*Sunnah hasanah adalah contoh atau perkara baru yang baik *
Al-Mundzir bin Jarir menceritakan dari ayahnya Jarir bin Abdillah ,
bahwasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ.
ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا
وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
"*Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan
pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut
setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang
melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan
dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.*"
Hadits di atas diriwayatkan dalam Shahih Muslim no. 2348, 6741, Sunan
An-Nasa'i no.2554, Sunan At-Tirmidzi no. 2675, Sunan Ibnu Majah no. 203,
Musnad Ahmad 5/357, 358, 359, 360, 361, 362 dan juga diriwayatkan oleh yang
lainnya.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa "*Yang
membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian
dengan pokok-pokok syar'i atau tidak*".
Sunnah hasanah adalah suri tauladan atau contoh atau perkara baru yang
tidak bertentangan dengan pokok-pokok syar'i (tidak bertentangan dengan Al
Qur'an dan As Sunnah)
Sunnah sayyiah adalah suri tauldan atau contoh atau perkara baru yang
bertentangan dengan pokok-pokok syar'i (bertentangan dengan Al Qur'an dan
As Sunnah).
Segala perkara diluar apa yang diwajibkanNya selama tidak bertentangan
dengan Al Qur'an dan As Sunnah adalah amal kebaikan
Jika perbuatan diluar apa yang telah diwajibkanNya tersebut belum pernah
dilakukan atau dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan
tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah maka termasuk bid'ah
hasanah atau bid'ah mahmudah.
Imam Mazhab yang empat yang bertalaqqi (mengaji) dengan Salaf Sholeh,
contohnya Imam Syafi'i ~rahimahullah menyampaikan
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ
سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ
أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ
البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi'i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di
masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma' (sepakat
Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid'ah yang sesat (bid'ah
dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa
Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid'ah yang
terpuji (bid'ah mahmudah atau bid'ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah
Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313).
Imam Malik ra berkata: "*Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari)
dari orang yang tidak engkau ketahui riwayat pendidikannya (sanad ilmu)
atau dari orang yang mendustakan perkataan manusia*"
Syeikh Al Azhar yang masih mempertahankan sanad ilmu yang tersambung kepada
lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, DR. Ahmad At Thayyib
memperingatkan adanya upaya negatif terhadap buku para ulama dengan adanya
permainan terhadap buku-buku peninggalan para ulama, dan mencetaknya dengan
ada yang dihilangkan atau dengan ditambah, yang merusak isi dan
menghilangkan tujuannya. Link:
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/27/ikhtilaf-dalam-persatuan/
Contohnya mereka mendustakan maksud perkataan Syeikh Al Islam Izzuddin bin
Abdissalam. Dimana dalam kumpulan fatwa beliau, Kitab Al Fatawa (hal. 46,
47), beliau menyatakan,"*Bersalaman setelah shubuh dan ashar bagian dari
bid'ah-bid'ah. Kecuali bagi orang yang datang dan berkumpul dengan orang
yang menyalaminya sebelum shalat. Sesungguhnya bersalaman disyariatkan
ketika bertemu.*"
Istilah bid'ah menurut Imam Izzuddin berbeda dengan istilah yang dipakai
oleh mereka yang menilai bahwa seluruh bid'ah adalah sesat. Dimana Imam
Izzuddin berpendapat bahwa bid'ah terbagi menjadi dalam hukum lima, wajib,
sunnah, makruh, haram dan mubah, seperti yang termaktub dalam kitab beliau
Qawaid Al Ahkam (2/337-339). Sehingga, ketika Imam Izzuddin menyatakan
bahwa bersalaman pada dua waktu itu termasuk bid'ah tidak otomatis
merupakan hal yang haram.
Sebaliknya, dalam Qawaid Al Ahkam (2/339), dengan cukup gamblang Imam
Izzuddin menyatakan bahwa bersalaman setelah ashar dan shubuh merupakan
bid'ah mubah. Ketika Imam Izzudin menjelaskan pembagian bid'ah sesaui
dengan hukum lima bersama contohnya, beliau menjelaskan bid'ah mubah,"Dan
bagi bid'ah-bid'ah mubah, contoh-contohnya bersalaman setelah shubuh dan
ashar."
Hal ini juga dinukil juga oleh Imam An Nawawi dalam Tahdzib Al Asma wa Al
Lughat (3/22), serta Al Adzkar dalam Al Futuhat Ar Rabaniyah (5/398) dengan
makna yang sama. Sehingga siapa saja tidak bisa memaksa istilah Imam
Izzuddin untuk dimaknai sesuai dengan istilah pihak yang menyatakan seluruh
bid'ah adalah sesat.
Nah, hal ini sudah cukup menunjukkan bahwa maksud pernyataan Imam Izzuddin
dalam fatwa itu adalah bid'ah mubah. Dan pemahaman para ulama yang mu'tabar
semakin mengukuhkan kesimpulan itu, diantara para ulama yang memiliki
kesimpulan serupa adalah:
Imam An Nawawi
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu' (3/459),"Adapun bersalaman yang
dibiasakan setelah shalat shubuh dan ashar saja telah menyebut As Syeikh
Al Imam Abu Muhammad bin Abdis Salam rahimahullah Ta'ala,'Sesungguhnya hal
itu bagian dari bid'ah-bid'ah mubah, tidak bisa disifati dengan makruh dan
tidak juga istihbab (sunnah).' Dan yang beliau katakan ini baik."
Imam An Nawawi (631-676 H) sendiri merupakan ulama yang hidup semasa dengan
Syeikh Izzuddin (578-660) dan dua-duanya adalah ulama Syam, hingga beliau
faham benar pernyataan Imam Izzuddin. Dengan demikian kesimpulan beliau
tentang pernyataan Imam Izzuddin amat valid.
Lebih dari itu, Imam An Nawawi adalah ulama Syafi'iyah yang paling memahami
perkataan Imam As Syafi'i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut
dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55). Sehingga, jika ada seseorang menukil
pendapat ulama As Syafi'iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam
An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih
yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dalam madzhab As Syafi'i.
Mufti Diyar Al Hadrami Ba Alawi
Ba Alawi mufti As Syafi'iyah Yaman, dalam kumpulan fatwa beliau Bughyah Al
Mustrasyidin (hal. 50) juga menyebutkan pula bahwa Imam Izzuddin memandang
masalah ini sebagai bid'ah mubah sebagaimana pemahaman Imam An
Nawawi,"Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat shubuh dan
ashar tidak memiliki asal baginya dan telah menyebut Ibnu Abdissalam bahwa
hal itu merupakan bid'ah-bid'ah mubah."
As Safarini Al Hanbali
Bukan hanya ulama As Syafi'iyah saja yang memahami istilah khusus yang
digunakan oleh Imam Izuddin. Meskipun As Safarini seorang ulama madzhab
Hanbali, beliau memahami bahwa Imam Izzuddin menyatakan masalah ini
sebagai bi'dah mubah. Tertulis dalam Ghidza Al Albab (1/235), dalam rangka
mengomentari pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyebutkan bahwa berjabat
tangan di dua waktu tersebut adalah bid'ah yang tidak dilakukan oleh Rasul
dan tidak disunnahkan oleh seorang ulama sekalipun, "Aku berkata, dan yang
dhahir (jelas) dari pernyataan Ibnu Abdissalam dari As Syafi'iyah bahwa
sesungguhnya hal itu adalah bid'ah mubah"
Dengan demikian pendapat pihak yang menyebut bahwa Imam Izzuddin menghukumi
haram berjabat tangan setelah shalat ashar dan shubuh hanya bersandar dari
sebutan "bid'ah" dari beliau adalah kesimpulan yang jauh dari kebenaran.
Hal ini disebabkan mereka tidak memahami bahwa Imam Izzudin memiliki
istilah yang berbeda dengan istilah mereka. Sehingga pemahaman mereka
tentang pernyataan Imam Izzuddin pun bertentangan pula dengan pemahaman
para ulama mu'tabar.
Wassalam
Kamis, 10 Januari 2013
Selasa, 08 Januari 2013
LEMBARAN HITAM DI BALIK PENAMPILAN KEREN KAUM WAHABI
Ke mana-mana selalu menyebarkan salam. Selalu memakai baju bercorak gamis
dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya
dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat
Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid'ah, dan khurafat.
Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya serba keren, valid,
islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi. Sepintas dan secara
lahiriah meyakinkan, mengagumkan.
Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah
jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata
penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah saw, di antara tipologi kaum
Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada masa beliau, adalah
ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang,
sehingga beliau perlu memperingatkan para Sahabat ra dengan bersabda,
"Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan
ibadah mereka."
Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren
"kaum Salafi". Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari
pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M),
akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.
*A. Sejarah Hitam*
Sekte Wahabi, seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj
Islam Ahlusunah wal Jamaah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam sejarah.
Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan sepak
terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana agresi dan aneksasi
(pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti Mekah, Madinah, Thaif,
Riyadh, Jeddah, dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara
Amir Muhammad bin Saud, mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah seperti
halnya para Sahabat ra menaklukkan Persia dan Romawi atau Sultan Muhammad
al-Fatih menaklukkan Konstantinopel.
*Selain menghalalkan darah kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz
dan sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan
menganggapnya sebagai ghanîmah (hasil jarahan perang) yang posisinya sama
dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat dari paradigma
Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta
benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu.* Lembaran hitam sejarah
ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdul
Wahhâb;*'Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da'watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad
bin Hajar
Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-'Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer
dari Qatar–, dan dipengantari oleh Abdul Aziz bin Baz.*
*B. Kerapuhan Ideologi*
Dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan firman Allah, "Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)" (QS asy-Syura [42]: 11), dan
dalil 'aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah
mukhâlafah lil-hawâdits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang
baru (alam). Karenanya, Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan
Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di 'Arasy, tidak memiliki organ
tubuh dan sifat seperti manusia. Dan menurut ijmak ulama salaf Ahlusunah
wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi
(227-321 H/767-933 M), *dalam al-'Aqîdah ath-Thahâwiyyah, orang yang
menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat duduk,
bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh), adalah kafir*.
Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukhâlafah lil-hawâdits.
Sementara Wahabi mengalami kerapuhan fatal dalam hal ideologi. Mereka
terjerumus dalam faham tajsîm (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan
sifat seperti manusia) dan tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Padahal menurut al-Imam asy-Syafi'i (150-204 H/767-819 M) seperti
diriwayatkan olah as-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asybâh
wan-Nazhâ'ir, *orang yang berfaham tajsîm, adalah kafir. Karena berarti
penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, "Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia (Allah)." (QS asy-Syura [42]: 11) *
* *
Walaupun mereka berkata Tangan Allah tidak seperti tangan manusia, Kaki
Allah tidak seperti kaki manusia, maka ini termasuk *Mujassimah. Karena
menganggap Allah itu adalah Jisim (mempunyai anggota badan) sebagaimana
makhluk.*
**
* *
*C. Kerapuhan Tradisi*
Di antara ciri khas Ahlusunah wal Jamaah adalah mencintai, menghormati, dan
mengagungkan Rasulullah saw, para Sahabat ra, ulama salaf yang saleh, dan
generasi penerus mereka yang saleh seperti para habaib dan kiai yang
diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal tawasul, tabarruk, perayaan
maulid, haul, dan lain-lain.
Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, *dengan
tidak mengagungkan Nabi saw, yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul
dengan para nabi dan para wali.* Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat
dalam Hadis-Hadis sahih dan data-data kesejarahan yang mutawâtir, telah
dilakukan oleh Nabi Adam as., para Sahabat ra, dan ulama salaf yang
saleh. *Sehingga
dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam as.,
para Sahabat ra, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan
tawasul.*
Bahkan lebih jauh lagi, *Nashiruddin al-Albani–ulama Wahabi
kontemporer–sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-qubbah al-khadhrâ'
(kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah saw) dan menyerukan pengeluaran
jasad Nabi saw dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber
kesyirikan.* Al-Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan
al-Imam al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya.
*Demikian sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini,
kita perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang
lahir di Najd. Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi
saw bersabda, "Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan". Menurut para
ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi.
Wallâhul-hâdî.* [BS]
dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya
dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat
Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid'ah, dan khurafat.
Referensinya, al-Kitab dan Sunah yang sahih. Semuanya serba keren, valid,
islami. Begitulah kira-kira penampilan kaum Wahabi. Sepintas dan secara
lahiriah meyakinkan, mengagumkan.
Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah
jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata
penipu, bukan tentara. Pada masa Rasulullah saw, di antara tipologi kaum
Khawarij yang benih-benihnya mulai muncul pada masa beliau, adalah
ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang,
sehingga beliau perlu memperingatkan para Sahabat ra dengan bersabda,
"Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan
ibadah mereka."
Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren
"kaum Salafi". Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari
pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M),
akan didapati sekian banyak kerapuhan dalam sekian banyak aspek keagamaan.
*A. Sejarah Hitam*
Sekte Wahabi, seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj
Islam Ahlusunah wal Jamaah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam sejarah.
Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan sepak
terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana agresi dan aneksasi
(pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti Mekah, Madinah, Thaif,
Riyadh, Jeddah, dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara
Amir Muhammad bin Saud, mereka anggap sebagai jihad fi sabilillah seperti
halnya para Sahabat ra menaklukkan Persia dan Romawi atau Sultan Muhammad
al-Fatih menaklukkan Konstantinopel.
*Selain menghalalkan darah kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz
dan sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan
menganggapnya sebagai ghanîmah (hasil jarahan perang) yang posisinya sama
dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat dari paradigma
Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta
benda kaum Muslimin Ahlusunah wal Jamaah pengikut mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu.* Lembaran hitam sejarah
ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin 'Abdul
Wahhâb;*'Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da'watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad
bin Hajar
Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-'Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer
dari Qatar–, dan dipengantari oleh Abdul Aziz bin Baz.*
*B. Kerapuhan Ideologi*
Dalam akidah Ahlusunah wal Jamaah, berdasarkan firman Allah, "Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)" (QS asy-Syura [42]: 11), dan
dalil 'aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah
mukhâlafah lil-hawâdits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang
baru (alam). Karenanya, Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan
Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di 'Arasy, tidak memiliki organ
tubuh dan sifat seperti manusia. Dan menurut ijmak ulama salaf Ahlusunah
wal Jamaah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi
(227-321 H/767-933 M), *dalam al-'Aqîdah ath-Thahâwiyyah, orang yang
menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat duduk,
bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh), adalah kafir*.
Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukhâlafah lil-hawâdits.
Sementara Wahabi mengalami kerapuhan fatal dalam hal ideologi. Mereka
terjerumus dalam faham tajsîm (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan
sifat seperti manusia) dan tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).
Padahal menurut al-Imam asy-Syafi'i (150-204 H/767-819 M) seperti
diriwayatkan olah as-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asybâh
wan-Nazhâ'ir, *orang yang berfaham tajsîm, adalah kafir. Karena berarti
penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, "Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia (Allah)." (QS asy-Syura [42]: 11) *
* *
Walaupun mereka berkata Tangan Allah tidak seperti tangan manusia, Kaki
Allah tidak seperti kaki manusia, maka ini termasuk *Mujassimah. Karena
menganggap Allah itu adalah Jisim (mempunyai anggota badan) sebagaimana
makhluk.*
**
* *
*C. Kerapuhan Tradisi*
Di antara ciri khas Ahlusunah wal Jamaah adalah mencintai, menghormati, dan
mengagungkan Rasulullah saw, para Sahabat ra, ulama salaf yang saleh, dan
generasi penerus mereka yang saleh seperti para habaib dan kiai yang
diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal tawasul, tabarruk, perayaan
maulid, haul, dan lain-lain.
Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, *dengan
tidak mengagungkan Nabi saw, yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul
dengan para nabi dan para wali.* Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat
dalam Hadis-Hadis sahih dan data-data kesejarahan yang mutawâtir, telah
dilakukan oleh Nabi Adam as., para Sahabat ra, dan ulama salaf yang
saleh. *Sehingga
dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam as.,
para Sahabat ra, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan
tawasul.*
Bahkan lebih jauh lagi, *Nashiruddin al-Albani–ulama Wahabi
kontemporer–sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-qubbah al-khadhrâ'
(kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah saw) dan menyerukan pengeluaran
jasad Nabi saw dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber
kesyirikan.* Al-Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan
al-Imam al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya.
*Demikian sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini,
kita perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang
lahir di Najd. Dalam Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi
saw bersabda, "Di Najd, akan muncul generasi pengikut Setan". Menurut para
ulama, maksud generasi pengikut Setan dalam Hadis ini adalah kaum Wahabi.
Wallâhul-hâdî.* [BS]
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Selasa, 08 Januari 2013
Selasa, Januari 08, 2013
Tidak ada komentar:
Langganan:
Postingan (Atom)