Kita pasti tahu, bahwa
tujuan asal penciptaan
kita adalah tiada lain
kecuali untuk
beribadah
(Q.S.addzariyaat 56).
Sudah seyogyanya
apabila semua langkah
kita, gerak tubuh kita,
kedipan mata kita,
pertarikan nafas kita,
sampai perdetak
jantung kita harus
bernilai ibadah.
Seharusnya juga tidak
satu detikpun diri kita
luput dari prosesi
pelaksanaan ibadah
itu.
Itu seharusnya, tapi
pada kenyataannya?
Berapakah waktu yang
di sana mencakup
semua gerak-gerik
kita, tindak tanduk kita
yang terbuang?
Tercampakkan sia-sia
tidak bermakna
ibadah? Lalu, mengapa
hal ini terjadi?
Bukankah itu sudah
keluar dari jalur
penghambaan? Tidak
tepat sasaran dengan
(liya'buduuni)?
Kenaifan kita akan hal
ini adalah (salah
satunya) karena
kesalahfahaman kita
dalam memaknai arti
ibadah.
Bagi kita, bila
disebutkan kata
ibadah, maka yang
terilustrasikan dibenak
kita seketika itu juga
adalah hanya sholat di
mesjid, puasa
romadhon, zakat
(fitrah lagi), dan haji,
itu saja.
Sehingga tanpa sadar
kita mempersempit arti
ibadah yang
seharusnya luas
mencakup semua gerak
kita, permilimeter.
Padahal sholat 5 waktu
dan sejenisnya yang
tergambar dibenak kita
tadi adalah baru
"ibadah protokoler"
yang memang wajib
kita lakukan.
Nah, di sana masih ada
"ibadah extra" yang
mungkin jarang kita
lakukan, semacan
dhuha, tahajjud,
shodaqoh, puasa
sunnah, umroh, dan
lain-lain.
Bahkan masih ada
"ibadah non formal"
semacam dzikir sirri,
sholawat, menata hati
dan niat (masuk dalam
hal ini,kerja,jika diniati
untuk ibadah,maka jadi
ibadah),dan
seterusnya.
Nah, salah satu ibadah
non formal yang
sangat jarang kita
lakukan, padahal
ibadah yang ini paling
santai dan ringan,
adalah MERENUNG,
atau kontemplasi atau
tafakkur.
Sekarang, seringkah
kita merenung akan
birunya langit?
Hijaunya daun?
Semilirnya angin?
Segarnya air? Asinnya
garam? Manisnya gula?
Bahkan gurihnya
buntut ikan mujair
goreng? Atau kenapa
lombok berwarna
merah, tidak biru muda
saja?
Pernahkah hati kita
tergetar setelah
melihat barisan pohon
yang berjejer di tepi
jalan? Indahnya
temaram bulan
purnama? Dinginnya
malam? Atau ketika
naik perahu, kok
nggak tenggelam?
Pernahkah bibir kita
terucap kata
(Subhanallah) setelah
melihat lantas
memikirkan keajaiban-
keajaiban itu?
Merasakan sebuah
ketenangan yang luar
biasa, berdesir di
sanubari kita setelah
meresapi semua itu?
Merasakan kedamaian
yang tiada banding?
Takjub atas semua itu
dengan sebuah
finishing touch bahwa
semua ini Ada Yang
Menciptakan?
Seandainya sekali saja
hal itu terlintas di
benak kita, niscaya
kedamaian akan
memeluk kita. Apalagi
jika kita
membiasakannya.
Merenung, itulah salah
satu ibadah besar
yang kerap kita
lupakan. Berapa ayat
dalam al-quran yang
menganjurkan kita
untuk bertafakkur,
tetapi kita hanya
melewatinya saja tanpa
melaksanakannya.
Sudah saatnya bagi
kita menuju proses
wushul ilallah melalui
jalan ini. Karena
sebenarnya, tafakkur
inilah ibadah non
formal terbesar, inilah
multimedia dzikir sirri,
mengingatNya melalui
ciptaanNya.
Bahkan diceritakan,
ada seorang sahabat
yang mendapat jaminan
surga, karena selalu
merenung setiap
menjelang tidur.
Nah, sekarang,
bagaimana dengan
kita? Jalan terbuka
lebar bagi kita,
siapapun kita,
semenumpuk apapun
dosa kita. Tinggal kita,
mau apa tidak
menempuhnya. Wallahu
a'lam ( *)
Catatan akhir :
bukankah segala
kemajuan teknologi
yang ada sekarang ini
adalah berawal dari
renungan? Kenapa
ibadah ini dengan
begitu baik
dimanfaatkan non
muslim. Sementara kita
yang sejak awal
disediakan media ini
tak mampu
memanfaatkannya?
Layak kita renungkan
lagi :-)
Kamis, 30 Juni 2011
heramkempek
→
artikel
→ Ibadah Paling Mudah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar