Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada keterkaitannya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarangan orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan
qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Yaitu Ushul ala Syfi,iyyah yg mana pengikut Madlhab lain juga mengikuti kaidah ushulnya dalam batas tertentu. Dan yg minoritas adalah Kaidah Ushul yg tidak terbukukan oleh ‘Ulama sebelum munculnya Ushul Syafi,iyyah.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap suatu hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi (Kebudayaan / Tashowwuf).
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum dan Hukama. Dalam hubungan ini komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan
maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u 'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja
menunjukkan pelecehan terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa akibat pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Maka tidak sedikit kita jumpai ucapan2 yg kemudian menyerupakan Allah menurut apa yg di tangkap oleh pemikirannya. Seperti duduk, bertangan, berkaki, bermuka, berbobot dll. Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Sabtu, 23 Januari 2010
heramkempek
→
artikel
→ (Tentang Ijtihad)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar