Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, kemudian keduanya dikompromikan atau ditarjih salah satunya. Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa tidak semua hadits yang secara tekstual bertentangan, tertutup untuk dikompromikan. Untuk itu Syarafuddin Ali al-Rajihi mendefinisikan hadits mukhtalif sebagai berikut : “Hadits mukhtalif adalah dua buah hadits maqbul yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya, namun maksud yang dituju oleh kedua hadits tersebut masih mungkin untuk dikompromikan dengan tanpa dicari-cari (wajar)”
Imam al-Syafi’I berkata : “ …Demikianlah, tidak pernah kami temukan dua hadits yang kontradiksi, kecuali ada saja jalan keluarya. Atau ditemukan petunjuk yang memberikan isyarah mana hadits yang lebih otentik, baik atas dasar kesesuaiannya dengan kitab Allah, hadits Nabi, atau berdasarkan dalalah (petunjuk) lainnya.”
Dengan demikian, maka tidak akan ditemukan hadits-hadits yang bertentangan secara lahiriyah, kecuali ditemukan jalan keluar untuk menghilangkan sifat kontradiksinya, baik melalui jalan kompromi (al-jam’u), tarjih, atau nasih mansuh.
Cara yang ditempuh para ulama dalam menyelesaikan ikhtilaf hadits adalah sebagai berikut :
1. Apabila mungkin, supaya diupayakan untuk dikompromikan keduanya, baik melalui pendekatan kaidah ushul fiqh, pendekatan konteks, pendekatan korelatif, pendekatan ta’wil, atau pendekatan dari sudut pandang al-tanawwu’ al-ibadah.
2. Apabila mustahil dikompromikan, maka perlu diteliti sejarah keduanya, dan bila ditemukan sejarah yang menunjukkan mana yang lebih awal dan lebih akhir wurudnya, maka diselesaikan melalui pendekatan nasih mansuh.
3. Apabila tidak dapat ditemukan sejarah wurudnya, maka pertama-tama supaya diamalkan secara sendiri-sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Namun bila tidak dapat diperlakukan seperti itu, terpaksa dilakukan tarjih.
** Dalam hal ini Muhammad Utsman al-Hasyit membagi tarjih ke dalam empat kategori; (a) yaitu tarjih dari sudut sanad, (b) dari sudut matan, (c) dari sudut makna yang dimaksud (madlul), (d) dari sudut yang datangnya dari luar.
Sungguhpun demikian, pendekatan pertama, yaitu al-jam’u (kompromi), merupakan cara terbaik, yang diakui sejumlah ulama’, sebagaimana dituturkan al-Kandahlawi. Untuk itu, sebagai pengetahuan mengenai pemahaman terhadap hadits (sunnah) Nabi secara lebih baik perlu menyimak pendapat as-Syafi’i. Ia berpendapat bahwa sunnah Nabi tidak akan bertentangan dengan al-Qur’an, baik sunnah itu bersifat sebagai tafsir, atau sebagai ketentuan tambahan. Sebab al-Qur’an sendiri memerintahkan untuk mengikutinya. Oleh karna itu apabila terdapat hadits yang sama-sama shahih, tidak mungkin terjadi pertentangan. Nabi dalam sabdanya kadang ditujukan sebagai ketentuan yang bersifat umum, tetapi yang umum itu kadang dimaksudkan sebagai ketentuan khusus. Demikian pula (dalam sabdanya itu) kadang dimaksudkan oleh Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam konteks tertentu, tetapi kadang ia menjawab persoalan yang sama dengan jawaban yang berbeda dalam konteks yang lain. Maka atas dasar paradigma itulah as-Syafi’i berkeyakinan bahwa tidak ada dua hadits yang bertentangan, kecuali akan ditemukan jalan keluarnya untuk mempertemukannya.
Jumat, 30 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar