Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.
Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu.
Oleh karenanya, sejak itu, beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang.
Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, beliau melaksanakan tugas-tugas suci yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu, di samping membangkitkan semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang tinggi dan mulia.
Untuk menampung mereka, dibangunnya Masjid “Riyadh” di kota Seiwun (Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-asrama yang diperlengkapi dengan berbagai sarana untuk memenuhi keperluan mereka, termasuk soal makan-minum, sehingga mereka dapat belajar dengan tenang dan tenteram, bebas dari segala pikiran yang mengganggu, khususnya yang bersangkutan dengan keperluan hidup sehari-hari.
Bimbingan dan asuhan beliau seperti ini telah memberinya hasil kepuasan yang tak terhingga dengan menyaksikan banyak sekali di antara murid-muridnya yang berhasil mencapai apa yang dicitakannya, kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan sahaja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya – di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia.
Di tempat-tempat itu, mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan penyiaran agama, mereka sendiri menjadi perintis dan pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat terhormat dan disegani di kalangan masyarakat setempat.
Pertemuan-pertemuan keagamaan diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-lembaga pendidikan dan majlis-majlis ilmu didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya benar-benar dapat dirasakan dalam ruang lingkup yang luas sekali.
Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H dan meninggalkan beberapa orang putera yang telah memperoleh pendidikan sebaik-baiknya dari beliau sendiri, yang meneruskan cita-cita beliau dalam berdakwah dan menyiarkan agama.
Di antara putera-putera beliau yang dikenal di Indonesia ialah puteranya yang bungsu; Al-Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, pendiri Masjid “Riyadh” di kota Solo (Surakarta). Dia dikenal sebagai peribadi yang amat luhur budi pekertinya, lemah-lembut, sopan-santun, serta ramah-tamah terhadap siapa pun terutama kaum yang lemah, fakir miskin, yatim piatu dan sebagainya. Rumah kediamannya selalu terbuka bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak pernah sepi dari pengajian dan
pertemuan-pertemuan keagamaan. Beliau meninggal dunia di kota Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1373 H dan dimakamkan di kota Surakarta.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat dengan para ulama di masa hidupnya, juga dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-kawan serta murid-murid beliau, yang semuanya itu merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah yang tiada habisnya.
Dan di antara karangan beliau yang sangat terkenal dan dibaca pada berbagai kesempatan di mana-mana, termasuk di kota-kota di Indonesia, ialah risalah kecil ini yang berisi kisah Maulid Nabi Besar Muhammad SAW dan diberinya judul “Simtud Duror Fi Akhbar Maulid Khairil Basyar wa Ma Lahu min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama; Akhlak, Sifat dan Riwayat Hidupnya).
Dipetik dari: Untaian Mutiara –
Terjemahan Simtud Duror oleh Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi.
semoga bermanfaat. Amin
Sabtu, 19 November 2011
Kekuatan cinta
Kekuatan cinta memang luar biasa. Orang yang jatuh cinta akan rela mengorbankan apa saja demi yang ia cintai. Cinta menjadikan segalanya Indah, meski harus dilalui dengan penderitaan.
Kekuatan cinta itulah yang menjadikan Bilal
bin Rabbah lebih memilih dijemur di padang pasir yang panas daripada harus kembali kafir. Meski sebongkah batu besar menindih hingga nyaris meremukan tulang dadanya.
Dengan tenang ia menyebut nama Kekasihnya, “Ahad, Ahad, Ahad,” Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sahabat Rasulullah SAW. la rela menghabiskan
hartanya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Semuanya atas dasar cinta. Sahabat lainnya juga merasakan betapa dahsyatnya kekuatan cinta itu. Mereka rela berhijrah dengan berjalan kaki bermil-mil jauhnya, melintasi padang pasir yang kering dan panas demi menyelamatkan akidah. Karena cintanya pada Allah SWT. dengan
gagah berani mereka bergegas pergi ke medan perang, Tanpa rasa takut, harta, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan tebasan pedang dan tombak demi membuktikan cintanya yang tulus. Cinta melahirkan pengorbanan dan
prioritas.
Jika benar kita mencintai Allah SWT, niscaya kita rela mengorbankan segalanya dengan pengorbanan yang terbaik. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita mengambil dunia ini hanya sekadarnya.
Dunia bukan tujuan. Mencari harta bukan untuk bermegah-megahan. tapi sebagai sarana ibadah. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita akan bergegas ke masjid ketika adzan dikumandangkan. karena hakikat adzan adalah panggilan Sang Kekasih. Jika memang benar mencintai Allah SWT, niscaya kita akan khusyu untuk menjalankan Shalat, karena pada hakekatnya shalat adalah pertemuan dengan Sang Kekasih. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita melakukan amalan-amalan sunah. karena amalan itu dapat mengundang cintanya Allah SWT. Dan jika kita mencinta Allah SWT, tentu setiap
sepertiga malam kita bangun mengerjakan shalat tahajud, meski lelah, kantuk, dan dingin mendera. Saat itulah Allah SWT datang menjenguk dan mengabulkan segala permintaan kita.
Ibadah tanpa didasari cinta akan terasa berat dan sia-sia, Ibadah tanpa cinta adalah ciri sifat munafik. Dengan cinta kita dapat memahami tempat yang dituju setelah mati, surga atau neraka.
Surga adalah kado terindah yang akan kita terima pada saat perjumpaan pertama dengan Sang Kekasih, Allah SWT berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS Ali-lmran; 31).
Kekuatan cinta itulah yang menjadikan Bilal
bin Rabbah lebih memilih dijemur di padang pasir yang panas daripada harus kembali kafir. Meski sebongkah batu besar menindih hingga nyaris meremukan tulang dadanya.
Dengan tenang ia menyebut nama Kekasihnya, “Ahad, Ahad, Ahad,” Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf, saudagar kaya sahabat Rasulullah SAW. la rela menghabiskan
hartanya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Semuanya atas dasar cinta. Sahabat lainnya juga merasakan betapa dahsyatnya kekuatan cinta itu. Mereka rela berhijrah dengan berjalan kaki bermil-mil jauhnya, melintasi padang pasir yang kering dan panas demi menyelamatkan akidah. Karena cintanya pada Allah SWT. dengan
gagah berani mereka bergegas pergi ke medan perang, Tanpa rasa takut, harta, darah, dan nyawa, mereka pertaruhkan dengan tebasan pedang dan tombak demi membuktikan cintanya yang tulus. Cinta melahirkan pengorbanan dan
prioritas.
Jika benar kita mencintai Allah SWT, niscaya kita rela mengorbankan segalanya dengan pengorbanan yang terbaik. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita mengambil dunia ini hanya sekadarnya.
Dunia bukan tujuan. Mencari harta bukan untuk bermegah-megahan. tapi sebagai sarana ibadah. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita akan bergegas ke masjid ketika adzan dikumandangkan. karena hakikat adzan adalah panggilan Sang Kekasih. Jika memang benar mencintai Allah SWT, niscaya kita akan khusyu untuk menjalankan Shalat, karena pada hakekatnya shalat adalah pertemuan dengan Sang Kekasih. Jika benar mencintai Allah SWT, niscaya kita melakukan amalan-amalan sunah. karena amalan itu dapat mengundang cintanya Allah SWT. Dan jika kita mencinta Allah SWT, tentu setiap
sepertiga malam kita bangun mengerjakan shalat tahajud, meski lelah, kantuk, dan dingin mendera. Saat itulah Allah SWT datang menjenguk dan mengabulkan segala permintaan kita.
Ibadah tanpa didasari cinta akan terasa berat dan sia-sia, Ibadah tanpa cinta adalah ciri sifat munafik. Dengan cinta kita dapat memahami tempat yang dituju setelah mati, surga atau neraka.
Surga adalah kado terindah yang akan kita terima pada saat perjumpaan pertama dengan Sang Kekasih, Allah SWT berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS Ali-lmran; 31).
Kamis, 17 November 2011
Tragedi CINTA
Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang berhubungan dengan perempuan. Kalau kebutuhan psikologis dan bilogis terhadap perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya mereka tidak mendapatkannya?
Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka kepahlawanan mereka adalah keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan mereka.
Ibnu Qoyyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau. Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya, tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan. Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.
Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu. Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthub tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan
hubungannya. Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan membukukan romansa itu dalam sebuah roman. Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah, adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala harapan; Allah!
Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan! Sendiri! Hanya sendiri!
Serial Cinta Tarbawi, Anis Matta.
Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka kepahlawanan mereka adalah keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan mereka.
Ibnu Qoyyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk beliau. Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya, tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan. Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.
Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid menangisi peristiwa itu. Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik, kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya menjelaskan pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan. Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthub tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan
hubungannya. Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu justru menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan membukukan romansa itu dalam sebuah roman. Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah, adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala harapan; Allah!
Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan! Sendiri! Hanya sendiri!
Serial Cinta Tarbawi, Anis Matta.
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Kamis, 17 November 2011
Kamis, November 17, 2011
Tidak ada komentar:
Label:
sastra
Senin, 14 November 2011
CINTA BERBUAH SURGA
Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.
Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin…”
Begitulah Jalaluddin Rumi melukiskan betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Kepahitan hidup terasa manis kala hati kita dipenuhi cinta. Penderitaan bagaikan kenikmatan tiada tara ketika taburan cinta hinggap dalam jiwa kita. Rasa sakit langsung hilang tersembuhkan oleh obat cinta. Singkat kata, cinta adalah sebuah perasaan dalam diri manusia yang mampu membuat hidupnya terasa bahagia selamanya.
Tiada kesedihan disitu, yang ada hanyalah kebahagiaan serba indah. Itulah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Persoalannya, manusia seringkali tidak memanfaatkan fitrah itu dengan sebaik-baiknya. Cinta bukannya diwujudkan dalam dua dimensi kebahagiaan: dunia dan akhirat; tetapi malah diekspresikan secara dominan pada kehidupan duniawi saja, bahkan tak jarang melupakan sama sekali kehidupan ukhrawi. Akibatnya, kerusakan di muka bumi menjadi pemandangan sehari-hari yang tak elok dilihat.
Kita kerap melihat sebuah ekspresi cinta yang kebablasan di kalangan muda-mudi yang belum dihalalkan oleh pernikahan.
Atas nama cinta pula, seorang insan rela mengorbankan banyak hal demi pasangannya. Celakanya, pengorbanan itu kadangkala mengalahkan keikhlasan untuk meninggalkan aneka kenikmatan dunia demi “bermesraan” dengan Allah, Sang Pecinta Sejati. Jika diminta memilih: berduaan dengan pasangan ataukah “berduaan” dengan Yang Maha Pecinta, pilihannya jatuh pada yang pertama. Dampak buruknya, shalat ditinggalkan, zikir dilupakan, beramal shalih dilalaikan, perintah dan larangan Allah diabaikan. Astaghfirullah.
Manusia semacam itu telah terperangkap dalam jeratan setan dan karenanya wajib kita ingatkan agar tak semakin terjerumus dalam kubangan dosa.
Oleh sebab itu, ketika mencintai seseorang atau sesuatu, usahakan cinta kita tidak lebih dari cinta kita kepada Allah. Renungkanlah… telah sangat banyak dosa, salah, dan khilaf yang kita perbuat, tetapi Allah tak pernah berhenti mengirimkan karunia-Nya pada kita. Kalau demikian, pantaskah kita mengkhianati-Nya dengan melebihkan cinta kita kepada makhluk-Nya yang lain?
Rasulullah Saw. bersabda: “Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku -yakni dalam tidurku- kemudian berfirman kepadaku, ‘Wahai Muhammad, katakanlah: ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu.’’
Hendaknya, kita pun juga sering memohon agar selalu mampu mencintai Allah melebihi segalanya. Rasa cinta itu bisa tumbuh kalau kita mencintai siapa saja yang mencintai Allah dan dicintai Allah, serta apa saja yang dicintai Allah. Sebab, mencintai yang dicintai oleh Yang Tercinta adalah bagian dari mencintai Yang Tercinta….
Terkait dengan hal itu, dalam buku Mahabbatullah (Mencintai Allah), Imam Ibnu Qayyim menyatakan bahwa cinta senantiasa berkaitan dengan amal dan amal sangat tergantung pada keikhlasan hati, sebab disanalah cinta Allah berlabuh. Dalam keikhlasan amal di hati, cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan kecintaan tercela yang menjerumuskan kepada cinta selain Allah. Kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh makhluk.
Wallahu'alam Bishawab.
Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin…”
Begitulah Jalaluddin Rumi melukiskan betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Kepahitan hidup terasa manis kala hati kita dipenuhi cinta. Penderitaan bagaikan kenikmatan tiada tara ketika taburan cinta hinggap dalam jiwa kita. Rasa sakit langsung hilang tersembuhkan oleh obat cinta. Singkat kata, cinta adalah sebuah perasaan dalam diri manusia yang mampu membuat hidupnya terasa bahagia selamanya.
Tiada kesedihan disitu, yang ada hanyalah kebahagiaan serba indah. Itulah fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Persoalannya, manusia seringkali tidak memanfaatkan fitrah itu dengan sebaik-baiknya. Cinta bukannya diwujudkan dalam dua dimensi kebahagiaan: dunia dan akhirat; tetapi malah diekspresikan secara dominan pada kehidupan duniawi saja, bahkan tak jarang melupakan sama sekali kehidupan ukhrawi. Akibatnya, kerusakan di muka bumi menjadi pemandangan sehari-hari yang tak elok dilihat.
Kita kerap melihat sebuah ekspresi cinta yang kebablasan di kalangan muda-mudi yang belum dihalalkan oleh pernikahan.
Atas nama cinta pula, seorang insan rela mengorbankan banyak hal demi pasangannya. Celakanya, pengorbanan itu kadangkala mengalahkan keikhlasan untuk meninggalkan aneka kenikmatan dunia demi “bermesraan” dengan Allah, Sang Pecinta Sejati. Jika diminta memilih: berduaan dengan pasangan ataukah “berduaan” dengan Yang Maha Pecinta, pilihannya jatuh pada yang pertama. Dampak buruknya, shalat ditinggalkan, zikir dilupakan, beramal shalih dilalaikan, perintah dan larangan Allah diabaikan. Astaghfirullah.
Manusia semacam itu telah terperangkap dalam jeratan setan dan karenanya wajib kita ingatkan agar tak semakin terjerumus dalam kubangan dosa.
Oleh sebab itu, ketika mencintai seseorang atau sesuatu, usahakan cinta kita tidak lebih dari cinta kita kepada Allah. Renungkanlah… telah sangat banyak dosa, salah, dan khilaf yang kita perbuat, tetapi Allah tak pernah berhenti mengirimkan karunia-Nya pada kita. Kalau demikian, pantaskah kita mengkhianati-Nya dengan melebihkan cinta kita kepada makhluk-Nya yang lain?
Rasulullah Saw. bersabda: “Allah, Yang Maha Agung dan Mulia menjumpaiku -yakni dalam tidurku- kemudian berfirman kepadaku, ‘Wahai Muhammad, katakanlah: ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mencintai-Mu, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, serta mencintai perbuatan yang mengantarkan aku untuk mencintai-Mu.’’
Hendaknya, kita pun juga sering memohon agar selalu mampu mencintai Allah melebihi segalanya. Rasa cinta itu bisa tumbuh kalau kita mencintai siapa saja yang mencintai Allah dan dicintai Allah, serta apa saja yang dicintai Allah. Sebab, mencintai yang dicintai oleh Yang Tercinta adalah bagian dari mencintai Yang Tercinta….
Terkait dengan hal itu, dalam buku Mahabbatullah (Mencintai Allah), Imam Ibnu Qayyim menyatakan bahwa cinta senantiasa berkaitan dengan amal dan amal sangat tergantung pada keikhlasan hati, sebab disanalah cinta Allah berlabuh. Dalam keikhlasan amal di hati, cinta Allah merupakan refleksi dari disiplin keimanan dan kecintaan yang terpuji, bukan kecintaan tercela yang menjerumuskan kepada cinta selain Allah. Kepada diri sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh hawa nafsu yang selalu mengajak lebih mencintai diri sendiri. Artinya ia rela mencintai Allah meskipun beresiko tidak dicintai oleh makhluk.
Wallahu'alam Bishawab.
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Senin, 14 November 2011
Senin, November 14, 2011
Tidak ada komentar:
Label:
artikel
Minggu, 13 November 2011
SEDANG JATUH CINTA
Ketika ada dirimu.. Tak terbayangkan betapa takjubnya aku kepadamu..
Rasa ini sungguh membuatku ingin selalu di dekat mu.. meski mungkin hanya sekedar menikmati indahnya senyum mu..
Sungguh kau telah mempesona ku..
Aku mungkin sedang jatuh.. jatuh cinta kepada diri mu..
beginikah rasanya bila aku cinta kepada dirimu.. karena tak pernah kurasakan sebelumnya.. Karena bersamamu kurasakan sesuatu yang lain.. Tiada pernah ada ketika aku dengan yang lain..
Bila ada kamu.. Ada gairahku yang selalu membuatku ingin dekat dan bercinta dengamu..
Tapi bila kau menjauh.. Resahlah aku.. Dan kutau gelisah ku karena selalu memikirkan kamu..
Hanya ingin selalu ada bersama mu.. selalu..
Aku memang lelaki yang sedang jatuh cinta... jatuh cinta kepada diriMU.. yang telah lama ada dalam pencarian ku.. Kini telah kutemukan Kamu..
Telah aku dapatkan jauh tersimpan dalam diriMU.. Yang terindah..
Yang mampu membuatku mabuk kepayang oleh mu..
Aku memang lelaki yang tak pernah malu tuk katakan cinta ku..
Bila aku telah memilihmu menjadi kekasih hatiku... Biarlah hanya aku dan kamu yang tau rasa ini.. karena memang cinta hanya untuk kau dan aku.. Tak perlu yang lain tau.. cukup kau dan aku..
Aku memang lelaki yang memilih kamu..
Kutau pasti apa yang kumau.. dan kutau pasti apa yang aku tuju.. Tiada pernah ragu.. karena sungguh yang penuh keraguan bukanlah lelaki yang pantas untuk mu..
Aku memang lelaki yang sedang jatuh cinta.. cinta kepada dirimu.. kutau pasti seberapa besar cintaku kepada mu.. Karena besarnya cinta ku kepadamu adalah sebesar aku bermunajat memohon atas diri mu.. meminta diri mu.. dan aku mampu mengisi kekosongan diri mu.. memenuhi seluruh jiwa ragamu..
Aku sedang jatuh cinta..
kumintakan kamu.. dan kusanding diri mu..
kupeluk diri mu...
kugenggam diri mu..
Biar kurawat diri mu sampai akhir nafas mu..
Aku ada untuk kamu.. selalu.. Dan Aku tak pernah bermain main dengan kata kata ku..
" Aku adalah kamu..
MengenalMU adalah modalku..
Cinta adalah dasar hidup ku..
Rindu adalah kendaraan ku menujuMU.. "
Rasa ini sungguh membuatku ingin selalu di dekat mu.. meski mungkin hanya sekedar menikmati indahnya senyum mu..
Sungguh kau telah mempesona ku..
Aku mungkin sedang jatuh.. jatuh cinta kepada diri mu..
beginikah rasanya bila aku cinta kepada dirimu.. karena tak pernah kurasakan sebelumnya.. Karena bersamamu kurasakan sesuatu yang lain.. Tiada pernah ada ketika aku dengan yang lain..
Bila ada kamu.. Ada gairahku yang selalu membuatku ingin dekat dan bercinta dengamu..
Tapi bila kau menjauh.. Resahlah aku.. Dan kutau gelisah ku karena selalu memikirkan kamu..
Hanya ingin selalu ada bersama mu.. selalu..
Aku memang lelaki yang sedang jatuh cinta... jatuh cinta kepada diriMU.. yang telah lama ada dalam pencarian ku.. Kini telah kutemukan Kamu..
Telah aku dapatkan jauh tersimpan dalam diriMU.. Yang terindah..
Yang mampu membuatku mabuk kepayang oleh mu..
Aku memang lelaki yang tak pernah malu tuk katakan cinta ku..
Bila aku telah memilihmu menjadi kekasih hatiku... Biarlah hanya aku dan kamu yang tau rasa ini.. karena memang cinta hanya untuk kau dan aku.. Tak perlu yang lain tau.. cukup kau dan aku..
Aku memang lelaki yang memilih kamu..
Kutau pasti apa yang kumau.. dan kutau pasti apa yang aku tuju.. Tiada pernah ragu.. karena sungguh yang penuh keraguan bukanlah lelaki yang pantas untuk mu..
Aku memang lelaki yang sedang jatuh cinta.. cinta kepada dirimu.. kutau pasti seberapa besar cintaku kepada mu.. Karena besarnya cinta ku kepadamu adalah sebesar aku bermunajat memohon atas diri mu.. meminta diri mu.. dan aku mampu mengisi kekosongan diri mu.. memenuhi seluruh jiwa ragamu..
Aku sedang jatuh cinta..
kumintakan kamu.. dan kusanding diri mu..
kupeluk diri mu...
kugenggam diri mu..
Biar kurawat diri mu sampai akhir nafas mu..
Aku ada untuk kamu.. selalu.. Dan Aku tak pernah bermain main dengan kata kata ku..
" Aku adalah kamu..
MengenalMU adalah modalku..
Cinta adalah dasar hidup ku..
Rindu adalah kendaraan ku menujuMU.. "
Diposting oleh
Mahesa ibnu_romli
di
Minggu, 13 November 2011
Minggu, November 13, 2011
Tidak ada komentar:
Label:
sastra
Langganan:
Postingan (Atom)