Seribu sahabat terlalu sedikit, seorang musuh terlalu banyak. Itulah ungkapan orang bijak yang menganjurkan kita untuk senantiasa menjalin persahabatan, merawat dan memupuknya. Persahabatan merupakan kebutuhan manusia yang dengan itu hidup terasa indah dan bermakna. Namun terkadang kita tidak menyadari ketika seseorang menawarkan persahabatan tersebut. Kesalahan itulah yang coba kubagi lewat tulisan ini. Selama ini Ia tidak masuk dalam daftar nama-nama sahabatku. Entahlah... mungkin karena aku hanya mengenal lewat suaminya yang saat itu sekantor dengan suamiku. Kami juga jarang berinteraksi dalam suatu kegiatan ataupun acara kantor. Ia seorang wanita karir, hampir seluruh harinya dihabiskan di kantor. Ternyata dalam kesibukannya tersebut dia masih meluangkan waktu untuk menjalin persahabatan.
Mba Nia begitu aku memanggilnya. Sosok ibu yang bersahaja, supel dan bersahabat. Aku baru ingat ternyata selama ini ia selalu hadir dalam momen-momen indah kehidupanku selama kurang lebih dua tahun ini. Yang juga tidak luput dari kehadirannya, saat kami keluarga besar ditinggal pergi oleh ayah mertuaku, ia juga hadir cukup lama menemaniku, menghiburku,memberiku kekuatan. Tetapi aku tidak menyadari kehadirannya atau lebih tepatnya tidak menganggapnya ada. Yah.. baru aku sadari sekarang, ternyata aku terlalu angkuh untuk membuka hati untuknya. Saat itu aku hanya berpikir ia mau berteman denganku karena suaminya. Dia hadir dalam momen-momen penting tersebut karena ajakan suaminya. Ya semua ia lakukan karena suaminya bawahan suamiku. Sungguh terlalu picik aku berpikir.
Saat ini setelah suaminya tidak lagi sekantor dengan suamiku ternyata ia masih tetap sama. Ia masih rajin SMS hanya untuk menanyakan kabarku sekeluarga. Ia bahkan tidak sungkan untuk mampir jika kebetulan dalam perjalanan dan lewat di sekitar rumahku. Ia juga sering sekali menelpon hanya untuk menanyakan perkembangan buah hatiku. Tetapi semua kutanggapi biasa saja. Hatiku terlalu keras untuk memahami kebaikannya.
Suatu ketika aku menerima SMS dari seseorang yang isinya bahwa bayinya sedang demam. Tanpa berpikir lagi aku membalasnya “maaf ini dengan siapa?”. Lalu kembali dia membalas SMSku, “ ini dengan Mba Nia”. Aku bingung sepertinya aku tidak memiliki teman yang namanya Nia. Satu-satunya temanku yang bernama Nia adalah teman kuliah empat tahun yang lalu, dan sudah lama sekali tidak pernah kontak. Akupun kembali membalas SMSnya “ ini Mba Nia Makassar ya?” lalu diapun menjawab singkat “ Nia Rahman”. Aku terdiam dan memutar memori, lalu setengah tercekat aku sadar. Mba Nia? Masya Allah…Mba Nia punya bayi? Kapan hamilnya? Kapan melahirkannya? Ya…Allah aku baru sadar ternyata aku sangat cuek, nomor handphonenyapun tidak tersimpan di handphoneku.
Selama ini ia yang selalu memulai menelpon, mengirim sms menanyakan kondisiku dan keluarga. Sungguh aku sangat egois. Saat itupun dengan sangat malu aku langsung menelponnya,berbasi-basi menanyakan kondisi bayinya yang sedang sakit tersebut. Aku juga tidak lupa menjelaskan analisaku tentang kemungkinan sakit bayinya tersebut. Dan di ujung telepon akupun hanya bisa menyarankan pilihan terakhir ke dokter spesialis anak. Setelah itu tidak juga hatiku tergerak untuk mengunjunginya. Hari-hari selanjutnya aku sibuk dan melupakannya. Lalu tidak sampai seminggu kubaca SMSnya, “ Mba makasih banyak ya, karena sarannya Mba sekarang bayiku dah sehat”. Saat itu aku kembali seperti tertampar membaca smsnya, malu..sangat.
Cinta itu senantiasa memberi tanpa berharap menerima. Suatu hari ketika aku pulang kantor, saat masuk ke kamar, sebuah kado indah ada di meja. Tidak sabar akupun membukanya, sepasang baju yang pas dengan ukuran anakku dan sebuah jilbab cantik seukuran yang biasa aku pakai. Aku bolak balik bungkus kado tetapi tidak kutemukan sebuah nama di sana. Hatiku bertanya siapa kiranya yang memberikan kado tersebut. Akupun segera bertanya kepada Budi adikku yang saat itu ada di rumah dan menanyakan perihal kado tersebut. Dengan panjang lebar Budi menerangkan sosok pemberi kado tersebut.
Setelah menalar ciri-cirinya akupun memastikan bahwa si Pemberi kado tersebut adalah Mba Nia. Surprise yang sempurna. Saat itupun aku kembali didera rasa malu. Aku tidak tahu bagaimana menyembunyikan perasaan tersebut. Akupun berinisiatif menelponnya, kali ini aku berpikir menghapus kesan cuek yang selama ini kulakukan padanya. Alhamdulillah kali ini aku telah menyimpan nomornya, dua kali kucoba hubungi tetapi dia tidak mengangkat handphonenya. Setelah agak lama dia menghubungiku, tidak lupa ia meminta maaf karena ketika aku hubungi dia sedang mengurus bayinya yang sedang rewel.
Sampai beberapa menit ia bicara tak sedikitpun menyinggung masalah kado tersebut, kemudian aku berpikir mungkin bukan dia si pemberi kado itu. Lalu dengan dipenuhi rasa penasaran aku menanyakan apakah tadi malam ia mampir ke rumahku. Ia lalu bercerita bahwa kemarin memang sengaja ingin bersilaturahmi ke rumahku kebetulan suaminya yang selama ini bertugas di luar kota sedang libur. Tetapi dengan sedikit kecewa ia mengatakan tidak dapat bertemu denganku. Lagi-lagi ia tidak menyinggung perihal kado tersebut. Lalu dengan agak ragu kukatakan terima kasih atas kadonya. Baru kemudian dia mengatakan “ mudah-mudahan Mba senang menerimanya”. Waduh gimana sih Mba Nia, jelas aku senang menerimanya tetapi sumpah saat ini aku sangat malu dan merasa sangat rendah di hadapan Mba Nia.
Aku baru tahu ternyata dia kembali dari Yogyakarta 2 pekan lalu. Di sana ia melahirkan dan menghabiskan masa cutinya. Ya, Aku ingat lebih dari 2 bulan tidak menerima sms dan telponnya. Betapa jahatnya aku, tidak pernah peduli padanya. Sungguh sangat berbeda dengan dia, walaupun aku tidak pernah menghubunginya toh dia masih saja mengingatku. Salah satunya dengan memberiku kado yang katanya oleh-oleh dari Yogya. Yang membuatku ingin menangis saat kukatakan “ Mba Nia…terima kasih atas kadonya, ngga nyangka Mba Nia sebaik ini dan selalu mengingat saya”. Lalu dia menjawab “ saya selalu mengingat orang-orang baik seperti Mba Yanti”. Hah, ingin sekali aku berteriak dan menanyakan apakah benar yang dia ucapkan itu. Aku orang baik, kuulang-ulang terus kalimat itu. Kali ini aku benar-benar menangis, sepertinya dia hanya menyinggungku, mengajari aku bagaimana menjadi orang baik.
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa menuntun kita ke jalan yang benar. Salah satu bimbingan Allah agar kita senantiasa di Jalan-Nya adalah dengan mengirimkan orang-orang baik untuk menjadi guru dalam hidup. Bagiku Mba Nia adalah orang baik yang dikirimkan Allah untuk mengajariku makna persahabatan. Persahabatan yang sejati tanpa batas kepentingan. Selama ini aku telah salah berpikir. Seorang sahabat versiku jika ia sekantor, satu tempat pengajian, seprofesi,dan seide denganku.
Aku harus kembali mensetting ulang pikiranku tentang makna sahabat. Mba Nia sangat layak untuk menjadi sahabat, itu kesimpulanku sekarang. Dia telah mengajariku banyak hal, ketulusan, silaturahmi, persaudaraan. Ia juga telah membimbingku tanpa kata bahwa menjalin persahabatan itu hendaknya karena Allah bukan karena embel-embel duniawi. Aku yang hampir tiap pekan belajar agama ternyata masih belum bisa melakukannya. Mba Nia dengan pengetahuan islam yang awam telah menjadi guruku, sahabatku, saudaraku. Terima kasih Mba Nia..atas kehadirannya mewarnai hari-hariku. Insya Allah mulai detik ini aku akan berusaha menjadi sahabat terbaikmu, menjadi orang baik dan kita bersinergi untuk memupuk hidayah Allah. Amin… .
Kamis, 12 November 2009
heramkempek
→
artikel
→ cuplikan kisah sahabat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar