elah banyak riwayat yang menukil ta'wîl sahabat Ibn 'Abbas tentang
ayat-ayat sifat dengan sanad yang shahih dan kuat.
1) Ibnu Abbas menta'wîl ayat: *يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ*
"Pada hari betis disingkapkan." (QS.al Qalam :42)
*Ibnu Abbas ra. berkata (ayat itu berarti): "Disingkap dari **kekerasan **
(kegentingan**)**." *Disini kata ساق (betis) dita'wîl dengan makna شِدٌَّة
kegentingan.
Ta'wîl ayat di atas ini telah disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathu
al Bâri,13/428 dan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 29/38. Ia mengawali tafsirnya
dengan mengatakan, "Berkata sekelompok sahabat dan tabi'în dari para ahli
ta'wîl, maknanya (ayat al-Qalam:42) ialah, "Hari di mana disingkap
(diangkat) perkara yang genting."
Dari sini tampak jelas bahwa menta'wîl ayat sifat adalah metode dan diamal-
kan para sahabat dan tabi'în. Mereka adalah salaf kita dalam metode ini.
Ta'wîl itu juga dinukil oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, Said ibn Jubair,
Qatadah dan lain-lain.
2) Ibnu Abbas ra. menta'wîl ayat: *وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ*
"Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami
benar-benar berkuasa." (QS. adz Dzâriyât : 47)
Kata *أَيْدٍ** *secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari
ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama' dari kata *يَدٌ** **. *(Baca
Al Qamûs al Muhîth dan Tâj al 'Ârûs,10/417.)
*Akan tetapi Ibnu Abbas ra' mena'wîl arti kata **tangan* dalam ayat
Adz-Dzariyat ini dengan *بِقُوَّةٍ** *artinya *kekuatan*. Demikian
diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya,* *7/27.
* *
Selain dari Ibnu Abbas ra., ta'wîl serupa juga diriwayatkannya dari para
tokoh tabi'în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah,
Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
3). Allah swt. berfirman: *فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ
يَوْمِهِمْ هَذَا* َ
"Maka pada hari ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupa kan
pertemuan mereka dengan hari ini…" (QS. Al-A'râf : 51)
*Ibnu Abbas ra. menta'wil ayat ini yang menyebut (Allah) **melupakan **kaum
kafir dengan ta'wîl '**menelantarkan/membiarkan'.*
Ibnu Jarir berkata: 'Yaitu maka pada hari ini yaitu hari kiamat*, *Kami
melupakan mereka, Dia berfirman*, *Kami membiarkan mereka dalam siksa..'
(Tafsir Ibnu Jarir, 8/201)
Di sini Ibnu Jarir mena'wîl kata melupakan dengan membiarkan. Dan ia adalah
penggeseran sebuah kata dari makna aslinya yang dhahir kepada makna
majazi/kiasan. Beliau telah menukil ta'wîl tersebut dengan berbagai sanad
dari Ibnu Abbas ra., Mujahid dan lain-lain.
Ibnu Abbas ra. adalah seorang sahabat besar dan pakar dalam tafsir Al
Qur'an….Mujahid adalah seorang tabi'în agung…Ibnu Jarir, ath-Thabari adalah
Bapak Tafsir kalangan Salaf…
Dalam Shahih Muslim disebutkan sebuah riwayat Hadits qudsi: -
"Hai anak Adam, Aku sakit tapi engkau tidak menjenguk-Ku. Ia [hamba] ber-
kata, 'Bagaimana aku menjenguk-Mu sementara Engkau adalah Rabbul 'Âlamîin?'
Allah menjawab, 'Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku si fulan sakit,
engkau tidak menjenguknya, tidakkah engkau mengetahui bahwa jika engkau
menjenguknya engkau akan dapati Aku di sisinya…" (HR. Muslim,4/1990, Hadits
no.2569)
Apakah boleh kita mengatakan; *Kita akan menetapkan bagi Allah sifat sakit,
tetapi sakit Allah tidak seperti sakit kita **(makhluk-Nya)? **Bolehkah
kita meyakini menurut dhahir/lahir kalimat tanpa memasukkan unsur kiasan** *
*jika ada seorang hamba sakit maka Allah juga akan terserang sakit, dan Dia
akan berada di sisi si hamba yang sakit itu? **Pasti tidak boleh!!*
*Bahkan kita berhak mengatakan bahwa siapa saja yang mensifati Allah dengan
**Sakit **atau**Dia sedang Sakit **dia benar-benar telah kafir!*
Sementara pelaku pada kata kerja مَرِضْتُ adalah kata ganti orang
pertama/aku/si pembicara yaitu Allah. Jadi berdasarkan dhahir tekts dalam
hadits itu, Allah-lah yang sakit. Tetapi pastilah dhahir kalimat itu bukan
yang dimaksud. *Kalimat itu harus dita'wîl*. Demikian pandangan setiap
orang berakal. *Dan ini adalah sebuah bukti bahwa Sunnah pun mengajarkan
ta'wîl kepada kita.*
Jadi makna hadits di atas menurut para ulama sebagaimana diuraikan Imam
Nawawi dalam Syarah Muslim sebagai berikut; "Para ulama berkata,
'disandarkannya sifat sakit kepada-Nya sementara yang dimaksud adalah hamba
sebagai tasyrîf, pengagungan bagi hamba dan untuk mendekatkan. Para ulama
berkata*tentang maksud **engkau akan dapati Aku di sisinya **(ialah) **engkau
akan mendapatkan pahala dari-Ku dan pemuliaan-Ku*… " (Syarah Shahih
Muslim,16/126)
Minggu, 23 Desember 2012
Langganan:
Postingan (Atom)