Sabtu, 31 Desember 2011

Sejarah Meniup Terompet

Satu lagi tradisi yang di lakukan saat malam tahun baru yaitu meniup terompet. Mengapa sih kalau malam pergantian tahun harus meniup terompet ,sebenarnya sih gak ada yang maksa atau peraturan untuk harus meniup terompet, tapi yah namanya juga tradisi masyarakat seperti sudah menjadi kebiasaan yang turun menurun, walau terompet tersebut hanya di pakai hanya satu malam bahkan hanya berapa jam, tapi masyarakat bela-belain untuk membelinya demi merayakan tahun baru. Sebenarnya bagaimana sih ceritanya kok bisa ada terompet di tahun baru?? berikut informasi tentang awal mula terompet tahun baru.

menjelang malam tahun baru penjual terompet marak....!!! Sebenarnya budaya meniup terompet ini merupakan budaya masyarakat Yahudi saat menyambut tahun baru bangsa mereka yang jatuh pada pada bulan ke tujuh pada sistem penanggalan mereka. Pada malam tahun barunya, masyarakat Yahudi melakukan introspeksi diri dengan tradisi meniup shofar, sebuah alat musik sejenisi terompet. Bunyi shofar mirip sekali dengan bunyi terompet kertas yang dibunyikan orang Indonesia di malam Tahun Baru. Sebenarnya shofar sendiri digolongkan sebagai terompet. Terompet diperkirakan sudah ada sejak tahun 1.500 sebelum Masehi.

Awalnya, alat musik jenis ini diperuntukkan untuk keperluan ritual agama dan juga digunakan dalam militer teruta saat akan berperang. Kemudian terompet dijadikan sebagai alat musik pada masa pertengahan Renaisance hingga saat ini.

Yah begitulah akhirnya terompet menjadi tradisi untuk menyambut malam tahun baru. Semoga bermanfaat!!!

Bentuk Dunia Seperti Terompet, Benarkah?

Wah nanti malam akan berganti tahun yah, gak terasa :-D pasti banyak yang akan keluar untuk menyaksikan kemeriahan malam pergantian tahun dengan diiringi peniupan terompet. Tapi tahukah kalian bahwa dunia ini bentuknya seperti terompet? :P :D

Sebelumnya terlebih dahulu marilah kita bahas apa makna terompet yang disebutkan pada beberapa ayat Al Qur’an? Dalam sejarah manusia khususnya jaman kerajaan, terompet sering digunakan sebagai alat untuk pengumuman tentang sesuatu hal dari Sang Raja atau juga untuk memberikan tanda bahwa para pengawal kerajaan untuk berkumpul. Demikian juga Kerajaan Allah yang meliputi seluruh alam semesta dan ciptaannya. Ketika Hari Akhir saatnya tiba, maka terompet akan ditiup oleh Malaikat Israfil untuk pertama kalinya. Kemudian ketika Allah akan mengumpulkan dan menghidupkan kembali seluruh manusia untuk menghadapi pengadilan Allah, terompet juga ditiup untuk kedua kalinya.

Para ilmuan tidak ada habis-habisnya meneliti dan memikirkan keberadaan alam semesta ini, dari mengamati bumi beserta isinya termasuk diri manusia itu sendiri, sampai benda-benda di luar angkasa bahkan sampai memprediksi bentuk alam semesta ciptaan Allah ini. Gambar-gambar yang dapat dilihat pada www.rense.com/general72/size .htm hanyalah merupakan bagian kecil dari benda-benda yang ada di alam semesta ini yang berhasil diamati manusia. Semua benda-benda tersebut tentunya berada dalam suatu ruang yang disebut alam semesta yang diasumsikan oleh para ilmuan ada batasnya. Berkaitan dengan hal ini, para ilmuan mencoba memprediksi bentuk alam semesta melalui pengamatan atau data-data yang dikumpulkan dengan peralatan canggih yang ada.

Pada awalnya para ilmuan memprediksi bahwa bentuk alam semesta ini adalah datar atau “flat”. Kemudian ilmuan dari Inggris memprediksi lagi bahwa bentuk alam semesta adalah seperti bola sepak. Prediksi bentuk alam semesta seperti bola sepak sebenarnya sebuah perkiraan yang bagus sebagai bagian dari teori alam semesta yang terbatas (finite universe theory). Akan tetapi berdasarkan data-data terbaru khususnya tentang “background radiation” yang dikumpulkan para ilmuan tidak mendukung prediksi tersebut teori tersebut. Dengan data-data terbaru yang dikumpulkan oleh sebuah alat milik NASA bernama “Wilkinson Microwave Anisotropy Prob (WMAP)”

Profesor Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman, yang memimpin sekelompok ilmuan mengajukan bentuk alam semesta yang sungguh mengejutkan. Profesor Steiner dan kelompoknya mengklaim bahwa alam semesta berbentuk seperti terompet. Bentuk ini cocok dengan hasil observasi (data yang dikumpulkan). Pada ujung depan terompet merupakan bagian alam semesta yang dapat diobservasi manusia (observable) dan semakin ke ujung belakang dari terompet tersebut adalah bagian alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable).

Sekarang marilah kita tengok salah satu ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang terompet, misalnya QS An-Naml ayat 87: “Dan pada hari (ketika) TEROMPET ditiup, maka terkejutlah segala yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri” (QS 27:87).

Apa yang bisa kita tafsirkan dari ayat tersebut? Jika hasil temuan para ilmuan tersebut kita gunakan sebagai dasar untuk menafsirkan ayat tersebut, maka yang dimaksud terompet adalah alam semesta ini yang bentuknya menyerupai terompet. Jadi ketika terompet (baca alam semesta dan seluruh isinya) ditiup oleh Malaikat Israfil untuk pertama kalinya maka saat itulah “timing” dari berakhirnya kehidupan manusia dan hancurnya alam yang fana ini atau yang disebut sebagai Hari Akhir. Dalam beberapa ayat lain, terompet ini akan ditiup untuk yang kedua kalinya yang menandai dibangkitkannya manusia dari kematian untuk menghadapi pengadilan Allah, dan inilah yang dinamakan sebagai Hari Kiamat (Hari Kebangkitan).

Sebagai catatan, sebenarnya menurut Al Qur’an ada urutan kejadian berkenaan dengan hari akhir yang diawali dengan hancurnya alam semesta dan berakhirnya kehidupan dunia ini (dalam Al Qur’an salah satunya merujuk pada kata “as-saa’ah” atau Waktu dimulainya kehidupan akhirat yang ditandai dengan ditiupnya terompet untuk yang pertama kalinya) yang diikuti dengan dibangkitkannya dan dikumpulkannya manusia dari kematian (dalam Al Qur’an dikatakan dengan istilah “al-qiyaamah” atau hari Kiamat yang ditandai dengan ditiupnya terompet untuk yang kedua kalinya) untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya selama di dunia (salah satu istilah yang dipakai di Al Qur’an “yaumul fashl” atau hari penentuan).

Wallaahu a’lam bish shawab. :-)

Jumat, 30 Desember 2011

Batasan Aurat Laki-laki dan Perempuan berdasarkan empat Mazhab

Aurat secara bahasa bermakna “an naqsu” yang berarti kurang atau aib adapun secara istilah sesuatu yang tidak diboleh dilihat atau dipertontonkan. Menutup aurat wajib hukumnya dan ini telah menjadi kesepakatan para ulama baik klasik maupun kontemporer. Hal ini berdasarkan hadist Nabi ; “Aisyah meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma’ binti Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan mengatakan: “Hai Asma’! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya, melainkan ini dan ini — sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya”. (Riwayat Abu Daud dalam Fiqh Islam Wa Adillatuh oleh Dr Wahbah Zuhaili Juz :1 Hal :738).

BATASAN AURAT

Menurut mazhab Hanafi, aurat laki-laki mulai dari bawah pusar sampai bawah lutut, hal ini berdasarkan ma’sur (perkataan sahabat); “Aurat laki-laki apa yang ada diantara pusar dan lututnya atau apa yang ada dibawah pusar sampai lutut. Sedangkan aurat perempuan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan”. Firman Allah: “Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak dari padanya” (QS : An-Nur :31). Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar maksud perhiasan yang biasa nampak dalam ayat ini adalah wajah dan telapak tangan (Dalam Roddul Muhtar Juz :1 Hal : 375-378).

Mazhab Maliki, membagi aurat lelaki dan wanita ketika shalat dan diluar shalat kepada dua bagian. Pertama, aurat berat (mughallazah) dan aurat ringan (mukhaffafah).
* Aurat berat pada lelaki adalah kemaluan dan dubur, sedangkan aurat ringan selain dari kemaluan dan dubur (dalam Bidayatul Mujtahid Juz :1 Hal :111) adalah Fahd (paha) menurut mazhab ini bukanlah aurat, mereka berdalil dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah; “Pada perang Khaibar tersingkaplah pakaian Nabi dan nampaklah pahanya”. (HR Bukhori dan Ahmad). Namun pendapat ini di rodd oleh para ulama lain karena banyak dalil lain yang lebih kuat dan tsiqoh. (Dalam Nailul Authar Juz :2 Hal :178).
* Aurat berat wanita seluruh badan kecuali ujung-ujung badan dan dada. Yang dimaksud ujung badan adalah anggota ujung badan seperti tangan, kepala dan kaki. Semua ujung badan itu tidak dianggap aurat berat ketika sembayang. Mazhab Maliki membataskan apa yang dianggap aurat ringan pada wanita termasuk dada, lengan, leher, kepala dan kaki. Sedangkan muka dan dua tapak tangan tidak dianggap aurat langsung pada mazhab ini, pendapat mazhab ini banyak diikuti negara-negara Arab di Afrika Utara dan negara-negara Afrika.

…Mengumbar aurat didepan umum selain kepada mahramnya dan yang diperbolehkan oleh syariah, dikategorikan sebagai tindakan pornografi baik karena alasan seni, kebebasan ekspresi ataupun yang lainnya…

Menurut Mazhab Syafi’i, aurat pada laki-laki terletak di antara pusat dan lutut, baik dalam shalat, thawaf, antara sesama jenis atau kepada wanita yang bukan mahramnya, hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abi Sa'id Al-Khudri; “Aurat seorang mukmin adalah antara pusar dan lututnya". (HR Baihaqi). Dalam hadist lain dikatakan; "Tutuplah pahamu karena paha termasuk aurat”. (HR Imam Malik). (dalam Mugni Al-Muhtaj Hal:185 Juz:1). Batas aurat wanita termasuk seluruh badan kecuali muka dan dua tapak tangan di bagian atas dan bagian bawahnya. Dalil mazhab ini adalah firman Allah; “Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak dari padanya” (QS: An-Nur :31). Hadist Nabi mengatakan; "Rasulullah melarang wanita yang sedang ihrom memakai qofas (sarung tangan) dan niqob (tutup muka)". (HR Bukhari).

Menurut Mazhab Hambali, aurat pada laki-laki terletak di antara pusat dan lutut dalil mazhab ini sama dengan yang digunakan oleh mazhab hanafi dan mazhab syafi'i. Adapun aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, hal ini berdasarkan firman Allah dan hadist-hadist diatas. (dalam Goyatul Muntaha Juz:1 Hal: 97-98).

Wallahu'alam

*sumber : Referensi Media Islam http://www.ldkstaisiliwangi.co.cc/2010/05/batasan-aurat-laki-laki-dan-perempuan.html

Cara Menyelesaikan Hadis Mukhtalif

Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, kemudian keduanya dikompromikan atau ditarjih salah satunya. Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa tidak semua hadits yang secara tekstual bertentangan, tertutup untuk dikompromikan. Untuk itu Syarafuddin Ali al-Rajihi mendefinisikan hadits mukhtalif sebagai berikut : “Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadits tersebut masih mungkin untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar)”

Imam al-Syafi’I berkata : “ …Demikianlah, tidak pernah kami temukan dua hadits yang kontradiksi, kecuali ada saja jalan keluarya. Atau ditemukan petunjuk yang memberikan isyarah mana hadits yang lebih otentik, baik atas dasar kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadits Nabi, atau berdasarkan dalalah (petunjuk) lainnya.”

Dengan demikian, maka tidak akan ditemukan hadits-hadits yang bertentangan secara lahiriyah, kecuali ditemukan jalan keluar untuk menghilangkan sifat kontradiksinya, baik melalui jalan kompromi (al-jam’u), tarjih, atau nasih mansuh.

Cara yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan ikhtilaf hadits adalah sebagai berikut :

1. Apabila mungkin, supaya diupayakan untuk dikompromikan keduanya, baik melalui pendekatan kaidah ushul fiqh, pendekatan konteks, pendekatan korelatif, pendekatan ta’wil, atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu’ al-ibadah.

2. Apabila mustahil dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya, dan bila ditemukan sejarah yang menunjukkan mana yang lebih awal dan lebih akhir wurudnya, maka diselesaikan melalui pendekatan nasih mansuh.

3. Apabila tidak dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama-tama supaya diamalkan secara sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Namun bila tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa dilakukan tarjih.
** Dalam hal ini Muhammad Utsman al-Hasyit membagi tarjih ke dalam empat kategori; (a) yaitu tarjih dari sudut sanad, (b) dari sudut matan, (c) dari sudut makna yang dimaksud (madlul), (d) dari sudut yang datangnya dari luar.

Sungguhpun demikian, pendekatan pertama, yaitu al-jam’u (kompromi), merupakan cara terbaik, yang diakui sejumlah ulama’, sebagaimana dituturkan al-Kandahlawi. Untuk itu, sebagai pengetahuan mengenai pemahaman terhadap hadits (sunnah) Nabi secara lebih baik perlu menyimak pendapat as-Syafi’i. Ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan dengan al-Qur’an, baik sunnah itu bersifat sebagai tafsir, atau sebagai ketentuan tambahan. Sebab al-Qur’an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya. Oleh karna itu apabila terdapat hadits yang sama-sama shahih, tidak mungkin terjadi pertentangan. Nabi dalam sabdanya kadang ditujukan sebagai ketentuan yang bersifat umum, tetapi yang umum itu kadang dimaksudkan sebagai ketentuan khusus. Demikian pula (dalam sabdanya itu) kadang dimaksudkan oleh Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu, tetapi kadang ia menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam konteks yang lain. Maka atas dasar paradigma itulah as-Syafi’i berkeyakinan bahwa tidak ada dua hadits yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan keluarnya untuk mempertemukannya.

Kamis, 29 Desember 2011

TAFSIR AL-QUR'AN MODERN: STUDI ATAS METODE BINTUSY-SYATHI'

Aisyah 'Abdurrahmaan, yang dikenal luas dengan nama samarannya, Bintusy-Syaathi' pada tahun-tahun belakangan ini telah mengukuhkan dirinya lantaran studinya mengenai sastra dan tafsir Al-Qur'an. Ia adalah guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas 'ayn Syams, Mesir dan kadang-kadang menjadi Guru Besar Tamu pada Universitas Islam Umm durmaan, Sudan dan saat ini ia adalah guru besar Tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Pada kesempatan-kessempatan memberi kuliah dan konferensi pada tahun 60an, ia telah berbicara di hadapan para sarjana di Roma, Aljazair, New Delhi, Baghdad, Kuwait, Yesrusalem, Rabat, Fez, Khartoum dan lain-lain. Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu Al-'Alaa Al-Ma'arri , Al-Khansaa' dan penyair-penyair atau penulis-penulis lain, biografi ibunda Nabi Muhammad, isteri-isteri beliau, anak-anak perempuannya serta cucu dan buyut perempuannya monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan perempuan dalam pemahaman Islam dan karya-karya kesejarahan mengenai hidup dan masa Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis mengenai isu-isu mutakhir di dunia Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa lampau, tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah dan tentang dimensi-dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang melawan imperalisme Barat dan Zionisme.

Dilahirkan di Dumyat, wilayah di sebelah barat Delta Nil, Bintusy-Syaathi' tumbuh dewasa di tengah sebuah keluarga Muslim yang saleh dan menyelesaikan jenjang pendidikan tingginya di Universitas Fuad I, Kairo.

Walaupun mempunyai pandangan dan sikap konservatif, ia memiliki semua daya tarik seorang perempuan Arab modern yang berbudaya yang harus diperhitungkan dan dicirikan oleh kemampuan pengungkapan diri yang kuat dan artikulatif, diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi pengetahuan yang meluap. Bukunya mengenai tafsir, Al-Tafsir Al-Bayaani li Al-Qur'an Al-Karim, Vol. I (1962) telah dicetak ulang dua kali ( 1966, 1968) dan edisi bajakannya telah terbit pula di Beirut. Vol. II kitab tafsirnya itu yang terbit pada tahun 1969 telah mendapat sambutan yang luar biasa dan Dr. 'Aisyah 'Abdurrahmaan diharapkan dapat melanjutkan tafsirnya itu hingga mencakup keseluruhan Al-Qur'an, tidak hanya keempat belas surat pendek yang sejauh ini sudah diselesaikannya.

Yang sangat penting dari tafsirnya bahkan pun jika ia tidak melanjutkan usahanya dalam menafsirkan Al-Qur'an hingga mencakup keseluruhan isi Kitab Suci itu adalah metode yang digunakannya yang telah menancapkan pengaruh luas di kalangan banyak orang. Secara jujur ia mengakui bahwa metode tersebut ia peroleh dari Guru Besarnya di Universitas Fuad I, yang belakangan menjadi suaminya yakni almarhum Amin Al-Khuuli (wafat pada tahun 1966).

bintusy-Syaathi' mengikhtisarkan prinsip-prinsip metode itu seperti yang ditulis Al-Khuuli dalam bukunya, Mandhij Tajdid ( Kairo : Daar Al-Ma'arif 1966) ke dalam empat butir.

1. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al-Qur'an secara objektif dan hal itu dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topik yang ingin dipelajari.

2. Untuk memahami gagasan tertentu yang terkandung didalam Al-Qur'an menurut konteksnya ayat-ayat disekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya, hingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui. Riwayat-riwayat tradisional mengenai "peristiwa pewahyuan" dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan hanya sejauh dan dalam pengertian bahwa peristiwa-peritiwa itu merupakan keterangan-keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat, sebab peristiwa-peristiwa itu bukanlah tujuan atau sebab sine qua non (syarat mutlak) kenapa pewahyuan terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.

3. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Qur'an maka untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam Kitab Suci itu harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian makna Al-Qur'an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata di dalam Al-Qur'an dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam Al-Qur'an.

4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada dalam susunan Al-Qur'an itu dipelajari untuk mengenai kemungkinan maksudnya. Baik bentuk lahir maupun semangat teks itu harus diperhatikan. Apa yang telah dikatakan oleh para mufasir dengan demikian, diuji kaitannya dengan naskah yang sedang dipelajari, dan hanya yang sejalan dengan naskah yang diterima. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan Isri'iliyyaat (materi-materi Yahudi-Kristen) yang mengacaukan yang biasanya dipaksakan masuk ke dalam tafsir Al-Qur'an harus disingkirkan.

Tafsir Modern Tafsir Al-Maraghi

Tafsir al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis.

Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.

Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya. Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli. Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya:
"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat disana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".

Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, disamping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.

Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.

Kalau diadakan pembacaan yang lebih cermat, akan diperoleh kesan bahwa dalam menyusun tafsirnya Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Rabu, 28 Desember 2011

Tafsir Quran Surat Ar-ra'du Ayat 11

Oleh Muhammad Hafidz, berdasarkan tafsir Jami'u li Ahkam il-Qur'an Imam alQurthubiy)
ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻐﻴﺮ ﻣﺎ ﺑﻘﻮﻡ ﺣﺘﻰ ﻳﻐﻴﺮﻭﺍ ﻣﺎﺑﺄﻧﻔﺴﻬﻢ

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada sebuah kaum hingga mereka mengubah apapun yang ada pada diri mereka." (QS. Ar Ra’du:11)

Sebagian umat Islam menggunakan ayat ini sebagai pembenaran untuk tidak berusaha menegakkan syari’at Allah di atas bumi dengan membangkitkan umat secara bersama. Sebaliknya, mereka mengatakan bahwa seorang muslim harus menyempurnakan diri mereka terlebih dahulu, kemudian barulah seorang muslim memperhatikan kerusakan di tengah masyarakatnya. Karenanya mereka menekankan penyempurnaan individu, sebagaimana Allah SWT berfirman bahwa Dia tidak akan mengubah kondisi masyarakat hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri setiap individu. Tanpa bermaksud mengabaikan pentingnya tazkiyyat un-nafs (pembersihan jiwa individu), penting untuk menghapuskan pemahaman yang salah di atas, terutama pemikiran bahwa dengan tazkiyyat un-nafs saja seorang muslim bisa membangkitkan umat secara keseluruhan. Tafsir berikut akan menjelaskan makna sesungguhnya dengan penjelasan kata per kata dengan tujuan membuka makna Dakwah Islam yang seharusnya, yaitu Dakwah yang Jama'iy. Selain itu, tafsir ini akan membuktikan kesalahan penafsiran yang sangat dipengaruhi oleh individualisme Barat. Ayat yang menjadi pembahasan berbentuk ikhbariyyah (informatif), karenanya ayat tersebut menginformasikan tentang kapan Allah SWT akan mengubah kondisi sebuah masyarakat. Ayat tersebut tidak memberikan secara detail tata cara untuk kebangkitan dan tidak bisa digunakan untuk mendapatkan pemahaman tentang tata cara tersebut, sebagaimana tidak ada satupun mufasirin yang menggunakan secara demikian.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al Jaami'u li Ahkam il-Qur'an mengatakan "akhbara Allahu" (yang artinya, "Allah mengabarkan") yang berarti QS Ar Ra'du:11 adalah ayat ikhbariyyah karena ayat tersebut menginformasikan kepada kita tentang hukum Allah terkait dengan perubahan. Kata kerja (fi'il) yang dibahas adalah tentang perubahan (yughoyyiru) dan yang melakukan (faa'il) perubahan adalah Allah SWT. Kemudian, siapa yang menjadi obyek dari kata kerja tersebut (al maf'uul)? Dengan pertanyaan lain, siapakah yang akan diubah oleh Allah? Allah berfirman, "...ma bi qoumin..." yang artinya, "...apa yang ada pada sebuah kaum..." Jadi jelas bahwa perubahan terjadi atas sebuah kaum. Apa arti kata kaum dan bagaimanakah kondisi perubahan tersebut? Kata maa adalah 'aam (maa al-'umuum), jadi apapun yang ada pada sebuah kaum. Lebih jauh, kata kaum berbentuk mutlaq (tidak dibatasi) dan karenanya bisa juga diterapkan atas kaum kafir. Sehingga, makna yang lebih tepat untuk Innallaha laa yughoyyiru maa bi qoumin adalah bahwa sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah apapun yang ada pada sebuah kaum.

Perhatikan bahwa kata yang digunakan adalah kata Qoum, yang berarti pokok pembahasannya adalah perubahan yang kolektif bukan perubahan yang individual. Qoum, dalam bahasa Arab, berarti bangsa atau syu'ub (masyarakat) dan bisa juga berarti umat. Semua makna tersebut tidaklah menunjukkan pengertian individual atau kumpulan individu. Fard atau syakhs bermakna individual atau seseorang dan afraad atau syakhshiyyun adalah jamak yang berarti kumpulan individu atau orang banyak. Kata-kata ini bisa digunakan untuk menunjukkan aktivitas yang mengikuti perubahan individual. Namun, Allah tidak menggunakan kata-kata tersebut dalam ayat ini. Bahkan, Allah SWT menggunakan Qoum yang bermakna bangsa atau umat.

Bangsa memiliki konotasi yag spesifik. Bangsa berarti tidak sekedar kumpulan manusia, lebih daripada sekedar afraad. Perbedaannya terletak pada kebersamaannya, yaitu Qoum yang diikat oleh sebuah identitas yang sama, yaitu adanya sebuah pendorong bagi persatuannya. Karena itulah, sebuah qoum bisa digunakan untuk menjelaskan kata bangsa yang dipersatukan oleh ras, sehingga muncullah kata qoumiyyah (nasionalisme). Akan tetapi, kata qoum tidak dibatasi untuk menjelaskan makna kelompok etnik tertentu, seperti muslimin. Juga, kata qoum tidak dibatasi pengertiannya pada lingkungan ideologis tertentu. Karena itu, kata qoum dalam ayat ini bisa digunakan untuk segala bangsa, tidak terikat dengan ras atau ideologinya, sehingga bentuknya mutlaq (tidak dibatasi) dan bisa diterapkan bagi semua kelompok bersama manusia.

Allah menambahkan, "...hattaa yughayyiruu..." yang berarti "...hingga mereka mengubah...". Kata-kata ini menunjukkan shighaat as syurth (bentuk pensyaratan), yaitu digunakannya lafadz "hatta" (hingga). Sehingga makna yang dihasilkan oleh ayat adalah "Allah tidak mengubah...hingga mereka mengubah...". Penggunaan syarat di sini menunjukkan bisa dimbilnya mafhum mukholafah (pengertian sebaliknya), yaitu jika sebuah qoum tidak mengubah diri mereka secara bersama-sama, maka Allah tidak akan mengubah keadaan qoum tersebut....... >>> :-)

Berobat Secara Islami

Setiap penyakit ada obatnya. Menurut Nabi Muhammad, jika sakit telah di obati, penyakit tersebut akan sembuh dengan izin Allah SWT. Dalam pernyataan lainnya, ia menegaskan, Allah tidak menurunkan penyakit melainkan juga menurunkan obatnya. Oleh karena itu, setiap orang yang menderita penyakit mesti berobat. "Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari satu penyakit, yaitu ketuaan." (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sahabat Nabi Usamah bin Syuraik).

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqqih Sunnah dan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah melalui bukunya, Fiqih Wanita, laki-laki boleh mengobati perempuan dan sebaliknya perempuan pun boleh mengobati laki-laki jika dalam keadaan darurat. Bahkan kala keadaan terpaksa, dokter laki-laki tak mengapa melihat aurat perempuan yang menjadi pasiennya. Rubayyi binti Muawwidz bin Afra meriwayatkan apa yang pernah dialaminya. "Kami ikut berperang bersama Rasulullah dan bertugas melayani dan memberi minum tentara serta mengantarkan jenazh ke Kota Madinah." Keterangan ini dijadikan dasar praktik pengobatan yang melibatkan dokter dan pasien yang berlawanan jenis.

Al Hafiz dalam Al-Fatah memandang boleh mengobati orang-orang yang berbeda jenis kelamin dalam keadaan darurat. Ibnu Muflih, yang dikutiip Sabiq, menyampaikan pendapat senada. Menurut dia, bila suatu saat ada seorang perempuan jatuh sakit dan tak ada dokter yang mengobatinya kecuali laki-laki, tak ada masalah dokter itu melihat anggota tubuh perempuan, termasuk bagian kemaluan.

Disisi lain, seorang Muslimah dapat berobat kepada dokter perempuan yang non-Muslim. Tentu saja, dokter itu memang ahli dan dapat dipercaya serta tidak ada dokter Muslimah yang menguasai spesialisasi ilmu yang dikuasai dokter non-Muslim itu. Syekh Taqiyyuddin menyatakan, seorang Nasrani atau Yahudi yang ahli dalam ilmu kedokteran dan bisa dipercaya boleh diangkat menjadi dokter. Sebagaimana mereka memperoleh kepercayaan untuk dititipi harta atau menjalin hubungan perdagangan. Ada sejumlah peristiwa yang dijadikan landasan. Sewaktu hijrah, Nabi Muhammad mengupah seorang penunjuk jalan bukan Muslim yang sarat pengalaman. Orang-orang dari suku Khuza'ah, baik yang telah memeluk Islam maupun belum, digunakan sebagai mata-mata.

Sayyid Sabiq menuturkan, Rasulullah pernah menyuruh berobat ke Harits bin Kaldah sedangkan dia adalah kafir. Hanya saja, sepanjang masih ada dokter Muslim baik perempuan maupun laki-laki berobatlah kepadanya. Sama halnya dengan menitipkan harta dan menjalin hubungan erat dalam perniagaan.

Ada ketentuan yang sebaiknya diketahui oleh Muslimah saat sakit. Sabiq mengungkapkan, barang yang dipakai sebagai obat bukanlah yang berstatus haram. Ulama bersepakat, pengobatan dengan khamar dan barang terlarang lainnya, tidak boleh. Thariq bin Suwaid pernah bertanya kepada Nabi soal khamar yang digunakan sebagai obat. Lantas Nabi menjawab, "Itu bukan obat, tetapi penyakit."

Lebih lanjut, Sabiq mengatakan, beberapa tetes yang tidak banyak, tidak kelihatan, serta tidak memabukan kalau dicampurkan dengan adonan obat hukumnya tidak haram. Sama kasusnya dengan sedikit sutra yang tercampur dengan kain. Bukan itu saja, Rasulullah melarang jampi dan jimat dalam pengobatan. Siapa saja yang menggantungkan tamimah, Allah tak akan menyelamatkannya dan siapa yang menggantungkan wadiah, Allah tidak akan memeliharanya. Tamimah merupakan secarik kain yang biasa digantungkan pada bagian tubuh anak-anak dengan tujuan menurut yang mempercayainya, akan mampu mengusir setan. Praktik semacam ini dibatalkan oleh Islam. Rasul mendo'akan agar orang yang meyakininya tidak akan diselamatkan dan dilindungi Allah. Beliau pernah melihat di pergelangan tangan seorang laki-laki terdapat rantai dari tembaga. Nabi bertanya, "Apa ini?" Laki-laki itu menjelaskan, rantai itu adalah penangkal wahinah atau lemah syaraf yang biasanya menyerang di bahu dan seluruh tangan. Sebagian orang menyatakan, wahinah ini penyakit yang menyerang pergelangan tangan. Maka itu, ada dari mereka mengikatkan rantai di pergelangan tangan karena percaya rantai tersebut menjaga dari rasa sakit. Dengan kenyataan itu, Rasulullah melarang perilaku itu dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk jimat.

Selasa, 27 Desember 2011

15 Sebab-Sebab Bencana

Gempa bumi, tsunami, gunung meletus, bendungan jebol, jembatan ambruk dan masih banyak lagi bencana yang terjadi di sekitar kita. Secara umum kita menyebutnya bencana alam, tapi apakah hanya sampai disana cara berfikir kita? Tentu tidak, dalam hati kita bertanya-tanya, kenapa, ada apa dan lain sebagainya pertanyaan dalam benak kita tentang kejadian alam atau bencana yang akhir-akhir ini terjadi di negara tercinta Indonesia ini, bahkan hampir di semua permukaan bumi ini.

Para ilmuwan sering berdalih bahwa bumi ini sudah tua, bahwa ini gejala alam biasa yang terjadi setiap sekian tahun, bahwa ini adalah hal yang tak terduga, dan masih banyak lagi "bahwa-bahwa yang lain". Ada akibat pasti ada sebab, akibatnya terasa oleh manusia, jelas sebabnya juga berasal dari manusia. "Tidak ada suatu perkara yang terjadi kecuali berasal dari diri kita sendiri" begitulah orang bijak menyampaikan. Bahkan Rosululloh SAW pernah mengingatkan umatnya tentang hal ini. Rasulullah SAW bersabda : "Bila umatku sudah melaksanakan 15 perkara maka bencana sudah pasti terjadi, yaitu:

1. Bila barang negara sudah diakui/dimiliki oleh orang-orang tertentu;

2. Barang amanat jadi Ganimah (temuan);

3. Mengeluarkan zakat dianggap musibah bagi sikaya;

4. Suami sudah tunduk patuh terhadap istrinya untuk mengerjakan sesuatu yang keluar dari syariat (ajaran islam);

5. Anak menyakiti kedua orang tuanya sementara kepada temannya berlaku baik;

6. Terjadi permusuhan caci-mencaci antara jamaah mesjid karena perbedaan masalah/pendapat yang bukan prinsip yang mereka pegang;

7. Diantara yang menjadi pemimpin umat baik yang memimpin masyarakat atau agama bukan dari keturunan yang baik-baik;

8. Seseorang memuliakan seseorang karena takut kejelekannya bukan karena wibawa atau karena akhlak dan ilmunya;

9. Orang mabuk dan maksiat sudah terlihat dimana-mana;

10. Seorang pria sudah senang memakai pakaian yang biasanya dipakai wanita;

11. Kedua orang tua diperlakukan seperti pembantu di dalam rumah tangga;

12. Sarana untuk maksiat tersebar dimana-mana, seperti bar, kasino, diskotik dan warung remang-remang;

13. Dancing, dugem dan hiburan yang berbau pornografi dan pornoaksi sudah dianggap kesenian belaka bahkan hiburan yang baik;

14. Bila umat akhir zaman sekarang ini sudah mencaci-maki dan tidak menghiraukan pendapat-pendapat mereka (para ulama);

15. Bila umat akhir zaman semuanya sudah ingin berlomba-lomba menjadi seorang selebritis/penyanyi yang terkenal;

Semua ini mengundang bencana, bila itu sudah terjadi/dilaksanakan oleh penduduk di dunia akan terjadi gempa bumi besar-besaran dan amblasnya suatu tempat/perkampungan ditelan bumi dan datangnya bencana tersebut rajfatan di tengah malam ketika manusia terlelap dalam tidur".

Saatnya kita mengevaluasi diri kita sendiri, keluarga, lingkungan di sekitar kita, jika 15 perkara tadi sudah jelas didepan mata kita, selayaknya kita sebagai muslim saling mengingatkan dan memperbaiki. Jangan dulu berfikir bagaimana mengubah keadaan dunia, atau mengubah keadaan negara, atau mengubah keadaan masyarakat, atau mengubah keadaan keluarga, tapi mulailah mengubah diri kita sendiri kembali kejalan yang sesuai dengan syariat Islam.

Ingat firman Allah SWT dalam surah Ar-Ruum ayat 41 :
ﻇَﻬَﺮَ ﺍﻟْﻔَﺴَﺎﺩُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺮِّ ﻭَﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ
ﺃَﻳْﺪِﻱ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻟِﻴُﺬِﻳﻘَﻬُﻢ ﺑَﻌْﺾَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻤِﻠُﻮﺍ
ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺮْﺟِﻌُﻮﻥَ
Artinya : "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)" (QS. Ar Ruum 30:41)

Mudah-mudahan keselamatan dan kedamaian terwujud setelah kita mengusir 15 perkara diatas. Insya Allah...

Hadits Universal Ikhlas Dalam Beramal

Kewajiban Ikhlas dalam Beramal
ﻋَﻦْ ﻋُﻤَﺮَ ﺑْﻦِ ﺍﻟْﺨَﻄَّﺎﺏِ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
ﻗَﺎﻝَ : ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻘُﻮﻝُ : ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺍﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ
– ﻭَﻓِﻲ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ : ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺔِ – ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻣْﺮِﺉٍ
ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯ ، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ، ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ،
ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟَﻰ ﺩُﻧْﻴَﺎ ﻳُﺼِﻴﺒُﻬَﺎ ﺃَﻭْ
ﺍﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﻳَﺘَﺰَﻭَّﺟُﻬَﺎ ، ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟَﻰ ﻣَﺎ ﻫَﺎﺟَﺮَ
ﺇﻟَﻴْﻪِ
.
Dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda; Amal itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada Allah dan RasulNya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada (keuntungan) dunia yang akan diperolehnya, atau wanita yang akan dinikahinya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.

Kata Kunci;‎

‎ﺇﻧَّﻤَﺎ: Kata ini berfungsi untuk membatasi suatu kata yang disifati pada sifat tertentu. Karena itu dalam bahasa Indonesia setara dengan arti kata hanyalah. Makna dari fungsi sebagai pembatas ini adalah menetapkan hukum yang disebutkan, dan meniadakan yang tidak tersebut.‎

‎ﺍﻟﻨِّﻴَّﺎﺕ : adalah bentuk jamak dari ‎ﺎﻟﻨِّﻴَّﺔِ artinya; tujuan dan tekad didalam hati untuk melakukan sesuatu. Tempatnya niat didalam hati. Al-Baidlawi mengatakan, “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan apa yang dia pandang sesuai dan baik untuk mendatangkan suatu manfaat dan menolak suatu bahaya”‎

‎ﻫِﺠْﺮَﺓٌُ : Secara bahasa berarti meninggalkan. Secara syara’ yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negara islam, atau dari negeri kacau menuju negeri yang aman. Dan kadang-kadang juga digunakan untuk menyebut sikap meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan

‎ﺩُﻧْﻴَﺎ : berarti dunia. Di dalam hadis ini kata dunia mencakup segala sesuatu yang diinginkan oleh hawa nafsu dan bisa dibanggakan di dunia, mencakup status sosial (kedudukan dan pangkat), harta, atau pun isteri (pasangan hidup). Adapun disebutnya wanita, menunjukkan pengkhususan dunia secara umum.‎

‎ﻣَﻦْ : barangsiapa, di dalam hadis ini berfungsi sebagai syarat. Sehingga kata
ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻫِﺠْﺮَﺗُﻪُ‏‎ ‎ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ‏
adalah kalimat syarat, jawab syaratnya adalah kata
ﻓَﻬِﺠْﺮَﺗُﻪُ ﺇﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ‏
Dengan susunan seperti ini, kalimat tersebut berarti, ”Barangsiapa berhijrah (dengan tujuan) kepada Allah dan RasulNya maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya)

Sekilas tentang rawi Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza. Masuk Islam pada tahun ke-6 setelah kenabian. Beliau diangkat sebagai khalifah setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq, atas permintaan Abu Bakar. Menduduki jabatan sebagai khalifah selama 10 tahun. Wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 Hiijriyah, dalam usia 63 tahun karena dibunuh oleh musuh yang menyusup.

Penjelasan Singkat:
Hadis ini merupakan sebuah dasar paling penting dalam qaidah Islam. Para ulama’ memberikan penilaian terhadap hadis ini dengan penilaian yang tinggi. Sebagian di antaranya mengatakan hadis ini setengah agama, dan ada juga yang mengatakan sepertiga agama. Nilai pentingnya hadis ini terletak pada informasi yang dikandungnya, menyangkut standar utama diterima atau tidaknya amal manusia. Rasulullah menginformasikan didalam hadis ini bahwa amal itu tergantung kepada niatnya.

Setiap perbuatan harus ada niat. Tanpa niat, suatu perbuatan tidak akan bernilai disisi Allah. Demikian juga perbuatan yang diniatkan untuk selain Allah, juga tidak akan bernilai disisi Allah. Salah satu contoh amal dalam Islam adalah hijrah, yaitu meninggalkan negeri kufur menuju negeri Islam. Hijrah adalah amal yang sangat penting, hanya akan bernilai disisi Allah kalau diniatkan karena Allah dan RasulNya. Jika amal itu diniatkan kaena dunia, maka Allah tidak akan memberikan balasan apapun. Jika beruntung, dia akan mendapatkan yang diniatkannya di dunia, dan jika tidak dia tidak akan mendapatkan apa-apa di dunia maupun di akhirat.

Niat, akan membedakan apaah seseorang melakukan perbuatan karena kebiasaan belaka, atau sebagai ibadah. Contohnya mandi, apakah mandi itu mandi thaharah atau hanya untuk kebersihan. Niat juga membedakan satu jenis ibadah dengan jenis yang lainnya. Shalat dua rekaat, bisa sama rekaatnya tetapi berbeda pahalanya, karena beda niat. Orang yang masuk masjid lalu ia shalat, ia bisa shalat tahiyyatul masjid, bisa shalat fajar, bisa juga shalat yang lainnya.

Pelajaran dari hadis

1- Niat adalah syarat pokok dalam beramal
2- Beramal dengan niat ikhlash karena Allah semata.
3- Sah atau batal, sempurna atau kurangnya nilai amal, bahkan apakah suatu amal bernilai ibadah atau sekedar kebiasaan tergantung kepada niat. Orang yang melakukan suatu ibadah dengan niat riya’, ia berdosa. Pahala yang sempurna dari Allah hanya akan diberikan kepada orang yang beribadah dengan niat ikhlas lillahi ta’ala. >>> next di koment :-) karena tdk cukup :-D

Sejarah Ganja

Referensi mengenai tanaman ganja (cannabis) tercatat dalam naskah Cina sejak awal 2700 SM. Penjelajah Eropa pertama kali memperkenalkan ganja ke dunia pada tahun 1545. Tanaman ini dianggap sangat bermanfaat oleh pemerintah kolonial Jamestown awal tahun 1607 dan mulai dibudidayakan. Di Virginia, petani didenda karena tidak mau menanam ganja. Pada tahun 1617 ganja mulai diperkenalkan ke Inggris. Dari abad 17 hingga ke pertengahan abad 20 ganja dianggap sebagai obat rumah tangga yang berguna untuk mengobati penyakit seperti sakit kepala, kram menstruasi, dan sakit gigi. Dari tahun 1913-1938 jenis ganja yang lebih kuat dibudidayakan oleh perusahaan-perusahaan obat Amerika untuk digunakan dalam produk obat mereka. Ganja jenis itu disebut Cannabis americana.

Sebelum tahun 1910, perdagangan ganja dan hasish (bagian yang dihasilkan dari bunga) cukup terbatas. Namun, setelah Revolusi Meksiko, perdagangan obat-obatan lebih terbuka, ini mengakibatkan pertumbuhan dan pengangkutan obat-obatan menjadi lebih mudah dan lebih menguntungkan. Bisnis ini diperluas hingga mencapai pelabuhan New Orleans, dimana waktu itu ganja dijual di pasar gelap untuk penduduk lokal. Tak lama kemudian tren penggunaan ganja sebagai obat menjadi populer. Ganja segera menjadi populer terutama pada turunan ganja yg kuat seperti: hasish, charas, ghanja, dan bhang. Para musisi mengatakan bahwa merokok ganja dapat memberikan mereka inspirasi yang dibutuhkan untuk memainkan musik mereka. Ada yang mengatakan bahwa ganja bisa memberi mereka visi kontemplatif dan perasaan kebebasan dan semangat yang luar biasa. Selain itu ganja juga digunakan sebagai obat penghibur atau entertainment.

Akhirnya penggunaan ganja, alkohol, dan obat-obatan yang lain menjadi lazim di kota-kota besar di seluruh dunia, seperti Chicago, New York, London, dan Paris. Banyak entertainers dan musisi Jazz pada jaman itu yang menggunakan narkoba dan alkohol dan mereka sangat tergantung pada gangster (bandar narkoba) saat mereka manggung. Para gangster ini mampu memberikan berbagai obat dan alkohol untuk para pemain dan staf mereka secara gratis.

Di tahun 1920, sebagai hasil dari perubahan amandemen yang melarang penggunaan minuman beralkohol (Prohibition), penggunaan ganja sebagai obat psikoaktif mulai tumbuh. Bahkan setelah pencabutan larangan tersebut tahun 1933, ganja masih digunakan secara luas, seperti juga morfin, heroin, dan kokain. Pada tahun 1937, ke-46 negara bagian US melarang penggunaan ganja bersama dengan obat-obatan narkotika lainnya. Akan tetapi persepsi yang populer adalah ganja tidak adiktif seperti narkotika. Ganja diklasifikasikan sebagai obat yang mengubah suasana hati, persepsi, dan image, bukan sebagai obat narkotika. Ganja masih dianggap sebagai obat-obatan Schedule I, yang berarti ganja dianggap sebagai obat yang berbahaya tanpa ada penggunaan medis. Akhirnya setelah itu rancangan UU diusulkan untuk kembali mengklasifikasikan ganja sebagai obat Shedule II , yaitu sebagai obat berbahaya dengan penggunaan medis yang terbatas.

Pada tahun 1960-an ganja digunakan secara luas oleh generasi muda dari semua kelas sosial. Diperkirakan bahwa pada tahun 1994, 17 juta orang Amerika telah menggunakan ganja, dan sekitar 1,5 juta orang Amerika menghisap ganja secara teratur. Kehadiran strain ganja yang lebih kuat telah memperluas perdebatan antara penegak badan pengawas obat dan para pendukung dekriminalisasi ganja. Mereka berpendapat, ganja tidak dalam kelas yang sama seperti obat-obatan lain yang memang lebih adiktif. Pendapat yang lain menyatakan bahwa ganja adalah pintu gerbang “gateaway” untuk obat-obatan yang lebih keras dan karena itu hukum terhadap penggunaan dan distribusi harus tetap berlaku.

Sejak tahun 1976 undang-undang memungkinkan penggunaan ganja secara terbatas untuk keperluan medis (Medical Marijuana) yang telah diberlakukan di 35 negara bagian (pada tahun 2003 beberapa undang-undang tersebut telah berakhir atau secara khusus tidak diperpanjang oleh legislator negara bagian). Pada tahun 2002 ada upaya luas untuk dekriminalisasi pengguna ganja di Canada dan Britania Raya. Di Amerika Serikat, hampir semua level di tingkat negara bagian mereformasi hukum obat-obatan yang dianggap tidak efektif dengan melakukan over-riding pada hukum obat federal. Meskipun demikian, sejak 1996 delapan negara bagian telah memberlakukan berbagai upaya hukum yang secara efektif memungkinkan penggunaan medical marijuana yang terbatas dan terkendali. Akan tetapi dibeberapa negara bagian tersebut, dokter dan pasien medical marijuana kemungkinan masih menghadapi tuntutan pidana federal.

Pada bulan Mei 1999, National Institutes of Health (NIH) mengeluarkan kebijakan yang menggambarkan perlunya penelitian lebih lanjut dalam penggunaan ganja untuk perawatan medis. NIH berpendapat bahwa penggunaan ganja untuk alasan medis harus melibatkan analisa mengenai manfaat penggunaan serta potensi risiko yang akan timbul.

Kewajiban SEOrang Muslim terhadap Non-Muslim

Kewajiban seorang Muslim terhadap non muslim ada beberapa bentuk, diantaranya:

1. Berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menyerunya kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam kepadanya semampu yang dapat ia lakukan dan berdasarkan ilmu yang ada padanya, sebab hal ini merupakan bentuk kebaikan yang paling agung dan besar yang dapat diberikannya kepada warga negara sesamanya dan etnis lain yang berinteraksi dengannya seperti etnis Yahudi, Nashrani dan kaum Musyrikin lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya." (HR. Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari Abu Mas'ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada 'Ali radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar dan memerintahkannya menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam, "Demi Allah, sungguh Allah memberi hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu)." (HR. Bukhari, III:137; Muslim,IV:1872 dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda beliau yang lain, "Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun." (HR. Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi,2674 dari jalur Isma'il bin Ja'far, dari al-'Ala' bin 'Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Jadi, dakwahnya kepada Allah subhanahu wata’ala, penyampaian Islam dan nasehatnya dalam hal tersebut termasuk sesuatu yang paling penting dan bentuk pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang paling utama.

2. Tidak berbuat zhalim terhadap jiwa, harta atau pun kehormatannya bila ia seorang Dzimmi (non-muslim yang tinggal di negri kaum muslimin dan tunduk kepada hukum Islam serta wajib membayar jizya), atau Musta'man (non-muslim yang mendapatkan jaminan keamanan) atau pun Mu'ahid (non muslim yang mempunyai perjanjian damai). Seorang Muslim harus menunaikan haknya (non Muslim) dengan tidak berbuat zhalim terhadap hartanya baik dengan mencurinya, berkhianat atau pun berbuat curang. Ia juga tidak boleh menyakiti badannya dengan cara memukul atau pun membunuh sebab statusnya adalah sebagai seorang Mu'ahid, atau dzimmi didalam negeri atau Musta'man yang dilindungi.

3. Tidak ada penghalang baginya untuk bertransaksi jual beli, sewa dan sebagainya dengannya. Berdasarkan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah membeli dari orang-orang kafir penyembah berhala dan juga membeli dari orang-orang Yahudi. Ini semua adalah bentuk mu'amalah (transaksi). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau masih menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk keperluan makan keluarganya.

4. Tidak memulai salam dengannya tetapi tetap membalasnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Janganlah memulai salam dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani." (HR.Muslim,IV:1707 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabdanya yang lain, "Bila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu, maka katakanlah: 'Wa'alaikum.' Muttafaqun alaih (HR. al-Bukhari, IV:142; Muslim,IV:1706 dari Abdullah bin Dinar, dari Ibn 'Umar radhiyallahu ‘anhu). Jadi, seorang Muslim tidak memulai salam dengan orang kafir akan tetapi kapan orang Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya memberi salam kepadanya, maka hendaknya ia mengucapkan, Wa'alaikum. Sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini termasuk hak-hak yang disyari'atkan antara seorang Muslim dan orang kafir.

Hak lainnya adalah bertetangga yang baik. Bila ia tetangga anda, maka berbuat baiklah terhadapnya, jangan mengusiknya, boleh bersedekah kepadanya bila ia seorang yang fakir. Atau boleh memberi hadiah kepadanya bila ia seorang yang kaya. Boleh pula menasehatinya dalam hal-hal yang bermanfa'at baginya sebab ini bisa menjadi motivator ia berhasrat untuk mengenal dan masuk Islam. Juga, karena tetangga memiliki hak yang agung sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira ia akan memberikan hak waris kepadanya." (Muttafaqun 'alaihi) Juga sebagaimana makna umum dari firman Allah subhanahu wata’ala, "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS.al-Mumtahanah:8)
Dan dalam hadits yang shahih dari Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, bahwa Ibundanya datang kepadanya saat ia masih musyrik di masa perundingan damai yang terjadi antara.....

Minggu, 25 Desember 2011

Makna dan Hukum Tasyabbuh

Berbicara masalah tasyabbuh atau meniru gaya hidup golongan non muslim sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman era globalisasi. Sebagian besar kalangan umat muslim telah terpengaruh, bahkan sudah banyak yang mengikuti dan mengikuti tata cara kehidupan serta budaya-budaya barat yang sungguh jauh dari norma Islam. Tasyabbuh ini sendiri sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Saw. Beliau dengan tegas mengingatkan umatnya, “barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.“

Islam menjadikan permasalahan tasyabbuh ini termasuk dalam hal yang sangat diperhitungkan. Rasulullah Saw. telah melaksanakan amanahnya. Beliau telah menyampaikan risalah dan telah menasehati ummatnya, akan tetapi kebanyakan dari umatnya berpaling dari manhaj-nya. Fitnah ini tentunya semakin membesar di akhir zaman sekarang. Oleh karena itu, tidaklah salah kalau kita katakan bahwa kadar tasyabbuh yang menimpa umat islam di zaman kini telah mencapai tingkat yang paling kronis dibandingkan keadaan yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Maka demi memantapkan gambaran tentang tasyabbuh, ada baiknya jika kita tinjau dari segi pengertian, hukum maupun faktor-faktor yang menyebabkan kaum muslimin terjebak di dalamnya.

Pengertian tasyabbuh

Tasyabbuh secara bahasa diambil dari kata al-musyabahah yang berarti meniru, mencontoh, menjalin atau mengaitkan diri dan mengikuti.
al-Tasybih berarti peniruan. Sedangkan mutasyabihah berarti mutamatsilat (serupa). Adapun tasyabbuh secara syariat yaitu menyerupai orang-orang kafir dalam segala bentuk dan sifatnya, baik dalam akidah, peribadatan, kebudayaan atau tingkah laku yang menunjukkan ciri khas mereka. Termasuk dalam tasyabbuh yaitu meniru terhadap orang-orang yang tidak shalih, walaupun mereka itu dari kalangan kaum muslimin. Seperti meniru orang fasik, awam, jahil atau orang-orang Arab (badui) yang tidak sempurna keislamannya.

Syaikh Dr. Nâshir bin Abdul Karîm al-‘Aql dalam kitabnya “Man Tasyabbaha Bi Qaumin Fahuwa Minhum” secara global menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tidak termasuk ciri khusus orang-orang kafir, baik akidah, adat-istiadat, peribadatan dan hal itu tidak bertentangan dengan dalil serta prinsip-prinsip syariat serta tidak dikhawatirkan akan membawa kepada kerusakan maka tidak termasuk tasyabbuh.

Hukum tasyabbuh

Hukum tasyabbuh dalam masalah yang menyangkut beberapa perkara tidak bisa disimpulkan dalam satu keputusan. Karena setiap perkara tasyabbuh ini mempunyai hukum sendiri-sendiri berdasarkan nash yang ada. Selain harus merujuk kaidah-kaidah syariat serta pendapat para ulama dan ahli fiqih. Akan tetapi, dalam masalah tasyabbuh ini ada beberapa hukum umum yang meliputi semua jenis tasyabbuh yang bersifat menyeluruh. Hukum umum tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Ada beberapa perkara dari perbuatan tasyabbuh terhadap orang-orang kafir bisa dihukumi sebagai perbuatan syirik atau kufur. Misalnya tasyabbuh terhadap orang-orang yahudi, nasrani, atau majusi dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah tauhid dan akidah, seperti ta’thil (menafikan dan mengingkari) terhadap nama dan sifat Allah, taqdis (mensucikan) seorang nabi atau orang-orang shalih kemudian berdoa serta beribadah kepada mereka.

2. Ada pula dari beberapa perbuatan yang menjerumuskan kepada perbuatan maksiat dan kefasikan. Seperti mengikuti adat-istiadat atau budaya kafir. Contohnya, seperti makan dan minum dengan tangan kiri, laki-laki menyerupai wanita atau wanita yang menyerupai laki-laki dan lain sebagainya.

3. Tasyabbuh bisa dihukumi sebagai perbuatan yang makruh bila timbul keraguan antara mubah atau haram karena tidak ada kejelasan hukum. Terkadang dalam beberapa masalah tingkah laku, adat atau kebudayaan, serta beberapa masalah keduniaan masih diragukan kedudukan hukumnya. Apakah masalah tersebut termasuk suatu perkara yang dibenci ataukah sesuatu yang mubah (dibolehkan). Namun, demi menjaga agar seorang muslim tidak terperosok, maka dihukumi sebagai sesuatu yang makruh.

Faktor-faktor penyebab kaum muslimin terjebak dalam tasyabbuh

1. Tipudaya orang-orang kafir terhadap Islam dan kaum muslimin

Inilah yang terjadi sejak lahirnya Islam hingga hari ini. Orang-orang kafir dengan segala jenis ajaran, akidah, serta dengan segala bentuk aturan dan hawa nafsunya berusaha memperdaya umat Islam. Sebagian dari pelaksanaan program tipu daya mereka adalah menjebak kaum muslimin supaya bertasyabbuh dalam masalah akidah, adat-istiadat, hari-hari besar serta dalam tingkah laku yang menyerupai mereka. Jadi tipu daya orang-orang kafir merupakan pokok penyebab terjebaknya kaum muslimin ke dalam tasyabbuh. Padahal Allah telah memperingatkan kita, “Dan tidak akan rela kepadamu orang-orang yahudi dan nasrani itu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqarah:120), di ayat yang lain, “Mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa-apa yang menyusahkanmu. Telah nyata kebencian dari......

Pandangan Islam Tentang Perayaan Tahun Baru

Tidak terasa seminggu lagi sejak tulisan ini dibuat, penduduk bumi ini akan segera memasuki tahun baru 2012 Miladiyah (Masehi). Sebagian orang sudah bersiap-siap untuk mengadakan pesta atau perayaan menyambut tahun baru itu. Kalau dipikir secara sepintas, mengadakan perayaan menyambut tahun baru adalah merupakan tradisi masyarakat dunia. Oleh sebab itu sah-sah saja kita ikut meramaikan, termasuk kita umat Islam. Tapi bagaimana sebenarnya, perayaan tahun baru kalau kita lihat dari sudut pandang Islam?

Sejarah Singkat Perayaan Tahun Baru Masehi

Sebelum membahas perayaan tahun baru dalam kacamata Islam, maka kita lihat dulu bagaimana sejarah perayaan tahun baru itu sendiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang Romawi kuno merayakan tahun baru pada tanggal I Januari tahun 45 sebelum Masehi. Tak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma. Julius Caesar dibantu oleh ahli astronomi dari Aleksandria, Sosigenes, mengubah sistem penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 sebelum Masehi, dengan mendesain sistem penanggalan baru yang disarankan agar dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, seperti yang digunakan di Mesir. Satu tahun dalam kalender baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari, dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 sebelum Masehi, sehingga tahun berikutnya dimulai pada tanggal I Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tak lama sebelum Caesar terbunuh pada tahun 44 sebelum Masehi, dia mengganti nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau July. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, yaitu kaisar Agustinus, menjadi bulan Agustus.

Pada saat itu, orang Romawi kuno saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci, kacang, atau koin lapis emas bergambar dewa Janus (dewa pintu dan semua permulaan). Bulan Januari berasal dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang). Lambat laun kaisar pun mewajibkan rakyat memberikan hadiah-hadiah tahun baru itu kepadanya. Sedangkan orang Persia kuno mempersembahkan hadiah telur untuk tahun baru, sebagai lambang produktivitas. Biasanya mereka memulai tahun baru pada hari panen. Para pendeta Keltik memberikan potongan dahan mistletoe, yang dianggap suci, kepada umat mereka. Orang-orang Keltik mengambil banyak kebiasaan tahun baru orang Romawi yang menduduki kepulauan Inggris pada tahun 43 Masehi.

Pada tahun 457 Masehi, Gereja Kristen melarang kebiasaan-kebiasaan tahun baru ini karena dianggap merupakan kebiasaan kafir. Pada tahun 1200-an para pemimpin Inggris mengikuti kebiasaan kaisar Romawi yang mewajibkan rakyat memberikan hadiah tahun baru.

Pada abad pertengahan hingga tahun 1600 negara-negara barat telah menggunakan sistem penanggalan yang telah direvisi, yaitu kalender Gregorian atau kalender Masehi. Kalender ini ditetapkan sebagai standar penghitungan hari internasional. Awalnya kalender ini dipakai untuk menetukan jadwal kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan, dan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia. Masyarakat di negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, hari raya Kenaikan Isa Almasih, hari raya umat Kristen itu sebagai awal tahun baru. Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan ini pada tahun 1752. Tetapi akhirnya tanggal 1 Januari ditetapkan lagi sebagai hari tahun baru pada kalender yang sampai sekarang kita pakai. Para suami di Inggris memberi uang kepada istri-istri mereka untuk membeli bross sederhana (pin). Kebiasaan ini hilang pada tahun 1800-an, namun istilah pin money yang berarti sedikit uang jajan, tetap digunakan. Orang koloni di New England, Amerika, merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan bersorak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka. Sebenarnya perayaan tahun baru Masehi merupakan bagian dari hari suci umat Kristiani, yang waktunya telah ditentukan oleh agama. Bagi orang-orang Kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru Masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa Almasih, sehingga agama Kristen disebut juga agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir disebut tahun sebelum Masehi, dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. Perayaan hari tahun baru Masehi, sudah lama menjadi tradisi dan ditetapkan sebagai hari libur umum nasional hampir di berbagai negara. Di Amerika Serikat, umumnya perayaan dilakukan pada tanggal..... Selanjutnya lihat di komentar

review http://mahesakujenar.blogspot.com on alexa.com
free counters

Followers

 
heramkempek © . Template by: SkinCorner. SEO By: Islamic Blogger Template