Jika manusia mengalami ketidaktetapan iman: saat suatu ketika ia merasa begitu dekat dengan Tuhan dan pada saat yang lain secara tak sadar ia mengabaikan-Nya, maka iblis pernah lelah dengan pembangkangannya kepada Tuhan. Ia merasa perlu menyudahi permusuhan dengan-Nya. Ia ingin bertobat.
Niat tersebut iblis utarakan kepada Musa, berharap Musa mau membantu. Iblis tahu, hanya Musa yang bisa bercakap-cakap secara langsung dengan Tuhan, seperti yang pernah Musa lakukan saat ia meminta Tuhan menampakkan diri, tapi Tuhan menolak (bukan karena Ia tak mau atau tak mampu, melainkan) karena diri-Nya terlalu perkasa untuk dilihat mata manusia.
“Musa, tolong sampaikan kepada Tuhan niatku ini,” kata iblis, meminta.
“Kautahu aku hanya makhluk-Nya yang berlumur dosa dan aku tahu kau makhluk pilihan-Nya.”
Musa menyanggupi. Ia segera mendaki sebuah gunung untuk menemui Tuhan. Hasilnya, Tuhan bersedia menerima tobat iblis dengan satu syarat.
“Dia harus bersujud kepada kuburan Adam,” kata Tuhan.
Musa kemudian kembali kepada iblis dengan membawa pesan tersebut.
“Bersujud kepada kuburan Adam?!” jawab iblis dengan marah. Ia mungkin bisa berdamai dengan Tuhan, namun agaknya sulit akur dengan Adam. Kita tahu, saat masih di surga, iblis menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, hanya karena makhluk dari golongan manusia itu terbuat dari tanah yang bagi iblis tak lebih baik daripada api, unsur penciptaan dirinya.
Pembangkangan yang menyebabkan iblis terusir dari surga dengan cap makhluk terkutuk.
“Dulu, saat Adam hidup saja aku tak pernah sudi bersujud kepadanya! Apalagi sekarang saat ia telah mati! Apalagi kepada kuburannya!” jawab iblis.
Kisah israiliyyat (kisah yang bersumber dari Bani Israil) di atas disadur dari Ihya Ulum al-Din fi al-Qarn al-Wahid wa al-‘Isyrin karya Dr. Sa’ad al-Hakim, sebuah buku yang meringkas karya besar Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din.
Apa yang sesungguhnya Tuhan minta dari iblis Ini?:
iblis menaklukkan musuh-musuh dalam dirinya sendiri—bangga diri, tinggi hati, dan dengki. Namun, iblis gagal. Justru musuh-musuh itu yang menguasai dirinya.
Iblis terbelenggu kebencian yang menahannya bersimpuh di hadirat Tuhan.
Saya kira, itu juga tentang kita, manusia. Menghadap Tuhan bukan untuk mencari ketenangan, justru seseorang harus dalam suasana batin dan pikiran yang tenang sebelum menghadap Tuhan.
Lalu, kita (jika Anda berkenan saya wakili) bisa membaca gejala:
- jika zikir kita tak berfungsi seperti yang difirmankan: "Ingatlah, hanya dengan berzikir kepada Tuhan hati akan merasa damai" (al-Ra‘d: 28);
- jika shalat kita tak berpengaruh seperti yang dijanjikan: "Kerjakanlah shalat. Sebab, ia dapat mencegah diri dari kekejian dan kemungkaran" (al-‘Ankabut: 45);
- jika puasa kita sebatas ritual menahan lapar dan minum tanpa bernilai apa-apa …
barangkali karena sesungguhnya semata tubuh yang berzikir, yang mengerjakan shalat, yang berpuasa, sementara batin dan pikiran terpenjara oleh pembangkangan.
Hanya sebuah prasyarat:
rajin menghadap Tuhan tak menjanjikan ketenangan dan pengaruh sebelum seseorang menjamin diri sendiri bebas dari segala belenggu yang menggelisahkan, tidak terikat oleh kewajiban diri yang tak dilunasi dan hak orang lain yang belum dibayarkan.
Selamat berpuasa!
Sumber : jumanrofarif.wordpress.com
Selasa, 16 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Mantap akhi, semoga kita tidak seperti iblis, angkuh pendendam, semoga batin kita selalu taqwa amien.Mantap akhi, semoga kita tidak seperti iblis, angkuh pendendam, semoga batin kita selalu taqwa amien.
Wah wah aktif berdakwah nih, boleh juga daripada ngeblog tanpa arti mending yang berpaha aja. Apalagi di bulan Ramadhan yang setiap amal kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya. Ya gk bro!Wah wah aktif berdakwah nih, boleh juga daripada ngeblog tanpa arti mending yang berpaha aja. Apalagi di bulan Ramadhan yang setiap amal kebajikan akan dilipatgandakan pahalanya. Ya gk bro!
Posting Komentar