Hadits yang sangat terkenal dan sering dikutip orang taktala bicara tentang keutamaan jihad melawan hawa nafsu adalah hadits yang berbunyi: "Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Didalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265). Berdasarkan pemahaman terhadap hadits diatas, sebagian orang memahami bahwa jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs) merupakan jihad besar (jihad al-akbar) yang nilainya lebih utama dibandingkan dengan jihad fi sabilillah dengan makna perang fisik melawan orang-orang kafir. Benarkah demikian?
Pertama, status hadits jihaad al-nafs lemah (dhaif), baik ditinjau dari sisi sanad maupun matan.
Dari sisi sanad, isnad hadits tersebut lemah (dha'if). Al-Hafidz al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin 'Ablah. (lihat kitab Al Jihad walQital fi Siyasah Syar’iyah karya Dr. Muhammad Khair Haikal) Dari sisi matan hadits (redaksi), redaksi hadits jihaad al-nafs diatas bertentangan dengan nash Al Qur’an maupun Hadits yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain. Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.
Kedua, seandainya keabsahan hadits ini tidak kita perbincangkan, maka lafadz jihad al-akbar yang tercantum didalam hadits itu wajib dipahami dalam konteks literal umum; yakni perang hati atau jiwa melawan hawa nafsu dan syahwat serta menahan jiwa untuk selalu taat kepada Allah swt. Artinya lafadz itu dipahami sekedar makna bahasa (lughawiy) saja, bukan makna urfiy (konvensi umum) apalagi makna syar’iy. Sebab menurut Dr. Husain Abdullah dalam kitab Mafahim Islamiyah, suatu lafadz jika memiliki makna bahasa, syar'iy, dan 'urfiy, maka harus dipahami berdasarkan makna syar'iynya terlebih dahulu. Baru kemudian dipahami pada konteks 'urfiy (konvensi umum), dan lughawiy (literal). Lafadz jihad (jihad al-akbar) yang termaktub di dalam ’hadits’ jihaad al-nafs harus dipahami berdasarkan pengertian lughawiy. Karena kata jihad dalam konteks syar'iy dan urfiy, telah dipahami sebagai perang melawan orang kafir (perang fisik), dan tidak boleh diartikan dengan perang melawan hawa nafsu dan syahwat.
Hukum asal jihad adalah fardhu berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadits. Diantaranya firman: “Dan perangilah mereka, sehingga tidak ada fitnah lagi dan ketaatan itu semata-semata hanya milik Allah” (QS. Al-Baqarah [2]: 193). Imam Bukhari meriwayatkan juga bahwa Nabi saw bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka berkata: Tiada Tuhan selain Allah.”
Jihad adalah fardhu kifayah pada permulaan. Jika musuh menyerang, maka dia adalah fardhu ‘ain bagi orang yang diserang, dan fardhu kifayah bagi lainnya. Fardhu tersebut tidak tanggal sampai musuh dapat diusir, dan tanah Islam dapat dibersihkan dari kotorannya.
Kapan dan dimana jihad dalam pengertian perang itu dilakukan?
Pertama: manakala kaum Muslimin atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus Afganistan dan Irak yang diserang dan diduduki AS sampai sekarang, juga dalam kasus Palestina yang dijajah Israel. Inilah yang disebut dengan jihad defensif (difâ‘î). Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim (lihat QS. Al Baqarah [2]:190).
Kedua: manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebab, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu, serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia (lihat QS al-Anfal [8]: 72).
Ketiga: manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran (fikriyah), non fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan rintangan-rintangan fisik yang ada dihadapannya di bawah pimpinan Amirul Mukminin. Inilah yang disebut dengan jihad ofensif (hujûmî). Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluaskannya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah.
Jadi berdasarkan tiga hal diatas, dalam konteks Indonesia sebagai..... LANJUT KE KOLOM KOMENTAR
Rabu, 14 Desember 2011
heramkempek
→
artikel
→ HADITS JIHAD AN-NAFS DHO'IF ???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Jadi berdasarkan tiga hal diatas, dalam konteks Indonesia sebagai negeri muslim yang aman dan tidak dalam kondisi diserang musuh/orang kafir secara fisik maka BELUM berlaku hukum dan keWAJIBan JIHAD. Kewajiban jihad akan segera berlaku manakala negeri kita ini diserang oleh musuh secara fisik.
Wallahu a’lam bishawab.
Posting Komentar