Manusia sebagai mahluk Alloh di tengah alam semesta yang sangat luas tidak lepas dari interaksi akan sesama sebagai mahluk sosial ataupun dengan alam. Namun sedikit saja yang dapat berinteraksi dengan dirinya sendiri. Apa yang dikehendaki oleh Alloh atas diri kita dengan adanya kehidupan dunia? Adakah suatu maksud yang harus dimengerti atau menerima begitu saja sebagai kehendakNYA tanpa mengartikannya lebih jauh agar lebih mensyukuri?
Mana kehendak dirinya mana kehendak Alloh? Agar tidak terjebak oleh keadaan yang akan membelenggu dirinya untuk memahami kebenaran.
Dalam berinteraksi pertama kali yang kita terjemahkan tentunya hal-hal diluar diri kita dengan panca indera yang kita miliki dengan kaidah-kaidah yang Dia tetapkan melalui syariat yang ditetapkan RosulNYa.
Demikian bayak hal-hal yang kita temui mana yang layak kita kumpulkan mana yang tidak adalah bukan tanggungan kita, sehingga kita hanya mempelajari dan terus mempelajari. Jika kita tahu mana makanan hati tentunya dapat membedakan mana yang pantas menjadi konsumsi dan mana yang akan meracuni sayangnya susah untuk mengartikan semua itu apalagi hatinya masih keruh. Dan kesemuanya butuh tahapan untuk memahami dan senantiasa harap dan cemas. Sampai pada kondisi yang langgeng dimana karekter/aklak baik terbentuk.
Ada orang yang beriman hanya melihat dari segi kedamaian saja, namun sesungguhnya hanya perasaan nyaman.
Sebuah analogi : ketika seseorang yang biasa makan diwarteg (seperti saya) tentu akan risih jika makan di restauran mewah walaupun ditraktir. Begitu juga sebaliknya buat orang kaya yang terbiasa makan direstoran mewah akan merasa lebih nyaman dengan dunianya.
Manakah nyaman manakah damai sesungguhnya?
=============================
Nyaman bukanlah kedamaian, karena sifatnya sangat relatif. Begitu juga orang dalam beragama hanya merasakan damai dari segi kenyamanan dari lingkungannya. Yang Kristen tetap nyaman dengan kristennya, yang Muslimpun demikian jika kita tidak pandai-pandai mengoreksi diri tentulah peningkatan keimanan dari sekedar merasakan menjadi pembenaran sampai pada pembuktian susah dibedakan.
Perasaan nyaman karena terkondisi oleh hal-hal diluar dirinya bukan karena apa yang ada dari dalam dirinya, yang mana dari segi rasa perbedaannya sangat tipis. Namun dari perjalanan waktu dan laju pertumbuhannya sangatlah berbeda jika kita memperhitungkannya dengan jeli. Sebagaimana halnya antara kebahagiaan dengan kegembiraan tentulah berbeda. Mana yang situasional mana yang kondisional mana yang langgeng?
Hendaknya kita bisa membedakan, dengan lebih banyak memperhatikan amalan diri sendiri terlebih dahulu. Adapun diluar diri kita adalah penguji, yang mana sifat manusia yang lemah dan penuh keluh kesah bersentuhan dengan hal-hal lain diluar dirinya turut membentuk karakter. Dengan kondisi yang ada sekarang suasana diluar tidak kondusif yang bisa menjadi barometer karena ikatan itu telah pudar karena keegoan masing-masing yang lebih mengutamakan kenyamanan dan mengabaikan kedamaian.
Orang yang terkondisi biasanya cenderung dengan pengagungan hati dan menolak mentah akan penggunaan akal untuk memahami atau menerima kenyataan karena penilain baik hanya di pandang dari pemahamannya saja.
Hati dan akal masing-masing punya kelemahan, namun jika kita mengikuti betul kehendak Alloh dengan mengikatkan diri dengan syariat yang telah ditetapkan RosulNya, niscaya kesemuanya dapat berkorelasi dengan sempurna, mana yang harus dikorbankan untuk memberi jalan yang lainnya mencapai kesempurnaan sebagai usaha kita untuk memperbaiki diri. Tidak perlu lagi kita berbantah-bantahan dengan syariat yang wajib dan yang sunah kita tahu, sekarang pengertiannya untuk menghidupkan itu semua yang perlu kita pahami dengan banyak melihat keadaan sebagai bentuk penyadaran.
Rentetan pemahaman
=============
Rentetan pemahaman dapat dipahami secara garis besar dari segi input (masuk) dari panca indera dicerna otak kemudian bermuara (dilaporkan) ke hati, sedangkan output(keluar)nya dari hati kemudian diolah otak dan otak memerintah kepada yang lainnya. Proses input dan output tidak semuanya dikendalikan oleh otak, hal ini bisa dimengerti hanya untuk menerjemahkan proses seseorang menangkap pengetahuan saja.
Wilayah kita sebenarnya sangat sempit untuk menejemahkan kesemuanya apalagi berharap untuk di beberkan secara mendetail. Walaupun mendetail tanpa pelaksanaan akhirnya hanya menguasai kulit saja, atau menerima isi tanpa mengupasnya sendiri adalah sesutu yang mustahil tanpa dijalankan. Namun jika kita pahami betul wilayah yang sempit itu (pemahaman) adalah dinding yang bisa menjadi tameng (pelindung dari pemahaman yang merusak) namun bisa juga menjadi penghalang jika terlalu tebal (cuek).
Gunanya akal untuk memahami bukan untuk menyiasati kebenaran ayat-ayatNya. Jika sibuk bersiasat dengan pengetahuan yang tak seberapa yang ada antara akal dengan hati bisa menjadi musuh atau sebaliknya menjadi kawan sejati dalam kemungkaran bukan dalam kebaikan.
Adapun yang menjadi dinding penghalang lainnya adalah dirinya sendiri apapun itu dari kecintaan, ketakutan, dan sifat-sifat lainnya yang menempati dimensi kejiwaan karena tidak dipasrahkan untuk mengikuti kehendakNYA atau lebih condong mengikuti egonya.
Hilangkan ketergantungan kepada selainNYA sehinga kita pantas bercampur dalam satu wadah yang bersih pula. Kebersihan jiwa (kesucian) bukanlah pekerjaan kita, pekerjaan kita adalah mengamalkan dan kesucian jiwa adalah perolehannya.
[91.7] dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
[91.8] maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
[91.9] sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,
[91.10] dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Sebagai catatan yang sering menjadi bahan pergunjingan yang mana dalam berdiskusi tidak menyentuh substansinya malah semakin jauh adalah belum mengerti suatu kedudukan kalimat dengan arah pembicaraan dan di lain pihak adalah kedudukannya dalam memahami yang kadang menempatkan diri sebagai lawan karena terlalu cepat mengambil kesimpulan apalagi tidak didasari untuk sama-sama mencari pengertiannya.
Faktor-faktor penghalanglah yang harus kita bersihkan dengan menghilangkan segala dugaan yang tidak mendasar hingga kita terkondisi untuk senantiasa membekali diri dengan pengetahuan.
Alam semesta dan manusia sebagai isinya tidak mungkin terlepas dari ketetapan Alloh dan tak mungkin terbebas dari ketetapan (takdir) yang buruk yang telah ditetapkan melalui CiptaanNYA (sunatulloh) melainkan dengan mengikuti kehendakNya (Jalan yang lurus Al-Islam Rahmat seluruh Alam).
Jumat, 05 Maret 2010
heramkempek
→
artikel
→ Tembok Pemisah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar