Alhamdulillaahi washsholaatu wassalaamu ‘alaa rasuulillaah
Kami melihat sebagian kaum muslimin berbicara kepada umat, bahwa mereka adalah “pendukung demokrasi”, “memperjuangkan demokrasi”. Setelah kami berdiskusi dengan sebagian orang tersebut; setelah kami bicara mengenai asal-usul landasan fiosofis, dan konsep praktis dari demokrasi; setelah kami paparkan contoh-contoh kasus dalam impementasinya yang rusak; setelah kami bandingkan dengan aqidah dan syariah islam; dan setelah kami nyatakan pertentangannya dengan tauhiid, maka sebagian dari mereka mengatakan: “kami tidak sedang memperjuangkan jenis demokrasi seperti yang anda sampaikan. Demokrasi seperti itu demokrasi barat, dan memang demokrasi barat bertentangan dengan islam. Tapi kami mengusung demokrasi yang lain, yakni demokrasi islam, demokrasi yang dipraktekkan oleh para Khulafaa’ur Rasyidiin”. Demi Allah, Ini adalah jawaban bathil yang harus dibungkam. Wallaahul musta’aan
Sebenarnya, istilah demokrasi-islam merupakan istilah yang mengalami contradictio in terminis. Sebab, Demokrasi-Islam terdiri dari dua istilah yang mewakili dua konsep yang asing antara satu dengan yang lain. Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang terbangun dari pandangan hidup tertentu (aqidah islam). Sedangkan demokrasi merupakan model pemerintahan yang ditelorkan dari pandangan hidup yang lain (bukan aqidah islam). Singkatnya, islam adalah idiologi tersendiri, sedangkan demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari idiologi lain, yaitu liberalisme-sekuler (yang menjadi salah satu rival islam).
Atas dasar itu, penggunaan istilah “demokrasi” yang ditempelkan pada istilah “islam” adalah penggabungan yang sangat aneh. Hal itu sama anehnya dengan istilah “Marxisme-islam”, sama seperti menyebut lagu-lagu gereja dengan istilah “nasid-gereja”, sama dengan menyebut tentara Amerika dengan sebutan “mujahid amerika”, sama dengan menyebut seorang kristen yang rajin ke gereja dengan sebutan “seorang kristen yang sholeh”. Bukankah itu merupakan penggunaan istilah yang kacau, di dalamnya terjadi pencampuradukan dua konsepsi yang sebenarnya tidak bisa dicampur. Marxisme adalah sesuatu, dan islam adalah sesuatu yang lain, keduanya bertentangan secara diametral. Di Indonesia, nasid merupakan istilah untuk lagu-lagu islami, sehingga tidak bisa digabungkan dengan istilah gereja. Istilah mujahid, dan sholihuun merupakan istilah yang secara spesifik digunakan untuk menyebut karakter tertentu dalam islam, tidak bisa digunakan dalam konteks di luar islam. Begitu pula dengan demokrasi yang merupakan anak kandung dari liberalisme-sekuler, adalah bukan islam, bahkan musuh islam. Sepert-itulah kejanggalan dari orang-orang yang menipu manusia dengan bermain kata-kata tanpa berfikir. Demokrasi-islam adalah kamuflase yang memperdaya umat muslim. Dan penipuan itu harus segera diakhiri agar umat terentaskan dari kubangan lumpur.
Tidak bisa dikatakan bahwa demokrasi di sini hanya merupakan kata serapan yang bisa saja dipakai untuk mensifati sebuah karakter dari islam. Seperti mengatakan bahwa Umar bin Khothob (ra) itu adalah seorang kholifah yang “aspiratif”, bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa Umar (ra) adalah seorang kholifah yang “demokratis”?, kata mereka. Dengan begitu mereka simpulkan bahwa pemerintahan islam adalah pemerintahan yang aspiratif, alias demokratis. Maka dari itu, menurut mereka, demokrasi merupakan karakter asli dari pemerintahan islam.
Jawabnya, demokrasi merupakan istilah yang memiliki pengertian yang telah mapan. Pengertian itu digunakan oleh seluruh dunia untuk menyebut sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Ia merupakan sistem pemerintahan yang lahir dari idiologi liberalisme-sekuler. Siapa saja yang memaknai demokrasi dengan pengertian yang berbeda dari pengertian itu berarti dia telah menyimpang dari bahasa manusia, dia telah menggunakan istilah dengan seenak perutnya. Apakah anda akan membenarkan jika ada orang yang mengaplikasikan kata “mobil” untuk sebuah kendaraan yang ditarik oleh seekor kuda yang dikendalikan oleh laki-laki yang memegang cemeti?
Bukankah orang itu telah menggunakan sebuah kata dengan cara yang bertentangan dengan konvensi manusia? Maka demokrasi harus kita maknai sesuai dengan makna yang digunakan oleh disiplin ilmu politik, sesuai dengan konsep aslinya, jika kita tidak mau dikatakan bodoh.
Dengan pengertian demokrasi yang asli, pemerintahan Umar bin Khothob tidak bisa disebut demokratis, sebab Umar bin Khothob (ra) tidak menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Beliau menjalankan pemerintahannya dengan menjadikan Al Qur’an dan As-sunah sebagai rujukan mutlak dalam mengambil kebijakan. Coba tanya kepada dunia dan ahli politik: “apakah kepala negara yang memutlakkan otoritas Al Qur’an dan As Sunah sebagai sumber hukum (bukan kehendak rakyat) dapat disebut negara yang demokratis? Mana bisa negara yang memutlakkan otoritas “wahyu” yang diyakini oleh penganut agama tertentu bisa disebut negara demokrasi? Mereka justru akan mengatakan: “pemerintahan islam yang bersandar pada aturan syariah yang “kaku” itu tidak demokratis, karena tidak menghargai kebebasan”.
Oleh karena itu, demokrasi bukan sekedar kata asing biasa, tapi ia merupakan istilah yang mapan, lahir dari pandangan tertentu, dan memiliki pengertian tertentu. Maka dari itu, istilah demokrasi tidak bisa diaplikasikan secara serampangan. Kenapa begitu? Karena jika digunakan secara ngawur, lepas dari konteks landasan filosofis dan konsepsi yang diwakilinya, maka penggunaannya akan tampak janggal. Seperti halnya kata presiden dan kholifah, kedua kata ini memiliki konsep tertentu, ia tidak bisa diaplikasikan di luar konteks yang sesuai dengan konsepnya.
Oleh karena itu, kata presiden ini tidak bisa diganti dengan istilah lain yang memiliki konsep lain, seperti istilah kholifah. Kedua kata ini, yakni presiden dan kholifah, tidak bisa saling menggantikan, sebab keduanya mengandung konsep tersendiri, bahkan konsep yang dikandungnya merupakan konsep yang bersifat idiologis yang eksklusif. Umar bin Khothob tidak bisa diberi atribut “presiden”, karena Umar (ra) memang bukan seorang presiden tapi seorang kholifah. Di lain pihak, Suharto dan Bush adalah seorang presiden, tidak bisa disebut kholifah Bush atau kholifah Suharto. Hal ini dikarenakan presiden merupakan sebuah isitilah yang penggunaannya relevan dalam negara demokrasi, dan kholifah, penggunaannya terbatas pada negara khilafah. Jadi presiden dan kholifah bukan kata serapan biasa, keduanya tidak memiliki padanan istilah dalam bahasa yang berbeda.
Lain halnya dengan kata serapan biasa, ia bisa digunakan dengan bebas, seperti kata manajer (manager). Maka kata ini (manajer) bisa digunakan untuk mensifati siapa saja yang bertugas mengatur aktifitas sejumlah orang untuk mengerjakan tugas tertentu. Kata ini juga memiliki padanan kata dalam berbagai bahasa. Dengan demikian kata ini bisa secara universal dilekatkan pada siapa pun, karena kata manajer tidak terkait dengan faham atau idiologi apapun. Hal ini lain dengan istilah Demokrasi. Sebab istilah ini khusus ditujukan kepada sistem pemerintahan yang ditegakkan dan diyakini keshahihannya oleh orang-orang yang menganut faham liberalisme-sekuler. Sementara itu, umat islam punya istilah khusus dalam menyebut sistem ketatanegaraan yang dimunculkan dari aqidah islam, yaitu khilafah.
Jika demokrasi itu sama dengan islam, dan khilafah yang asli pada masa khulafaur rasyidin dianggap sama dengan sistem demokrasi, maka seharusnya demokrasi dan sistem khilafah itu dianggap sebagai dua istilah yang memiliki konsep sama (sinonim). Ini jelas tidak bisa diterima, baik oleh umat islam, maupun penganut demokrasi, maupun oleh semua orang yang masih berakal sehat. Jika sistem khilafah adalah demokrasi, dan Amerika juga negara demokrasi, berarti sistem khilafah sama dengan sistem pemerintahan Amerika. Ya nggak? Katanya jika P = Q,, sementara Q = R, maka seharusnya P = R., bukankah demikian? Jadi jika kita konsisten mengatakan bahwa khilafah = demokrasi, maka kita juga harus mengatakan bahwa Amerika identik dengan khilafah yang dipimpin oleh KhulafaaurRasyidin itu. Sebab, semua orang di dunia ini mengatakan bahwa Amerika juga negara demokrasi, atau kalau anda tidak setuju dengan Amerika, taruhlah Yunani kuno sebagai ganti R. Padahal, nilai-nilai yang membangun Daulah Islam dengan nilai-nilai yang membangun Amerika atau Yunani itu sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Dan sebagian orang islam tidak akan rela jika dikatakan bahwa pemerintahan khulafaaur rasyidiin setipe dengan sistem Amerika atau pun yunani, begitu pula sebaliknya, orang amerika juga tidak rela jika demokrasi yang mereka banggakan dianggap sama dengan model pemerintahan islam yang mereka anggap Uncivilized.
Logika di atas jadi terlihat aneh karena salah satu premisnya salah total, yakni anggapan bahwa khilafah sama dengan demokrasi, maka jika premis-premisnya dihubungkan secara benar, konklusinya justru terlihat janggal, menggelikan, dan tidak sesuai dengan hasil penginderaan. Masak sih Yunani kuno atau amerika bisa disamakan dengan pemerintahan empat khulafaa’ awal radliyallahu ‘anhum? Jadi jelas, mengatakan bahwa Khulafa’ur Rasyidin telah menjalankan demokrasi merupakan salah satu pernyataan paling “unik” di dunia, saking “uniknya” layak untuk diluruskan. Hal yang sama parahnya pernah terjadi tatkala ada yang menyuarakan sosialisme islam (islam kiri), dan mengatakan bahwa pemerintahan islam pada masa lalu adalah pemerintahan yang bersifat sosialis.
Akan tetapi, istilah demokrasi saat ini sudah sangat populer. Melawan demokrasi sama artinya dengan melawan semua manusia. Maka untuk mendekati dan meraih simpati publik sebagian orang tidak menampakkan perlawanan terhadap istilah demokrasi. Mereka mengatakan kepada khalayak: “Kami juga menganut demokrasi”. Ketika kami menyapa mereka: “apakah kalian membela demokrasi? Padahal demokrasi itu begini dan begitu,.. bla, bla, bla..?”. Setelah itu mereka bebisik kepada kami: “Tunggu dulu, anda jangan tergesa-gesa menyalahkan kami, sebenarnya demokrasi kami berbeda dengan demokrasi yang dipahami oleh publik, kami meyakini demokrasi islam”. Maka disamping melakukan perancuan konsep, mereka dengan sadar juga telah melakukan tindakan kamuflase di mata publik. Sebab mereka menggunakan sebuah istilah di depan publik, akan tetapi mereka memaknai istilah itu dengan arti yang berbada dengan apa yang dipahami oleh publik. Ini seperti seorang sufi-ghulah yang ditanya orang-orang: “apakah anda sudah sholat?”, ia menjawab: “sudah”. Padahal yang dimaksud penanya adalah sholat maghrib, sedang sang sufi-ekstrim memaknai sholat sebagai “penyatuan batin antara manusia dengan Allah”. Apakah ini pembicaraan yang nyambung? Bukankah sang sufi-x-trim telah menipu orang-orang? Di samping itu, dengan tidak jujur kepada publik, mereka telah mungubur dan menyembunyikan fikrah islam, dan menampakkan diri sebagai pendukung demokrasi. Jika nanti kesadaran umat telah pulih, dan umat tahu bahwa demokrasi adalah bathil, sementara hari ini mereka terlanjur mengatakan sesuatu yang bathil, apakah nanti umat akan percaya kepada mereka?
Padahal telah diketahui bahwa mereka bertahun-tahun menyuarakan sesuatu yang bathil di depan umat? Tentu mereka tidak mau hal itu terjadi, maka mereka akan selalu berusaha menyembunyikan hakekat demokrasi, menjaganya agar tidak tampak bathil di mata umat. Dengan begitu, umat akan selalu melihat mereka sebagai pembela rakyat, pembela demokrasi. Dan selamanya mereka akan seperti itu. Tindakan ini mereka namakan “dakwah bijak”, dakwah yang tidak frontal, kata mereka. Apa ini yang disebut dakwah, menampakkan kebathilan sebagai sesuatu yang haq? Padahal, kita diajari untuk mengatakan sesuatu yang haq sebagai haq, dan bathil dikatakan bathil. Maka tidak heran jika mereka selalu membantah dengan bantahan yang tidak disandarkan pada skema pendalilan yang syar’i, seperti alasan dhorurat, mashlahat, daf’ul mafsadat, dsb, seraya mengesampingkan nash-nash yang qoth’i. Allaahumma innaa nas’alukal hudaa wash-shiraathol mustaqiim, wa na’uudzubika minasy-syayaathiin! Salaamun ‘alal mursaliin, wa aakhiru da’waanaa anil hamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
sumber: http://titok.wordpress.com/2007/05/10/32/
Minggu, 20 Desember 2009
heramkempek
→
religare
→ Kebatilan Istilah “Demokrasi-Islam”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar