Oleh:
Farid Gaban, wartawan.
Mengkritik kerja KPK, Presiden Yudhoyono membuat beberapa pernyataan yang tidak konsisten dan tidak logis.
Presiden antara lain menyatakan keberatan KPK menahan beberapa kepala daerah atas tuduhan korupsi. "Kenapa harus ditahan? Kenapa tidak digunakan asas praduga tidak bersalah?" katanya.
Menurut Presiden, sebelum ada keputusan hukum yang tetap, pejabat yang diduga korupsi, semestinya tetap diperbolehkan bekerja, tanpa perlu mendekam di balik jeruji.
Jika prinsip hukum itu bisa diterima, kenapa presiden tidak memiliki prinsip yang sama dalam kasus penahanan pejabat KPK Bibit dan Chandra? Kenapa tidak dibiarkan mereka bekerja mengingat belum ada keputusan hukum yang tetap buat mereka?
Dalam praktek hukum di masa lalu dan bahkan masih kita lihat sampai sekarang, prinsip yang dikatakan presiden hanya diterapkan oleh polisi untuk para koruptor, tapi tidak untuk penjahat kecil-kecilan. Tersangka tindak korupsi bisa melenggang sementara maling ayam, misalnya, biasanya langsung ditahan, meski sama-sama belum ada keputusan hukum yang tetap.
Dengan cara lama itu, banyak koruptor kasus BLBI tidak ditahan dan akhirnya melarikan diri ke luar negeri. Bukan cerita baru.
Itulah salah satu alasan terpenting kenapa KPK dibentuk. Sesuai dengan nama dan alasan pembentukannya, KPK memang harus lebih keras dari polisi atau kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
KPK merupakan buah dari reformasi politik 1998, yang mulai diperkenalkan konsepnya sejak masa BJ Habibie. Lembaga ini dibentuk karena penyakit korupsi dipandang sudah demikian akut dan kronis, tanpa polisi dan kejaksaan mampu mengatasinya. KPK merupakan lembaga independen, tidak di bawah kendali presiden.
Undang-undang memang mengakui KPK sebagai "superbody", lembaga yang cenderung superior dan dengan kewenangan serta independensi lebih dibanding polisi atau kejaksaan.
Presiden tidak bisa mengintervensi kerja KPK, sebaliknya bisa mengintervensi polisi dan kejaksaan. Kapolri dan Jaksa Agung adalah pejabat setingkat menteri yang diangkat berdasar hak prerogatif presiden.
Patut dihargai Presiden Yudhoyono tidak campur tangan ketika KPK menahan Aulia Pohan, besan presiden, dalam skandal korupsi Bank Indonesia. Tapi, presiden memang tidak bisa dan tidak boleh melakukan itu kecuali dia mau disebut melanggar undang-undang.
Dan kini, jika presiden mempertanyakan posisi "superbody" KPK, seperti dilakukannya kemarin, sesungguhnya dia sendiri tidak paham undang-undang.
Meski memiliki wewenang besar, para pejabat KPK tentu saja tidak bisa dibenarkan kebal hukum. Pimpinan KPK bisa dan boleh ditangkap, dipidanakan atau dipenjara jika melakukan kejahatan.
Sebagai bagian dari prinsip perimbangan kekuasaan, polisi atau kejaksaan bisa menyidik dan menangkap pejabat KPK, jika mereka diduga melakukan kejahatan seperti mencuri, memperkosa atau membunuh (dalam kasus Antasari Azhar). Polisi dan kejaksaan juga bisa menahan mereka dengan tuduhan kejahatan suap, pemerasan serta korupsi.
Tapi, dalam kasus Chandra dan Bibit?
Alasan keberatan banyak orang terhadap penangkapan/penahanan Bibit dan Chandra bukanlah karena polisi sama sekali tak boleh mempidanakan mereka. Tapi, pada tuduhan yang disangkakan. Polisi dalam hal ini menyalahkan pejabat KPK itu untuk "kejahatan" menyadap dan mencekal Anggoro Widjojo.
Anggoro Widjojo, Direktur Utama PT Masaro Radiokom, ditetapkan sebagai tersangka dan buronan oleh KPK atas dugaan suap kepada sejumlah anggota DPR dalam sebuah proyek Departemen Kehutanan.
Polisi tidak pernah menyidik Anggoro, yang kini berada di Singapura. Tapi, seperti sudah luas diberitakan dan diakui oleh kepolisian: Susno Duadji, Kepala Reserse Kriminal Mabes Polri, pernah menemuinya di negeri tetangga itu.
Langkah polisi mempersoalkan Bibit dan Chandra muncul setelah pertemuan itu. Dan ada unsur konflik kepentingan di sini.
Susno Duadji adalah orang yang disebut-sebut terlibat dalam Skandal Bank Century dan KPK sedang mengincarnya. Skandal Bank Century bukan kasus kecil. Banyak nasabah dirugikan dan bahkan uang publik sebanyak Rp 6,7 trilyun dipakai untuk menambal modal bank itu, yang pengucurannya menimbulkan kontroversi politik melibatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono (kini wakil presiden).
Banyak pihak, termasuk Adnan Buyung Nasution, telah mendesak agar Kapolri menon-aktifkan Susno demi penyidikan. Tapi, Kapolri dan juga Presiden Yudhoyono nampak tidak peduli. Keduanya bahkan memberikan dukungan publik pada langkah Susno Duadji memperkarakan Chanda dan Bibit.
Metode kerja KPK memang bisa bermuatan penyalahgunaan wewenang sehingga subyek penyadapan dan pencekalan menderita kerugian tidak semestinya. Tapi ada jalan untuk menguji kemungkinan penyalahgunaan ini. Keberatan atau protes terhadap indikasi penyalahgunaan wewenang oleh KPK bisa dilakukan oleh korban lewat Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam kasus ini, Anggoro lah, dan bukan polisi, yang layak menggugat KPK.
Nampak ganjil di sini, polisi mempersoalkan metode kerja KPK, suatu yang bukan haknya. Dan ironisnya, polisi justru menyediakan diri sebagai wakil (pelindung/pembela) tersangka koruptor.
Sulit untuk menepis spekulasi bahwa penahanan Bibit dan Chandra, yang memperlihatkan terlalu banyak inkonsistensi hukum itu, berkaitan pula dengan Skandal Bank Century.
Inkonsistensi polisi adalah inkonsistensi presiden. Dan kita layak bertanya: tidakkah dukungan/perlindungan Kapolri kepada Susno, tersangka Skandal Bank Century, mendapat restu presiden? []
Kamis, 05 November 2009
heramkempek
→
artikel
→ KPK, Presiden, dan Bank Century
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar