Suatu ketika someone bertanya padaku...
“Apakah kamu sudah punya pacar?“
Aku jawab’Belum’
“Maukah kamu jadi pacarku?“ Ia kembali bertanya.
Aku jawab’aku tak mau pacaran’
”Kenapa tidak mau pacaran?”
Karena pacaran adalah hal yang terlarang dalam Islam, kataku.
”Kenapa begitu, bukankah pacaran adalah ajang perkenalan, agar tidak menyesal setelah menikah, kalau menikah tanpa perkenalan bagaikan membeli kucing dalam karung dong?” Katanya mencibir keyakinanku yang tidak mau pacaran.
Aku jawab bahwa Islam tidak sesempit itu. Islam selalu menghadirkan solusi terbaik bagi setiap problematika hidup. Islam datang lengkap bersama aturannya, aturan yang sesuai fitrah manusia, memuaskan akal, dan menentramkan jiwa. Dalam Islam tidak ada pacaran, tapi taaruf…dan taaruf bukanlah semacam pacaran Islami.
Coba kita lihat apa yang dilakukan oleh orang yang berpacaran. Jalan berdua, saling berpandangan dan terkadang berpegangan tangan, saling merayu, dan lain-lain kegiatan yang menjurus pada nafsu dan syahwat. Maka, Pacaran itu adalah salah satu pintu untuk mendekati zina. Dan perintah Allah sudah begitu jelas dalam surat Al-Isra ayat 32
"‘dan janganlah kamu mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk’,
Perintah Allah sudah begitu jelas, Dia melarang hambanya untuk hanya sekedar mendekati, hanya mendekati. Dia amat paham dengan rinci setiap kemampuan hamba-Nya.
Manusia itu adalah mahluk yang serba lemah dan tidak berdaya. Jadi, jangan pernah sombong dengan kemapuan kita menjaga diri di dalam maksiat. Berpura-pura buta dan tuli serta menutup mata dan telinga dari kebenaran. Apakah aku harus pura-pura buta dan tuli, padahal kebenaran itu telah sampai padaku. Aku tidak mau kelak di hari penghisaban amal, Allah berkata padaku dengan murka
"celakalah kamu, padahal telah datang peringatan padamu, tapi kamu malah berpaling dan mengabaikannya. Sekarang terimalah balasan atas semua kelalaian dan kesombonganmu".
Aku tidak sanggup, aku tidak berani menjamin. Apalagi syetan selalu menggoda dari segala penjuru. Bagaimana mungkin iman bisa terjaga, sementara kita berada d tempat yang menjauhkan kita dari-Nya, kita melakukan hal yang melanggar syariatNya. Aku tak sanggup, aku hanya manusia biasa. Aku tak mau menggadaikan iman hanya untuk mengejar cinta sesaat. Allah...biarlah kering dua telaga beningku di dunia, asalkan aku dapat menjadi hamba yang beruntung, yakni hidup dalam keridhaan-Mu, dunia dan akhirat. Aku tak peduli dengan cibiran orang-orang padaku. Walaupun pahit dan sakitnya terasa sampai ke hati, tapi aku yakin nanti berbuah manis.
”Kalau begitu bagaimana kamu bisa menikah? Jodoh tidak turun sendiri dari langit, dan harus ada salah satu usaha untuk bisa menjemput jodoh. Kalau kamu tidak pacaran Itu berarti kamu tidak berusaha dong?” Dia kembali bertanya.
Aku tidak pacaran bukan berarti aku tidak berusaha, tapi aku ingin mendapat suami dengan jalan yang diridhai-Nya. Bahkan, aku adalah gadis yang bercita-cita menikah di usia muda. Tapi, aku hanyalah manusia biasa. Percayalah pada-Nya. Aku tidak pacaran, bukan berarti aku tak mau menikah. Tapi ini adalah wujud ketaatanku dan usahaku untuk meraih ridha-Nya. Dan Sebagai usaha juga, agar nanti aku mendapat jodoh yang baik. Baik menurut pandangan-Nya.
Aku yakin dan percaya pada-Nya. Masalah jodoh sudah ada ketetapannya. Aku tidak pacaran, bukan berarti aku tidak mau menikah. Jika aku selalu menolak lelaki yang datang, bukan berarti pula aku menolak jodoh. Hal ini terjadi, karena memang belum sampai pada jodohku. Jika saatnya tiba, Allah pasti akan membukakan hatiku untuk menerima lelaki yang memang telah disiapkan Allah untukku. Dengan cara yang mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran ku.
”Aku mengerti kini kenapa kamu tidak pernah punya pacar dan pacaran. Tapi bagaimanakah pandanganmu tentang jatuh cinta? Apakah kamu tidak pernah jatuh cinta, sehingga kamu selalu saja menolak cinta para pria dengan berbagai alasan.”
Cinta..?
Ah bagaimana bisa aku jatuh cinta. Bagaimana bisa cinta itu hadir, sementara belum ada ijab. Bagaimana cinta bisa datang, sementara belum ada cinta dan janji yang terucap dihadapan-Nya.
Ya...bagaimana bisa aku jatuh cinta, bagaimana aku bisa percaya dengan cinta seorang lelaki sementara ia tidak mengetuk hatiku dengan nama-Nya. Ya...sejak dulu, saat aku telah beranjak balig, tak ada satupun lelaki yang bisa meraih hatiku. Tak ada satupun lelaki yang mampu mengetuk pintu hatiku dengan cinta dan kesetiaannya. Berkali-kalipun mereka mengetuk dan dengan berbagai cara apapun. Tapi aku tetap tidak bergeming. Aku tidak percaya dengan cinta mereka. Aku tidak percaya.
Kenapa? Karena cinta yang mereka bawa bukanlah cinta sejati. Walaupun dimata nampak bagaikan pecinta sejati. Dan aku takan pernah membiarkan hatiku tergoda apalagi terbuka untuk cinta palsu dan sementara. Maafkan aku. Sungguh aku tak bermaksud menyakiti apalagi merasa sok cantik. Tidak. Tapi, aku memang benar-benar tak sanggup untuk menerima cinta sesaat. Walaupun aku begitu tersanjung dengan cinta mereka dan terkadang juga aku begitu simpati dengan mereka. Tapi, Aku tak pernah peduli dengan perasaanku yang menggelora, sungguh aku tak peduli sakitnya hati karena cinta bertepuk sebelah tangan. Aku lebih memilih memendam cintaku, dan menitipkan semua perasaanku kepada Sang empunya cinta.
Jika saatnya tiba, saat seorang lelaki datang mengetuk hatiku dengan nama-Nya. Membawa cinta-Nya dan mengikatku dalam rangkaian khitbah dan akad nikah, maka saat itulah aku akan percaya dengan cinta seorang lelaki, dan aku akan membuka lebar-lebar hatiku untuk cintanya, ya...saat itulah aku akan merasakan bagaimana indahnya jatuh cinta. Jatuh cinta yang sesungguhnya.
Jatuh cinta dengan seorang yang sudah dihalalkan Allah untuk diriku. Jatuh cinta dengan jodohku. Jatuh cinta kepada suamiku. Cinta yang terlahir karena mengharap ridha-Nya, cinta yang sesungguhnya, cinta yang suci, cinta yang hakiki, cinta yang sejati, cinta yang telah didoakan oleh sepuluh ribu malaikat penghuni langit dan bumi. Cinta yang akan menuai banyak pahala dan berkah-Nya sepanjang masa. Cintanya sepasang pengantin yang telah diridhai oleh Tuhannya. Maka nikmat tuhan-Mu yang manakah yang kamu dustakan?
”Kalau begitu, kenapa sampai sekarang belum menikah. Kenapa kamu selalu menolak lelaki yang dengan tulus ingin menikahimu?”
Belum datang jodohnya. Kataku pendek
”Kenapa kamu yakin salah satu dari mereka bukan jodohmu?”
Jodoh...?
Ah jika ada yang bertanya padaku tentang jodoh, sama halnya dia bertanya padaku tentang azal. Mampukah aku menjawab?, Tidak. Karena jodoh adalah bagian terdalam dari setiap takdir manusia, ia begitu gaib. Sejak ruh ditiupkan pada anak Adam, padanya telah ditetapkan umur, ajal, rijki, dan jodoh. Aku tidak tahu siapakah jodohku kelak, kapan, dimana, dan bagaimana aku bertemu dengan jodohku, apakah aku akan berjodoh di dunia ataukah diakhirat kelak. Aku tidak tahu. Aku hanya bisa berusaha dan berdoa supaya Allah menjodohkanku dengan kekasih-Nya.
”Tapi kenapa slalu menolak? Tidak ada salahnya bagi wanita untuk menerima lelaki yang bukan impiannya.” Kembali dia berkata.
Sebenarnya belum ada yang perlu ditolak sebab mereka belum melamar. Ini baru taaruf atau perkenalan. Kalau dari perkenalan saja aku sudah merasa sudah tidak mantap, tentu saja aku menolak melanjutkan ke taraf berikutnya. Lalu dengan menolaknya, apakah lantas sama artinya aku menolak jodoh? Dari mana mereka bisa menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka adalah jodohku?
Bagiku jodoh bukankah sesuatu hal yang sepele. Bukan semata diukur dari suka atau tidak suka. Cocok atau tidak cocok. Pas atau tidak pas. Berumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah seperti halnya membalikan kedua telapak tangan. Jika tidak hati-hati dalam menitinya, baik dalam perencanaan maupun ketika mengarunginya, ia akan menjadi bagian dari sebuah penderitaan yang tiada bertepi bagi siapapun yang menjalaninya.
Ketika ada yang mengajukan lamaran dan mengajak aku tuk menikah dan kutolak, maka tidak perlu ia merasa patah hati. Toh ia telah menjalankan suatu ibadah, membuktikan niatan suci dalam hati, dan berusaha menjalani sunnah dengan menikah, dan menjaganya dari cara-cara yang tidak diridhoiNya.
Sekali lagi, Setiap orang berhak tuk menerima atau menolak pinangan, baik laki-laki maupun perempuan. Dan sudah seharusnya kita bisa berbesar hati dan bersikap dewasa dalam menerima segala keputusan. Apalagi keputusan menikah yang merupakan salah satu hal yang sangat besar.
Dan aku sampai kapanpun takan menikah dengan lelaki yang tak pernah peduli dengan agamanya sendiri, dan menjadikan atribut duniawi sebagai kebanggaan. Aku takan pernah memilih seorang laki-laki hanya dengan pertimbangan emosional belaka tanpa memperhatikan bagaimana akhlaq dan kepribadiannya. Menikah bukan untuk gaya-gayaan. Menikah adalah bagian dari perjuangan dan karenanya, konsep menikah harus selaras dengan arah perjuangan dakwah.
Dan aku yakin kalau jodoh adalah rahasia Allah dan aku percaya pada-Nya.Aku yakin dan percaya pada-Nya. Masalah jodoh sudah ada ketetapannya. Aku tidak pacaran, bukan berarti aku tidak mau menikah. Jika kebetulan aku selalu menolak lelaki yang datang, bukan berarti pula aku menolak jodoh. Hal ini terjadi, karena memang belum sampai pada jodohku. Jika saatnya tiba, Allah pasti akan membukakan hatiku untuk menerima lelaki yang memang telah disiapkan Allah untukku. Dengan cara yang mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran ku.
Namun yang pasti semua tetap kembali pada takdir-Nya. Siapapun jodohku kelak, yang penting Allah ridha itu sudah cukup bagiku. Ya sebagai manusia biasa aku hanya bisa berusaha dan berdoa. Berusaha menjadi baik agar kelak berjodoh dengan yang baik. Aku berusaha membuat satu kriteria dalam memilih suami. Secara teoritis, aku ingin suamiku nanti seorang yang mampu menjadi imam bagi keluarga. Sebagai kriteria dasarnya, ia harus shaleh.
Kenapa kita membuat kriteria untuk syarat memilih suami, itu adalah bentuk upaya! Ikhtiar! Itu bukti bahwa kita menpunyai semacam upaya untuk membentuk rumah tangga yang baik. Itu suatu bukti bahwa pada saat kita memilih pasangan, kita memilihnya tidak berdasarkan nafsu dan syahwat. Itulah sebabnya Rasul menyebut tawakal sesudah ikhtiar, jika diletakan sebelumnya, itu bukan tawakal tapi kekonyolan.
”Yah...aku mengerti kini. Islam memang indah. Mulai kini aku hanya akan pacaran setelah menikah, seperti katamu ’Indahnya pacaran setelah menikah’. Dan aku akan berusaha menjadi orang shalih agar Allah menjodohkan aku dengan kaksih-Nya...” katanya mantap dengan senyum yang mngembang.
Amin. Semoga rahmat danhidayah-Nya selalu tercurah kepada kita semua. Kataku.
Salam Cinta,
"Juwita Nur Firdaus"
Senin, 14 Desember 2009
heramkempek
→ between love and love
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar