Kemarin malam, adalah malam 1 Rabiul Awal 1433 tahun silam, Nabi Muhammad Saw. memulai perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah. Bertolak dari rumah mulia beliau, meninggalkan Ali bin Abi Thalib yang menggantikannya terkepung para pembunuh bayaran yang sudah siap dengan pedang terhunus…
Ditemani Abu Bakar, beliau berjalan selama 11 hari. Pada 12 Rabi`ul Awwal, beliau menginjakkan kaki di Madinah untuk pertama kali.
Bagaimana dengan Ali yang ditinggalkan oleh Nabi di rumah beliau, dalam ancaman maut yang siap dihunuskan???
Setelah berhasil dengan selamat, menghadapi orang-orang garang dengan nafsu membunuh, yang memaksa mendobrak pintu rumah Nabi, dan hampir saja mereka membunuhnya, Ali yang pemberani itu pun menyusul Nabi belakangan. Atas keikhlasannya menghadapi maut, di ujung pedang-pedang yang siap diayunkan itulah, turun ayat, “Wa min al-naasi man yasyri nafsahu ibtigha`i mardhaatillah, wallahu ra`uufun bi al-`ibad...” Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Allah Maha Penyantun bagi para hamba (QS al-Baqarah, 2:207)
Saat-saat Nabi hijrah adalah peristiwa yang sangat heroik, Semoga kita kecipratan spiritnya.
Bagaimana dengan Abu Bakar yang menyertai Nabi hijrah ke Yatsrib (Madinah)?
Tentang kebersamaannya menemani Nabi Saw. hijrah, juga diungkapkan dalam Al-Quran. Saat keduanya bersembunyi di Gua Tsur dari kejaran musuh yang sudah mendekat di pintu gua,, Saat Abu Bakar gemetar ketakutan, Sang Nabi memberi nasihat, “Laa tahzan… Jangan bersedih.” “Ingatlah ketika keduanya (bersembunyi) di dalam gua, ketika Muhamamd berkata kepada temannya (Abu Bakar), “janganlah engkau bersedih.”
Hijrah adalah perjalanan yang menegangkan, dan menguji keimanan. Maka bulan Rabi`ul Awwal bukan hanya Syahrul Mawlid al-Rasul (bulan kelahiran Rasul), tetapi juga bulan Syahru Hijrati al-Rasul (Bulan Hijrah Rasul) Sehingga peringatan didalamnya berkenaan dengan dua peristiwa penting tersebut sekaligus. Karenanya yang dibahas dalam peringatan Mawlid Nabi di bulan Rabi`ul Awwal ini, selain hikmah mawlidnya juga sekaligus hikmah hijrahnya. Itu akan menjadi bahasan yang menarik. Dan para mubaligh bisa memiliki tema bahasan yang lebih variatif.
Sungguh Kelahiran Nabi Saw. adalah busyra, kabar gembira bagi alam semesta. Bahkan kabar gembira tentang kelahiran Nabi Agung ini selalu dikabarkan oleh semua nabi. Seperti yang ditegaskan oleh Nabi Isa dalam surat al-Shaff. “...Mubasysyiran bi rasuulin ya`tii min ba`dii ismuhu ahmad...” ....(Aku diutus) untuk memberi kabar gembira dengan kedatangan seorang rasul yang datang sesudahku, namanya Ahmad (Muhammad)...”
Sementara hijrah beliau adalah sebuah fase penting dari visi besar risalah untuk menciptakan sejarah kemanusiaan yang diwahyukan..
Alhasil, Rabi`ul Awwal adalah bulan mawlid (kelahiran) dan bulan hijrah Nabi Saw.. Karenanya bulan ini memiliki makna penting bagi umat Islam. Dan kita harus memaknainya lebih penting dan aktual lagi....
Rabu, 25 Januari 2012
Senin, 23 Januari 2012
Perancang burung garuda yang terlupakan
Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak – keduanya sekarang di Negeri Belanda. Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL. Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marahi.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis..... Selengkapnya silahkan menuju blogmwb sebagai sumbernya :P
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, dimana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis..... Selengkapnya silahkan menuju blogmwb sebagai sumbernya :P
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Senin, 23 Januari 2012
Senin, Januari 23, 2012
Tidak ada komentar:
Label:
artikel
Minggu, 22 Januari 2012
Nilai-nilai Pancasila Yang Sering Dilupakan
Pancasila sudah mulai sepi dari pembicaraan publik. Padahal Pancasila sebagai dasar negara merupakan puncak kesepakatan nasional. Melihat aneka sikap dan perilaku, tindakan dan perbuatan dari beberapa elit partai politik, pejabat negara, aksi sekelompok organisasi massa seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme, kekerasan terhadap penganut agama lain, mementingkan diri atau kelompok, menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai dilupakan.
Tak luput juga, hubungan antar pemeluk agama menjadi agak renggang, karena adanya larangan mengucapkan selamat natal, soal pendirian rumah ibadah dan kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Alangkah baiknya jika setiap pejabat publik, elit politik, tokoh agama, segenap masyarakat, merefleksikan nilai-nilai dari setiap Sila Pancasila sebagai berikut:
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
1 Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
2 Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup;
3 Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
4 Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. Kemanusiaan yang adil dan beradab:
1 Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban antara sesama manusia;
2 Saling mencintai sesama manusia;
3 Mengembangkan sikap tenggang rasa;
4 Tidak semena-mena terhadap orang lain;
5 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
6 Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
7 Berani membela kebenaran dan keadilan;
8 Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
C. Persatuan Indonesia:
1 Menempatkan persatuan, kesatuan, diatas kepentingan pribadi atau golongan;
2 Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
3 Cinta tanah air dan bangsa;
4 Bangga sebagai bangsa Indonesia dan berTanah Air Indonesia;
5 Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhinneka Tunggal Ika.
D kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan:
1 Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat;
2 Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;
3 Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;
4 Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan;
5 Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah;
6 Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur;
7 Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia:
1 Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan;
2 Bersikap adil
3 Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;
4 Menghormati hak-hak orang lain;
5 Suka memberikan pertolongan kepada orang lain;
6 Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain;
7 Tidak bersifat boros
8 Tidak bergaya hidup mewah;
9 Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
10 Suka bekerja keras;
11 Menghargai hasil karya orang lain;
12 Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Jika segenap masyarakat Indonesia benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila ini dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka pada saatnya kita akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius, sebab nilai-nilai Pancasila universal dan tidak bertentangan dengan agama manapun.
Dibutuhkan satu komitmen dan kemauan untuk Indonesia, agar Garuda dan Pancasila benar-benar didada segenap warga bangsa. Dengan demikian, kita yakin kita akan menjadi bangsa PEMENANG bukan pecundang.
Tak luput juga, hubungan antar pemeluk agama menjadi agak renggang, karena adanya larangan mengucapkan selamat natal, soal pendirian rumah ibadah dan kebebasan beribadah kelompok minoritas.
Alangkah baiknya jika setiap pejabat publik, elit politik, tokoh agama, segenap masyarakat, merefleksikan nilai-nilai dari setiap Sila Pancasila sebagai berikut:
A. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
1 Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
2 Hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup;
3 Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
4 Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. Kemanusiaan yang adil dan beradab:
1 Mengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban antara sesama manusia;
2 Saling mencintai sesama manusia;
3 Mengembangkan sikap tenggang rasa;
4 Tidak semena-mena terhadap orang lain;
5 Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;
6 Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;
7 Berani membela kebenaran dan keadilan;
8 Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia karena dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
C. Persatuan Indonesia:
1 Menempatkan persatuan, kesatuan, diatas kepentingan pribadi atau golongan;
2 Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara;
3 Cinta tanah air dan bangsa;
4 Bangga sebagai bangsa Indonesia dan berTanah Air Indonesia;
5 Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang berBhinneka Tunggal Ika.
D kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan:
1 Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat;
2 Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain;
3 Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama;
4 Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan;
5 Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah;
6 Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur;
7 Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia:
1 Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan;
2 Bersikap adil
3 Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban;
4 Menghormati hak-hak orang lain;
5 Suka memberikan pertolongan kepada orang lain;
6 Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain;
7 Tidak bersifat boros
8 Tidak bergaya hidup mewah;
9 Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum
10 Suka bekerja keras;
11 Menghargai hasil karya orang lain;
12 Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Jika segenap masyarakat Indonesia benar-benar mengacu pada nilai-nilai Pancasila ini dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka pada saatnya kita akan melihat Indonesia sebagai bangsa yang nasionalis dan religius, sebab nilai-nilai Pancasila universal dan tidak bertentangan dengan agama manapun.
Dibutuhkan satu komitmen dan kemauan untuk Indonesia, agar Garuda dan Pancasila benar-benar didada segenap warga bangsa. Dengan demikian, kita yakin kita akan menjadi bangsa PEMENANG bukan pecundang.
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Minggu, 22 Januari 2012
Minggu, Januari 22, 2012
Tidak ada komentar:
Label:
artikel
PBNU dan KWI usulkan Ormas cantumkan asas Pancasila
Wakil Sekjen PBNU Hanif Saha Ghafur dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus Ormas di gedung DPR, Rabu lalu (18/1), mengusulkan adanya klausul dalam RUU Keormasan agar mencantumkan Pancasila dalam asas organisasi.
“Ini penting untuk menghindari liberalisasi dan radikalisasi Ormas yang ada di Indonesia sekaligus sebagai bukti komitmen dan kesetiaan kepada NKRI,” katanya seperti dilansir NU ONLINE
PBNU juga mengusulkan didalam pasal 19 sebuah poin baru, yaitu Ormas harus memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dalam hal ini, Ormas juga berkewajiban untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, dan memiliki komitmen untuk memelihara dan mempertahankan tidak hanya kesatuan NKRI tetapi juga Ideologi bangsa.
Selain itu, RUU Ormas perlu diatur agar kemudahan fasilitas Negara untuk Ormas tidak dimanfaatkan untuk kegiatan pencucian uang, pencucian pajak dan lainnya oleh segelintir oknum untuk menghindari kewajiban sebagai warga negera.
Sementara itu Romo Antonius Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), seperti dilansir hukumonline.com, mengatakan RUU Ormas ini sangat terasa sekali paradigma pemerintah yang ingin terlalu intervensi kepada kehidupan ormas. “RUU Ormas ini harus dibongkar total. RUU ini semangatnya masih ingin intervensi, paradigma ini harus dirombak total,” ujarnya usai menyampaikan pendapatnya diruang rapat Pansus DPR, Kamis (19/1).
Romo Benny mengatakan, seharusnya RUU Ormas ini secara tegas menyatakan ormas yang ada di Indonesia harus mengacu kepada empat pilar yang diakui oleh Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kalau tak mau mengacu kepada ini, ormas itu jangan beraktivitas di Indonesia,” ujarnya. Sayangnya, lanjut Romo Benny, RUU ini tak secara tegas mengatur hal tersebut. Pasal 2 menyatakan ‘Asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’. Ketentuan selanjutnya, membolehkan ormas memiliki ciri tertentu.
Pasal 3 berbunyi ‘Ormas dapat mencantumkan diri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’.
Sumber : (www.cathnewsindonesia.com)
“Ini penting untuk menghindari liberalisasi dan radikalisasi Ormas yang ada di Indonesia sekaligus sebagai bukti komitmen dan kesetiaan kepada NKRI,” katanya seperti dilansir NU ONLINE
PBNU juga mengusulkan didalam pasal 19 sebuah poin baru, yaitu Ormas harus memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dalam hal ini, Ormas juga berkewajiban untuk menjunjung tinggi supremasi hukum, dan memiliki komitmen untuk memelihara dan mempertahankan tidak hanya kesatuan NKRI tetapi juga Ideologi bangsa.
Selain itu, RUU Ormas perlu diatur agar kemudahan fasilitas Negara untuk Ormas tidak dimanfaatkan untuk kegiatan pencucian uang, pencucian pajak dan lainnya oleh segelintir oknum untuk menghindari kewajiban sebagai warga negera.
Sementara itu Romo Antonius Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), seperti dilansir hukumonline.com, mengatakan RUU Ormas ini sangat terasa sekali paradigma pemerintah yang ingin terlalu intervensi kepada kehidupan ormas. “RUU Ormas ini harus dibongkar total. RUU ini semangatnya masih ingin intervensi, paradigma ini harus dirombak total,” ujarnya usai menyampaikan pendapatnya diruang rapat Pansus DPR, Kamis (19/1).
Romo Benny mengatakan, seharusnya RUU Ormas ini secara tegas menyatakan ormas yang ada di Indonesia harus mengacu kepada empat pilar yang diakui oleh Indonesia, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kalau tak mau mengacu kepada ini, ormas itu jangan beraktivitas di Indonesia,” ujarnya. Sayangnya, lanjut Romo Benny, RUU ini tak secara tegas mengatur hal tersebut. Pasal 2 menyatakan ‘Asas Ormas tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’. Ketentuan selanjutnya, membolehkan ormas memiliki ciri tertentu.
Pasal 3 berbunyi ‘Ormas dapat mencantumkan diri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Ormas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’.
Sumber : (www.cathnewsindonesia.com)
Langganan:
Postingan (Atom)