Di Ibu Kota Kaum Sufi, tiba-tiba terpampang spanduk-spanduk yang
mengiklankan menu-menu restoran para Sufi. Para penempuh mulai tersenyum
hatinya, dan saling mendiskusikan, menu mana yang harus mereka kunjungi
untuk makan malam. Tiba-tiba para penempuh terjengah ketika memandang
spandung kecil, tapi cukup menonjol, agak tersembunyi di celah-celah spanduk
besar yang ada. "Nikmati Sajian Istimewa Menu Anti Hijab."
Para penempuh tiba-tiba hasrat ruhaninya lapar seketika, disertai dahaga
yang memuncak. Qalbunya gemetar, nafsunya tunduk patuh di depan tulisan itu.
Ketika membaca iklan itu, airmata mereka sudah meleleh. "Astaghfirullahal
'Adziim…!" begitu mereka serentak mendesahkan jiwanya.
Di depan gerbang Kafe Sufi antrian panjang sampai ribuan orang. Mereka
membeli tiket khusus untuk mendapatkan "Menu Anti Hijab", dan mereka harus
membeli tiket itu dengan Puasa 10 hari lamanya, dan jika ingin dapat VIP,
puasanya 41 hari, penuh dengan keikhlasan yang murni.
Yang dapat Free Pass juga ada, antara lain wartawan Cahaya Sufi,
he..he..he…Walau sedikit nakal, dimaklumi, namanya juga wartawan. Tetap saja
dapat perlakuan khusus.
Seorang pelayan yang elok rupawan jiwanya, mulai melayani mereka. Semakin
mereka berebut, malah semakin mereka terlempar ke belakang. Karena menu ini
tidak boleh dimakan dengan hawa nafsu, sebab kalau memakan dengan hawa
nafsunya malah ia terhijab dan tersiksa. Bahkan siapa yang ingin coba-coba,
ingin iseng, langsung terhempas dalam kehancurannya.
Para pelayan, akhirnya harus memilih, siapa yang lebih pasrah dan lebih
ridho, lebih ikhlas dan lebih cinta kepada Allah swt, langsung dipersilakan.
Musik Istighfar, deru konser sholawat dan nada kalimah thoyyibah, berpadu
dalam musik Kafe Sufi ini, khusus mengantar sajian-sajian menunya.
Para penatang yang tiba sebenarnya tidak ingin sekadar menikmati menu-menu
di sana, tapi bagaimana caranya memasak dan resep menu di sajian istimewa
kali ini.
Seorang pelayan datang menyodorkan menu-menu utama. Diatas kertas tertulis
"Hijab adalah Siksaan yang menjauhkan dirmu dengan Allah."
Lalu di kertas itu pula tertuang menu-menu sajian Anti Hijab:
Masuklah dapur menu masakan anti hijab ini dengan menutup mata kepala dari
kain yang dipintal dari semesta lahir batin, agar segala hal selain Allah
tertutup.
Ambillah air istighfar untuk direbus dulu dengan api kesadaran taubah.
Cucilah tangan anda dan segala alat-alat dengan air keikhlasan, dicuci dari
kotoran memandang amal baik dan ibadah. Sebab memandang amal sendiri itu
adalah lapisan hijab.
Buang semua rasa takjub pada diri sendiri dan hasrat selain Allah.
Masukkanlah ke dalam kendhil yang sudah mulai mendidih dan menggemuruhkan
dzikrullah dibalik bunyi air mendidih itu, sejumlah dedaunan dari pohon
ma'rifat, yang ditanam di bumi yaqin, dan cabang-cabangnya tumbuh menjulang
ke langit Ilahi.
Jangan lupa garamnya yang dari samudera Quthubus Sab'ah (Samudera tempat
berenangnya Tujuh Quthub dunia).
Beri pemanis dengan sesendok gula harapan, anugerah dan indahnya beribadah.
Nah, sekarang para konsumen mulai diingatkan agar tidak memasuki wilayah
hijab yang tirainya sangat gelap gulita apalagi dibalik tirainya semakin
gulita mengerikan.
Musibah terbesar manusia adalah hijab. Semua ini akan terbuka, berganti
Cahaya Ma'rifah yang agung. Ketika terbuka, akal jadi cerdas, pikiran jadi
jernih, hati jadi terang benderang, ruh berhembus kencang menuju Allah, dan
Sirr menikimati kemesraan dengan Sang Kekasih di Kafe ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar