Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Pendapat 4 Mazhab Utama dalam Masalah Sampainya bacaan Qur'an untuk mayit
1. Mazhab Al-Hanafiyah
MazhabAl-Hanifiyah menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan ibadah, baik berupa sedekah, bacaan Al-Quran atau lainnya adalah merupakan amal kebaikan yang menjadi haknya untuk mendapat pahala. Dan juga menjadi haknya pula bila dia menghadiahkan pahala itu untuk orang lain. Dan pahala itu akan sampai kepada yang dihadiahkan.
Dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar wa Rad Al-Muhtar jilid 2 halaman 243 disebutkan hadits yang menurut mereka shahih:
Orang yang mendatangi kuburan dan membaca surat Yasin, Allah SWT akan meringankan dosanya pada hari kiamat. Dan baginya pahala sejumlah orang yang meninggal di kuburan itu.
Dalam kitab Fathul Qadir disebutkan hadits berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang lewat kuburan dan membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali, dan dia menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, dia akan diberikan balasannya sejumlah orang yang mati.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ''anhu bahwa nabi SAW ditanya oleh seseorang, "Ya Rasulullah, kami bersedekah untuk orang yang sudah meninggal, juga berhaji untuk mereka. Apakah semua itu akan sampai kepada mereka?" Beliau SAW menjawab, "Ya, sesungguhnya amal itu akan sampai kepada mereka. Mereka sangat berbahagia sebagaimana kalian bergembira bila menerima hadiah hidangan.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Secara pendapat resmi mazhab ini menyatakan tidak bisa menerima bila ada bacaan Al-Quran yang dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah mati. Setidaknya, tindakan itu merupakan hal yang dimakruhkan (karahiyah).
Dan itulah juga yang merupakan pendapat Al-Imam Malik rahimahumallah bahwa membacakan Al-Quran buat orang yang sudah wafat itu tidak ada dalam sunnah.
Namun Imam Al-Qarafi dari ulama kalangan mazhab ini agak berbeda dengan imam mazhabnya dan pendapat kebanyakan ulama di dalam mazhab itu. Demikian juga dengan para ulama mazhab ini yang belakangan, kebanyakan malah membenarkan adanya kirim-kiriman pahala kepada orang mati lewat bacaan Al-Quran.
Jadi intinya, masalah ini memang khilaf di kalangan ulama. Sebagian mengakui sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang telah meninggal, sedangkan sebagian lainnya tidak menerima hal itu. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang amat wajar. Tidak perlu dijadikan bahan permusuhan, apalagi untuk saling menjelekkan satu dengan lainnya.
3. MAzhab Asy-Syafi''i
Mazhab ini menyebukan bahwa semua ulamanya sepakat atas sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah wafat. Namun tentang pahala bacaan Al-Quran, memang ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan sampai dan sebagian mengatakan tidak sampai.
Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim jilid 7 halaman 95, bahwa Al-Imam Asy-Syafi''i sendiri termasuk mereka yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala bacaan ayat Al-Quran buat orang yang sudah wafat.
Mereka yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang mati dalam mazhab ini di antaranya adalah yang disebutkan dalam kitab Syarah Al-Minhaj.
jadi di madzhab Imam Syafi'i terjadi perbedaan pendapat tentang sampainya bacaan Qur'an dan Imam Qoffali (pengikut syafi'iyah) merupakan ulama' yg meyakini sampainya baca'an Qur'an untuk ahli kubur.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah rahimahullah, ulama pakar dari kalangan mazhab Hanabilah, dalam kitab Al-Mughni, halaman 758 menuliskan bahwa disunnahkan untuk membaca Al-Quran di kubur dan dihibahkan pahalanya.
Sedangkan menurut sebuah riwayat Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan bahwa hal itu bid''ah. Tapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kemudian beliau mengoreksi kembali pernyataannya.
Iman Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa mayat akan mendapat manfaat dari bacaan Al-Quran yang dihadiahkan oleh orang yang masih hidup kepada dirinya. Hal itu sebagaimana sampainya pahala ibadah maliyah seperti sedekah, waqaf dan lainnya.
Di dalam kitab fenomenal beliau, Majmu'' Fatawa jilid 24 halaman 315-366 disebukan: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.
DALIL2 BANTAHAN TAHLILAN:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”.
(QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Bahwa rasulullah s.a.w. bersabda:"jika seorang manusia mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”-HR.Muslim-
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk (dalil) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit.
Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Riwayat bukhori menyatakan:
عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
قَوْله : ( بَاب مَا يُكْرَه مِنْ النِّيَاحَة عَلَى الْمَيِّت )
قَالَ الزَّيْن بْن الْمُنِير : مَا مَوْصُولَة وَمِنْ لِبَيَانِ الْجِنْس فَالتَّقْدِير : الَّذِي يُكْرَه مِنْ جِنْس الْبُكَاء هُوَ النِّيَاحَة ، وَالْمُرَاد بِالْكَرَاهَةِ كَرَاهَة التَّحْرِيم لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ الْوَعِيد عَلَيْهِ اِنْتَهَى-فتح الباري كتاب الجنائز-
Dari Mughiroh ra ia berkata: Saya mendengar nabi SAW bersabda: "sesungguhnya berbohong atas namaku tidak seperti berbohong atas nama orang lain, barang siapa yg berbohong atas namaku (memalsukan hadits atau berhujjah dgnnya-pent-) dengan sengaja,maka terimalah tempatnya dineraka, (kemudian) saya mendengar nabi SAW bersabda (selanjutnya):"barang siapa yg melakukan niyahah, maka dia akan di'adzab dikarenakan niyahah yg dia lakukan"-HR.Bukhori,kitabuljanaiz-. Berkata AzZainu ibnulMunir:"'ma' dan 'man' maushul (pada hadits tsb) untuk menjelaskan (salah satu) jenis / macam (sesuatu), maka taqdirnya adalah:"yang dibenci dari jenis tangisan adalah Niyahah,dan yg dimaksud dengan karohah (dlm niyahah) adalah karohah (bermakna) pengharaman,disebabkan adanya (redaksi) 'Adzab pada kalimat sebelumnya,selesai. (Fathulbari, kitabuljanaiz)
Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah –pent).
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG... Lihat Selengkapnya
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG-Haram- ).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk (dalil) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Menyikapi hadist ini, kiranya terbukti bahwa berdasarkan paparan dalil yang dikemukakan dalam artikel K.H. Nuril Huda,
1. (QS Al-Hasyr 59: 10)
2. (QS Muhammad 47: 19)
3. (HR Abu Dawud)
4. Penjelasan nasakh mansukh berdasarkan penjelasan shahabat Ibnu Abbas (dalam tafsir Ath-Thobari)
5. (QS. Ath-Thuur 21)
6. Kitab majmu' Fatawa Jilid 24 karya Syeikhul Islaam Al-Imam Ibnu Taimiah
Alfaqier menyimpulkan bahwa terbukti Tahlilan bukanlah suatu acara yang mengada-ada yang tanpa didasarkan pada dalil-dalil. Adapun dalil-dalil yang ada bersifat 'aam (umum) maka hal itu tidak menjadikan bahwa hal itu tertolak, lantaran dalil shorih tidak mewajibkan penggunaan dalil khoos (yang bersifat khusus/ letterluks) dan juga dalil shoorih tidak melarang penggunaan dalil yang bersifat 'aam.
Menyikapi Kaidah ushul Fiqh :
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Menyikapi kaidah ushul fiqh ini, maka Alfaqier akan menjawabnya dengan kaidah ushul fiqh pula :
مَا لَا يُتِمُّ الوَاجِبُ اِلَّا بِهِ فَهُوَا وَاحِبُ
Apa yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu perkara yang wajib kecuali kesempurnaan tersebut tercapai lewat suatu hal, maka hal tersebut juga menjadi wajib.
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang serupa antara keduanya.
Oleh karena itu, dalam masalah Tahlilan, sepanjang ilmu yang ada di kepala Alfaqier, Tahlilan adalah suatu wadah tempat berkumpulnya sekumpulan orang untuk saling bersilaturahmi dan berdzikir serta berdo'a bersama dengan lantunan dzikir-dzikir dan ayat Qur'an yang kesemuanya bukanlah hasil karangan yang tidak ada dalilnya dari alqur'an atau hadist. Tahlilan hanyalah sebagai wadah, sedangkan prosesi ibadahnya adalah dzikir, bacaan qur'an, sedekah, dan silaturahmi yang terdapat didalamnya
Oleh karena itu, Alfaqier sependapat dengan pendapat banyak kalangan yang mengqiyaskan acara Tahlilan ini dengan Sekolah/ Madrasah dalam hal keduanya sama-sama tidak memiliki dalil shorih yang bersifat khoos (khusus).
Sepanjang pengetahuan Alfaqier, Belum ada ada dalil shorih yang berupa perintah secara khusus (dalil khoos) dalam bentuk fi'il 'amr atau setingkatnya prihal kewajiban membangun Sekolah/ madrasah. Yang ada hanyalah kewajiban bagi umat muslim (baik lelaki ataupun perempuan untuk menuntut ilmu). Begitu pula Tahlilan, walaupun tidak ada dalil shorih secara letterluks akan keberadaannya, namun perintah untuk berdzikir sebanyak-banyaknya dalam keadaan sendirian ataupun beramai-ramai banyak sekali tertulis di Qur'an dan hadist. Ditambah lagi dalil-dalil sebagaimana yang Alfaqier kedepankan berdasarkan artikel K.H Nuril Huda di postingan sebelumnya.
Menyikapi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.
Alfaqier hanya mempertanyakan tulisan yang di dalam kurung yakni "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)"
Apakah pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" merujuk pada syarah kitab min ashaabis Syafi'i (Kitab karangan ulama bermadzhab Syafi'i) atau dikutip dari sumber artikel yang ma'rojinya bukan dari ashhaabis Syafi'i
Alfaqier menganggap penting hal ini, sebab sepanjang Alfaqier membaca kitab-kitab Ashaabis Syafi'i, suatu amalan itu tidak serta merta dianggap istihsan hanya karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Alfaqier khawatir, pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" hanya upaya pendeskreditan salah satu qoul Imam Syafi'i oleh pihak yang bukan dari madzhab Ahlussunnah wal Jama'ah
Sebab sepanjang pengetahuan Alfaqier, Imam syafi'i rohimallaahu ta'aala adalah seorang ulama salaf yang telah memklasifikasi perkara bid'ah (hal yang tidak dicontohkan rasulullah saw) menjadi 2 bagian, yakni bid'ah Mahmuudah (yang terpuji) dan bid'ah madzmuu'ah (yang tercela)
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
Apabila penjelasan yang didalam kurung, yakni pernyataan "(padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah –pent)" adalah syarah dari pernyataan Imam Syafi' maka lantas mengapa Imam Syafi'i berani mengklasifikasikan hal-hal yang tidak dicontohkan Rasulullah saw (bid'ah) menjadi 2 bagian.
Sepanjang pemahaman al faqier, dikalangan Ashaabis Syafi'i tidak melarang bid'ah yang terpuji selama memiliki landasan berfikir yang sesuai dengan syari'at hukum fiqh Ahlussunnah wal Jama'ah (yakni : Qur'an, Hadist, Ijma' dan Qiyas)
Menyikapi pernyataan :
"Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit."
maka sebenarnya kajian ini tidak dalam, karena hanya mengutarakan qoul MasyHur (pendapat MasyHur) dari salah satu qoulnya imam Syafi'i, seharusnya apabila mengajak pembacanya ingin mengkaji lebih dalam, maka sepatutnya dikemukakan pula penjelasan apa itu definisi qoul masyHur berikut definisi-definisi qoul Adzhar yang menjadi padanan kata qoul MasyHur. berikut definisi qoul Qodiim, qoul jadiid, qoul mu'tamad dan sebagainya, agar tercapai pemahaman yang menyeluruh dan penarikan kesimpulan yang sempurna bagi orang awam yang membacanya. Sehingga dapat menghindari penulisnya dari fitnah akibat penulisan postingannya.
Berdasarkan penjelasan ulama min Ashaabis Syafi'i (dari golongan Imam Syafi'i) dal;am Kitan I'aanatuth Thoolibiena juz 3 (halaman 218-222)
Qoul masyHur adalah pendapat imam Syafi'i yang terdapat didalamnya khilaf yang tidak terlalu signifikan
padanan katanya adalah qoul AdzHar, yakni pendapat Imam Syafi'i yang terdapat didalamnya khilaf yang sangat signifikan
Baik qoul masyHur maupun qoul Adzhar terdapat khilaf didalamnya. Bermula qoul AdzHar, dikarenakan besarnya khilaf maka tidak dijadikan pegangan bagi ulama min Ash-haabis Syafi'i. Sedangkan qoul MasyHur, karena didalamnya mengandung khilaf (walaupun tidak terlalu signifikan) namun tetap saja tidak dijadikan dalil yang mu'tamad (dalil yang dijadikan pegangan dalam mengambil hukum oleh kalangan ulama min Ashaabis- Syafi'i.
Kalau memang kita mau memberikan informasi yang mendalam bagi pembaca, seharusnya dijelaskan pula bahwa qoul masyHur yang dikemukakan oleh imam Syafi'i prihal tidak sampainya bacaan qur'an dari orang yang masih hidup kepada yang sudah wafat, qoul MasyHur tersebut bukanlah Qoul yang mu'tamad (qoul yang dijadikan pegangan oleh ulama-ulama min Ashaabisy Syafi'i). Qoul MasyHuur adalah qoul yang dhlo'iif (lemah) di kalangan 'ulama pengikut Imam Syafi'i. Qoul dho'if bukanlah qoul yang mu'tamad (yang dijadikan pegangan) oleh JumHur 'ulama min Ash haabis Syafi'i.
Menurut penuturan Imam Nawawi dalam Kitab Al-Adzkar halaman 140 : "Dalam hal sampainya bacaan Al Qur'an, Pendapat yang MasyHur dari Madzhab Syafi'i dan sekelompok 'ulama adalah tidak sampai. namun menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan juga ashhaab syafi'i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka yang paling baik adalah si pembaca menghaturkan do'a " Yaa Allah sampaikanlah bacaan ayat ini untuk si fulan..."
Tertulis pula dalam Al Majmu' jilid 15/ 122 : "Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj : " Dalam madzHab Syafi'i, menurut qoul yang MasyHur, pahala bacaan adalah tidak sampai. tapi menurut qoul yang mukhtar adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan tersebut. dan seyogyanya memantapkan pendapat ini, karena dia adalah do'a. Maka jika boleh berdo'a untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendo'a, maka kebolehan berdo'a dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendo'a adalah lebih utama.
dengan demikian, terlihat bahwa dalam Madzhab Imam Syafi'i terdapat 2 pendapat tentang sampainya pahala bacaan :
1. Qoul MasyHur (pendapat berkategori dho'if/ lemah) menyatakanpahala bacaan adalah tidak sampai
2. Qoul Mukhtar (pendapat yang dipilih oleh kebanyakan ulama min Ash haabis Syafi'i) menyatakan sampainya pahala bacaan dari yang masih hidup kepada yang sudah mati.
Syeik zakaria al-Anshori dalam kitabnya fathul Wahhab Jilid II/ 19 menyatakan bahwa yang dikatakan qoul masHur dalam masalah ini adalah apabila AlQur'an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacan untuknya.
Mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan, syeikh sulaiman al-Jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamaal jilid 4/67
"Berkata syeikh Muhammad Ramli : sampai pahala bacaan kepada mayyit jika terdapat salah satu dari tiga perkara :
1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya
2. Berdo'a untuk si mayyit sesudah bacaan al-Qur'an, yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya
3. Meniatkan sampainya pahala bacaan itu kepadanya"
Hal senada juga disampaikan oleh syeikh Ahmad bin Qosim al-Ubadi dalam Hasyiah Tuhfatul Muhtaj jilid VII/ 74
"Kesimpulan bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendo'akan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca al-qur'an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasil lah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya.
Ini semua adalah penjelasan bagi qoul masyhur Imam Syafi'i prihal sampainya pahala bacaan qur'an kepada mayyit berdasarkan 'ulama-ulama bermadzhab Ahlussunnah wal jamaa'ah, khususnya dari kalangan Madzhab imam syafi'i itu sendiri, merekalah yang lebih memahami qoul 'ulama yang menjadi panutannya.
kalau ingin lebih mendalam, mari kita bahas pendapat di semua madzhab secara umum:
Pendapat 4 Mazhab Utama dalam Masalah Sampainya bacaan Qur'an untuk mayit
1. Mazhab Al-Hanafiyah
MazhabAl-Hanifiyah menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan ibadah, baik berupa sedekah, bacaan Al-Quran atau lainnya adalah merupakan amal kebaikan yang menjadi haknya untuk mendapat pahala. Dan juga menjadi haknya pula bila dia menghadiahkan pahala itu untuk orang lain. Dan pahala itu akan sampai kepada yang dihadiahkan.
Dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar wa Rad Al-Muhtar jilid 2 halaman 243 disebutkan hadits yang menurut mereka shahih:
Orang yang mendatangi kuburan dan membaca surat Yasin, Allah SWT akan meringankan dosanya pada hari kiamat. Dan baginya pahala sejumlah orang yang meninggal di kuburan itu.
Dalam kitab Fathul Qadir disebutkan hadits berikut ini:
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang lewat kuburan dan membaca Qulhuwallahu ahad sebanyak 11 kali, dan dia menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, dia akan diberikan balasannya sejumlah orang yang mati.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ''anhu bahwa nabi SAW ditanya oleh seseorang, "Ya Rasulullah, kami bersedekah untuk orang yang sudah meninggal, juga berhaji untuk mereka. Apakah semua itu akan sampai kepada mereka?" Beliau SAW menjawab, "Ya, sesungguhnya amal itu akan sampai kepada mereka. Mereka sangat berbahagia sebagaimana kalian bergembira bila menerima hadiah hidangan.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Secara pendapat resmi mazhab ini menyatakan tidak bisa menerima bila ada bacaan Al-Quran yang dikirimkan pahalanya kepada orang yang sudah mati. Setidaknya, tindakan itu merupakan hal yang dimakruhkan (karahiyah).
Dan itulah juga yang merupakan pendapat Al-Imam Malik rahimahumallah bahwa membacakan Al-Quran buat orang yang sudah wafat itu tidak ada dalam sunnah.
Namun Imam Al-Qarafi dari ulama kalangan mazhab ini agak berbeda dengan imam mazhabnya dan pendapat kebanyakan ulama di dalam mazhab itu. Demikian juga dengan para ulama mazhab ini yang belakangan, kebanyakan malah membenarkan adanya kirim-kiriman pahala kepada orang mati lewat bacaan Al-Quran.
Jadi intinya, masalah ini memang khilaf di kalangan ulama. Sebagian mengakui sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang telah meninggal, sedangkan sebagian lainnya tidak menerima hal itu. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang amat wajar. Tidak perlu dijadikan bahan permusuhan, apalagi untuk saling menjelekkan satu dengan lainnya.
3. MAzhab Asy-Syafi''i
Mazhab ini menyebukan bahwa semua ulamanya sepakat atas sampainya pahala sedekah kepada orang yang telah wafat. Namun tentang pahala bacaan Al-Quran, memang ada perbedaan pendapat. Sebagian mengatakan sampai dan sebagian mengatakan tidak sampai.
Disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim jilid 7 halaman 95, bahwa Al-Imam Asy-Syafi''i sendiri termasuk mereka yang cenderung mengatakan tidak sampainya pahala bacaan ayat Al-Quran buat orang yang sudah wafat.
Mereka yang mengatakan sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang mati dalam mazhab ini di antaranya adalah yang disebutkan dalam kitab Syarah Al-Minhaj.
jadi di madzhab Imam Syafi'i terjadi perbedaan pendapat tentang sampainya bacaan Qur'an dan Imam Qoffali (pengikut syafi'iyah) merupakan ulama' yg meyakini sampainya baca'an Qur'an untuk ahli kubur.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah rahimahullah, ulama pakar dari kalangan mazhab Hanabilah, dalam kitab Al-Mughni, halaman 758 menuliskan bahwa disunnahkan untuk membaca Al-Quran di kubur dan dihibahkan pahalanya.
Sedangkan menurut sebuah riwayat Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan bahwa hal itu bid''ah. Tapi dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa kemudian beliau mengoreksi kembali pernyataannya.
Iman Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa mayat akan mendapat manfaat dari bacaan Al-Quran yang dihadiahkan oleh orang yang masih hidup kepada dirinya. Hal itu sebagaimana sampainya pahala ibadah maliyah seperti sedekah, waqaf dan lainnya.
Di dalam kitab fenomenal beliau, Majmu'' Fatawa jilid 24 halaman 315-366 disebukan: Orang-orang berbeda pendapat tentang sampainya pahala yang bersifat badaniyah seperti puasa, shalat dan membaca Al-Quran. Yang benar adalah bahwa semua itu akan sampai pahalanya kepada si mayyit.
Terlihat jelas bahwa mayoritas 'ulama salaf mengakui sampainya pahala bacaan qur'an dari orang yang masih hidup kepada yang sudah mati.
sepatutnya bagi kita, berpegang pada pendapat JumHur (Mayoritas) 'ulama. sebagaimana pesan baginda Rasulullah saw bahwa ummat beliau tidak akan bersekutu dalam hal kesesatan.
Wallahu a'lam bis showaab...