tahu ia akan menghirup udara bebas, tanpa harus terkontaminasi. Dengan ketentuan ia mampu memahami Islam secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Kenapa hanya Islam? Kembali saya menegaskan bahwa saya hanya dapat menyampaikan sebatas apa yang dapat saya tumpahkan dalam tulisan ini. Jika umurku yang tersisa hanya duduk untuk menulis niscaya tidak akan habis untuk menuliskannya. Namun jika seseorang cukup yakin dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangannya melalui Rosululloh saw contohkan niscaya seseorang dapat menemukan sumbernya dan merasakan hal yang sama, tanpa harus terbentur pada wilayah yang dapat ia kenali saja.
Rosululloh saw sebagai pribadi yang telah selamat sampai tujuan (RidhoNYA), mewakili manusia lainnya bahwa untuk membuat suatu penilaian yang objektif seseorang tidak terbebas dengan sendirinya. Ia memerlukan guru, objek penuntun. Dan sesama manusialah orang saling menilai dan objek utama sebagai penuntun. Sedangkan Nabi Ibrahim orang yang mampu belajar dari alam. Namun kearah itu tidak semudah apa yang saya tulis ini. Yang dapat dicapai kesimpulannya dalam sehari atau saat selesai membaca saja. Adanya interasksi yang sangat kuat antara hamba dengan Tuhannya. Ketika seseorang salah dalam menuhkankan sesuatu, iapun telah kehilangan arah dan tujuan.
Ujian tidak lain adalah benturan agar manusia menyadari keterbatasan, sehingga ia tetap pada jalur yang lurus. Senantiasa tunduk dan patuh. Mungkin seringkali kita menilai orang yang shalatnya rajin terlihat bodoh. Padahal disisi lain apa yang dirasakan si ahli ibadah hanya suatu rasa yang tidak dapat dikomunikasikan (dibagi), karena memang bagaimanapun hati (rohani) tidak bisa dibagi seperti sepotong roti. Masing-masing diri menjalani hidupnya dengan proses yang adil masing-masing punya track yang harus dilaluinya.
Begitu juga saya dalam menuangkan suatu makalah jika tidak harus memberikan gambaran awal niscaya akan sulit dipahami. Dalam novel atau berita yang dikedepankan pastilah awal kejadian, walaupun hanya sebatas tanggal atau tempat saja. Begitu juga kita dalam mencerna berita pastilah ada latar belakang seseorang yang menjadikanya konek (nyambung). Jika semua orang tidak perlu semua itu tentunya mudah untuk berbagi pengetahuan dan tiadalah pembatas antara seseorang dengan lainnya.
Pahamilah arti keterbatasan agar kita tahu wilayah. Islam dengan kitabnya terlalu luas untuk diuraikan. Tiadalah seseorang dapat mencuri dengar tanpa ia memasuki RumahNYA dengan benar. Jika kita mampu melihat Islam sebagai Istana (bangunan/kerajaan yang Hak) dan tiada kerajaan lain selain itu.
Tiadalah seorangpun dapat lolos dari ujian hidup sekalipun hanya merasakan ketika sakaratul maut. Walaupun bius dapat melenyapkannya, tidaklah dapat lolos pada pengadilan sesudahnya dan sesudahnya lagi.
Selasa, 30 Agustus 2011
heramkempek
→
artikel
→ Bersyukur atas ujian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar