Pada setiap periode, kaum syiah selalu menerbitkan buku-buku yang membahas secara khusus perihal tahrif dan taghyir di dalam al-Qur’an. Dan di dalam tulisan-tulisannya itu, mereka tidak pernah merasa segan mendatangkan riwayat-riwayat yang sengja diproduksi untuk mendukung keyakinan yang kotor.
Di antara mereka yang berkesempatan menyusun kitab, ialah Ahmad bin Muhammad bin khalid al-Barqy, dengan kitabnya yang berjudul Kitabu at-Tahrif. Hal ini dikabarkan oleh sejarawan Syi’ah kesohor, ath-Thusi di dalam karyanya al-Fahrasah, dan oleh an-Najasyi di dalam kitabnya.
Al-Barqy juga menulis kitab berjudul Kitabu ay-Tanzil wa at-Taghyir, seperti yang pernah dikatakan an-Najasyi.
Begitu pula seorang syekh Syiah yang dianggap tidak pernah berbuat salah di dalam periwayatan hadits, Ali bin Hasan bin Fadhdhal menulis secara khusus tema ini dengan judul Kitabu at-Tanzil min al-Qur’an wa at-Tahrif.
Muhammad bin Hasan ash-Shairafy juga menulis kitab berjudul Kitabu at-Tahrif wa at-Tabdil, seperti yang pernah dikatakan sejarawan syiah, ath-Thusi.
Ahmad bin Muhammad bin Sayyar menulis pulsa sebuah kitab berjudul Kitabu al-Qira’ah. Ibnu Sayyar adalah guru mufassi Syiah terkenal, Ibnu al-Mahyar. Masalah ini telah dikatakanoleh ath-Thusi di dalam al-Fahrasat, dan an-Najasyi di dalam ar-Rijal.
Hasan bin Sulaiman al-Hully juga menulis kitab berjudul at-Tanzil wa at-Tahrif.
Seorang mufassir Syiah bernama Muhammad bin Ali bin Marwan al-Mahyar, yang terkenal dengan panggilan Ibnul Hijam, menulis kitab berjudul Kitabu Qira’ati Amiri al-Mu’minin wa Qira’ati Ahli Baiti.
Abu Thahir Abdul Wahid bin Umar al-Qummi, mengarang sebuah kitab berjudul Qir’atu Amiri al-Mu’minin. Masalah ini telah dikatakan oleh Syahr Asyub dalam kitabnya, Ma.alimu al-Ulama.
Ali bin Thawus mengatakan di dalam kitabnya, Sadu as-Saud, bahwa kitab-kitab yang membahas perihal tahrif dan taghyir adalah Kitabu Tafsiri al-Qur’an wa Ta’wilihi wa Tanzilihi; Qira’atu ar-Rasuli wa Ahli Baiti; Kitabu ar-Rad ‘ala Ahli Tabdil dan Kitabu as-Sayara; sepertipernah dikatakan oleh ibnu Syahr Asyub di dalam kitab biografi ulama-ulama Syiah.
Ulama-ulama mutaakhkhirin syiah, juga tidak ketinggalan menulis karya-karyany sebagaimana telah dilakukan ulama mutaqaddimin.
Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh ulama mutaakhkhirin ini, ialah sebuah kitab terkenal berjudul Fashlu al-Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbi al-Arbab, yang ditulis oleh Mirza Husin bin Muhammad Taqiyyuddin an-Nuri ath-Thabrasi (wafat 1320 H). Kitab ini bersifat menyeluruh dan mendetail membahas perihal tahrif di dalam al-Qur’an dengan ulasan yang sangat teliti, dan membuat jawaban-jawaban orang-orang menolak adanya tahif dari kalanagn syiah sendiri. Ath-Thabrasi juga mempunyai kitab lain berjudul Liraddi Ba’dhisyi Syubuhati an Fashli al-Khithab.
HARAP DIPERHATIKAN (KHUSUNYA BAGI PENGANUT SYIAH)
Tidak ada satu kitabpun dari kitab-kitab mereka – baik kitab tafsir, hadits, fiqih maupun ushul – yang tidak mencela al-Qur’an. Dan sekarang kami mengajukan pertanyaan kepada kaum syiah yang mengatakan tidak adanya tahrif di dalam Qur’an : “Selagi kalian mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada tahrif, maka apa yang akan kalian katakan terhadap orang-orang yang mengatakan serupa?” apakah akan menganggap mereka itu kufur, atau apakah kalian akan mengatakan mereka telah keluar dari Islam, sebagaimana kalian katakan untuk Ahlussunnah? Kami akan akan melihat, sampai sejauh mana kelihaian kalian di dalam menggunakan taqiyyah guna mengelabui ummat Islam.
Sudah tidak asing lagi bagi kita, bahwa kaum Syi’ah di semua tempat dan masa, mereka selalu mengadakan sosialisasi adanya tahrif di dalam al-Qur’an. Bagi kaum syiah yang lahirnya menolak konsensus mayoritas Syiah, sebenarnya tidak merupakan pendapat yang keluar dari lubuk hati untuk mengakui kebenaran. Tetapi mereka ituhanya menghindar atau lari dari serangan yang dilakukan oleh ummat Islam. Atau boleh jadi karena mereka dikejar-kejar oleh perasaan dirinya sendiri yang merasa khawatir rahasianya terbongkar, yaitu rahasia yang selama ini disimpan secara hati-hati. Sebab, andaikata mereka tidak berpura-pura memihak kepada pendapat ahlussunnah, maka hakekat kecurangannya tampa kelihatan.
(SUMBER : SALAH FAHAM SUNNAH SYIAH oleh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, MA, Penerbit Risalah Bandung, Cetakan Pertama Desember 1983, halaman 193 – 196)
Sandiwara imam ke 12 (Mahdi versi Syiah)
Ringkasan dari sandiwara ini adalah, imam mereka yang kesebelas yaitu Hasan Al-Askari tidak memiliki keturunan. Dia memiliki saudara bernama Ja`far. Saudara ini tidak mungkin jadi imam menurut syarat-syarat mereka. Mereka bimbang dan bingung, karena tidak hadirnya anak bagi Hasan tidak hanya akan membatalkan imamah, akan terbongkar pula seluruh kebohongan mereka dan tertelanjangi seluruh klaim-klaim mereka. Merekalah yang telah membangun dan meletakkan dasar-dasar, syarat-syarat dan tanda-tanda imam. Bagaiman hal itu terjadi, bukankah mereka itu ma`shum dari salah dan lalai, yang dipilih langsung oleh Allah Ta`ala seperti yang mereka yakini karena itu goncanglah perkara Syi`ah, pecahlah persatuan syi`ah karena mereka sekarang tanpa imam dan tanpa agama. Sebab tidak ada agama bagi mereka tanpa adanya imam, sebab imam adalah hujjah untuk penduduk bumi. Al-Qur`an bukanlah hujjah kecuali dengan hadirnya imam. Dengan ada imam, alam semesta terjaga. Akan tetapi imam telah mati dan alam masih utuh??
Maka Syi`ah saat itu berselisih dan pecah menjadi empat belas golongan seperti keterangan An-Nubakhti atau lima belas kelompok seperti keterangan Al-Qummi. Dan keduanya adalah berasal dari abad ketiga Hijriah dan orang yang terdekat dengan peristiwa. Kami akan suguhkan kisah dengan lisan mereka sendiri dari kitab mereka sendiri. Di antara pembesar syi`ah awal adalah Filsuf Imam (lihat majali Al-Mumin,Tustari hal 177). Ia menjelaskan bagaimana kejadian saat itu:
"Sesungguhnya Syi`ah menjadi pusing setelah matinya Hasan Al-Askari. Mereka terpecah-pecah banyak sekali karena perbedaan pendapat.
Satu kelompok berkata bahwa Hasan bin Ali telah mati dan hidup lagi setelah matinya. Seandainya ia memiliki anak, tentu benarlah matinya dan tidak akan hidup kembali karena imamah berlaku untuk pengganti yang telah diwasiatinya.
Satu kelompok berkata, Ja`far adalah imam, bukan Hasan karena Hasan telah mati dan tidak memiliki keturunan, padahal imam tidak akan mati sebelum berwasiat dan memiliki pengganti.
Kelompok lain berkata bahwa imam sesudah Ali bukanlah Ja`far karena ia memiliki banyak hal yang tercela dan ia terkenal dengan itu,juga bukan Hasan karena ia telah mati. Seorang Imam tidak boleh mati sebelum memiliki pengganti. Karena itu imam setelah Ali (Al-Hadi,imam kesepuluh) adalah putranya yang bernama Muhammad , (tetapi ia pun mati) mati pada zaman bapaknya.
Kelompok lain berkata, bahwa imam setelah Ali adalah Hasan (Al-Askari), dan setelah Hasan adalah saudaranya yang bernama Ja`far. Adapun apa yang diriwayatkan syiah dari Ja`far (Ash Shaqid) bahwa imamah tidak boleh beralih kepada saudara setelah Hasan dan Husain itu manakala yang pertama memiliki pengganti dari anaknya, jika tidak maka akan kembali kepada saudara karena darurat.
Pendapat yang banyak sekali, An-Nubakhti menutup makalahnya bahwa mereka terpaksa mengatakan bahwa Hasan (Al-Askari) memilikin putra. Bagaimana mungkin seorang imam yang telah terbukti imamahnya dan nama baiknya yang sangat terkenal dikalangan khusus dan umum kemudian meninggal tanpa seorang pengganti.
Namun pendapat ini pun masih ada yang membantah. Mereka mengatakan bahwa Hasan tidak memiliki sama sekali karena kita telah menyelidiki dan menelitinya. Ternyata tetap tak diketemukan. Seandainya boleh bagi kita mengatakan yang semisal Hasan yang meninggal tanpa anak, bahwa dia memiliki anak yang tersembunyi maka tentu kita boleh mengatakannya untuk setiap orang. Dan tentu kita boleh mengatakannya Nabi pun bahwa beliau memiliki putra yang tersembunyi.
Dan bahwa Abul Hasan Ar-Ridha meninggalkan tiga putra selain Abu Ja`far yang salah satunya adalah sang imam. Karena datangnya berita tentang matinya Hasan tanpa putra seperti datangnya berita tentang wafatnya Nabi dengan tidak meninggalkan seorang putra. Padahal Abdullah bin Ja`far tidak meninggalkan seorang putra dan Ar-Ridha tidak memiliki empat orang putra. Anak tersebut jelas batil (tidak ada) tetapi ada benang penghubung yang benar yaitu istri simpanannya. Dia akan melahirkan seorang putra yang akan menjadi imam bilamana ia melahirkan.
Pendapat inipun disanggah kelompok lainnya...
Singkat cerita, Akhirnya kelompok kedua belas yaitu Imamiyah berkata: "Yang benar bukanlah seperti yang diucapkan oleh mereka semua. Tetapi Allah memiliki hujjah dari putra Hasan bin Ali, jadi Imam tidak boleh dalam dua saudara setelah Hasan dan Husain. seandainya boleh, tentu benar ucapan sahabat ismail bin Ja`far dan madzhab mereka, dan tentu benar imamah Muhammad bin Ja`far, dan juga tidak boleh bumi ini kosong dari hujjah (imam). (Karena) sekiranya kosong maka tentulah bumi dan orang-orang yang ada diatasnya akan dibalik dan ditenggelamkan.
Karena itu kami percaya dengan matinya Hasan, bahwa dia memiliki putra dan tersembunyi, dan manusia tidak berhak mencari jejak langkahnya selama memang tertutup, tidak boleh menyebut namanya dan tidak boleh bertanya tentang tempatnya. Mencarinya adalah haram, tidak halal dan tidak boleh"
Akhirnya selesailah sudah episode sandiwara dan anekdot yang lucu ini yang telah menghibur kita semua. Sungguh sebuah kisah dari kumpulan cerita seribu satu malam.
penipuan ulung
Al Hasan Al ‘Askari yang wafat tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia tidak meninggalkan seorang anakpun.
Marga Alawiyyin (Yang dimaksud dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak pernah terdaftar seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin yang semasa dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang anak laki-laki.
Hakikat yang sebenarnya telah terjadi adalah, tatkala Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah keimaman para pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi kenyataan bahwa paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang mantan budak Bani Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya(*), agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
(*) Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasuki ya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya…
Muhammad bin Nushair ini menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)” terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “pintu/Al Bab” ialah seorang pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini, pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki anak keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan dari seluruh umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat agar mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat -setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Validitas Literatur Induk Ajaran Syiah
Kita patut meragukan apakah sumber mereka masih orisinil atau sudah dipermak sana sini. Dengan mengetahui validitas sumber sebuah ajaran, kita bisa menilai validitas ajaran tersebut.
Ada beberapa kitab yang dianggap oleh syiah sejajar dengan kitab empat di atas, artinya derajat validitas riwayatnya tidak berbeda, sehingga kitab itu berisi dalil-dalil yang valid untuk penyimpulan hukum syareat menurut syiah imamiyah. Hal ini seperti disebutkan oleh Al Majlisi pada pengantar Biharul Anwar –bisa dilihat pada jilid 1 hal 26-: kitab-kitab karya Ash Shaduq –selain lima kitab- sama terkenalnya dengan kitab empat. Majlisi meneruskan begitu; juga kitab Basha’ir Darajat termasuk literatur pokok yang juga dijadikan rujukan oleh Kulaini dan lainnya. Bisa dilihat di halaman yang sama, Majlisi juga menyebutkan kitab-kitab lain yang sederajat dengan kitab empat. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam kitab Wasa’il Syi’ah jilid 20. juga dalam pengantar setiap kitab disebutkan bahwa kitab itu sama validnya dengan kitab yang empat .
Nampaknya yang disebut adalah dua kitab itu, yaitu kitab-kitab As Shaduq dan Bashair Darajat karena kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar kumpulan hadits, atau bisa jadi juga untuk menyaingi mazhab ahlussunnah dan untuk sekedar promosi. Nampak hal itu jelas ketika kita melihat kitab Al Wafi dimasukkan ke delapan kitab rujukan utama, dan kitab itu dianggap sebagai kitab tersendiri, padahal isi kitab Al Wafi hanyalah kumpulan dari empat kitab utama (Al Kafi, Tahdzib, Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih), mengapa dianggap sebagai kitab baru, padahal isinya hanyalah pengulangan dari empat kitab yang terdahulu. Ini semua dalam rangka membuat image bahwa syiah memiliki banyak rujukan, padahal isinya itu-itu juga, pengulangan dari empat kitab rujukan.
Begitu juga kitab AL Istibshar dianggap sebagai kitab tersendiri, padahal kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam, seperti dijelaskan oleh Thusi sendiri pada pengantar kitab Al Istibshar – jilid 1 hal 2-3- begitu juga siapa saja yang menelaah kedua kitab itu akan jelas mendapati bahwa kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam. Semua ini jelas dalam rangka promosi mazhab.
Begitu juga anda akan menemukan bahwa kitab Biharul Anwar karya asli penulisnya hanya sebanyak 25 jilid, lalu karena jilid ke 25 nampak terlalu besar maka dipisah menjadi 2 jilid, akhirnya jumlah keseluruhan kitab Biharul Anwar hanyalah 26 jilid. Bisa dilihat hal ini dalam kitab Dzari’ah jilid 3 hal 27. Tetapi kitab Biharul Anwar hari ini berjumlah 110 jilid, dimulai dari jilid 0, supaya nampak intelek. Pembaca yang “intelek” akan bertanya-tanya tentang asal tambahan kitab Biharul Anwar dari jilid 27 sampe jilid 110, hasil karya Majlisi sendiri –yang menulis 26 jilid- atau ada tangan-tangan lain yang menambah supaya nampak tebal?
Syiah memang senang sekali dengan yang demikian, biasanya ada sekelompok orang yang digaji khusus oleh hauzah ilmiyah untuk menulis sebuah buku, lalu buku itu dibuat seolah ditulis oleh satu orang, seakan orang itu menulis buku yang besar yang sangat sulit utnuk ditulis oleh sendirian, seperti bisa kita perhatikan kitab Al Ghadir – yang konon ditulis oleh seorang bernama Abdul Husein Al Amini-, selain itu syiah juga gemar mengaku-aku, bahwa syiah adalah pionir dalam semua cabang ilmu, padahal pengetahuan mereka hanyalah mengambil dari kitab-kitab Ahlussunnah, mereka memiliki pendapat-pendapat aneh yang membongkar kebohongan mereka.
Dalam kitab A’yanus Syi’ah banyak sekali ulama ahlussunnah yang dianggap sebagai syiah imamiyah hanya karena mereka memiliki sedikit kecondongan kepada Ali, padahal hal demikian itu tidak sampai membuat mereka masuk menjadi syiah rafidhah, karena kecintaan ahlussunnah pada ahlulbait adalah kecintaan sejati, lebih dari kecintaan syiah rafidhah pada ahlulbait.
Isi kitab-kitab utama syiah hanyalah maslah fiqih, kecuali dua jilid pertama dari kitab Al Kafi memuat tentang akidah syiah. Jika kita perhatikan, isi kitab fiqih mereka mirip dengan fiqih ahlussunnah, membuat kita makin percaya dengan keterangan para ulama yang menyebutkan bahwa ulama syiah banyak yang mencontek kitab ahlusunnah, di antaranya adalah Ibnu Taimiyah dalam Minhajussunnah jilid 3 hal 264.
Syiah memiliki pendapat-pendapat aneh dalam fiqih, yang berbeda dengan ulama ahlusunah, pendapat-pendapat itu kadang begitu aneh dan tak terbayangkan bahwa pendapat-pendapat itu perlu ditulis dalam kitab tersendiri. Asy Syarif Al Murtadha mengumpulkan pendapat-pendapat syiah yang berbeda dengan ulama ahlussunah dalam kitabnya Al Intishar.
Sebagai selingan, tidak ada salahnya bila kita menyimak sedikit pendapat-pendapat yang hanya dimiliki oleh syiah dari kitab Al Intishar:
* Keluar Madhi dan Wady tidak membatalkan wudhu –hal 119
* Wajib mengucapkan Hayya Ala Khairil Amal dalam adzan – hal 137
* Wajib hukumnya shalat gerhana matahari maupun bulan, siapa yang ketinggalan harus mengqadha’ –hal 173
* Barangsiapa berpuasa ramadhan dalam keadaan musafir maka harus membayar puasanya –hal 190 –kasihan sungguh-
* Orang sakit yang memaksakan diri berpuasa di bulan Ramadhan –padahal dia dibolehkan untuk tidak berpuasa- maka puasanya tidak sah dan tetap harus mengqadha’ – hal 192
* Jika menemukan bangkai ikan di tepi sungai, sedangkan dia tidak tahu apakah ikan tersebut mati atau disembelih, maka dicelupkan di air, jika ikan tersebut mengambang di atas dadanya maka ikan itu disembelih, jika mengambang di atas punggungnya maka ikan itu mati dengan sendirinya tanpa disembelih – hal 402 [di mana letak perbedaan antara punggung dan dada ikan?]
* Sembelihan ahli kitab haram dimakan –hal 403
* Haram memakan makanan buatan orang kafir – hal 409
Ibnu Aqil Al Hanbali menukil pendapat-pendapat itu dan dia pun merasa heran, tulisan Ibnu Aqil dinukil juga oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al Muntazham –jilid 8 hal 120- juga Ibnul Jauzi menuliskan dalam Al Maudhu’at: Rafidhah telah membuat kitab fiqih yang mereka sebut sebagai mazhab imamiyah, di dalamnya memuat pendapat yang menyimpang dari ijma’ kaum muslimin tanpa dalil apa pun. Lihat Al Maudhu’at jilid 1 hal 338.
Sementara bahasan lain yang terdapat dalam Al Kafi dan Biharul Anwar adalah tentang tauhid, al adl , imamah.. kebanyakan berisi keyakinan mereka tentang imamah dan para imam yang dua belas, tentang penunjukan mereka dari Allah, sifat-sifat para imam, kisah hidup mereka dan keutamaan berziarah ke kubur mereka. Begitu juga membahas tentang musuh para imam, terutama para sahabat Nabi SAAW, jika kita perhatikan, mayoritas bahasan adalah tentang imamah dan para imam.
Pembaca yang menelaah kitab hadits syiah akan mendapati jurang perbedaan antara kitab hadits syiah dan kitab hadits ahlussunnah, begitu juga perbedaan yang ada para riwayat ahlussunnah dan syiah imamiyah. Kitab sunnah yang meriwayatkan hadits, hanyalah meriwayatkan hadits Nabi, dan hanya hadits Nabi-lah yang disebut dengan hadits. Sedangkan kitab hadits syiah mayoritas memuat riwayat dari salah satu dari dua belas imam mereka, selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa riwayat yang berasal dari imam sama dengan riwayat yang berasal dari Nabi, artinya sabda imam sama seperti sabda Nabi.
Jika kita perhatikan kitab hadits syiah, kita akan menemukan bahwa hadits yang berasal dari Nabi sangatlah sedikit, sedangkan mayoritas riwayat Al Kafi adalah dari Ja’far Ash Shadiq, sangat jarang sekali yang berasal dari ayahnya Muhammad Al Baqir, apalagi yang berasal dari Amirul Mukminin Ali, jumlahnya lebih sedikit, begitu juga yang berasal dari Nabi SAW, jauh lebih sedikit
Begitu juga kita perhatikan, empat kitab utama syiah disusun pada abad ke sebelas Hijriyah, dan setelahnya, yang terakhir ditulis oleh Husein Nuri Thabrasi, -judulnya Mustadrakul Wasa’il- yang wafat tahun 1320 H –hidup sejaman dengan syaikh Muhammad Abduh-
Kitab itu memuat 23000 hadits dari para imam syiah [lihat Ad Dzari’ah jilid 7 hal 21] yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kitab itu ditulis ratusan tahun setelah wafatnya para imam, jika memang benar kitab itu berisi riwayat bersanad dari para imam bagaimana orang berakal bisa percaya pada riwayat yang belum pernah ditulis sejak 11 abad atau 13 abad lalu ? jika memang riwayat itu tertulis dalam kitab, mengapa kitab itu baru ditemukan di abad 14 Hijriah?
Sebagian penulis kitab syiah menyatakan bahwa merka menemukan buku yang belum pernah ditemukan sebelumnya, Al Majlisi mengatakan: Alhamdulillah, di depan kami terkumpul sebanyak 200 judul buku, seluruh isinya telah kunukil dalam Biharul Anwar, [lihat I’tiqadat Al Majlisi hal. 24, lihat juga Al Fikr Asy Syi’I hal. 61]sementara Al Hurr Al Amili menyatakan bahwa dirinya memiliki delapan puluh kitab selain empat kitab rujukan mereka, isi kitab-kitab itu dituliskan dalam Wasa’ilusy Syi’ah [lihat Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1, pengantar. Juga lihat Adz Dzari’ah jilid 4 hal 352-353].
Begitu juga Nuri Thabrasi ikutan mengklaim bahwa dirinya menemukan kitab-kitab yang belum pernah ditulis sebelumnya walaupun dirinya hidup di abad 14 Hijriyah, Agho BArzak Tahrani mengatakan: hal yang mendorong Husein Nuri Thabrasi untuk menulis mustadrak Al Wasa’il adalah karena Thabrasi menemukan kitab-kitab penting yang belum pernah ditulis dalam kitab-kitab kumpulan hadits syiah sebelumnya [lihat Ad Dzari’ah jilid 21 hal 7].
Ulama syiah menganggap hadits-hadits baru hasil penemuan Nuri Thabrasi yang dituliskan dalam Mustadrak Al Wasa’il sebagai hadits-hadits yang sangat penting dan diperlukan, tidak bisa ditinggalkan, ulama syiah yang bernama Al Khurasani –seperti dinukil dalam Adz Dzari’ah- mengatakan: setiap mujtahid tidak boleh berijtihad sebelum merujuk ke kitab Mustadrak Al Wasa’il dan menelaah hadits-hadits yang termuat di dalamnya, [lihat Ad Dzari’ah jilid 2 hal 111], apakah ini berarti sebelum adanya kitab Mustadrak Al Wasa’il ucapan ulama mereka tidak dapat dijadikan pegangan? Silahkan anda merasa heran, barangkali masih ada lagi hadits yang baru ditemukan.
Riwayat-riwayat itu tidak ditemukan di literatur kuno syiah, mengapa demikian? Mengapa Kulaini tidak meriwayatkannya padahal dia dapat menghubungi empat “dubes” imam Mahdi?Kulaini memberi judul kitabnya dengan Al Kafi karnea dianggapnya cukup bagi syiah, bahkan kitab Al Kafi telah ditunjukkan kepada imam Mahdi –yang bersembunyi hingga hari ini- melalui “duta besar “, kemudian Imam Mahdi memberikan komentar: kitab ini cukup bagi syiah kami, begitu juga At Thusi menyatakan, bahwa dirinya mengumpulkan hadits-hadits syiah yang berkaitan dengan fiqih dari kitab-kitab literatur inti syiah, dalam kitabnya Tahdzibul Ahkam, tidak ada yang terlewatkan kecuali hanya sedikit saja [lihat Al Istibshar jilid 1 hal 2].
Apakah kitab-kitab ini ditulis pada era dinasti shafavid di iran lalu ditulis atas nama para ulama klasik syiah? Bisa jadi, dan sangat mungkin.
Bahkan empat kitab syiah yang utama [Al Kafi, Tahdzibul Ahkam, Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih] tidak luput dari tambahan dari tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Salah satu buktinya, bisa dilihat dalam kitab Ad Dzari’ah –jiild 4 hal 504- dan A’yanus Syi’ah –jilid 1 hal 288- juga keterangan ulama syiah hari ini, bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam adalah 13950 hadits, tetapi penulisnya sendiri menyatakan dalam kitab Iddatul Ushul [jilid 1 hal 139 ,cetakan sitarah-Qum] bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam hanya 5000 lebih, artinya tidak mencapai jumlah 6000. bisa dilihat dalam kitab Al Imam As Shadiq hal 485.
Ternyata jumlah hadits Tahdzibul Ahkam bertambah lebih dari dua kali lipat, inilah bukti nyata yang ada di depan mata.
Begitu juga ulama syiah masih berbeda pendapat, apakah kitab Raudhatul Kafi –kitab Al Kafi jilid 8- termasuk dalam kitab Al Kafi yang ditulis oleh Kulaini, ataukah merupakan tambahan yang ditulis setelah kitab Al Kafi, bisa dilihat dalam kitab Raudhatul Jannat jilid 6hal 176-188, seolah-olah penambahan dalam kitab adalah hal biasa dan sangat mungkin terjadi..
Yang lebih berbahaya, seorang ulama syiah terkemuka yang bernama Husein bin Haidar Al Karki Al Amili [wafat th 1076 H] mengatakan: kitab Al kafi berjumlah lima puluh jilid, memuat riwayat dengan sanad yang bersambung pada para imam [Raudhatul Jannat jilid 6 hal 114], sementara Thusi [wafat 360 h] mengatakan bahwa kitab Al Kafi berjumlah 30 jilid,…. [lihat Al Fahrasat hal 161].
Apakah kitab Al Kafi mengalami penambahan selama kurun waktu antara abad ke lima dan sebelas hijiriyah? Tambahannya pun bukan sedikit, tapi 20 jilid, padahal setiap jilid terdiri dari banyak bab yang memuat banyak hadits. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah bagi syiah, jika mereka berani memalsu riwayat dari Nabi SAAW dan Ahlulbait, mestinya memalsu buku dari gurunya bukanlah hal susah, bukti dalam hal ini sangat banyak, yang kami paparkan sudah cukup bagi mereka yang mau menggunakan akalnya yang masih sehat.
Kita tanyakan lagi pada penganut syiah, mana sumber ajaran agama kalian? Kalian banyak menggunakan logika dan mantiq karena miskin dalil naqli, apalagi setelah tahu bahwa kitab literatur kalian terbukti masih harus diragukan lagi validitasnya.
Minggu, 17 Januari 2010
heramkempek
→
religare
→ Kitab-Kitab Syiah Yang Membahas Tahrif
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar