Berawal dari status KH. Thobary Syadzli "Tanpa perjuangan ulama, tidak
mungkin NKRI yang berlandaskan demokrasi Pancasila terbentuk, dan itu
merupakan rahmat dan anugerah Allah swt. Dengan demikian, kita tidak perlu
mengganti NKRI dengan istilah lain. Karena, hal itu hanya akan menimbulkan
perpecahan bangsa dan menambah kesengsaraan rakyat."
akhirnya banyak komentar2 yang masuk, dan timbullah diskusi ^_^ ana
sependapat dengan KH. Thobary Syadzli seorang Ulama' yang keilmuannya lebih
tinggi daripada ana yang hanyalah masih santri ini ^_^
dan inilah hujjah-hujjah dari kami, yang kami dapat dari beberapa kitab
juga dari tokoh-tokoh NU, semoga bermanfaat ^_^
Dari sudut pandangan agama, *pemerintahan Indonesia adalah sah*. Pandangan
ini didasarkan pada dua dalil. Yaitu: pertama, presiden Indonesia dipilih
langsung oleh rakyat. Menurut Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah
(cet. 2001 hal. 204), sistem pemilihan langsung oleh rakyat sama dengan
pengangkatan Sayyidina Ali karamullah wajhah untuk menduduki jabatan
Khalifah.
Kedua, presiden terpilih Indonesia dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua
lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat disepadankan dengan ahlu a-halli wa
al-'aqdi dalam konsep al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthoniyah.
Keabsahan pemerintahan Indonesia bukan hanya dapat dilihat dari sudut
sistem pemilihan dan mekanisme pelantikan presiden saja, namun juga bisa
dilihat dari terpenuhinya maqashidu al-syari'ah (tujuan syar'i) dari imamah
(pemerintahan) Indonesia, dalam rangka menjaga kesejahteraan dan
kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, Imam al-Ghazali mengungkapkan dalam
Al-Iqtishad fil 'Itiqad ( cet. 1988 hal. 147), menyatakan, "Dengan demikian
tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden)
karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudharat di dunia ini".
Dalam konteks ini, pemerintahan Indonesia telah memenuhi tujuan syar'i di
atas dengan adanya institusi pemerintahan, kepolisiaan, pengadilan dan lain
sebagainya. Alhasil, menurut Ahlussunnah wal Jama'ah, *pemerintahan
Indonesia adalah pemerintah yang sah. Siapa pun tidak bisa mengingkarinya*.
Karena itu, *mengkonversi sistem pemerintahan dengan sistem apa pun,
termasuk sistem khilafah sentral dengan memusatkan kepemimpinan umat Islam
di dunia pada satu pemimpin, adalah tidak diperlukan*. Apalagi jika
konversi sistem itu akan menimbulkan *mudharat yang lebih besar*. Seperti
timbulnya chaos dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan keamanan.
Lantaran, timbulnya kevakuman pemerintahan atau pemerintah yang tidak
mendapatkan dukungan rakyat luas, sehingga membuka peluang perang saudara
antar anak bangsa. (Imam al-Ghazali Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, cet. 1988 hal.
148)
*Terlebih, mendirikan khilafah mendunia terbantahkan oleh dalil-dalil
berikut ini:*
Pertama, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar'i yang qath'i.
Adapun yang wajib dalam pandangan agama, adalah adanya *pemerintahan yang
menjaga kesejahteraan dan kemaslahatan dunia*. Terlepas dari apa dan
bagaimana sistem pemerintahannya. Karena itu, kita melihat para ulama di
berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang
ikut terlibat langsung dalam proses membidani pemerintahan di negaranya
masing-masing. Beberapa contoh kasus dari sistem pemerintah di jaman
klasik, antara lain: Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India,
Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya.
Kedua, *persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama'ah bukanlah
bagian dari masalah aqidah*, *melainkan termasuk persoalan siyayah
syar'iyyah atau fiqih mu'amalah*. Karena itu, kita boleh berbeda pendapat
dalam soal sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan
masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah
dari sistem yang dianutnya tersebut.
Ketiga, *membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama
itu sendiri di daerah lain*. Menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia,
sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian
Jaya, di Flores, di Bali dan lain sebagainya. Daerah basis non Islam akan
menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing.
Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di
Indonesia, tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai
tuntutan dari otonomi daerah.
Keempat, *masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari'at
Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam*. Seperti
bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak
melaksanakan sholat dan zakat, dan seterusnya. *Penerapan syari'ah Islam
secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan
banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut
terhadap sanksi hukum tersebut. Jumlah 90 persen umat Islam akan mengalami
penurunan secara drastis. Sehingga penerapan itu justru merugikan umat
Islam sendiri.*
Kelima, *sulitnya mencari tolok ukur apakah yang dilakukan oleh seorang
khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan
ambisi kekuasaan*, atau itu memang benar-benar melaksanakan perintah Allah
ketika terjadi kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama
sebagaimana dialami oleh imam madzhab yang empat: Imam Maliki, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka.
Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan
zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam
menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian
yang terjadi maka sudah pasti ulama nahdliyyin akan memenuhi
penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia.
Keenam, *jika memang disepakati ide formalisasi syari'ah, maka teori
syari'ah manakah yang akan diterapkan. Apakah model Wahabi di Saudi Arabia
yang memberangus ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan pemahaman
pemerintah, sebagaimana diamalkan oleh kaum nahdliyyin seperti tawassul,
tahlil, talqin, dan lain sebagainya atau sistem Syi'ah yang telah membunuh
ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlus Sunnah
sebagaimana yang terjadi di teluk Persi, di bagian wilayah Timur Tengah,
atau belahan lain di dunia ini, dan pemerintah yang berkuasa melakukan
semua itu, lagi-lagi, atas nama agama. Jika itu yang terjadi, niscaya warga
Nahdliyyin akan akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda aqidah
tersebut.*
Dalil-dalil di atas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan *khilafah
islamiyah akan membawa konsekuensi tersendiri bukan hanya menyangkut
tampilan wajah Indonesia tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai
oleh konflik* dan disistensi dari elemen bangsa yang lain.
Dengan mempertimbangkan pendapat dari Imam al-Ghazali dan al-Baidlawi
maka *mengkonversi
sistem pemerintahan yang ada tidak diperbolehkan menurut syara', mengingat
besarnya ongkos sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang harus
ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat*. Dalam pandangan ahlusunnah wal
jama'ah *menghindari mudharat lebih utama dari pada menerapkan kebaikan*.
Karena itu, *menghindari mudharat yang besar lebih kita utamakan dari pada
mendapat sedikit kemaslahatan*. Sebaliknya, *tidak mendapatkan sedikit
kebaikan untuk menghindari mudharat yang lebih besar merupakan sebuah
bentuk kebaikan yang besar*.
Jadi, *sistem pemerintahan di dalam pandangan agama bukan sistem untuk
sistem melainkan sistem untuk umat*. Sehingga sistem apapun yang dianut
oleh umat di dalam memenuhi tujuan syar'i dari pemerintahan tidak boleh
menimbulkan kerusakan yang mengancam keselamatan jiwa dan harta umat. Sebab
sejatinya menurut Imam al-Ghazali, pemerintahan itu didirikan untuk menata
umat, agar kehidupan agama dan dunianya aman sentosa dari ancaman dari
dalam maupun dari luar (Al-Iqtishad Fil 'Itiqad, cet. 1988 hal. 147).
Senada dengan Imam al-Ghazali di atas, al-Baidlawi juga berpandangan bahwa
esensi dari pemerintahan adalah *menolak kerusakan dan kerusakan itu tidak
dapat ditolak kecuali dengan pemerintahan tersebut*. Yaitu sebuah
pemerintahan yang menganjurkan ketaatan, mencegah kemaksiatan, melindungi
kaum mustad'afin, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Esensi
dari pemerintahan itu menurutnya adalah keharusan profetik dan intelektual
dalam menjaga kedamaian dan mencegah kerusakan dunia (Lihat misalnya dalam
Al-Baidlawi, Thawali' al-Anwar wa Mathali' al-Andlar, cet. 1998 hal. 348).
KH. MA Sahal Mahfudz menyatakan sikap NU pada saat khutbah iftitah Munas
Alim Ulama dan Konbes NU di Sukolilo Surabaya, 28 Juli 2006: "NU juga sejak
awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalan formalistik, lebih-lebih
dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal, tetapi dengan
cara lentur. *NU berkeyakinan bahwa syari'at Islam dapat diimplementasikan
tanpa harus menunggu atau melalui institusi formal. NU lebih mengidealkan
substansi nilai-nilai syari'ah terimplementasi di dalam masyarakat
ketimbang mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan
suatu jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syari'ah di dalam masyarakat".*
Dalam kaitan ini, sikap NU jelas, *keinginan untuk mengkonversi sistem
pemerintahan, tidak memiliki akar syara', malahan bertentangan dengan
serangkaian hasil ijtihad para ulama NU yang dirumuskan di berbagai
institusi pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi organisasi*.
*Bagi NU, Pancasila, UUD 1945 dan NKRI adalah upaya final umat Islam
Indonesia dalam mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.*