Akhir-akhir ini, begitu gencar tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu. Yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya melakukan bid’ah, sehingga mereka tersesat dan ‘berhak’ masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding kelompok lain mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah yang kemudian menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam.
Menurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzudin in Abdisalam, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah saw.” (Qawa’id al Ahkam fi Mushalih al-Anam, Juz II, hal 172)
Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima bagian:
1. Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW secara sempurna.
2. Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’ seperti madzhab Jabariyyah dan Murji’ah.
3. Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tidak dilakukan pada masa Rasulullah SAW misalnya shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren.
4. Bid’ah makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
5. Bid’ah mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al- Anam, juz I hal, 173)
Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i ra. yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari, ”Sesungguhnya yang diada-adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika)sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela.” (Fath al-Bari, Juz 17, hal.10)
Syaikh Nabil Husaini menjelaskan, ”Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah haanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah saw. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ”Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa orang-orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka”. Dan juga berdasarkan Hadits shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, ”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk.” Hadits ini dishahihkan oleh Hafidh Ibn Hajar dalam al-Amali.” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashula min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Bid’ah hasanah,
Bid’ah yang tidak dilarang oleh agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina ’Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan, ”Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sahalat tarawih dengan berjamaah).” (Al-Muwaththa’ 231)
Contoh, bid’ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian ahad pagi atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta ’ala setiap ada kalimat Allah, dan shallahu ’alaihi wasalam setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah saw, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam.
2. Bid’ah sayyi’ah (dhalallah)
Bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dari A’isyah RA, ia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahih Muslim, 243)
Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
Hadits tentang Semua Bid’ah adalah Sesat
Untuk memahami al-Quran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriah sebuah teks. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwu, Sharaf, Balagah, Mantiq , dan sebagainya.
Hadits yang sering dijadikan dasar pelarangan semua bid’ah itu adalah “Dari Abdulah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ”Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan syara’). Karena perbuatan yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat. (…………….wa kullu mukhdatsati bid’atun wa kullu bid’atin thalalatun).” (Sunan Ibn Majah 45)
Dalam hal ini, Nabi SAW menggunakan kata kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua. Namun, adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT, ”Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (wa ja’alnaa minal maai kulla syay in haiyyin).” (Qs. Al-Anbiya, 30)
Walaupun ayat ini mengunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah fiman Allah SWT, ”Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.” (Qs. Al-Rahman, 15)
Contoh lain adalah firman Allah SWT :
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu. (wa kaa na wa raa a hum malikun ya’ khudu kulla safiinatin ghosban)” (Qs. Al-Kahfi,79)
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidir AS supaya tidak diambil oleh raja yang lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tetapi berarti sebagian saja, yakni perahu-perahu yang bagus saja yang dirampas.
Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjamaah, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Nah, kalu kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintah dan manjauhi segala larangan Allah SWT dan RasulNya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang adalah bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.
Kamis, 21 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar