Untuk melihat secara full (web version) dari tulisan ini silahkan lihat disini
Lembah Pharon, tanah tandus berbukit-bukit itu tak bermata air dan tak berpenghuni. Lembah Bakkah, Makkah yang berkah, lembah yang menjadi saksi atas peristiwa bersejarah, kisah cinta seorang ibu kepada anaknya, kisah agung yang teramat memesona setiap jiwa.
Di lembah tersebut, Khalîlullâh Ibrahim as. membawa isteri dan anaknya, seorang bocah lelaki yang masih menetek air susu kepada ibunda tercinta. Disanalah, dalam ketabahan dan ketegaran seorang lelaki sejati, suami sekaligus ayah bagi keluarganya, Ibrahim as. meninggalkan Hajar dan Ismail, belahan-belahan jiwa yang teramat berharga. Hanya sekantong kulit berisi kurma dan sekantong lagi berisi air yang menjadi bekal mereka.
Tak berapa lama kemudian, dalam diam membisu, Ibrahim as. segera beranjak pergi meninggalkan keduanya, kedua penyejuk mata; tanpa pesan, tanpa sepatah kata. Maka, demi melihat hal itu, ibunda Ismail segera mengikuti lelaki berwibawa tersebut, seraya berkata, "Wahai Ibrahim, hendak kemana engkau; meninggalkan kami di lembah tak berpenghuni dan tak ada sesuatu pun ini?" Sergahnya.
Ibrahim as. tetap saja diam membisu, meski berulang kali Hajar, sang isteri, menanyainya tak henti-henti. Bahkan tak sedikitpun ia menolehkan wajah.
Lalu Hajar bertanya lagi, "Apakah Allah yang telah memerintahkanmu akan hal ini?" Tebaknya kemudian.
"Ya!" Jawab Ibrahim singkat.
"Jika demikian, Dia tak akan menelantarkan kami!" Lalu Hajar kembali ke tempatnya semula, dan Khalîlullâh Ibrahim as. pun segera melanjutkan langkah.
Tatkala sesampainya diantara celah bukit-bukit, ia menoleh tanpa diketahui oleh kedua orang anak isterinya itu; menghadap ke arah Baitullâh, penuh harap, seraya berdoa," Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu (Baitullâh) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur." (QS. Ibrahim: 37)
Dengan berbekal air itulah kemudian Ibunda Hajar menyusui Ismail as. dan minum darinya. Sehingga tatkala kantong kulit tersebut tak lagi berisi apapun, ia kehausan, dan kehausan pula Ismail, anaknya tercinta. Hajar menatapnya penuh iba.
Demi rasa yang membuncah tak tertahankan dalam dada, maka naluri keibuan membimbingnya untuk segera beranjak pergi, mencari apapun yang mungkin bisa melepas dahaga.
Dilihatnya bukit Shafa sebagai tempat yang sesuai untuk memandang sekitar, mencari sesuatu, mungkin mata air, atau rombongan kafilah yang sedang melintas. Maka ia pun mendaki, melihat sekeliling, apakah ada tanda-tanda yang diharapkannya, atau entahlah, yang terpenting bagi dirinya adalah harus tetap berusaha, memerankan diri sebagai orang yang tak putus asa.
Kemudian Ibunda Hajar turun sampai ke dasar lembah, diangkatnya ujung pakaian, lalu berlari-lari kecil bagaikan orang yang kesusahan. Setelah dilaluinya dasar lembah tersebut, ia pun mendaki bukit Marwah, berdiri sejenak disana; memandang sekeliling, dan melakukan seperti yang dilakukannya di atas bukit Shafa, berharap cemas, namun tetap dalam batas ketegaran seorang wanita beriman yang sejati, sebagai isteri seorang nabi. Hal itu dilakukannya sebanyak tujuh kali.
***
Khalîlullâh Ibrahim as., Hajar sang isteri, dan Ismail as. anak mereka, dalam setiap sisi kisah kemanusiaannya tercipta sebagai teladan. Hidup mereka adalah teladan dalam makna yang hakiki. Teladan dalam hal yang terkecil sampai yang terbesar. Teladan dalam mensyukuri karunia ni'mat, dan teladan dalam menghadapi cobaan meski itu dirasa berat. Demikianlah para nabi, hidup mereka adalah cermin bagi umatnya.
Kisah mereka mengajarkan kepada umat manusia kapan saat yang tepat memberi simpati, dan kapan saat yang tepat untuk berempati. Kisah ini juga telah menjelaskan kepada kita menyikapi rasa sedih, berpisah dengan orang terkasih, dengan sikap yang tidak melampaui batas. Ketika umat merasa kecil hati, tak mampu hadapi cobaan hidup, kisah inipun tampil sebagai pesan yang membangkitkan semangat, agar bertahan di titik kesabaran.
Apapun musibah yang dialami seorang mu'min dari keresahan hati, duka lara, kepelikan hidup dan bencana yang menimpa, sampai tertusuk duri misalnya, semua itu tidaklah terjadi kecuali menjadi tebusan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, atau sebagai syarat meraih derajat mulia.
Bukankah perumpamaan seorang mu'min itu laksana tanaman yang tak henti-henti digoyang oleh hembusan angin? Maka demikianlah keadaan seorang mu'min yang tak henti-henti ditimpa cobaan sebagai ujian atas pengakuan keimanannya. Berbeda halnya dengan seorang munafik, ia umpama pohon Arz (jenis pohon) yang tak bergoyang kecuali setelah dicabut dengan paksa!
Disini, di ruang baca bernama hati nurani. Kita sebagai mu'min yang berusaha menjadi sejati, diminta untuk bersama-sama mengakui diri sebagai penderita sejati, dengan pasrah dan sadar. Karena hidup hakikatnya adalah ujian, dimana puncak keberhasilan atau kegagalannya nanti akan ditentukan oleh amal perbuatan kita sendiri. Atau bayangkan saja kita adalah para pengembara yang sedang mencari makna hidup di setiap telusur jejak diri.
Dari ruang inilah juga kita kemudian belajar menjadikan derita yang dialami sebagai dzikir pengingat hati. Karena setiap permasalahan yang datang silih berganti, tak ubahnya lembah antara Shafa dan Marwah yang harus kita putari sampai selesai di hitungan ke sekian, dan ketika berhenti di suatu waktu nanti, di "bukit" ketentuan Ilahi, itu artinya kita telah menyelesaikan satu bagian untuk beralih ke bagian yang lain, atau sesudah itu kita semua akan mati.
Dari kisah ini kita diminta untuk membaca, maka bacalah, bacalah dengan penuh kesadaran diri, bacalah seperti kemilau embun di pagi hari, yang terbias sinar mentari, benderang, sampai syahdunya damaikan hati!
Dengan kisah sejati, kisah cinta seorang ibu kepada anaknya ini, kita diajak untuk merenung, memahami setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Mengajak diri untuk mengaku sebagai penderita yang sejati. Penderita yang mampu mengelola diri untuk menjadi yang terbaik di hadapan Ilahi.
***
Sebenarnya, Khalîlullâh Ibrahim as. tidaklah menelantarkan keluarganya tercinta dengan tanpa tanggung jawab sedikitpun, atau sekedar takut akan kecemburuan Sarah, isterinya yang lain, dimana kala itu belum dikaruniai putra. Akan tetapi semua yang dilakukannya tersebut adalah atas bimbingan Allah Yang Maha Mengetahui, sebagai wahyu suci. Sehingga dalam doa harapannya ia berkata, "Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat." Hanya keimanan hakiki yang menjadi puncak harap dan cemasnya selama ini, menjadi sebenar-benar hamba Ilahi.
Kepada kisah Khalîlullâh Ibrahim, Ibunda Hajar, dan Ismail as. tersebut, yang dalam setiap sisi kemanusiaannya adalah teladan, kita hendaknya belajar bagaimana cara bersikap sabar, tidak banyak mengeluh, apalagi sampai menentang ketentuan Allah Swt. Bukankah ketika seseorang sedang diuji dengan berbagai macam musibah, hal itu mengajarkan kepadanya agar menjadi hamba yang senantiasa berdzikir kepada Allah, senantiasa mengingat-Nya di waktu siang dan malam.
Sungguh betapa panjang penderitaan, betapa sulit keadaan, sedangkan masa lapang berjalan begitu lamban, hingga membuat letupan gelisah dan goncangan pada jiwa, bahkan sedikit rasa putus asa dan kekenduran semangat datang menggoda, hinggapi diri, sebagai suatu kewajaran yang manusiawi. Namun hal itu tak kan tinggal begitu lama dalam diri seorang mu'min sejati, karena ia terjaga oleh keyakinannya yang kuat bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan itu berada dalam ilmu Ilahi, di bawah pengetahuan-Nya yang teramat luas nan azali, pada waktu yang telah ditentukan, dan pada batas yang telah diketahui. Ia pun menyadari bahwa keadaannya di alam semesta ini tak lepas dari sunnatullâh yang bijak bestari.
Ibnu Qayyim dalam Raudlah al-Muhibbîn-nya, bab IV, sepakat dengan sikap di atas ini, bahkan menurutnya bahwa salah satu tanda sikap seseorang mencinta dan dicinta Allah adalah tetap berharap cemas, sabar, kala menghadapi setiap cobaan yang dialami.
***
Sadarilah bahwa diantara takdir Allah itu adalah datangnya masa lapang setelah himpitan derita, dan tersingkapnya tirai-tirai bencana yang turun menimpa. Karena sesungguhnya bila Allah menghendaki untuk melapangkan atau menyingkap tirai derita, semua itu hanya terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan diketahui oleh-Nya saja, sungguh teramat rahasia.
Kita adalah muslim, artinya kita adalah orang yang memasrahkan diri dan jalan hidupnya kepada Allah, kepada kehendak-Nya, dan kepada aturan yang telah disyariatkan-Nya. Sudah seharusnya kita hidup di dunia ini memasrahkan diri kepada Allah, karena bila direnungkan secara mendalam, ternyata hidup kita, nafas kita, tubuh kita, dan seluruh yang ada di alam semesta ini adalah karunia dari-Nya. Maka sadarilah semua ini sebagai kenyataan yang harus kita hadapi dengan ketabahan yang berlapis-lapis di dalam diri. Lalu katakan bahwa hidup adalah ujian, dan ingat selalu bahwa setiap permasalahan yang datang silih berganti adalah laksana dzikir pengingat hati.
Maka, bacalah kisah Ibunda Hajar dan Ismail as., buah hatinya tercinta, lihatlah apa yang kemudian Allah anugerahkan kepada mereka. Dengan ketabahan, tidak putus asa, dan tetap berusaha, akhirnya mereka menemukan mata air Zamzam yang berkah, bahkan terus melimpah ruah sepanjang masa.
Dan betapa berbangganya Nabi Muhammad saw. atas kisah cinta, ketabahan, dan sikap tetap berusaha yang diperankan Ibunda Hajar tersebut, sehingga suatu ketika beliau pun bersabda, "Oleh sebab itu, maka manusia pun bersa'i diantara keduanya (bukit Shafa dan Marwah)." (HR. Bukhari).
Lembah Pharon, tanah tandus berbukit-bukit itu tak bermata air dan tak berpenghuni. Lembah Bakkah, Makkah yang berkah, lembah yang menjadi saksi atas peristiwa bersejarah, kisah cinta seorang ibu kepada anaknya, kisah agung yang teramat memesona setiap jiwa.
Di lembah tersebut, Khalîlullâh Ibrahim as. membawa isteri dan anaknya, seorang bocah lelaki yang masih menetek air susu kepada ibunda tercinta. Disanalah, dalam ketabahan dan ketegaran seorang lelaki sejati, suami sekaligus ayah bagi keluarganya, Ibrahim as. meninggalkan Hajar dan Ismail, belahan-belahan jiwa yang teramat berharga. Hanya sekantong kulit berisi kurma dan sekantong lagi berisi air yang menjadi bekal mereka.
Tak berapa lama kemudian, dalam diam membisu, Ibrahim as. segera beranjak pergi meninggalkan keduanya, kedua penyejuk mata; tanpa pesan, tanpa sepatah kata. Maka, demi melihat hal itu, ibunda Ismail segera mengikuti lelaki berwibawa tersebut, seraya berkata, "Wahai Ibrahim, hendak kemana engkau; meninggalkan kami di lembah tak berpenghuni dan tak ada sesuatu pun ini?" Sergahnya.
Ibrahim as. tetap saja diam membisu, meski berulang kali Hajar, sang isteri, menanyainya tak henti-henti. Bahkan tak sedikitpun ia menolehkan wajah.
Lalu Hajar bertanya lagi, "Apakah Allah yang telah memerintahkanmu akan hal ini?" Tebaknya kemudian.
"Ya!" Jawab Ibrahim singkat.
"Jika demikian, Dia tak akan menelantarkan kami!" Lalu Hajar kembali ke tempatnya semula, dan Khalîlullâh Ibrahim as. pun segera melanjutkan langkah.
Tatkala sesampainya diantara celah bukit-bukit, ia menoleh tanpa diketahui oleh kedua orang anak isterinya itu; menghadap ke arah Baitullâh, penuh harap, seraya berdoa," Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak memiliki tanaman, di dekat rumah-Mu (Baitullâh) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur." (QS. Ibrahim: 37)
Dengan berbekal air itulah kemudian Ibunda Hajar menyusui Ismail as. dan minum darinya. Sehingga tatkala kantong kulit tersebut tak lagi berisi apapun, ia kehausan, dan kehausan pula Ismail, anaknya tercinta. Hajar menatapnya penuh iba.
Demi rasa yang membuncah tak tertahankan dalam dada, maka naluri keibuan membimbingnya untuk segera beranjak pergi, mencari apapun yang mungkin bisa melepas dahaga.
Dilihatnya bukit Shafa sebagai tempat yang sesuai untuk memandang sekitar, mencari sesuatu, mungkin mata air, atau rombongan kafilah yang sedang melintas. Maka ia pun mendaki, melihat sekeliling, apakah ada tanda-tanda yang diharapkannya, atau entahlah, yang terpenting bagi dirinya adalah harus tetap berusaha, memerankan diri sebagai orang yang tak putus asa.
Kemudian Ibunda Hajar turun sampai ke dasar lembah, diangkatnya ujung pakaian, lalu berlari-lari kecil bagaikan orang yang kesusahan. Setelah dilaluinya dasar lembah tersebut, ia pun mendaki bukit Marwah, berdiri sejenak disana; memandang sekeliling, dan melakukan seperti yang dilakukannya di atas bukit Shafa, berharap cemas, namun tetap dalam batas ketegaran seorang wanita beriman yang sejati, sebagai isteri seorang nabi. Hal itu dilakukannya sebanyak tujuh kali.
***
Khalîlullâh Ibrahim as., Hajar sang isteri, dan Ismail as. anak mereka, dalam setiap sisi kisah kemanusiaannya tercipta sebagai teladan. Hidup mereka adalah teladan dalam makna yang hakiki. Teladan dalam hal yang terkecil sampai yang terbesar. Teladan dalam mensyukuri karunia ni'mat, dan teladan dalam menghadapi cobaan meski itu dirasa berat. Demikianlah para nabi, hidup mereka adalah cermin bagi umatnya.
Kisah mereka mengajarkan kepada umat manusia kapan saat yang tepat memberi simpati, dan kapan saat yang tepat untuk berempati. Kisah ini juga telah menjelaskan kepada kita menyikapi rasa sedih, berpisah dengan orang terkasih, dengan sikap yang tidak melampaui batas. Ketika umat merasa kecil hati, tak mampu hadapi cobaan hidup, kisah inipun tampil sebagai pesan yang membangkitkan semangat, agar bertahan di titik kesabaran.
Apapun musibah yang dialami seorang mu'min dari keresahan hati, duka lara, kepelikan hidup dan bencana yang menimpa, sampai tertusuk duri misalnya, semua itu tidaklah terjadi kecuali menjadi tebusan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, atau sebagai syarat meraih derajat mulia.
Bukankah perumpamaan seorang mu'min itu laksana tanaman yang tak henti-henti digoyang oleh hembusan angin? Maka demikianlah keadaan seorang mu'min yang tak henti-henti ditimpa cobaan sebagai ujian atas pengakuan keimanannya. Berbeda halnya dengan seorang munafik, ia umpama pohon Arz (jenis pohon) yang tak bergoyang kecuali setelah dicabut dengan paksa!
Disini, di ruang baca bernama hati nurani. Kita sebagai mu'min yang berusaha menjadi sejati, diminta untuk bersama-sama mengakui diri sebagai penderita sejati, dengan pasrah dan sadar. Karena hidup hakikatnya adalah ujian, dimana puncak keberhasilan atau kegagalannya nanti akan ditentukan oleh amal perbuatan kita sendiri. Atau bayangkan saja kita adalah para pengembara yang sedang mencari makna hidup di setiap telusur jejak diri.
Dari ruang inilah juga kita kemudian belajar menjadikan derita yang dialami sebagai dzikir pengingat hati. Karena setiap permasalahan yang datang silih berganti, tak ubahnya lembah antara Shafa dan Marwah yang harus kita putari sampai selesai di hitungan ke sekian, dan ketika berhenti di suatu waktu nanti, di "bukit" ketentuan Ilahi, itu artinya kita telah menyelesaikan satu bagian untuk beralih ke bagian yang lain, atau sesudah itu kita semua akan mati.
Dari kisah ini kita diminta untuk membaca, maka bacalah, bacalah dengan penuh kesadaran diri, bacalah seperti kemilau embun di pagi hari, yang terbias sinar mentari, benderang, sampai syahdunya damaikan hati!
Dengan kisah sejati, kisah cinta seorang ibu kepada anaknya ini, kita diajak untuk merenung, memahami setiap peristiwa yang terjadi di alam semesta ini. Mengajak diri untuk mengaku sebagai penderita yang sejati. Penderita yang mampu mengelola diri untuk menjadi yang terbaik di hadapan Ilahi.
***
Sebenarnya, Khalîlullâh Ibrahim as. tidaklah menelantarkan keluarganya tercinta dengan tanpa tanggung jawab sedikitpun, atau sekedar takut akan kecemburuan Sarah, isterinya yang lain, dimana kala itu belum dikaruniai putra. Akan tetapi semua yang dilakukannya tersebut adalah atas bimbingan Allah Yang Maha Mengetahui, sebagai wahyu suci. Sehingga dalam doa harapannya ia berkata, "Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat." Hanya keimanan hakiki yang menjadi puncak harap dan cemasnya selama ini, menjadi sebenar-benar hamba Ilahi.
Kepada kisah Khalîlullâh Ibrahim, Ibunda Hajar, dan Ismail as. tersebut, yang dalam setiap sisi kemanusiaannya adalah teladan, kita hendaknya belajar bagaimana cara bersikap sabar, tidak banyak mengeluh, apalagi sampai menentang ketentuan Allah Swt. Bukankah ketika seseorang sedang diuji dengan berbagai macam musibah, hal itu mengajarkan kepadanya agar menjadi hamba yang senantiasa berdzikir kepada Allah, senantiasa mengingat-Nya di waktu siang dan malam.
Sungguh betapa panjang penderitaan, betapa sulit keadaan, sedangkan masa lapang berjalan begitu lamban, hingga membuat letupan gelisah dan goncangan pada jiwa, bahkan sedikit rasa putus asa dan kekenduran semangat datang menggoda, hinggapi diri, sebagai suatu kewajaran yang manusiawi. Namun hal itu tak kan tinggal begitu lama dalam diri seorang mu'min sejati, karena ia terjaga oleh keyakinannya yang kuat bahwa segala sesuatu yang ditakdirkan itu berada dalam ilmu Ilahi, di bawah pengetahuan-Nya yang teramat luas nan azali, pada waktu yang telah ditentukan, dan pada batas yang telah diketahui. Ia pun menyadari bahwa keadaannya di alam semesta ini tak lepas dari sunnatullâh yang bijak bestari.
Ibnu Qayyim dalam Raudlah al-Muhibbîn-nya, bab IV, sepakat dengan sikap di atas ini, bahkan menurutnya bahwa salah satu tanda sikap seseorang mencinta dan dicinta Allah adalah tetap berharap cemas, sabar, kala menghadapi setiap cobaan yang dialami.
***
Sadarilah bahwa diantara takdir Allah itu adalah datangnya masa lapang setelah himpitan derita, dan tersingkapnya tirai-tirai bencana yang turun menimpa. Karena sesungguhnya bila Allah menghendaki untuk melapangkan atau menyingkap tirai derita, semua itu hanya terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan diketahui oleh-Nya saja, sungguh teramat rahasia.
Kita adalah muslim, artinya kita adalah orang yang memasrahkan diri dan jalan hidupnya kepada Allah, kepada kehendak-Nya, dan kepada aturan yang telah disyariatkan-Nya. Sudah seharusnya kita hidup di dunia ini memasrahkan diri kepada Allah, karena bila direnungkan secara mendalam, ternyata hidup kita, nafas kita, tubuh kita, dan seluruh yang ada di alam semesta ini adalah karunia dari-Nya. Maka sadarilah semua ini sebagai kenyataan yang harus kita hadapi dengan ketabahan yang berlapis-lapis di dalam diri. Lalu katakan bahwa hidup adalah ujian, dan ingat selalu bahwa setiap permasalahan yang datang silih berganti adalah laksana dzikir pengingat hati.
Maka, bacalah kisah Ibunda Hajar dan Ismail as., buah hatinya tercinta, lihatlah apa yang kemudian Allah anugerahkan kepada mereka. Dengan ketabahan, tidak putus asa, dan tetap berusaha, akhirnya mereka menemukan mata air Zamzam yang berkah, bahkan terus melimpah ruah sepanjang masa.
Dan betapa berbangganya Nabi Muhammad saw. atas kisah cinta, ketabahan, dan sikap tetap berusaha yang diperankan Ibunda Hajar tersebut, sehingga suatu ketika beliau pun bersabda, "Oleh sebab itu, maka manusia pun bersa'i diantara keduanya (bukit Shafa dan Marwah)." (HR. Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar